Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto

=========================================================
Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)
In Historia, Politik on April 20, 2012 at 4:06 PM

JENDERAL ketiga setelah Jenderal Soeharto dan Jenderal Soemitro, yang paling ‘ditakuti’ di masa Orde Baru dalam konteks pelaksanaan kekuasaan yang represif –khususnya pada paruh tertentu di tahun 1970-an– tak lain adalah Laksamana Sudomo. Tentu ada sejumlah jenderal represif lainnya, sepanjang yang bisa dicatat, seperti misalnya Jenderal LB Murdani, tetapi kurun waktu berperannya berlainan waktu. Jenderal Benny Murdani berperan pada waktu berbeda, yakni setelah Laksamana Sudomo berpindah dari posisi pimpinan Kopkamtib dan Menko Polhukam ke panggung peran sipil, sebagai menteri yang menangani
bidang ketenagakerjaan dan kemudian Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) RI. LB Murdani, menjadi Panglima ABRI, menggantikan Jenderal Muhammad Jusuf seorang jenderal terkemuka lainnya. Nama Benny Murdani senantiasa dikaitkan dalam hubungan murid dan guru dengan Jenderal Ali Moertopo –jenderal pemikir sekaligus ahli strategi politik dan intelejen– yang banyak berperan dalam pengendalian belakang layar di sekitar Jenderal Soeharto ‘sejak’ Peristiwa 30 September 1965.

JENDERAL SOEHARTO-LAKSAMANA SUDOMO, SEJAK KOMANDO MANDALA. "Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan yang seakan selalu tersedia hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala kepentingan sang pemimpin, dan menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal Soeharto". (dokumentasi, download)
----------------------
Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Muhammad Jusuf, memiliki kualifikasi dan konotasi berbeda di mata publik dengan sejumlah jenderal di
lingkungan Soeharto, meskipun sama-sama berada dalam suatu rezim kekuasaan yang didominasi militer. Jenderal Jusuf membuat tentara disegani, bukan dalam pengertian ditakuti dan dibenci, karena ABRI di masa itu berhasil kembali memiliki kedekatan dengan rakyat. Pada saat itu dikenal semboyan ‘Kemanunggalan ABRI dan Rakyat’. Sedikit mirip dengan apa yang dilakukan sebelumnya oleh tiga Letnan Jenderal idealis –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris– dan Jenderal AH Nasution yang pada masa pergolakan politik sekitar tahun 1966 menjalin kedekatan dengan sejumlah eksponen pergerakan kritis di masyarakat, sehingga antara lain menampilkan pola Partnership ABRI-Mahasiswa menghadapi rezim Soekarno.

SEPULUH jenderal itu kini tidak lagi berada di panggung peran di dunia ini. Laksamana Sudomo adalah yang terbaru waktunya di antara sepuluh jenderal itu berlalu memenuhi panggilanNya. Meninggal dunia Rabu pagi 18 April 2012 dalam usia 86 tahun. Masa purna tugas di luar kekuasaan relatif dilaluinya dengan tenang. Meskipun ia misalnya terkenal sebagai tukang tangkap, selama bertugas di Kopkamtib, mereka yang pernah jadi sasaran tangkapnya tak pernah menggugat dirinya. Pun tak ada balas dendam. Agaknya ia punya kiat yang jitu, yakni sesudah mementung ia membelai. Tanda memar hasil pentungannya ia berikan perawatan untuk meredakan sakit hati. Setidaknya begitu situasi psikologis yang diciptakannya terhadap para sasaran penindakannya.

Sangat tak sedikit aktivis gerakan kritis mahasiswa anti Soeharto, yang pernah di’gebug’nya, di kemudian hari dibantu menyelesaikan study, bahkan dibiayai sekolah sampai ke luar negeri, untuk memperoleh gelar master atau doctor. Beberapa unsur kelompok perlawanan, setelah lepas dari tahanan, kerap diberikan fasilitas dan kesempatan mendapat rezeki melalui proyek-proyek pemerintah atau perizinan khusus yang memanjakan. Sementara itu, sejumlah tokoh eks perlawanan lainnya, berselang beberapa waktu kemudian, dibukakan pintu masuk menuju ke posisi-posisi nyaman di pemerintahan, atau di kursi legislatif. Maka bagaimana takkan terkikis segala rasa amarah sampai reda, dan tak lagi dibawa sebagai dendam kesumat sampai mati? Laksamana Sudomo selalu berhasil mengesankan bahwa tindakan-tindakan kerasnya tak lain dan semata karena tuntutan tugas, sesuai perintah sang atasan, yakni Jenderal Soeharto.

Delapan dari sembilan jenderal ini, berakhir hubungannya dengan Jenderal Soeharto melalui unhappy ending. Tak lain karena, sama-sama tak ‘pandai’ untuk selamanya ‘membawakan’ diri di hadapan sang pemimpin puncak. Beberapa di antara mereka tersisih karena dianggap bisa menjadi pesaing bagi Soeharto di dalam kekuasaan, entah kapan di suatu waktu –Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris, lalu Muhammad Jusuf yang sempat menjadi terlalu populer. Dua yang lainnya, dicurigai oleh lapisan lain di sekitar Soeharto, dan akhirnya tentu oleh Soeharto sendiri, sebagai memiliki hasrat terpendam untuk menjadi number one –Soemitro dan Ali Moertopo, yang sehari-hari sebenarnya bersaing satu sama lain. Satu lainnya lagi, Benny Murdani, lebih dari sekali telah berbuat ‘lancang’ memberi ‘nasehat’ mengenai bagaimana mengendalikan tindak-tanduk bisnis anggota keluarga Soeharto. Tentang Jenderal AH Nasution, tak perlu diceritakan lagi, karena ia adalah kisah pembuka dalam persaingan menjadi pengganti Presiden Soekarno.

Dan di sinilah keistimewaan Laksamana Sudomo. Paling mampu menjaga kelanggengan hubungan baik yang panjang dengan Soeharto, sejak sebagai Kolonel AL bertugas di bawah Mayor Jenderal Soeharto pada Komando Mandala masa Trikora tahun 1962, sampai 1998 dalam posisi Ketua DPA. Kenapa perwira Angkatan Laut kelahiran tahun 1926 ini, bisa begitu lama bersama Soeharto, nyaris tanpa gesekan seperti halnya yang terjadi dalam hubungan Jenderal Soeharto dengan delapan jenderal Angkatan Darat tersebut? Bila delapan jenderal itu tak bisa selalu mengendalikan pikiran dan keinginannya sendiri sehingga satu saat bergesekan dengan pikiran dan keinginan Jenderal Soeharto, maka Sudomo tak sekalipun tergelincir mengedepankan kepentingan pribadinya melebihi sang atasan. Laksamana Sudomo menempatkan diri sebagai bawahan yang seakan selalu tersedia hanya bagi sang atasan. Dan berguna bagi segala kepentingan sang pemimpin, dan menjadi ibarat Army Swiss knife bagi Jenderal Soeharto.

Army Swiss knife, adalah semacam pisau serba guna. Alat ini adalah pisau lipat yang dilengkapi segala macam dengan fungsi segala macam pula. Bisa untuk membuka botol, membuka kaleng. Punya mata gergaji, spiral pencabut sumbat gabus, gunting kuku, mata obeng plus minus, tang, pinset, segala macam sampai dengan sekedar tusuk gigi. Tokoh serial televisi MacGyver menjadikan Swiss Army sebagai peralatan standar utamanya. Diberi nama Swiss Army karena pada tahun 1880-an tentara Swiss dilengkapi pisau lipat serba guna seperti ini. Nama Swiss Army dalam bahasa Inggeris kini lazimnya tak lagi dihubungkan dengan pengertian angkatan bersenjata Swiss, melainkan kepada pisau serba guna ini. Angkatan bersenjata Swiss sendiri, yang lebih sering disebut dengan menggunakan bahasa Perancis atau Jerman, Armee Suisse dan atau Schweizer Armee, terdiri dari dua unsur yakni milisi dan tentara reguler, yang hanya memiliki kekuatan darat dan udara. Tentara reguler memiliki personel sebesar 5 persen saja dari seluruh kekuatan. Selain itu dikenal pula penamaan Swiss Guard bagi sekelompok pasukan kawal pribadi, kawal istana, kawal gedung peradilan yang telah ada sejak abad 15 dan bertugas lintas perbatasan sebagai mercenary ke beberapa negara lain di Eropah seperti Perancis, Spanyol, Italia sampai abad 19, dan di Vatican hingga kini.
KETIKA menjadi Kepala Staf Kopkamtib maupun Wakil Panglima Kopkamtib mendampingi Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, Laksamana Sudomo selain sebagai wakil yang baik bagi sang panglima, juga menjadi mata Soeharto di lembaga extra ordinary itu. Ketika terjadi peristiwa 15 Januari 1974, selaku Panglima Kopkamtib, Jenderal Soemitro sempat ragu kepada orang-orang sekelilingnya di Kopkamtib, jangan-jangan mereka ada di bawah pengaruh rivalnya, Jenderal Ali Moertopo. Di sini, Laksamana Sudomo, dianggap Jenderal Soemitro sebagai faktor tersendiri, yang kecenderungannya juga penting diperhitungkan, sebagaimana pemaparan yang dipinjam dari buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter” (Rum Aly, Penerbit Buku Kompas 2004) berikut ini.
“Adalah menarik menyelipkan satu cerita di balik berita yang diangkat berdasarkan penuturan Jenderal Soemitro sendiri dalam biografinya” demikian dituliskan. Cukup aneh bahwa pada tanggal 15 Januari 1974 di Merdeka Barat diselenggarakan rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin oleh Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean  dalam kedudukan sebagai Ketua Wanjakti, didampingi Jenderal Soemitro selaku Wakil Wanjakti. Betul-betul satu rapat yang menurut logika, salah waktu dan salah posisi. Hadir antara lain Jenderal Soerono. Selama sidang Wanjakti berlangsung, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo bolak balik menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Diantaranya menyebutkan laporan Brigjen Herman Sarens Soediro bahwa keadaan semakin gawat. Hari itu sejak pagi mahasiswa bergerak, diikuti oleh pelajar dan massa lainnya. Pembakaran pun sudah mulai terjadi. Tapi sidang terus berjalan. Laporan Laksamana Soedomo yang tampak sibuk dan sedikit gelisah pun masuk tak henti-hentinya. Brigjen Herman Sarens melaporkan lagi, pembakaran di depan Kedutaan Besar Jepang. Perampokan di Glodok. Rusuh mulai di Senen. Lalu Jenderal Soemitro minta izin keluar ruangan kepada Jenderal Panggabean, tapi yang terakhir ini menahan Soemitro. “Saya jadi duduk lagi yang tadinya akan bangkit”, tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi”. Belakangan, menurut Soemitro, bila dipikir kok aneh. “Panggabean berulang kali menahan saya setiap kali saya akan meninggalkan ruangan itu”. Sebenarnya, masalahnya sederhana. Apakah para ‘rival’ dalam kekuasaan mungkin kuatir bila Soemitro turun ke lapangan segera, ia akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario menurut beberapa laporan intelijen? Atau, justru kehadiran Jenderal Soemitro di jalanan akan bisa meredakan dan mengendalikan situasi, padahal memang diinginkan terciptanya suatu situasi ‘tertentu’?
Dari kutipan pemaparan ini, tergambarkan sikap Laksamana Sudomo yang berbeda dengan Jenderal Panggabean maupun kelompok Ali Moertopo. Sudomo per saat itu menjadi wakil yang baik bagi Soemitro.


Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (2)
In Historia, Politik on April 25, 2012 at 8:04 AM
PERAN wakil yang baik dan berguna ini juga ditunjukkan sekali lagi pada hari yang sama oleh Laksamana Sudomo. Dalam buku memoarnya, Jenderal Soemitro mengungkapkan bahwa setelah ia kembali ke Markas Kopkamtib seusai menghambat demonstran dari arah selatan menuju Monas pada 15 Januari itu, ia menerima laporan bahwa Gubernur DKI Ali Sadikin, seorang Jenderal KKO (marinir), waktu itu ada di kampus UI. Jenderal Soemitro lalu meminta Ali Sadikin datang dan langsung menegurnya, “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus?”. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Laksamana Sudomo.

JENDERAL SOEHARTO, LAKSAMANA SUDOMO DAN JENDERAL JUSUF. "Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran kekuasaannya". (download solopos)

“Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro yang kala itu juga didesas-desuskan punya hasrat jadi the next president. Sebelum peristiwa 15 Januari 1974, memang tak jarang sejumlah tokoh mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. Tapi ini sebenarnya, “lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak” dengan Ali Sadikin, kata beberapa tokoh mahasiswa itu.

PADA tahun 1970 hingga 1980-an, meskipun tidak seterbuka setelah 1998 hingga kini, pembicaraan politik tentang the next president tak henti-hentinya ada dalam kehidupan politik. Bila pada 1966-1967 pilihan siapa presiden berikut setelah Soekarno hanya dua nama yang muncul, yakni antara Jenderal AH Nasution atau Jenderal Soeharto, maka pada 1970-1980an itu lebih banyak nama yang muncul. Tahun 1970an sebelum maupun sesudah Peristiwa 15 Januari 1974, seperti dituliskan di atas, setidaknya ada tiga nama, yakni Jenderal Soemitro, Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Ali Sadikin, disebut-sebut berambisi dan atau bisa menjadi pengganti Soeharto.

Masa berikutnya, muncul nama Jenderal Muhammad Jusuf yang menjadi sangat populer saat menjadi Menhankam/Pangab (1978-1983). Menjelang Sidang Umum MPR 1983 nama Jenderal M. Jusuf mencuat di tengah publik sebagai calon Wakil Presiden mendamping Jenderal Soeharto menggantikan Adam Malik. Pada waktu yang sama, Adam Malik sendiri merasa yakin akan menjadi wakil presiden sekali lagi. Tetapi ternyata, nyaris di luar dugaan, bukan Adam Malik bukan Jusuf, tapi justru nama Jenderal Umar Wirahadikusumah yang muncul mengisi posisi itu.

Sebenarnya, berdasarkan ‘masukan’ yang banyak disampaikan ke Presiden Soeharto, nama Jenderal Jusuf berada di ‘urutan’ teratas, dan tampaknya sulit bagi Soeharto untuk begitu saja menolak, meski ia sendiri tidak sreg terhadap jenderal yang populer itu. Kala itu, ada dua isu utama yang beredar. Pertama, bila Jusuf naik, ia akan memotong habis sejumlah jenderal yang korup. Beberapa nama disebutkan. Konon, menurut isu itu, nama sejumlah jenderal korup muncul dalam pembicaraan Jenderal Jusuf dengan Presiden Amerika ketika ia berkunjung ke negara adidaya itu. Saat Jenderal Jusuf menyampaikan niat Indonesia mengajukan permintaan pinjaman untuk membeli persenjataan militer, Presiden AS menjawab, jumlah uang yang dikorup beberapa jenderal Indonesia, lebih besar dari harga peralatan yang diminta Jusuf. Sehingga, sebenarnya Indonesia tak perlu mengajukan pinjaman. Presiden AS menurut isu tersebut memberikan setumpuk berkas laporan intelejen mengenai korupsi para jenderal itu. Isu pertama ini mendapat pengolahan, terutama oleh para jenderal yang ketakutan karena namanya ada dalam dokumen, lalu menggelindingkannya sebagai isu kedua, bercampur analisa insinuasi. Bahwa dengan menjadi Wakil Presiden pada langkah berikutnya tak bisa dihindari, Jenderal Jusuf akan menjadi Presiden. Dan bila Jusuf menjadi Presiden, jangankan para jenderal itu, keluarga Cendana pun takkan lolos dari penindakan terkait KKN. Itu semua diyakini telah menjadi sandungan bagi Jusuf untuk bisa mendampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden 1983-1988.

KHUSUS mengenai Jenderal Jusuf dan posisi number one, sebenarnya ada kisah tersendiri, yang akan memperkuat analisa bahwa pada dasarnya Soeharto memang tidak sreg kepada Jusuf. Sebab, jangankan untuk posisi nomor satu,  untuk posisi nomor dua pun takkan dikehendaki Soeharto bagi Jusuf.

Selama menjabat sebagai Menhankam/Pangab, Jenderal Muhammad Jusuf, tanpa kenal lelah melakukan perjalanan keliling Indonesia, menemui para prajurit sampai pelosok-pelosok. Dalam waktu sama, sang jenderal juga menemui berbagai kalangan rakyat, untuk memperkuat apa yang disebutnya sebagai ‘Kemanunggalan ABRI dengan Rakyat’. Dalam buku ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta Pustaka, 2006), Atmadji Sumarkidjo memaparkan bahwa walupun tak bisa dibuktikan, dengan perjalanan-perjalanannya itu “mulai banyak laporan yang masuk ke telinga Presiden bahwa Menhankam/Pangab sedang berusaha mencari dukungan masyarakat untuk suatu tujuan atau ambisi politik tertentu”. Tentu, yang dimaksud tak lain adalah daya upaya menuju kursi number one.

Tetapi bukankah pada waktu yang sama, Laksamana Sudomo yang merangkap jabatan Wakil Panglima ABRI selain sebagai Panglima Kopkamtib di tahun 1978-1983 itu, juga melakukan banyak kegiatan yang membangun popularitas? Antara lain melakukan gebrakan-gebrakan Opstib (Operasi Tertib) yang umumnya menyapu hanya berbagai korupsi kecil-kecilan tetapi mengganggu karena dilakukan banyak orang –semisal pungutan liar di jalan oleh polisi lalu lintas dan petugas DLAJR atau biaya siluman di pintu-pintu pengurusan dokumen di pelabuhan. Menurut Atmadji, “karena Sudomo seorang perwira TNI-AL dan adalah salah seorang kepercayaan Presiden, maka kepopulerannya tidak diperhitungkan secara politis”. Memang bisa dicatat, bahwa penempatan Laksamana Sudomo sebagai Wakil Pangab merangkap Panglima Kopkamtib, mendampingi Jenderal Jusuf sebagai Menhankam/Pangab adalah bagian dari pengamanan berlapis Jenderal Soeharto dalam setiap penempatan posisi penting di lingkaran kekuasaannya. Pengangkatan Jenderal Jusuf sendiri sebagai Menhankam/Pangab adalah lanjutan pola penempatan orang luar Jawa di posisi tersebut, setelah Jenderal Maraden Panggabean yang juga berasal dari luar Jawa. Orang luar Jawa diperhitungkan tak punya ‘kekuatan’ secara sosiologis per saat itu untuk bisa menuju kursi nomor satu. Bahwa di belakang hari seorang Jawa, Jenderal LB Moerdani bisa naik ke jabatan strategis itu, tak lain karena ia menyandang label minoritas lainnya, yakni non Islam. Sejumlah analis sosial-politik barat menyebut strategi ini sebagai pola Raja Mataram.

Menarik dalam kaitan ini, untuk meminjam uraian Atmadji Sumarkidjo lebih lanjut, berikut ini.

“Sebagaimana banyak intrik politik di Indonesia, sumber informasi dan bisik-bisik itu tidak pernah diketahui dengan jelas, tetapi celakanya, justru masuk langsung ke Presiden sendiri”. Apalagi perlakuan media massa terhadap Jenderal Jusuf sebagai ‘orang yang paling laku dijual’, jelas membuat iri sejumlah pihak lain.

“Sampai pada suatu malam, Presiden Soeharto mengumpulkan sejumlah pejabat tinggi di kediamannya di Jalan Cendana. Pertemuan tersebut tujuannya adalah untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah kenegaraan”. Hadir antara lain, Mensesneg Sudharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen LB Moerdani, Mendagri Amirmahmud dan Jenderal Jusuf. Adalah Mendagri yang berbicara pertama kali, mengungkapkan suara-suara yang mengatakan bahwa dengan semakin populernya Jenderal Jusuf selaku Menhankam/Pangab, maka diduga ada amibisi-ambisi tertentu Jenderal Jusuf yang perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan”.
Tiba-tiba Jenderal Jusuf menggebrak meja dengan tangannya, demikian dipaparkan. Lalu, dengan suara keras ia berkata. “Bohong! Itu tidak benar semua! Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena perintah bapak Presiden. Saya ini orang Bugis. Jadi saya sendiri tidak tahu arti kata kemanunggalan yang bahasa Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa!”.
Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam karena terkejut, untuk beberapa lama. Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden Soeharto dalam kondisi apa pun. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian memecah kekakuan suasana setelah itu. Dengan nada dalam, ia berkata, “Sudah, sudah! Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri sampai sekian saja. Nanti pada waktu yang tepat kita akan panggil lagi”. Pertemuan di Cendana itu berlangsung hanya beberapa menit karenanya. Semua keluar ruangan, tinggal Jenderal Jusuf dan Jenderal Soeharto berdua, melakukan suatu percakapan ringkas. “Jadi, pak Jusuf, kita bicarakan hal-hal itu lain kali saja”, ujar Soeharto kemudian, seraya mengantar Jenderal Jusuf ke luar ruangan.


Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (3)
SETELAH peristiwa gebrak meja di Cendana itu, tercipta jarak secara psikologis antara Jenderal M. Jusuf dengan Jenderal Soeharto. Diceritakan bahwa sejak itu, Jusuf tak pernah ‘mau’ hadir dalam rapat kabinet yang dipimpin Soeharto. Dalam beberapa rapat di Bina Graha, M. Jusuf meminta Panglima Kopkamtib/Wakil Pangab Laksamana Sudomo hadir mewakili dirinya. Beberapa persoalan yang dianggap perlu dikomunikasikan, pun dilakukan melalui Sudomo. Agaknya berkomunikasi melalui Sudomo, dianggap lebih ‘nyaman’ baik oleh Jusuf maupun Soeharto. Hanya satu dua kali keduanya bertemu. Sebelumnya bila Jenderal Jusuf akan pergi berkeliling ia selalu terlebih dahulu memerlukan menghadap kepada Presiden Soeharto, dan di tempat tujuan, ia selalu menyampaikan salam Presiden Soeharto. Tapi setelah gebrak meja, menurut Atmadji Sumarkidjo, kedua hal itu tak pernah lagi dilakukan Jenderal Jusuf. 
LAKSAMANA SOEDOMO. “Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan”. (foto download Antara)
Tak lama setelah itu, masih pada bulan pertama tahun 1983, Jenderal Soeharto selaku Panglima Tertinggi ABRI, memberitahu Jenderal Jusuf bahwa tempatnya selaku Panglima ABRI akan diserahkan kepada Letnan Jenderal LB Moerdani pada bulan Maret. Jenderal Soeharto masih menawarkan jabatan Menteri Hankam –karena kedua jabatan yang tadinya dirangkap Jusuf akan dipisahkan, untuk mencegah lahirnya kembali tokoh yang powerful seperti Jusuf– tapi Jenderal Jusuf menolak dengan mengucapkan “terima kasih”. Jabatan Menteri Pertahanan Keamanan akhirnya diberikan kepada Jenderal Poniman (1983-1988). Nanti, usai menjabat Panglima ABRI, Jenderal LB Moerdani, diberi posisi sebagai Menteri Hankam (1988-1993). M. Jusuf sendiri di tahun 1983 itu terpilih sebagai Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Sedang Laksamana Sudomo mendapat posisi Menteri Tenaga Kerja (1983-1988) sebelum akhirnya menjadi Menko Polkam (1988-1993). Sesudah itu, Laksamana Sudomo masih panjang kebersamaannya dengan Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, karena pada 1993-1998 ia dijadikan oleh Presiden Soeharto sebagai Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) –suatu jabatan yang tidak lagi sehebat jabatan-jabatan sebelumnya, tetapi tetap terjaga kedekatannya dengan sang penguasa puncak itu. Soeharto, seperti diketahui, berakhir kiprahnya di panggung kekuasaan pada bulan Mei 1998.
Sejauh yang bisa dicatat, tak ada tokoh lain, yang begitu panjang menjalani masa kepercayaan dari Jenderal Soeharto dalam kekuasaan, selain Sudomo. Tidak Jenderal Ali Moertopo, tidak Jenderal Soemitro, tidak pula Jenderal Jusuf maupun Jenderal LB Moerdani. Empat jenderal ini, tersisih karena ikutan memiliki ambisi atau setidaknya dicurigai punya keinginan dan atau berpotensi menjadi number one. Sedang Laksamana Sudomo, tak satu kali pun pernah diketahui mengidap obsesi number one. Barangkali, bagi Soeharto yang tercatat dari Sudomo hanyalah keserbagunaannya, sejak masih bersama sebagai Kolonel AL di Komando Mandala masa Trikora, sebagai faktor pengimbang di Kopkamtib sampai sekedar sebagai penasehat di DPA. KENDATI senantiasa menjadi salah satu bilah pedang kekuasaan Soeharto yang berfungsi membasmi setiap perlawanan, Laksamana Sudomo ibarat orang yang punya ‘pekasih’, sehingga mereka yang menjadi sasaran penindakannya maksimal hanya bisa bersikap ‘benci tapi rindu’ terhadap dirinya. Bagi tokoh Malari Hariman Siregar misalnya, kendati Laksamana Sudomo  adalah orang yang menangkap dan menjebloskan dirinya ke sel tahanan, ia tak bisa bersikap konfrontatif saat berhadapan dengan Sudomo setelahnya. Atas ‘kebaikan’ Sudomo, Hariman bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran UI, sebagaimana sang Laksamana juga memfasilitasi sejumlah aktivis gerakan kritis lainnya menyelesaikan pendidikan, termasuk mendapat beasiswa master atau doktor sampai ke mancanegara. Maka ketika pada suatu talk show di sebuah televisi swasta tahun lalu, tokoh Malari ini bertemu Sudomo di acara tersebut, terlihat betapa Sudomo bisa mengendalikan pembicaraan. Menjawab pertanyaan presenter, Laksamana purnawirawan ini dengan ringan mengatakan “bukan dia yang saya anggap sasaran penting waktu itu, tapi siapa yang menyuruh-nyuruh dan mengatur di belakangnya”. Adalah menarik bahwa saat itu Hariman yang biasanya bicara ceplas ceplos tidak merasa perlu menjawab dengan sengit sang Laksamana. Barangkali, korban-korban Sudomo yang lain seperti Dr Sjahrir, Dr Dorodjatun Kuntjoro Jakti maupun Dr Rizal Ramli, tak akan galak-galak bila berhadapan dengan Sudomo pasca peristiwa. ‘Pekasih’ lain yang digunakan Laksamana Sudomo kepada para mantan pembangkang, seperti dipaparkan di depan, adalah fasilitas-fasilitas kesempatan bisnis dari proyek-proyek pemerintah. Mereka yang berhasil terbujuk menerima uluran tangan seperti itu, tentu saja tak ingin diketahui telah bobol pertahanan idealismenya. Sehingga ini menjadi semacam troefkard bagi Laksamana Sudomo, termasuk untuk mencegah tabungan dendam kesumat terhadap dirinya bisa sampai di’cair’kan di hari tua. Untuk yang satu ini, ia lebih ahli dari the boss. DI LUAR  itu, ada lagi kelebihan lain Laksamana Sudomo selama menjalankan tugasnya. Ia bisa saja suatu ketika menerima dengan ramah orang-orang yang berkunjung ke kantornya di Kopkamtib, tetapi diam-diam ia memerintahkan aparat di bawah koordinasinya untuk kemudian menangkap mereka. Ini misalnya dialami sejumlah tokoh mahasiswa gerakan kritis 1973-1974 dari Bandung. 
Beberapa hari setelah terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari menjabat, mengadakan pertemuan dengan pers untuk memberitahukan pembreidelan Mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung. Dalam perdebatan dengan Pemimpin Redaksi media generasi muda itu, Rum Aly, Panglima Siliwangi sedikit melunak di akhir pertemuan dan mengakui “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Dijawab, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi tentang ‘perintah dari atas’ sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi menurut buku ‘Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter’, belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Sudomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar.
Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Laksamana Sudomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung memang tajam dan kritis namun murni, dan Sudomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan. Adanya perintah Laksamana Sudomo agar Panglima menangkap beberapa tokoh mahasiswa Bandung ini, diketahui para mahasiswa karena kebetulan mereka berada di depan Aang Kunaefi saat ia ini menerima telepon Sudomo. Tapi banyak aktivis gerakan kritis lainnya, tak pernah tahu bahwa Sudomo lah pemberi perintah penangkapan atas diri mereka. Waktu itu, perlu dicatat bahwa mahasiswa Bandung telah membatalkan ikut kegiatan aksi mahasiswa pada tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta, karena mencium adanya rencana aksi provokasi. Baik itu dari lingkaran Jenderal Ali Moertopo maupun dari kubu Jenderal Soemitro, untuk merubah sifat gerakan mahasiswa hari itu menjadi anarkis melalui pengerahan massa ‘liar’ yang tak jelas. 
Maka menjadi menarik untuk mengikuti kisah di balik cerita pertemuan mahasiswa dengan Laksamana Sudomo itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Sudomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Sudomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi hanya beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Sudomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Sudomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Sudomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu. Adalah jelas bahwa waktu itu Laksamana Sudomo sedang berada di antara dua tokoh dari kubu yang berseteru untuk kepentingannya masing-masing, sementara ia sendiri berada di situ dalam posisi untuk kepentingan Jenderal Soeharto. Meskipun, bisa pula dianalisa bahwa bagaimanapun, sedikit atau banyak ia masih punya posisi cadangan bila kemudian Jenderal Soemitro yang menjadi pemenang pertarungan. TERLIHAT betapa unik keberadaan Laksamana Sudomo sang Swiss Army Knife. Atau, bila dianalogikan dengan sebuah timnas sepakbola, ia adalah pemain pelapis yang bermain di lini kedua. Berkali-kali mengejutkan dengan gerakan coming front behind. Dan ia tak pernah ditarik keluar dari timnas masa Soeharto sampai berakhirnya kompetisi. Adakah pemain satu tipe dengannya dalam timnas kekuasaan saat ini? http://socio-politica.com/

Cerita Latar Peristiwa 15 Januari 1974
PERISTIWA 15 Januari 1974 oleh kalangan penguasa selalu disebut Malari –akronim dari Malapetaka Lima Belas Januari– yang bertujuan untuk menekankan konotasi buruk dari peristiwa tersebut. Kata malapetaka yang bermakna sebagai suatu bencana, jauh dari pengertian perjuangan berdasarkan idealisme. Dengan demikian penggunaan kata malapetaka mematahkan citra idealis yang selalu dilekatkan kepada gerakan-gerakan mahasiswa, setidaknya sejak sekitar tahun 1966-1967 saat gerakan mahasiswa menjadi salah faktor penentu dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Soekarno. Sementara itu, Jopie Lasut, wartawan yang pernah bekerja untuk Harian Sinar Harapan dan berbagai media lainnya, menyebut bahwa akronim Malari itu diasosiasikan oleh penguasa dengan penyakit Malaria.
Tetapi kenapa peristiwa di awal tahun 1974 itu masih lebih diingat daripada peristiwa pencetusan Tritura 10 Januari 1966? Selain karena ‘usia’ pencetusan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) lebih ‘tua’ 8 tahun, juga karena para pelaku Peristiwa 15 Januari 1974 –Hariman Siregar dan kawan-kawan– memang lebih rajin melakukan upacara peringatannya. Tak ada tahun yang lewat sejak Hariman cs keluar dari tempat penahanan, tanpa acara peringatan. Namun sesungguhnya yang tak kalah penting adalah sejak masa reformasi, Soeharto lebih banyak dihujat, sementara ‘kesalahan’ Soekarno terkait Peristiwa 30 September 1965 cenderung coba mulai dilupakan dan serenta dengan itu fokus sorotan beralih ke isu kejahatan kemanusiaan 1965-1966.

Buku ‘Hariman & Malari’ –dengan editor Amir Husin Daulay dan Imran Hasibuan–  yang menempatkan figur Hariman Siregar sebagai tokoh sentral dalam Peristiwa 15 Januari 1974, agaknya tak begitu mempersoalkan konotasi buruk akronim Malari, dan tetap memilihnya sebagai penyebutan bagi peristiwa tersebut. Mungkin di sini, Malari dianggap akronim bagi Lima Belas Januari. Peristiwa itu sendiri disebutkan sebagai “tonggak penting dalam gerakan perlawanan mahasiswa dan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan rezim Orde Baru dan belitan modal asing dalam strategi pembangunan”. Tema anti modal asing ini lalu ditonjolkan sebagai sub-judul “Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing”.

Titik pertemuan berbagai peristiwa politik. Sebenarnya, aksi-aksi mahasiswa yang berpuncak pada tanggal 15 Januari 1974 tersebut –setidaknya dalam versi mahasiswa Jakarta– diakui atau tidak, tujuan utamanya adalah menjatuhkan kekuasaan Soeharto. Tema anti modal asing, khususnya anti modal Jepang, hanyalah jembatan isu dan kebetulan pula PM Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Indonesia pada 14 Januari 1974. Lebih dari itu, Peristiwa 15 Januari 1974, tidak sepenuhnya merupakan puncak dari sekedar suatu gerakan mahasiswa, melainkan pertemuan dari berbagai peristiwa politik pada satu titik. Mahasiswa ada dalam garis peran, mulai dari ‘penyambutan’ Tanaka pada 14 Januari sampai longmarch dari kampus Universitas Indonesia ke kampus Universitas Trisakti dan kembali lagi ke kampus UI. Peran dan keterlibatan mahasiswa sebagai satu kelompok berakhir sampai di situ. Saat kerusuhan dan aksi anarkis mulai berkobar di Pecenongan sampai Senen-Kramat Raya, sejak 15 Januari sore, peranan sepenuhnya beralih ke tangan massa bayaran dan massa marginal dalam suatu bingkai skenario penciptaan situasi. Rancangan peristiwanya melibatkan sejumlah jenderal maupun tokoh non-militer dengan kepentingan tertentu dalam konteks pertarungan kekuasaan.

SAAT kekuasaan rezim militer di bawah Jenderal Soeharto menjadi kokoh setelah kemenangan besar Golkar dalam Pemilihan Umum 1971, makin mengerucut pula ‘pembelahan’ berdasarkan kepentingan khas yang berwujud faksi-faksi di tubuh rezim. Mulanya, terciptanya faksi, terutama terkait pada soal porsi dalam posisi kekuasaan dan porsi benefit ekonomi. Pada tahun 1973, keberadaan faksi-faksi lalu juga terkait dengan soal siapa tokoh yang akan menjadi pengganti Soeharto di posisi nomor satu bila saatnya tiba.

Untuk soal yang disebut terakhir ini, setidaknya tercatat kelompok Jenderal Ali Moertopo di satu pihak dan kelompok Jenderal Soemitro pada pihak lain. Dalam kelompok Ali Moertopo bergabung para Aspri Presiden dan sejumlah jenderal non Mabes ABRI, selain sejumlah kaum sipil dengan kualitas analisa, taktik dan perencanaan yang handal (CSIS). Sementara dalam kelompok Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Wapangab/Pangkopkamtib bergabung jenderal-jenderal Mabes ABRI. Namun bisa dicatat bahwa dalam tubuh jenderal-jenderal Mabes ABRI sering pula terdapat perbedaan-perbedaan aroma kepentingan yang membuat kelompoktersebut kurang solid, misalnya antara Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro. Masih pula bisa dicatat keberadaan Jenderal Soerono yang juga diketahui punya keinginan menjadi pengganti Jenderal Soeharto pada suatu waktu. 
Di luar dua kelompok yang disebutkan di atas, tentu saja masih terdapat beberapa kelompok lain, seperti kelompok teknokrat maupun kelompok-kelompok yang mampu membangun kedekatan tersendiri secara langsung dengan Jenderal Soeharto. Pada saatnya, mereka ini bermanfaat ketika Soeharto harus ‘menghadapi’ resultante dari pertarungan antara kelompok Jenderal Ali Moertopo dengan kelompok Jenderal Soemitro akhir 1973 dan awal 1974. (Lebih jauh tentang pertarungan antara Jenderal Ali Moertopo dengan Jenderal Soemitro sejak pertengahan 1973 sampai awal Januari 1974, baca, Mencari Presiden Indonesia 2014: Kembali ke Situasi Pilihan ‘The Bad Among The Worst’? /Bagian 2 dan 3, di socio-politica.com). Melekatkan label anarki. Dalam rangkaian menuju Peristiwa 15 Januari 1974, kelompok Ali Moertopo berhasil menyudutkan Jenderal Soemitro dengan tuduhan berada di belakang berbagai aksi mahasiswa di berbagai kota perguruan tinggi, terutama di Jakarta, yang menjadikan Presiden Soeharto sebagai sasaran kritik. Pada Desember 1973, demonstrasi telah menggelinding langsung ke arah Presiden Soeharto. Tuduhan terhadap Jenderal Soemitro ini menguat, karena salah satu topik kritik mahasiswa adalah dominasi modal asing di Indonesia, dengan menempatkan modal Jepang sebagai sasaran utama. Ini dianggap serangan langsung, karena selama ini salah satu Aspri Presiden yang merupakan anggota kelompok Ali Moertopo, yakni Jenderal Soedjono Hoemardani dikenal sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemodal Jepang di Indonesia. Dengan tangkas dan cerdik, kelompok Ali Moertopo mengerahkan massa bayaran untuk meletuskan aksi anarkis pada sore hari 15 Januari 1974, saat barisan demonstran mahasiswa sedang berbaris kembali dari kampus Trisakti ke kampus Universitas Indonesia. Salah satu titik tempat meletupkan aksi anarkis adalah Jalan Pecenongan dan kemudian daerah sekitar Proyek Senen. Dengan cepat aksi anarkis ini menjalar ke berbagai penjuru ibukota, saat kelompok-kelompok masyarakat marginal ibukota turut serta melakukan aksi perusakan, terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Aksi penjarahan juga tak terhindarkan karena kala itu himpitan beban ekonomi sangat terasa bagi kalangan akar rumput di Jakarta. Bahkan sebagian mahasiswa malah ikut terpancing dan terlarut dalam aksi yang dianggap heroik padahal anarkis, misalnya di sekitar Jalan Thamrin-Sudirman. Pada hari yang sama, sebenarnya kelompok Jenderal Soemitro juga mempersiapkan pengerahan massa. Massa ini direncanakan akan bergerak ‘membantu’, bila massa mahasiswa mendekati wilayah Istana di Jalan Merdeka Utara. Beberapa orang bukan mahasiswa –yang sebagian diidentifikasi sebagai orang-orang suruhan Jenderal Soemitro– diketahui mencoba mendorong mahasiswa maju hingga Jalan Merdeka Utara. Seandainya mahasiswa maju sampai ke depan Istana, kemungkinan besar takkan bisa dihindari terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan pengawal Presiden. Namun, para pimpinan mahasiswa pada momen itu memilih untuk berbelok dari Jalan Merdeka Barat ke Jalan Museum menuju Kampus Trisakti. Ketika massa mahasiswa melewati Tanah Abang III, hampir saja kantor Golkar dan kantor-kantor kelompok Ali Moertopo yang ada di jalan tersebut diserbu mahasiswa. Bila ini dilakukan, maka tuduhan bahwa mahasiswa Jakarta ada dalam pengaruh Jenderal Soemitro untuk menjalankan makar, akan menguat dan seakan mendapat pembuktian.Berhasilnya massa yang dikerahkan kelompok Ali Moertopo menciptakan gerakan anarki, menempatkan mahasiswa sebagai sasaran empuk untuk dituduh melakukan anarki dan gerakan makar. Dan karena berhasil disodorkan anggapan bahwa Jenderal Soemitro berada di belakang gerakan mahasiswa, maka ia pun dengan mudah dijadikan tertuduh. Dan akhirnya memang Jenderal Soemitro tak bisa ‘meloloskan’ diri, lalu memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan militernya yang sangat strategis, terutama selaku Panglima Kopkamtib. 
Tidak menjadi catatan sejarah. Banyak pihak yang menganalisis, seandainya Jenderal Soemitro lebih cerdik dan punya sedikit keberanian, selaku Panglima Kopkamtib ia bisa melakukan penangkapan terhadap Ali Moertopo dan kawan-kawan dengan tuduhan mengerahkan massa liar untuk menciptakan kekacauan. Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin ia gamang. Ada anggapan, bahwa Jenderal Soemitro ragu karena memperhitungkan faktor Laksamana Soedomo selaku Kepala Staf Kopkamtib yang belum jelas perpihakannya. Nyatanya, Laksamana Soedomo adalah orang yang dikenal sangat patuh kepada Soeharto (Baca, Laksamana Soedomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto’, di socio-politica.com). 
Namun, terlepas dari itu semua, ada satu analisa yang bersumber dari kalangan teknokrat, bahwa seandainya mahasiswa lebih hati-hati dalam menjalankan aksi-aksinya, dan lebih mampu mengamankan internal gerakan-gerakannya sehingga aksi mereka pada 15 Januari 1974 tak bisa diperosokkan sebagai peristiwa anarkis, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Per Desember 1973, Presiden Soeharto, sebenarnya secara signifikan telah kehilangan dukungan di kalangan ABRI maupun di kalangan teknokrat. Begitu pula, dukungan Golkar sudah jauh merosot saat itu. Tetapi analisa adalah analisa. Bila tak terjadi, ia hanyalah suatu pengandaian, tidak menjadi catatan sejarah. Faktanya, dengan Peristiwa 15 Januari 1974, Soeharto secara bertahap berhasil mengeliminasi satu per satu orang-orang yang ber’mimpi’ menjadi presiden di masanya.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com).