Setelah Peristiwa G-30-S
Kawan Ketua ke Daerah Basis
Langit
masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan
Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di
dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas
ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto,
juga lima perwira AU berpangkat mayor. "Apakah
tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?" tanya Komodor Udara Dono
Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan. Sosok
yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat.
"Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk
mempersiapkan, karena
kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta," katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.
kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta," katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.
Lawatan
orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu
tentu saja mengundang beragam tafsir. "Kawan ketua mendatangi daerah
basis," kata Ngadiyanto, anggota DPRD
Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. "Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu," kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo. Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.
Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. "Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu," kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo. Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.
Dalam
perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke
rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis
Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan.
Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari
para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak
dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang
Angkatan Udara.
Menurut
Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang
Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat
dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan
Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin.
Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan
melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya
berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang. Wakil
Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan
pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini
penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30
September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada
sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan
konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai
dan Presiden.
Seusai
pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks
anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah
melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. Pria 61 tahun
ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan
diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. "Si
Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati
Boyolali," kata Jungkung. Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader
partai. Pada
hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan
petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam
rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk
menerima hasil keputusan pertemuan Semarang. Bertolak
belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan
30 September beserta tujuan-tujuannya. Partai juga harus melancarkan perjuangan
bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut
kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic,
perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai
terbelah: golongan radikal dan moderat. Yang juga belum jelas dari rangkaian
peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta,
Semarang, dan Solo dalam waktu sehari. Dalam
keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober
1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang,
mengaku tak tahu soal pertemuan itu. "Oktober 1965, saya masih di
Jakarta," kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI
Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. "Saat itu semua
pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara
teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar," kata pria 85
tahun itu. Menurut
Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma
ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong.
Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September
dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.
Dalam
surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan
versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara
berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi
mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi
soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi
tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.
Keesokan
harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan
pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur
kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk
markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan
permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena
pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.
Surat
itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat
penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap
beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan
Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut "sehingga
tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar". Kepada
Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden
secara politik.
Aidit
menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke
Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat
tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet
bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu
poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara
politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. Di depan sidang kabinet,
Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI. Ada
cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor.
Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara
Sugiantoro, 5 Oktober 1965. Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat
Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke
komandan pangkalan. Mayor
Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara
Komodor Udara Dono Indarto. Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara
Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di
pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. Ia pun
diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke
Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor. Atas
desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat "misterius"
itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu
perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak
instruksi itu. "Ini
perintah," bentak Kolonel Sunyoto waktu itu. "Saya
hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan
Udara," kata Mayor Sugiantoro. Suasana
tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun
kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.
Di
tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang
dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Menurut
Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10
November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan
"wasiat" setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku
wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya
Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit
di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.
Dalam
"wasiat terakhirnya" itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai
akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu
juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu
terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan
daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase
hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan
optimisme bahwa Sosro-yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno-belum
meninggalkan PKI.
Dalam
sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet
untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung
pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah "surat wasiat" itu, Aidit
ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir
Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.
Perjalanan
Terakhir Aidit
1.
Jakarta
Aidit
bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
Naik
Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju
Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.
2.
Yogyakarta
Tiba
di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
Aidit
pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
Bertemu
dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan
aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.
3.
Semarang
Aidit
bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2
Oktober 1965.
Rapat
menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah
internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
Tugas
utama partai kini melakukan konsolidasi.
4.
Boyolali
Aidit
dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas
benar.
Ada
yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit
hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.
5.
Solo
Aidit
menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan,
2 Oktober 1965.
Rapat
justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan
perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut
kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.
6.
Blitar
Pada
5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
Pertemuan
itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga
surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
Bekas
anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
Bekas
Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.
7.
Solo
Pada
10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD
partai.
Pada
22 November 1965, Aidit ditangkap.