Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’
Bagi Jenderal Soeharto (1)
In
Historia, Politik on April 20, 2012 at 4:06 PM
JENDERAL
ketiga setelah Jenderal Soeharto dan Jenderal Soemitro, yang paling ‘ditakuti’
di masa Orde Baru dalam konteks pelaksanaan kekuasaan yang represif –khususnya
pada paruh tertentu di tahun 1970-an– tak lain adalah Laksamana Sudomo. Tentu
ada sejumlah jenderal represif lainnya, sepanjang yang bisa dicatat, seperti
misalnya Jenderal LB Murdani, tetapi kurun waktu berperannya berlainan waktu.
Jenderal Benny Murdani berperan pada waktu berbeda, yakni setelah Laksamana
Sudomo berpindah dari posisi pimpinan Kopkamtib dan Menko Polhukam ke panggung
peran sipil, sebagai menteri yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan kemudian Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. LB Murdani, menjadi Panglima ABRI, menggantikan Jenderal Muhammad Jusuf seorang jenderal terkemuka lainnya. Nama Benny Murdani senantiasa dikaitkan dalam hubungan murid dan guru dengan Jenderal Ali Moertopo –jenderal pemikir sekaligus ahli strategi politik dan intelejen– yang banyak berperan dalam pengendalian belakang layar di sekitar Jenderal Soeharto ‘sejak’ Peristiwa 30 September 1965.
bidang ketenagakerjaan dan kemudian Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. LB Murdani, menjadi Panglima ABRI, menggantikan Jenderal Muhammad Jusuf seorang jenderal terkemuka lainnya. Nama Benny Murdani senantiasa dikaitkan dalam hubungan murid dan guru dengan Jenderal Ali Moertopo –jenderal pemikir sekaligus ahli strategi politik dan intelejen– yang banyak berperan dalam pengendalian belakang layar di sekitar Jenderal Soeharto ‘sejak’ Peristiwa 30 September 1965.
JENDERAL SOEHARTO-LAKSAMANA SUDOMO,
SEJAK KOMANDO MANDALA. "Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan
yang seakan selalu tersedia hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala
kepentingan sang pemimpin, dan menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal
Soeharto". (dokumentasi, download)
----------------------
Sewaktu
menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Muhammad
Jusuf, memiliki kualifikasi dan konotasi berbeda di mata publik dengan sejumlah
jenderal di
lingkungan Soeharto, meskipun sama-sama berada dalam suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer. Jenderal Jusuf membuat tentara disegani, bukan dalam pengertian ditakuti dan dibenci, karena ABRI di masa itu berhasil kembali memiliki kedekatan dengan rakyat. Pada saat itu dikenal semboyan ‘Kemanunggalan ABRI dan Rakyat’. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan sebelumnya oleh tiga Letnan Jenderal idealis –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris– dan Jenderal AH Nasution yang pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1966 menjalin kedekatan dengan sejumlah eksponen pergerakan kritis di masyarakat, sehingga antara lain menampilkan pola Partnership ABRI-Mahasiswa menghadapi rezim Soekarno.
lingkungan Soeharto, meskipun sama-sama berada dalam suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer. Jenderal Jusuf membuat tentara disegani, bukan dalam pengertian ditakuti dan dibenci, karena ABRI di masa itu berhasil kembali memiliki kedekatan dengan rakyat. Pada saat itu dikenal semboyan ‘Kemanunggalan ABRI dan Rakyat’. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan sebelumnya oleh tiga Letnan Jenderal idealis –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris– dan Jenderal AH Nasution yang pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1966 menjalin kedekatan dengan sejumlah eksponen pergerakan kritis di masyarakat, sehingga antara lain menampilkan pola Partnership ABRI-Mahasiswa menghadapi rezim Soekarno.
SEPULUH
jenderal itu kini tidak lagi berada di panggung peran di dunia ini. Laksamana
Sudomo adalah yang terbaru waktunya di antara sepuluh jenderal itu berlalu
memenuhi panggilanNya. Meninggal dunia Rabu pagi 18 April 2012 dalam usia 86
tahun. Masa purna tugas di luar kekuasaan relatif dilaluinya dengan tenang.
Meskipun ia misalnya terkenal sebagai tukang tangkap, selama bertugas di
Kopkamtib, mereka yang pernah jadi sasaran tangkapnya tak pernah menggugat
dirinya. Pun tak ada balas dendam. Agaknya ia punya kiat yang jitu, yakni
sesudah mementung ia membelai. Tanda memar hasil pentungannya ia berikan
perawatan untuk meredakan sakit hati. Setidaknya begitu situasi psikologis yang
diciptakannya terhadap para sasaran penindakannya.
Sangat
tak sedikit aktivis gerakan kritis mahasiswa anti Soeharto, yang pernah
di’gebug’nya, di kemudian hari dibantu menyelesaikan study, bahkan dibiayai
sekolah sampai ke luar negeri, untuk memperoleh gelar master atau doctor.
Beberapa unsur kelompok perlawanan, setelah lepas dari tahanan, kerap diberikan
fasilitas dan kesempatan mendapat rezeki melalui proyek-proyek pemerintah atau
perizinan khusus yang memanjakan. Sementara itu, sejumlah tokoh eks perlawanan
lainnya, berselang beberapa waktu kemudian, dibukakan pintu masuk menuju ke
posisi-posisi nyaman di pemerintahan, atau di kursi legislatif. Maka bagaimana
takkan terkikis segala rasa amarah sampai reda, dan tak lagi dibawa sebagai
dendam kesumat sampai mati? Laksamana Sudomo selalu berhasil mengesankan bahwa
tindakan-tindakan kerasnya tak lain dan semata karena tuntutan tugas, sesuai
perintah sang atasan, yakni Jenderal Soeharto.
Delapan
dari sembilan jenderal ini, berakhir hubungannya dengan Jenderal Soeharto
melalui unhappy ending. Tak lain karena, sama-sama tak ‘pandai’ untuk selamanya
‘membawakan’ diri di hadapan sang pemimpin puncak. Beberapa di antara mereka
tersisih karena dianggap bisa menjadi pesaing bagi Soeharto di dalam kekuasaan,
entah kapan di suatu waktu –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris,
lalu Muhammad Jusuf yang sempat menjadi terlalu populer. Dua yang lainnya,
dicurigai oleh lapisan lain di sekitar Soeharto, dan akhirnya tentu oleh
Soeharto sendiri, sebagai memiliki hasrat terpendam untuk menjadi number one
–Soemitro dan Ali Moertopo, yang sehari-hari sebenarnya bersaing satu sama
lain. Satu lainnya lagi, Benny Murdani, lebih dari sekali telah berbuat
‘lancang’ memberi ‘nasehat’ mengenai bagaimana mengendalikan tindak-tanduk
bisnis anggota keluarga Soeharto. Tentang Jenderal AH Nasution, tak perlu
diceritakan lagi, karena ia adalah kisah pembuka dalam persaingan menjadi
pengganti Presiden Soekarno.
Dan
di sinilah keistimewaan Laksamana Sudomo. Paling mampu menjaga kelanggengan
hubungan baik yang panjang dengan Soeharto, sejak sebagai Kolonel AL bertugas
di bawah Mayor Jenderal Soeharto pada Komando Mandala masa Trikora tahun 1962,
sampai 1998 dalam posisi Ketua DPA. Kenapa perwira Angkatan Laut kelahiran
tahun 1926 ini, bisa begitu lama bersama Soeharto, nyaris tanpa gesekan seperti
halnya yang terjadi dalam hubungan Jenderal Soeharto dengan delapan jenderal
Angkatan Darat tersebut? Bila delapan jenderal itu tak bisa selalu
mengendalikan pikiran dan keinginannya sendiri sehingga satu saat bergesekan
dengan pikiran dan keinginan Jenderal Soeharto, maka Sudomo tak sekalipun
tergelincir mengedepankan kepentingan pribadinya melebihi sang atasan.
Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan yang seakan selalu tersedia
hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala kepentingan sang pemimpin, dan
menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal Soeharto.
Army
Swiss knife, adalah semacam pisau serba guna. Alat ini adalah pisau lipat yang
dilengkapi segala macam dengan fungsi segala macam pula. Bisa untuk membuka
botol, membuka kaleng. Punya mata gergaji, spiral pencabut sumbat gabus,
gunting kuku, mata obeng plus minus, tang, pinset, segala macam sampai dengan
sekedar tusuk gigi. Tokoh serial televisi MacGyver menjadikan Swiss Army
sebagai peralatan standar utamanya. Diberi nama Swiss Army karena pada tahun
1880-an tentara Swiss dilengkapi pisau lipat serba guna seperti ini. Nama Swiss
Army dalam bahasa Inggeris kini lazimnya tak lagi dihubungkan dengan pengertian
angkatan bersenjata Swiss, melainkan kepada pisau serba guna ini. Angkatan
bersenjata Swiss sendiri, yang lebih sering disebut dengan menggunakan bahasa
Perancis atau Jerman, Armee Suisse dan atau Schweizer Armee, terdiri dari dua
unsur yakni milisi dan tentara reguler, yang hanya memiliki kekuatan darat dan
udara. Tentara reguler memiliki personel sebesar 5 persen saja dari seluruh
kekuatan. Selain itu dikenal pula penamaan Swiss Guard bagi sekelompok pasukan
kawal pribadi, kawal istana, kawal gedung peradilan yang telah ada sejak abad
15 dan bertugas lintas perbatasan sebagai mercenary ke beberapa negara lain di
Eropah seperti Perancis, Spanyol, Italia sampai abad 19, dan di Vatican hingga
kini.
KETIKA
menjadi Kepala Staf Kopkamtib maupun Wakil Panglima Kopkamtib mendampingi
Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo selain sebagai
wakil yang baik bagi sang panglima, juga menjadi mata Soeharto di lembaga extra
ordinary itu. Ketika terjadi peristiwa 15 Januari 1974, selaku Panglima
Kopkamtib, Jenderal Soemitro sempat ragu kepada orang-orang sekelilingnya di
Kopkamtib, jangan-jangan mereka ada di bawah pengaruh rivalnya, Jenderal Ali
Moertopo. Di sini, Laksamana Sudomo, dianggap Jenderal Soemitro sebagai faktor
tersendiri, yang kecenderungannya juga penting diperhitungkan, sebagaimana
pemaparan yang dipinjam dari buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter”
(Rum Aly, Penerbit Buku Kompas 2004) berikut ini.
“Adalah
menarik menyelipkan satu cerita di balik berita yang diangkat berdasarkan
penuturan Jenderal Soemitro sendiri dalam biografinya” demikian dituliskan.
Cukup aneh bahwa pada tanggal 15 Januari 1974 di Merdeka Barat diselenggarakan
rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin
oleh Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dalam kedudukan sebagai Ketua Wanjakti,
didampingi Jenderal Soemitro selaku Wakil Wanjakti. Betul-betul satu rapat yang
menurut logika, salah waktu dan salah posisi. Hadir antara lain Jenderal
Soerono. Selama sidang Wanjakti berlangsung, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo
bolak balik menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Diantaranya menyebutkan
laporan Brigjen Herman Sarens Soediro bahwa keadaan semakin gawat. Hari itu
sejak pagi mahasiswa bergerak, diikuti oleh pelajar dan massa lainnya.
Pembakaran pun sudah mulai terjadi. Tapi sidang terus berjalan. Laporan
Laksamana Soedomo yang tampak sibuk dan sedikit gelisah pun masuk tak
henti-hentinya. Brigjen Herman Sarens melaporkan lagi, pembakaran di depan
Kedutaan Besar Jepang. Perampokan di Glodok. Rusuh mulai di Senen. Lalu
Jenderal Soemitro minta izin keluar ruangan kepada Jenderal Panggabean, tapi
yang terakhir ini menahan Soemitro. “Saya jadi duduk lagi yang tadinya akan
bangkit”, tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan
meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi”. Belakangan, menurut
Soemitro, bila dipikir kok aneh. “Panggabean berulang kali menahan saya setiap
kali saya akan meninggalkan ruangan itu”. Sebenarnya, masalahnya sederhana.
Apakah para ‘rival’ dalam kekuasaan mungkin kuatir bila Soemitro turun ke
lapangan segera, ia akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario
menurut beberapa laporan intelijen? Atau, justru kehadiran Jenderal Soemitro di
jalanan akan bisa meredakan dan mengendalikan situasi, padahal memang
diinginkan terciptanya suatu situasi ‘tertentu’?
Dari
kutipan pemaparan ini, tergambarkan sikap Laksamana Sudomo yang berbeda dengan
Jenderal Panggabean maupun kelompok Ali Moertopo. Sudomo per saat itu menjadi
wakil yang baik bagi Soemitro.
Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’
Bagi Jenderal Soeharto (2)
In
Historia, Politik on April 25, 2012 at 8:04 AM
PERAN
wakil yang baik dan berguna ini juga ditunjukkan sekali lagi pada hari yang
sama oleh Laksamana Sudomo. Dalam buku memoarnya, Jenderal Soemitro
mengungkapkan bahwa setelah ia kembali ke Markas Kopkamtib seusai menghambat
demonstran dari arah selatan menuju Monas pada 15 Januari itu, ia menerima
laporan bahwa Gubernur DKI Ali Sadikin, seorang Jenderal KKO (marinir), waktu
itu ada di kampus UI. Jenderal Soemitro lalu meminta Ali Sadikin datang dan
langsung menegurnya, “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan
bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan
main sendirian. Ada apa ke kampus?”. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa
‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Laksamana
Sudomo.
JENDERAL SOEHARTO, LAKSAMANA SUDOMO DAN
JENDERAL JUSUF. "Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo
sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf
sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal
Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran
kekuasaannya". (download solopos)
“Saya
pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu.
Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro yang kala itu juga didesas-desuskan
punya hasrat jadi the next president. Sebelum peristiwa 15 Januari 1974, memang
tak jarang sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif
kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk
kepemimpinan nasional. Tapi ini sebenarnya, “lebih banyak untuk main-main saja,
dan agar hubungan jadi enak” dengan Ali Sadikin, kata beberapa tokoh mahasiswa
itu.
PADA
tahun 1970 hingga 1980-an, meskipun tidak seterbuka setelah 1998 hingga kini,
pembicaraan politik tentang the next president tak henti-hentinya ada dalam
kehidupan politik. Bila pada 1966-1967 pilihan siapa presiden berikut setelah
Soekarno hanya dua nama yang muncul, yakni antara Jenderal AH Nasution atau
Jenderal Soeharto, maka pada 1970-1980an itu lebih banyak nama yang muncul.
Tahun 1970an sebelum maupun sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, seperti
dituliskan di atas, setidaknya ada tiga nama, yakni Jenderal Soemitro, Jenderal
Ali Moertopo dan Jenderal Ali Sadikin, disebut-sebut berambisi dan atau bisa
menjadi pengganti Soeharto.
Masa
berikutnya, muncul nama Jenderal Muhammad Jusuf yang menjadi sangat populer
saat menjadi Menhankam/Pangab (1978-1983). Menjelang Sidang Umum MPR 1983 nama
Jenderal M. Jusuf mencuat di tengah publik sebagai calon Wakil Presiden
mendamping Jenderal Soeharto menggantikan Adam Malik. Pada waktu yang sama,
Adam Malik sendiri merasa yakin akan menjadi wakil presiden sekali lagi. Tetapi
ternyata, nyaris di luar dugaan, bukan Adam Malik bukan Jusuf, tapi justru nama
Jenderal Umar Wirahadikusumah yang muncul mengisi posisi itu.
Sebenarnya,
berdasarkan ‘masukan’ yang banyak disampaikan ke Presiden Soeharto, nama
Jenderal Jusuf berada di ‘urutan’ teratas, dan tampaknya sulit bagi Soeharto
untuk begitu saja menolak, meski ia sendiri tidak sreg terhadap jenderal yang
populer itu. Kala itu, ada dua isu utama yang beredar. Pertama, bila Jusuf
naik, ia akan memotong habis sejumlah jenderal yang korup. Beberapa nama
disebutkan. Konon, menurut isu itu, nama sejumlah jenderal korup muncul dalam
pembicaraan Jenderal Jusuf dengan Presiden Amerika ketika ia berkunjung ke
negara adidaya itu. Saat Jenderal Jusuf menyampaikan niat Indonesia mengajukan
permintaan pinjaman untuk membeli persenjataan militer, Presiden AS menjawab,
jumlah uang yang dikorup beberapa jenderal Indonesia, lebih besar dari harga
peralatan yang diminta Jusuf. Sehingga, sebenarnya Indonesia tak perlu
mengajukan pinjaman. Presiden AS menurut isu tersebut memberikan setumpuk
berkas laporan intelejen mengenai korupsi para jenderal itu. Isu pertama ini
mendapat pengolahan, terutama oleh para jenderal yang ketakutan karena namanya
ada dalam dokumen, lalu menggelindingkannya sebagai isu kedua, bercampur
analisa insinuasi. Bahwa dengan menjadi Wakil Presiden pada langkah berikutnya tak
bisa dihindari, Jenderal Jusuf akan menjadi Presiden. Dan bila Jusuf menjadi
Presiden, jangankan para jenderal itu, keluarga Cendana pun takkan lolos dari
penindakan terkait KKN. Itu semua diyakini telah menjadi sandungan bagi Jusuf
untuk bisa mendampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden 1983-1988.
KHUSUS
mengenai Jenderal Jusuf dan posisi number one, sebenarnya ada kisah tersendiri,
yang akan memperkuat analisa bahwa pada dasarnya Soeharto memang tidak sreg
kepada Jusuf. Sebab, jangankan untuk posisi nomor satu, untuk posisi nomor dua pun takkan dikehendaki
Soeharto bagi Jusuf.
Selama
menjabat sebagai Menhankam/Pangab, Jenderal Muhammad Jusuf, tanpa kenal lelah
melakukan perjalanan keliling Indonesia, menemui para prajurit sampai
pelosok-pelosok. Dalam waktu sama, sang jenderal juga menemui berbagai kalangan
rakyat, untuk memperkuat apa yang disebutnya sebagai ‘Kemanunggalan ABRI dengan
Rakyat’. Dalam buku ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta
Pustaka, 2006), Atmadji Sumarkidjo memaparkan bahwa walupun tak bisa
dibuktikan, dengan perjalanan-perjalanannya itu “mulai banyak laporan yang
masuk ke telinga Presiden bahwa Menhankam/Pangab sedang berusaha mencari
dukungan masyarakat untuk suatu tujuan atau ambisi politik tertentu”. Tentu, yang
dimaksud tak lain adalah daya upaya menuju kursi number one.
Tetapi
bukankah pada waktu yang sama, Laksamana Sudomo yang merangkap jabatan Wakil
Panglima ABRI selain sebagai Panglima Kopkamtib di tahun 1978-1983 itu, juga
melakukan banyak kegiatan yang membangun popularitas? Antara lain melakukan
gebrakan-gebrakan Opstib (Operasi Tertib) yang umumnya menyapu hanya berbagai
korupsi kecil-kecilan tetapi mengganggu karena dilakukan banyak orang –semisal
pungutan liar di jalan oleh polisi lalu lintas dan petugas DLAJR atau biaya
siluman di pintu-pintu pengurusan dokumen di pelabuhan. Menurut Atmadji,
“karena Sudomo seorang perwira TNI-AL dan adalah salah seorang kepercayaan
Presiden, maka kepopulerannya tidak diperhitungkan secara politis”. Memang bisa
dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap
Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah
bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan
posisi penting di lingkaran kekuasaannya. Pengangkatan Jenderal Jusuf sendiri
sebagai Menhankam/Pangab adalah lanjutan pola penempatan orang luar Jawa di
posisi tersebut, setelah Jenderal Maraden Panggabean yang juga berasal dari
luar Jawa. Orang luar Jawa diperhitungkan tak punya ‘kekuatan’ secara
sosiologis per saat itu untuk bisa menuju kursi nomor satu. Bahwa di belakang
hari seorang Jawa, Jenderal LB Moerdani bisa naik ke jabatan strategis itu, tak
lain karena ia menyandang label minoritas lainnya, yakni non Islam. Sejumlah
analis sosial-politik barat menyebut strategi ini sebagai pola Raja Mataram.
Menarik
dalam kaitan ini, untuk meminjam uraian Atmadji Sumarkidjo lebih lanjut,
berikut ini.
“Sebagaimana
banyak intrik politik di Indonesia, sumber informasi dan bisik-bisik itu tidak
pernah diketahui dengan jelas, tetapi celakanya, justru masuk langsung ke
Presiden sendiri”. Apalagi perlakuan media massa terhadap Jenderal Jusuf
sebagai ‘orang yang paling laku dijual’, jelas membuat iri sejumlah pihak lain.
“Sampai
pada suatu malam, Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah pejabat tinggi di
kediamannya di Jalan Cendana. Pertemuan tersebut tujuannya adalah untuk
membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah kenegaraan”. Hadir antara lain,
Mensesneg Sudharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen LB Moerdani,
Mendagri Amirmahmud dan Jenderal Jusuf. Adalah Mendagri yang berbicara pertama
kali, mengungkapkan suara-suara yang mengatakan bahwa dengan semakin populernya
Jenderal Jusuf selaku Menhankam/Pangab, maka diduga ada amibisi-ambisi tertentu
Jenderal Jusuf yang perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan”.
Tiba-tiba
Jenderal Jusuf menggebrak meja dengan tangannya, demikian dipaparkan. Lalu,
dengan suara keras ia berkata. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta
untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang
Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa
itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”.
Semua
orang yang ada di ruangan itu terdiam karena terkejut, untuk beberapa lama.
Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto
dalam kondisi apa pun. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian memecah
kekakuan suasana setelah itu. Dengan nada dalam, ia berkata, “Sudah, sudah!
Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri sampai sekian saja.
Nanti pada waktu yang tepat kita akan panggil lagi”. Pertemuan di Cendana itu
berlangsung hanya beberapa menit karenanya. Semua keluar ruangan, tinggal
Jenderal Jusuf dan Jenderal Soeharto berdua, melakukan suatu percakapan
ringkas. “Jadi, pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja”, ujar
Soeharto kemudian, seraya mengantar Jenderal Jusuf ke luar ruangan.
Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’
Bagi Jenderal Soeharto (3)
SETELAH
peristiwa gebrak meja di Cendana itu, tercipta jarak secara psikologis antara
Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Soeharto. Diceritakan bahwa sejak itu, Jusuf
tak pernah ‘mau’ hadir dalam rapat kabinet yang dipimpin Soeharto. Dalam
beberapa rapat di Bina Graha, M. Jusuf meminta Panglima Kopkamtib/Wakil Pangab
Laksamana Sudomo hadir mewakili dirinya. Beberapa persoalan yang dianggap perlu
dikomunikasikan, pun dilakukan melalui Sudomo. Agaknya berkomunikasi melalui
Sudomo, dianggap lebih ‘nyaman’ baik oleh Jusuf maupun Soeharto. Hanya satu dua
kali keduanya bertemu. Sebelumnya bila Jenderal Jusuf akan pergi berkeliling ia
selalu terlebih dahulu memerlukan menghadap kepada Presiden Soeharto, dan di
tempat tujuan, ia selalu menyampaikan salam Presiden Soeharto. Tapi setelah
gebrak meja, menurut Atmadji Sumarkidjo, kedua hal itu tak pernah lagi
dilakukan Jenderal Jusuf.
LAKSAMANA
SOEDOMO. “Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara
dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing,
sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal
Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak
ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi
pemenang pertarungan”. (foto download Antara)
Tak
lama setelah itu, masih pada bulan pertama tahun 1983, Jenderal Soeharto selaku
Panglima Tertinggi ABRI, memberitahu Jenderal Jusuf bahwa tempatnya selaku
Panglima ABRI akan diserahkan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani pada bulan
Maret. Jenderal Soeharto masih menawarkan jabatan Menteri Hankam –karena kedua
jabatan yang tadinya dirangkap Jusuf akan dipisahkan, untuk mencegah lahirnya
kembali tokoh yang powerful seperti Jusuf– tapi Jenderal Jusuf menolak dengan
mengucapkan “terima kasih”. Jabatan Menteri Pertahanan Keamanan akhirnya
diberikan kepada Jenderal Poniman (1983-1988). Nanti, usai menjabat Panglima
ABRI, Jenderal LB Moerdani, diberi posisi sebagai Menteri Hankam (1988-1993).
M. Jusuf sendiri di tahun 1983 itu terpilih sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Sedang Laksamana Sudomo mendapat posisi Menteri Tenaga Kerja
(1983-1988) sebelum akhirnya menjadi Menko Polkam (1988-1993). Sesudah itu,
Laksamana Sudomo masih panjang kebersamaannya dengan Jenderal Soeharto dalam
kekuasaan, karena pada 1993-1998 ia dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai
Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) –suatu jabatan yang tidak lagi sehebat
jabatan-jabatan sebelumnya, tetapi tetap terjaga kedekatannya dengan sang
penguasa puncak itu. Soeharto, seperti diketahui, berakhir kiprahnya di
panggung kekuasaan pada bulan Mei 1998.
Sejauh
yang bisa dicatat, tak ada tokoh lain, yang begitu panjang menjalani masa
kepercayaan dari Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, selain Sudomo. Tidak
Jenderal Ali Moertopo, tidak Jenderal Soemitro, tidak pula Jenderal Jusuf
maupun Jenderal LB Moerdani. Empat jenderal ini, tersisih karena ikutan
memiliki ambisi atau setidaknya dicurigai punya keinginan dan atau berpotensi
menjadi number one. Sedang Laksamana Sudomo, tak satu kali pun pernah diketahui
mengidap obsesi number one. Barangkali, bagi Soeharto yang tercatat dari Sudomo
hanyalah keserbagunaannya, sejak masih bersama sebagai Kolonel AL di Komando
Mandala masa Trikora, sebagai faktor pengimbang di Kopkamtib sampai sekedar
sebagai penasehat di DPA. KENDATI
senantiasa menjadi salah satu bilah pedang kekuasaan Soeharto yang berfungsi
membasmi setiap perlawanan, Laksamana Sudomo ibarat orang yang punya ‘pekasih’,
sehingga mereka yang menjadi sasaran penindakannya maksimal hanya bisa bersikap
‘benci tapi rindu’ terhadap dirinya. Bagi tokoh Malari Hariman Siregar
misalnya, kendati Laksamana Sudomo
adalah orang yang menangkap dan menjebloskan dirinya ke sel tahanan, ia
tak bisa bersikap konfrontatif saat berhadapan dengan Sudomo setelahnya. Atas
‘kebaikan’ Sudomo, Hariman bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran
UI, sebagaimana sang Laksamana juga memfasilitasi sejumlah aktivis gerakan
kritis lainnya menyelesaikan pendidikan, termasuk mendapat beasiswa master atau
doktor sampai ke mancanegara. Maka ketika pada suatu talk show di sebuah
televisi swasta tahun lalu, tokoh Malari ini bertemu Sudomo di acara tersebut,
terlihat betapa Sudomo bisa mengendalikan pembicaraan. Menjawab pertanyaan
presenter, Laksamana purnawirawan ini dengan ringan mengatakan “bukan dia yang
saya anggap sasaran penting waktu itu, tapi siapa yang menyuruh-nyuruh dan
mengatur di belakangnya”. Adalah menarik bahwa saat itu Hariman yang biasanya
bicara ceplas ceplos tidak merasa perlu menjawab dengan sengit sang Laksamana.
Barangkali, korban-korban Sudomo yang lain seperti Dr Sjahrir, Dr Dorodjatun
Kuntjoro Jakti maupun Dr Rizal Ramli, tak akan galak-galak bila berhadapan
dengan Sudomo pasca peristiwa. ‘Pekasih’ lain yang digunakan Laksamana Sudomo
kepada para mantan pembangkang, seperti dipaparkan di depan, adalah
fasilitas-fasilitas kesempatan bisnis dari proyek-proyek pemerintah. Mereka
yang berhasil terbujuk menerima uluran tangan seperti itu, tentu saja tak ingin
diketahui telah bobol pertahanan idealismenya. Sehingga ini menjadi semacam
troefkard bagi Laksamana Sudomo, termasuk untuk mencegah tabungan dendam
kesumat terhadap dirinya bisa sampai di’cair’kan di hari tua. Untuk yang satu
ini, ia lebih ahli dari the boss. DI LUAR
itu, ada lagi kelebihan lain Laksamana Sudomo selama menjalankan
tugasnya. Ia bisa saja suatu ketika menerima dengan ramah orang-orang yang
berkunjung ke kantornya di Kopkamtib, tetapi diam-diam ia memerintahkan aparat
di bawah koordinasinya untuk kemudian menangkap mereka. Ini misalnya dialami
sejumlah tokoh mahasiswa gerakan kritis 1973-1974 dari Bandung.
Beberapa
hari setelah terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, Panglima Kodam Siliwangi
Mayjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari menjabat, mengadakan pertemuan
dengan pers untuk memberitahukan pembreidelan Mingguan Mahasiswa Indonesia,
Bandung. Dalam perdebatan dengan Pemimpin Redaksi media generasi muda itu, Rum
Aly, Panglima Siliwangi sedikit melunak di akhir pertemuan dan mengakui
“Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Dijawab, “Kalau sama,
bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Waktu itu, pernyataan Jenderal
Aang Kunaefi tentang ‘perintah dari atas’ sepertinya tak berarti apa-apa,
kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi menurut
buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’, belakangan terungkap betapa
sebenarnya Aang Kunaefi pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah
berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak
permintaan Laksamana Sudomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa
Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa
lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar.
Padahal
sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh
mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo–
yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Laksamana Sudomo
untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung memang tajam dan
kritis namun murni, dan Sudomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia
justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan. Adanya
perintah Laksamana Sudomo agar Panglima menangkap beberapa tokoh mahasiswa
Bandung ini, diketahui para mahasiswa karena kebetulan mereka berada di depan
Aang Kunaefi saat ia ini menerima telepon Sudomo. Tapi banyak aktivis gerakan
kritis lainnya, tak pernah tahu bahwa Sudomo lah pemberi perintah penangkapan
atas diri mereka. Waktu itu, perlu dicatat bahwa mahasiswa Bandung telah
membatalkan ikut kegiatan aksi mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 di
Jakarta, karena mencium adanya rencana aksi provokasi. Baik itu dari lingkaran
Jenderal Ali Moertopo maupun dari kubu Jenderal Soemitro, untuk merubah sifat
gerakan mahasiswa hari itu menjadi anarkis melalui pengerahan massa ‘liar’ yang
tak jelas.
Maka
menjadi menarik untuk mengikuti kisah di balik cerita pertemuan mahasiswa
dengan Laksamana Sudomo itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu
para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Sudomo di markas
Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa
Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat
melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’
Kopkamtib tersebut. Sudomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”.
Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali
Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan
para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil
menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang
kedua terjadi hanya beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali
Moertopo ke ruangan Sudomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit
justru ‘mendahului’ Sudomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya
menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di
ruang kerja Laksamana Sudomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan
tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan
berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari
1974 itu. Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara
dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing,
sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal
Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak
ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi
pemenang pertarungan. TERLIHAT betapa unik keberadaan Laksamana Sudomo sang
Swiss Army Knife. Atau, bila dianalogikan dengan sebuah timnas sepakbola, ia
adalah pemain pelapis yang bermain di lini kedua. Berkali-kali mengejutkan
dengan gerakan coming front behind. Dan ia tak pernah ditarik keluar dari
timnas masa Soeharto sampai berakhirnya kompetisi. Adakah pemain satu tipe
dengannya dalam timnas kekuasaan saat ini? http://socio-politica.com/
Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974
PERISTIWA
15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari
Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk
dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana,
jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian
penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan
kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar tahun 1966-1967 saat
gerakan mahasiswa menjadi salah faktor penentu dalam menjatuhkan kekuasaan
otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan yang pernah bekerja
untuk Harian Sinar Harapan dan berbagai media lainnya, menyebut bahwa akronim
Malari itu diasosiasikan oleh penguasa dengan penyakit Malaria.
Tetapi
kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa
pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura
(Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15
Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan
upacara peringatannya. Tak ada tahun yang lewat sejak Hariman cs keluar dari
tempat penahanan, tanpa acara peringatan. Namun sesungguhnya yang tak kalah
penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara
‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai
dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan
kemanusiaan 1965-1966.
Buku
‘Hariman & Malari’ –dengan editor Amir Husin Daulay dan Imran
Hasibuan– yang menempatkan figur Hariman
Siregar sebagai tokoh sentral dalam Peristiwa 15 Januari 1974, agaknya tak
begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya
sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Mungkin di sini, Malari dianggap
akronim bagi Lima Belas Januari. Peristiwa itu sendiri disebutkan sebagai
“tonggak penting dalam gerakan perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia
terhadap kekuasaan rezim Orde Baru dan belitan modal asing dalam strategi
pembangunan”. Tema anti modal asing ini lalu ditonjolkan sebagai sub-judul
“Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing”.
Titik
pertemuan berbagai peristiwa politik. Sebenarnya, aksi-aksi mahasiswa yang
berpuncak pada tanggal 15 Januari 1974 tersebut –setidaknya dalam versi
mahasiswa Jakarta– diakui atau tidak, tujuan utamanya adalah menjatuhkan
kekuasaan Soeharto. Tema anti modal asing, khususnya anti modal Jepang,
hanyalah jembatan isu dan kebetulan pula PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke
Indonesia pada 14 Januari 1974. Lebih dari itu, Peristiwa 15 Januari 1974,
tidak sepenuhnya merupakan puncak dari sekedar suatu gerakan mahasiswa,
melainkan pertemuan dari berbagai peristiwa politik pada satu titik. Mahasiswa
ada dalam garis peran, mulai dari ‘penyambutan’ Tanaka pada 14 Januari sampai
longmarch dari kampus Universitas Indonesia ke kampus Universitas Trisakti dan
kembali lagi ke kampus UI. Peran dan keterlibatan mahasiswa sebagai satu
kelompok berakhir sampai di situ. Saat kerusuhan dan aksi anarkis mulai
berkobar di Pecenongan sampai Senen-Kramat Raya, sejak 15 Januari sore, peranan
sepenuhnya beralih ke tangan massa bayaran dan massa marginal dalam suatu
bingkai skenario penciptaan situasi. Rancangan peristiwanya melibatkan sejumlah
jenderal maupun tokoh non-militer dengan kepentingan tertentu dalam konteks
pertarungan kekuasaan.
SAAT
kekuasaan rezim militer di bawah Jenderal Soeharto menjadi kokoh setelah
kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, makin mengerucut pula
‘pembelahan’ berdasarkan kepentingan khas yang berwujud faksi-faksi di tubuh
rezim. Mulanya, terciptanya faksi, terutama terkait pada soal porsi dalam
posisi kekuasaan dan porsi benefit ekonomi. Pada tahun 1973, keberadaan
faksi-faksi lalu juga terkait dengan soal siapa tokoh yang akan menjadi
pengganti Soeharto di posisi nomor satu bila saatnya tiba.
Untuk
soal yang disebut terakhir ini, setidaknya tercatat kelompok Jenderal Ali
Moertopo di satu pihak dan kelompok Jenderal Soemitro pada pihak lain. Dalam
kelompok Ali Moertopo bergabung para Aspri Presiden dan sejumlah jenderal non
Mabes ABRI, selain sejumlah kaum sipil dengan kualitas analisa, taktik dan
perencanaan yang handal (CSIS). Sementara dalam kelompok Jenderal Soemitro yang
menjabat sebagai Wapangab/Pangkopkamtib bergabung jenderal-jenderal Mabes ABRI.
Namun bisa dicatat bahwa dalam tubuh jenderal-jenderal Mabes ABRI sering pula
terdapat perbedaan-perbedaan aroma kepentingan yang membuat kelompoktersebut
kurang solid, misalnya antara Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean
dengan Jenderal Soemitro. Masih pula bisa dicatat keberadaan Jenderal Soerono
yang juga diketahui punya keinginan menjadi pengganti Jenderal Soeharto pada
suatu waktu.
Di
luar dua kelompok yang disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat beberapa
kelompok lain, seperti kelompok teknokrat maupun kelompok-kelompok yang mampu
membangun kedekatan tersendiri secara langsung dengan Jenderal Soeharto. Pada
saatnya, mereka ini bermanfaat ketika Soeharto harus ‘menghadapi’ resultante
dari pertarungan antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal
Soemitro akhir 1973 dan awal 1974. (Lebih jauh tentang pertarungan antara
Jenderal Ali Moertopo dengan Jenderal Soemitro sejak pertengahan 1973 sampai
awal Januari 1974, baca, Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi
Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? /Bagian 2 dan 3, di socio-politica.com). Melekatkan
label anarki. Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali
Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di
belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di
Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada
Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden
Soeharto. Tuduhan terhadap Jenderal Soemitro ini menguat, karena salah satu
topik kritik mahasiswa adalah dominasi modal asing di Indonesia, dengan
menempatkan modal Jepang sebagai sasaran utama. Ini dianggap serangan langsung,
karena selama ini salah satu Aspri Presiden yang merupakan anggota kelompok Ali
Moertopo, yakni Jenderal Soedjono Hoemardani dikenal sebagai perpanjangan
tangan kepentingan pemodal Jepang di Indonesia. Dengan
tangkas dan cerdik, kelompok Ali Moertopo mengerahkan massa bayaran untuk
meletuskan aksi anarkis pada sore hari 15 Januari 1974, saat barisan demonstran
mahasiswa sedang berbaris kembali dari kampus Trisakti ke kampus Universitas
Indonesia. Salah satu titik tempat meletupkan aksi anarkis adalah Jalan
Pecenongan dan kemudian daerah sekitar Proyek Senen. Dengan cepat aksi anarkis
ini menjalar ke berbagai penjuru ibukota, saat kelompok-kelompok masyarakat
marginal ibukota turut serta melakukan aksi perusakan, terutama terhadap
mobil-mobil buatan Jepang. Aksi penjarahan juga tak terhindarkan karena kala
itu himpitan beban ekonomi sangat terasa bagi kalangan akar rumput di Jakarta.
Bahkan sebagian mahasiswa malah ikut terpancing dan terlarut dalam aksi yang
dianggap heroik padahal anarkis, misalnya di sekitar Jalan Thamrin-Sudirman. Pada
hari yang sama, sebenarnya kelompok Jenderal Soemitro juga mempersiapkan
pengerahan massa. Massa ini direncanakan akan bergerak ‘membantu’, bila massa
mahasiswa mendekati wilayah Istana di Jalan Merdeka Utara. Beberapa orang bukan
mahasiswa –yang sebagian diidentifikasi sebagai orang-orang suruhan Jenderal
Soemitro– diketahui mencoba mendorong mahasiswa maju hingga Jalan Merdeka
Utara. Seandainya mahasiswa maju sampai ke depan Istana, kemungkinan besar
takkan bisa dihindari terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan pengawal
Presiden. Namun, para pimpinan mahasiswa pada momen itu memilih untuk berbelok
dari Jalan Merdeka Barat ke Jalan Museum menuju Kampus Trisakti. Ketika
massa mahasiswa melewati Tanah Abang III, hampir saja kantor Golkar dan
kantor-kantor kelompok Ali Moertopo yang ada di jalan tersebut diserbu
mahasiswa. Bila ini dilakukan, maka tuduhan bahwa mahasiswa Jakarta ada dalam
pengaruh Jenderal Soemitro untuk menjalankan makar, akan menguat dan seakan
mendapat pembuktian.Berhasilnya
massa yang dikerahkan kelompok Ali Moertopo menciptakan gerakan anarki,
menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk dituduh melakukan anarki dan
gerakan makar. Dan karena berhasil disodorkan anggapan bahwa Jenderal Soemitro
berada di belakang gerakan mahasiswa, maka ia pun dengan mudah dijadikan
tertuduh. Dan akhirnya memang Jenderal Soemitro tak bisa ‘meloloskan’ diri,
lalu memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan militernya yang
sangat strategis, terutama selaku Panglima Kopkamtib.
Tidak
menjadi catatan sejarah. Banyak pihak yang menganalisis, seandainya Jenderal
Soemitro lebih cerdik dan punya sedikit keberanian, selaku Panglima Kopkamtib
ia bisa melakukan penangkapan terhadap Ali Moertopo dan kawan-kawan dengan
tuduhan mengerahkan massa liar untuk menciptakan kekacauan. Tapi itu tidak
dilakukan. Mungkin ia gamang. Ada anggapan, bahwa Jenderal Soemitro ragu karena
memperhitungkan faktor Laksamana Soedomo selaku Kepala Staf Kopkamtib yang
belum jelas perpihakannya. Nyatanya, Laksamana Soedomo adalah orang yang
dikenal sangat patuh kepada Soeharto (Baca, Laksamana Soedomo, ‘Swiss Army
Knife’ Bagi Jenderal Soeharto’, di socio-politica.com).
Namun,
terlepas dari itu semua, ada satu analisa yang bersumber dari kalangan
teknokrat, bahwa seandainya mahasiswa lebih hati-hati dalam menjalankan
aksi-aksinya, dan lebih mampu mengamankan internal gerakan-gerakannya sehingga
aksi mereka pada 15 Januari 1974 tak bisa diperosokkan sebagai peristiwa
anarkis, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Per Desember 1973, Presiden
Soeharto, sebenarnya secara signifikan telah kehilangan dukungan di kalangan
ABRI maupun di kalangan teknokrat. Begitu pula, dukungan Golkar sudah jauh
merosot saat itu. Tetapi analisa adalah analisa. Bila tak terjadi, ia hanyalah
suatu pengandaian, tidak menjadi catatan sejarah. Faktanya, dengan Peristiwa 15
Januari 1974, Soeharto secara bertahap berhasil mengeliminasi satu per satu
orang-orang yang ber’mimpi’ menjadi presiden di masanya.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).