Wanita bernyali besar, “puteri …”


Tempo 14 Januari 1978. SEBUAH cerita di pergantian tahun, dengan tokoh “misterius” seperti puteri roman abad lalu, menyangkut seorang wanita di New York yang mengaku sebagai anak Almarhum Bung Karno (TEMPO, 24 Desember 1977, Pokok & Tokoh). Ketika pembantu TEMPO di Washington DC Abdul Nur Adnan mengunjungi dia, wanita ini berteriak: “Naa, akhirnya bangsaku bertanya: di mana Rukmini?” …. Di Hotel Essex House, New York, tempat wanita itu melakukan kegiatan bisnisnya, dia mengaku nama lengkapnya adalah Rukmini Sukawati Sukarno Kline, puteri tertua Presiden Sukarno almarhum. Berkulit kuning langsat, bertubuh besar nyaris mendekati gemuk, Rukmini pagi itu mengenakan longdress merah jambu. Leher, jarijari dan pergelangan tangan dipenuhi perhiasan yang tampaknya cukup mahal. Untuk bidang usahanya yang beragam, Rukmini menyatakan dapat modal dari tiga bank. First National Bank, Bankers Trust dan Barclays Bank. Dengan suara macam pancuran air yang sulit dibendung, ia bercerita: “Perusahaan saya bergerak di bidang pengangkutan kapal, minyak mentah, gandum, pipa pembor minyak. Saya punya bisnis indigo-dye dengan Taiwan, saya juga beli beras dari Muangthai dan saya jual ke negara-negara Teluk Persia, saya jual semen dari Korea untuk Nigeria, saya beli kopi dari Meksiko, saya beli cengkeh dari Tanzania untuk saya jual ke Indonesia.” “Jumlah cengkeh yang saya jual ke Indonesia masih sedikit. Mudah-mudahan Pak Harto mau membuka pintu agak lebih lebar kepada saya sehingga saya bisa jual bahan itu lebih murah lagi” …. Dan masih banyak. Semuanya dia ceritakan dengan mata (yang dirias tebal) bersinar-sinar, dengan vitalitas yang menggebu. Brooker “Saya juga punya backing dari orang-orang kuat dalam bidang finansiil di Amerika sini. Siapa mereka? Wah, kalau saya buka rahasia saya, nanti saya dijegal lagi.” Dia menceritakan duduk perkaranya menang tender untuk membawa bahan pangan dari Proyek PL480 ke Indonesia. Karena timbul ketidak percayaan antara kedua belah pihak, terutama Konsulat Indonesia di New York, gagallah dia mengangkut 33.000 metrik ton beras. “Saya jadi curiga,” kata Rukmini. “Sebab perusahaan Amerika yang ditunjuk Konsulat pasang harga lebih tinggi AS$2,50 setiap metrik ton daripada saya. Menyedihkan. Bangsa sendiri berhantam di luar negeri dengan bangsa sendiri.” Konjen Indonesia untuk New York, Tri Hardjo, telah membantah hal ini pada kesempatan bertemu Presiden Suharto di Bina Graha minggu lalu. Disebutkannya: bantuan AS dalam Proyek PL480, pengangkutannya ditentukan 50% dilakukan dengan kapal berbendera AS dan sisanya pihak swasta yang tidak berbendera AS. Ujar Tri Hardjo: “Masalah itu sudah beres. Rukmini ini hanya brooker saja. Dia juga cuma mengakuaku sebagai anak Presiden Pertama RI.” Sambung Rukmini: “Tapi urusan perkapalan ini soal kecil bagi saya. Saya masih punya kesibukan bisnis lainyang lebih besar.” Dia kemudian menyebutkan kantor-kantornya di seantero negara, “dan saya telah berhasil merobah wajah buruk Indonesia di dunia bisnis internasional. Indonesia paling buruk setelah itu disusul Nigeria.” Masih memegang paspor Indonesia, Rukmini kemudian titip pesan: “Mbok pejabat-pejabat kita yang sudah dapat posisi tinggi itu jangan korupsi. Kurang apa lagi, ingat dong rakyat.” Ia mengaku pernah pulang ke Indonesia, ketika Bung Karno wafat (“dan saya melayat sampai ke Blitar,” katanya). Ia juga menolak “disamakan” dengan Christina Onassis. Dengan lantang dia berkata: “Jangan sekali-kali membandingkan saya dengan wanita itu.” Apa soalnya? Dengan judul Miss Sukarno: Dan Indonesia Onassis?, New York Times telah menulis tentang kegagalan Rukmini untuk menuntut Pemerintah Indonesia di depan Mahkamah Tinggi New York dalam hal pembatalan kontrak pengapalan beras. Dengan suara geram, sambung Rukmini lagi: “Sorry ya, saya tidak mau menyombong atau bagaimana. Tapi Tina Onassis itu tidak punya otak seperti otak saya, dia tidak punya bakat seperti bakat saya. Dia tidak punya suara seperti suara saya. Kalau saya punya uang warisan seperti yang dia miliki…. ” dan diapun menceritakan rencananya. Rukmini, yang kini menikah dengan Frank Lattimore Kline dan punya seorang anak (Christopher, berumur 14 tahun) masih mempunyai orangtua dan dik-adik yang semuanya tinggal di Jakarta. Ayahnya bernama Yunus Sulaiman, dulu dikenal sebagai Lay Siong Hium Umurnya 65 tahun, sakit-sakitan. Siong Hiun dulu masyhur sebagai pembalap motor. Pernah terjatuh dari sepeda motor, dan kini menderita lemah ingatan dengan keadaan yang cukup krisis. Isterinya, Liong Kim fong, 56 tahun, tetap mendampingi Siong Hiun. Dari perkawinan mereka, lahir empat orang anak. Gang Toagong Empat Yang tertua bernama Lay Nyuk Lan yang kini merobah namanya jadi Rukuini. Usia Nyuk Lan bukan 35 tahun seerti yang diakuinya, tapi 41. Kemudian Lay Muk Sun alias Djoni Sulaiman, 40 tahun. Adik Djoni bernama Lau Muk Yin, kini Djohan Sulaiman, dokterandus tarmasi. Yang bungsu: Lay Nyuk Lin. Dalam hubungan keluarga ini, Nyonya lais, adik Yunus Sulaiman, yang ditemui Lukman Setiawan dari TEMPO, berpesan: “Jangan ketemuin orangtuanya deh perkara Rukmini. Mereka sudah tua, kasihan nanti shock gara-gara Rkmini.” Sedang Djoni Sulaiman yang tinggal di Grogor cuma berkata: “Bisnis saya ini jangan sekali-kali dihubungkan dengan Rukmini.” Pengusaha yang mulai maju ini kemudian menyilakan bertanya kepada Djohan Sulaiman saja, kalau mau tahu soal Rukmini. Tambah Djoni: “Saya sendiri dengar dia cuma lewat koran. Selama ini hubungan kita praktis putus. Dia tak pernah berhubungan dengan kita lagi.” Sayang, Djohan tidak berhasil ditemui dengan alasan sibuk pekerjaan. Djohan inilah yang dua tahun lalu pergi ke AS dan kemungkinan besar bertemu dengan Rukmini. “Sebetulnya, Rukmini dinantikan kembalinya dari New York karena kon disi ayahnya sangat kritis,” sambung Nyonya Rais. Keluarga Lay Siong Hiun dulunya tinggal di Gang Toagong Empat, yang kini berobah jadi Mangga Besar IV/M. Semasa Rukmini tinggal di sana. (ang Toagong adalah gang kecil yang selalu becek kalau hujan. Rumah-rumah saling berdempetan – dan kini telah kena Proyek MH Thamrin. Tetangga Rukmini ketika gadis, Clara Widjaja, kenal betul dengan kelakuan Rukmini semasih belia. “Nyuk Lan menlang suka sinting-sintingan,” kata Clara. “Saya masih ingat ketika dia masih berlatih menyanyi gaya opera. Dia ingin suara soprannya kedengaran dari ujung ke ujung gang,” cerita Clara. “Dia tidak peduli orang suka apa tidak. Lebih-lebih kalau dia menari Jawa. Semua orang yang ada di sekelilingnya tidak boleh berisik. Dia bisa naik pitam kalau merasa terganggu.” Teman-teman sepermainannya, juga anak laki-laki, tidak ada yang berani melawan Rukmini. “Mana saya berani sama dla. Dia kelas sumo deh,” kata salah seorang teman. Baik Djoni maupun Clara mengatakan, bahwa sekitar tahun 50-an Presiden Sukarno tertarik oleh penampilan Ruk mini. “Dia lalu diangkat anak dan dikirim ke Roma untuk belajar nyanyi. Ucapan Presiden yang mengangkat anak Nyuk Lan ‘kan tidak bisa ditarik kembali,” kata Djoni, “bahkan sudah tersiar di koran-koran waktu itu.” Dan Djoni hanya tertawa saja ketika diceritakan bahwa Rukmini telah menuntut Pemerintah Indonesia karena merasa dirugikan dalam usaha pengangkutan beras. Turun Mental “Dia tidak pernah diangkat resmi sebagai anak oleh Sukarno,” kata Mr. Subardjo, bekas Menteri Luar Negeri. Tambah Subardjo: “Sering nama Bung Karno dijadikan alasan untuknya. Dan keberaniannya ini sering menjadi kenekadan.” Bahkan Nyonya Subardjo menyatakan, yang mengirim Nyuk Lan ke Italia perkumpulan kerjasama kebudayaan Indonesia-Italia yang menyelenggarakan beberapa kursus kesenian di rumah nya dan dikukuhkan pula oleh Departemen P & K. Yang berhasil dikirim, selain Nyuk Lan, misalnya penyanyi Evi Tjoa, sutradara film Bachtiar Effendi, penyanyi Ade Ticoalu, soprano Catherine Wiriadinata, pematung Mikael Wowor. Dan Mikael Wowor sendiri, yang sekarang di Jakarta, juga pernah keserempet “keberanian” Rukmini ini. Wowor berada di Italia lebih dulu waktu itu. Tahun 1954, menjelang kunjungan Bung Karno ke Eropa, Wowor dan kawan-kawan sesama mahasiswa senirupa mendapat kenalan baru seorang mahasiswi yang mengaku masuk jurusan seni suara untuk lagu-lagu opera, di Conservatorium Santa Lucia. Namanya Rukmini. Untuk menambah uang saku Wowor bekerja juga di Kedutaan RI di Roma, di bagian perpustakaan. Pada suatu hari, ruangan di mana dia kerja sedang kosong. Telepon berdering dan Woworlah yang mengangkatnya. Seorang wanita berbicara. “Karena bahasa Italinya jelek, akhirnya ketahuan kalau dia orang Indonesia. Kami kemudian bicara bahasa Indonesia saja. Tapi dia tidak mau mengenalkan dirinya, hanya suaranya memang penuh wibawa. Saya jengkel. Saya letakkan gagang telpon.” Tidak lama telepon berdering lagi. “Suara wanita itu semakin garang dan berkata: “Berani banting telpon ya!” Saya benar-benar turun mental. Saya kira dia isteri Duta Besar.” Baru ketahuan kalau yang menelepon itu Rukmini. Berhadapan muka beberapa hari kemudian, Wowor – seperti ceritanya kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO–masih dibentak dengan ucapan “Goblok kau!” Dan ketika Sukarno mengadakan kunjungan ke beberapa negara Eropa, tersiar berita bahwa Rukmini sebenarnya “anak Babe.” Tidak jelas siapa yang menyiarkan berita itu, tapi para penjabat Kedutaan tidak ada yang berani memberi konfirmasi betul-tidaknya. “Juga kami para mahasiswa yang ada di Itali, tidak berani menanyakan langsung hal itu,” kata Wowor, “karena Rukmini pembawaannya angkuh, busung dada dan lagaknya seperti anak orang besar.” Diceritakan oleh Wowor: kalau Bung Karno datang, Rukmini selalu memisahkan diri. Dia tidak mau turut bersamasama menyajikan atraksi penyambutan, misalnya paduan suara. “Sampai sekarang, saya tidak tahu persis benar-tidaknya info bahwa Rukmini anak Bung Karno,” tambah Wowor. “Memang banyak yang tidak tahu,” sambung Rukmini kepada Abdul Nur Adnan. “Malah ada yang mengira saya ini permainan Bung Karno. Tidak! Saya betul-betul anak Bung Karno. Saya lahir 26 Agustus 1942 di Pangkalpinang. Ibu saya berdarah Jerman, namanya Nina. Sayang dia meninggal waktu saya berumur 3 tahun. Saya anak tunggal, karena itu ayah sayang sekali pada saya.” Bohong Besar Ketika ditanyakan bukankah namanya dulu Nyuk Lan, serta-merta Rukmini menyahut: “Siapa? Nyuk Lan? Memang, waktu kecil saya pernah tinggal bersama keluarga Tionghoa dan mereka memberi nama itu kepada saya. Tetapi nama saya yang betul adalah Rukmini. Nama sejak kecil. Saya punya surat kelahiran dengan nama itu dan ditandatangani ayah, Sukarno. Ibu sayabukan Tionghoa, tetapi orang Bengkulu keturunan Jerman. Ia kawin sah dengan Bung Karno, sebelum Bung Karno kawin dengan Ibu Fatma.” Haji Abdul Karim, tokoh Muhammadiyah dari Bengkulu, menyangkal keras ucapan Rukmini yang satu ini. “Bengkulu itu cuma berapa ribu orang waktu itu. Kota kecil, pasti semua orang tahu. Itu tidak betul, itu bohong besar,” ujarnya. Abdul Karim adalah keturunan Tionghoa yang sekarang menghabiskan usia tuanya untuk pergerakan Muhammadiyah, dan jadi kawan karib Sukarno ketika yang terakhir ini dibuang Belanda ke Bengkulu dahulu. “Kami selalu makan bersama dan tidur bersama. Jadi tidak mungkin Bung Karno menikah dengan orang Jerman itu. Lagi pula, dia datang ke Bengkulu bersama Ibu Inggit. Mana mungkin Bung Karno menikah, sedang Fatmawati saja waktu itu tidak bisa menikah karena Ibu Inggit masih jadi isteri Bung Karno? Menurut buku biografi Fatmawati Sukarno, Abdul Karim inilah yang menjemput Bung Karno dari Padang, ketika Jepang masuk Sumatera. Dia pula yang dalam buku Fatmawati dipanggil Si Babah, yang melamarkan Fatmawati untuk Sukarno. Sekarang kyai ini tinggal di Tomang, Jakarta, jadi ketua atau bekas ketua Persatuan Iman Tauhid Islam (d/h Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) dan dua tahun lalu menikahkan puterinya dengan putera Kyai Yunan Helmy Nasution. “Setelah ibu saya meninggal, saya dimasukkan klooster,” lanjut Rukmini bercerita. Mengaku belajar opera flan main piano di konservatori di Milan, “baru 2 tahun 10 bulan saya belajar, ayah memerintahkan saya pulang. Ayah minta saya belajar di Indonesia saja. Saya katakan, saya belajar opera untuk tekniknya saja. Tetapi ayah tetap minta supaya saya pulang. KBRI diperintahkan memulangkan saya.” Rukmini kemudian, tuturnya, melarikan diri ke Jerman, ke tempat keluarga ibunya, Keluarga Killner di Koln. “KBRI kelabakan cari saya. Sampai dicari ke Moskow, dikira diculik orang komunis.” Karena Kehlarga Killner miskin, atau karena alasan lain yang tidak disebut Rukmini, dia toh akhirnya pulang kandang juga. Rukmini tidak menjelaskan kapan dia pulang–sebelum Bung Karno wafat –dan bila pula dia keluar negeri lagi. Hanya diceritakannya bahwa Bung Karno marah sekali — ketika Almarhum berada di Wina–mendengar Rukmini menikah dengan Frank Lattimore Kline. “Dia tidak lagi marah. Tapi mengamuk! Sampai Sabur menelepon saya dan menanyakan apa yang saya telah lakukan, sampai ayah marah sekali.” The Night Butterfly Ketika ditanyakan pendapatnya tentang Fatmawati, Rukmini menyatakan sayang sekali kepadanya. “Begitu pula beliau. Mudah-mudahan saya tidak terlambat nanti untuk dapat membantu beliau. Hubungan saya dengan Guntur, Megawati, Sukmawati dan lain-lain cukup baik. Mereka mungkin tidak tahu, tapi mereka adalah adik-adik saya.” Tentang Hartini: “Saya tidak kenal dia, karena saya tidak senang. Saya dengar kejatuhan ayah banyak sangkut-pautnya dengan dia pula. Benar-tidaknya saya tidak tahu karena saya di luar negeri waktu itu.” Tentang Dewi? “Saya benci orang ini. Ayah mengawininya karena rupanya mirip ibu saya. Mengapa sih, dia pakai nama Indonesia segala. Namanya ‘kan Kyoto atau siapa itu. Dia menjelekkan nama Indonesia dan nama ayahku. Orang kaya di Paris menjulukinya the Night Butterfly.” Banyak sekali cerita Rukmini–Kecuali tentang keluarga Tionghoa yang pernah membesarkannya di sebuah gang becek di Jakarta. Tentang karirnya di bidang opera, Rukmini menyatakan bahwa untuk sukses, ekonomi harus kuat dulu. “Karena itu sekarang saya terjun dalam bidang bisnis,” ucapnya. Ia mengumpulkan 5.000 buah piringan hitam sebagai hobi. Juga mengaku suaranya pernah direkam dalam PH. Dua buah: Los Canarios with Four Seasons of Vivaldi dan Opera de Waldo de Los Rios.”Yang belakangan ini sudah terjual 3 juta lebih,” katanya. Masih ada tambahan: “Saya pernah menyanyi di teaternya Tito di Yugoslavia bersama sebuah teater opera dari Italia. Wah, saya dapat bunga sepanjang 3 meter. Jadi nama saya terkenal sedikit di mana-mana bukan karena nama ayah saya lho”…