Tempo
08 Juni 1974. KERANGKA pesawat TNI-AU Grumman Albatros bernomor PB. 511 yang
jatuh Minggu siang tanggal 26 Mei yang lalu di Sulawesi Tengah sudah ditemukan
dari udara oleh Team SARAURI yang menggunakan pesawat Hercules sejak Selaa
petang tanggal 28 Mei.
Tapi
sampai hari Sabtu pekan lalu, team SAR-AURI yang dipimpin oleh kapten udara Don
Haryono dengan bantuan satuan-satuan ABRI dan penduduk setempat, masih juga
belum berhasil mencapai tempat kecelakaan pesawat yang malang itu. Di samping
karena sulitnya medan yang harus dilalui dengan berjalan kaki melewati
tebing-tebing curam sepanjang kl. 15 Km dari desa terdekat Baleroa ke tempat
kecelakaan, juga disebabkan oleh hujan terus-menerus turun. Menggeser ke
Selatan Bahkan Asisten II KASAU Marsekal Pertama Sudarman yang tiba di Palu
hari Kamis tanggal 30 Mei, tidak kurang dari dua kali sehari bersama gubernur
Tambunan menjenguk reruntuhan pesawat Albatros itu dari udara dengan
menggunakan pesawat VIP Helikopter Kepresidenan, masih juga belum berhasil
menyimpulkan dalam kotak-kotak fikirannya untuk menemukan cara yang lebih baik
mencapai tempat kecelakaan tersebut guna membenahi sebelas mayat yang sudah
semakin membusuk itu. Tapi Jumat malam tanggal 31 Mei di ruangan kantor
gubernur, Sudarman memberikan briefing pengarahan di depan Team SAR AURI yang
didatangkan dari Bandung dengan mengerahkan empat buah pesawat, dan team-team
yang telah dibentuk sendiri oleh Tambunan. Pembantu TEMPO di Palu menghubungi
beberapa pejabat dan Perwira TNI-AU di sana, melaporkan bahwa pesawat SAR-AURI
ini take off dari Balikpapan hari Minggu siang tanggal 26 Mei jam 11.00 Witeng
menuju Manado untuk tugas khusus dalam rangka kunjungan Presiden Soeharto ke
Sulawesi Utara bulan lalu. Pesawat dikemudikan oleh mayor penerbang Rachmat
dengan 3 awak lainnya, masing-masing Co-Pilot mayor penerbang Y. Sitorus mayor
navigasi Y. Tangkilisan dan Lettu Tpt Suherman serta 7 penumpang terdiri dari
Peltu Sumarsono, Pelda Dodo, Pelda Harman, Serda Larahiman, kapten kesehatan
dr. Munir, kapten Kastolani dan Hengky (putera Peltu Sumarsono). Memasuki wilayah
Sulawesi Tengah, pesawat tersebut menghadapi cuaca buruk. Sebuah pesawat Bouraq
yang sedang dalam penerbangan yang sama di atas ketinggian 7.000 kaki telah
memperingatkan kepada Pilot May. penerbang Rachmat untuk tidak terlalu berani
dalam keadaan cuaca yang demikian buruk, terbang rendah dengan ketinggian kl.
2.000 kaki. Kontak terakhir antara kedua pesawat tersebut, tepat pada jam 12.30
yang diperkirakan pada saat itu berada kl. 60 Km di sebelah Utara kota Palu.
Konon, akibat kencangnya angin yang bertiup, pesawat yang dikemudikan oleh May
penerbang Rachmat itu telah menggeser ke Selatan dari jalur penerbangan yang
dilaluinya, sehingga arah pesawat menjadi bertentangan dengan tebing gunung
Sidole yang tingginya 5.859 kaki dari permukaan laut. Dalam kabut yang tebal
pesawat diduga menabrak lereng gunung Sidole yang terjal itu. Tubuh pesawat
hancur samasekali, dan diduga kesebelas orang penumpangnya tewas seketika itu
juga. Si Manoppo Kejang Kowilhan III Sulawesi di Ujung Pandang, yang menerima
informasi tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi atas pesawat
Albatros tersebut dari pilot Bouraq, meneruskan informasi ini. kepada Karem
132/Tadulako Palu, di samping usaha menghubungi Inco di Pamolaah (Sulawesi
Selatan agar pesawat Brittain Norman miliknya dapat membuntuti pesawat SAR AURI
itu. Tapi karena cuaca yang sangat buruk hari itu, tidak berani mengambil
resiko dan kembali ke pangkalan tanpa hasil. Gubernur Tambunan yang menerima
keterangan ini melalui Dan Rem 132/Tadulako, telah mendapat kepastian bahwa
pesawat SAR AURI tersebut hingga sore hari Minggu itu, belum juga nongol di
lapangan terbang Manado, segera mengadakan pertemuan kilat dengan para anggota
Muspida Sulteng dan bupati kepala daerah Donggala bersama pembantu-pembantunya,
dan sekaligus membentuk team-team pencari. Hari itu juga team pertama yang
dipimpin oleh mayor M. Pangemanan BA dan May. Pol. Soenarto bergerak daerah
kebun kopi jurusan Parigi. Team kedua dipimpin oleh mayor Siregar dan mayor
Soenarso bergerak di sekitar desa Toaya, team ketiga yang dipimpin oleh mayor
Kaihatu bergerak dari bendungan Simou dan team keempat yang dipimpin oleh
kapten Sulyana bergerak di sekitar desa Tibo. Di samping membentuk team-team
pencari tersebut, gubernur Tambunan yang nampaknya telah diilhami oleh
peristiwa jatuhnya pesawat Pan Am di Bali, masih merasa perlu mengawatkan
kepada seluruh bupati di Sulteng, dan melalui RRI Palu diumumkan kepada seluruh
masyarakat Sulteng agar mencari informasi tentang pesawat yang hilang itu. Hari
Selasa siang tanggal 28 Mei team yang dipimpin mayor Kaihatu mengirimkan
laporan bahwa keadaan medan sangat sulit dilalui. Bahkan juru potret kesayangan
gubernur, Ronny Manoppo yang ikut bersama Team Kaihatu, hampir saja digolong
pulang oleh penduduk setempat karena kejang otot kaki. Team SAR AURI yang baru
muncul dengan pesawat Hercules di bawah pimpinan kapten udara Don Haryono pada
hari Selasa petang tanggal 28 Mei, malamnya langsung dihantar oleh gubernur
Tambunan ke Pos Komando terdepan di desa Baleroa yang terletak di kaki gunung
Sidole. Tapi sampai akhir minggu lalu juga belum berhasil mencapai tempat
kecelakaan pesawat.
15
Juni 1974
11
Anumerta
SUDAH
10 hari mayat kesebelas penumpang Albatros yang jatuh 26 Mei di lereng bukit
Sidole Sulawesi Tengah (TEMPO, 8 Juni, nasional), menunggu pertolongan. Baru
jam 06.00 pagi-pagi, hari Selasa 4 Juni kemarin mereka berhasil diangkat dari
jurang yang sama sekali belum terjamah, bahkan oleh kaki suku terasing di sana
sekalipun. Dan rupanya baru dua orang anggota Kopasgat AURI — Koptu Dominicus
dan Kopda Sunardi — yang pertama kali sempat memperawani belukar itu. Dengan
tangga tali yang diulur oleh Serma Hartono dari helikopter yang dikemudikan
oleh penerbang Whyndel — veteran serdadu AS yang banyak pengalaman keluar masuk
hutan-hutan Vietnam — keduanya diturunkan di atas pohon setinggi 35 meter di
punggung bukit deka reruntuhan Albatros. Vietnam Dari sana mereka harus turun
ke dalam jurang membenahi tulang dan daging yang berserakan. “Pada saat-saat
yang tragik itu, rasanya saya seperti diberi kekuatan iman untuk melaksanakan
tugas”, ujar Dominicus kepada TEMPO. Mengambil pelajaran dari jatuhnya Pan Am
di Bali tempo hari — dan medan Sulawesi Tengah tampaknya memang hampir sama
seramnya — keduanya membungkus potongan-potongan mayat itu dalam sebuah kantong
plastik. Lalu memanjat pohon lagi dan kembali ke dalam helikopter lewat tangga
tali. Saking gembiranya melihat hasil pekerjaan ilu, serta-merta Whyndel
melepaskan kemudinya, langsung merangkul Dominicus. Dua jam kemudian mereka
mendalat di RSU Undata, Palu. Rangkulan Whyndel memang beralasan. Pekerjaan
membenahi 11 mayat itu memang bukan pekerjaan gampang. Lima pesawat dikerahkan:
dua helikopter, dua Dakota dan sebuah Hercules — tiap malam nongkrong di
lapangan Mutiara. Dua kompi pasukam infanteri Korem 132/Tadulako dan team SAR
AURI yang semula sudah ditarik dari pos komando terdepan akhirnya dikerahkan
kembali — setelah usaha dari udara untuk menurunkan anggota-anggota Kopasgat
gagal. Medan di mana Albatros jatuh memang luar biasa. Kecuali hujan turun
terus-menerus, angin yang bertiup di lembah Sidole pun tidak membiarkan pesawat
tenang terbang diam. Kesepuluh awak pesawat yang gugur itu kemudian dinaikkan
pangkat-nya secara anumerta setingkat lebih tinggi. Enam di antara mereka, Rabu
5 Juni kemarin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati Malang. Empat awak
pesawat lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.