Harjowiadi Diundang Ke Jakarta


Tempo 24 Maret 1979. KETIKA Letkol Soeharto datang dengan pasukannya 16 Pebruari 1949 di Bibis, Harjowiadi (69 tahun) menyediakan rumahnya untuk markas. “Ruang depan ini dipakai tidur. Ruang belakang untuk menyimpan barang,” katanya dengan bahasa Indonesia yang lancar. Apa misalnya? “Ada candu, ada senapan dan satu karung uang,” katanya. “Uang ori, bukan uang Belanda,” tambahnya. Maksudnya Oeang Republik Indonesia. “Yang mencarikan makanan buat pak Harto dan pasukannya saya sendiri. Dibantu penduduk dukuh, pak Harto betah di sini sampai berhasil merebut Yogyakarta” — begitu tutur Harjowiadi. Setelah selesai masa perjuangan, baru 5 Maret itu Soeharto sebagai presiden mengunjungi Dukuh Bibis lagi. Harjowiadi menuturkan, setiap tahun selalu dipanggil Pak Harto ke Cendana. Panggilan biasanya lewat Korem. Kadangkala untuk berhalal-bihalal lebaran, terkadang panggilan khusus. “Tahun lalu (1978) dua kali saya dipanggil ke Jakarta,” katanya. Naik apa? “Tinggal berangkat naik pesawat,” katanya. Kadangkala ada petugas menemani. Atau sendirian, setelah diantar sampai di tangga pesawat. “Begitu turun di Jakarta, saya menuju petugas telepon. Saya suruh menelepon Cendana untuk menjernput saya,” katanya lagi. Pernah sekali, petugas telepon di lapangan Jakarta (tidak ingat persis Kemayoran atau Halim) tidak berani menyambung hubungan ke Cendana. Kepala dukuh yang necis ini lalu memutar sendiri nomor pesawat Cendana. Tak lebih dari sejam datang petugas menjemputnya. Di Cendana, Harjowiadi tak begitu saja nyelonong masuk halaman rumah kediaman Presiden dan keluarganya itu. “Saya harus lapor dulu ke penjagaan. Setelah ajudan Pak Harto dipanggil, semuanya beres,” kata sang kepala dukuh. “Penjagaan itu kan tiap minggu diganti. Saya tak kenal orangnya. Tapi ajudan Pak Harto, kenal semua, siapa saya,” tambahnya. Apa saja dibicarakan dengan Pak Harto? “Macam-macam. Pak Harto tanya, bagaimana keadaan di sawah. Juga sering tanya, bagaimana pemerintahan sekarang,” tutur Harjowiadi. “Saya saling hormat menghormati. Walau Pak Harto lebih muda, saya panggil bapak, kan jadi presiden. Sedang pak Harto memanggil saya juga pakai bapak, Pak Dukuh, begitu.” “Tapi saya tak mau tidur di Cendana. Di sana orang sibuk bekerja. Saya tidur di Cempaka Putih,” katanya tanpa menyebut rumah siapa di Cempaka Putih itu. Apa diberi hadiah oleh Pak Harto? “Yah, kadang-kadang bekal uang. Tapi tak banyak, paling Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu.” Harjowiadi punya 7 anak dan 15 cucu. Isterinya meninggal 1976. Anak ketiga bernama Ngaliman. Ia gugur dengan pangkat sersan di Timor Timur 5 Mei 1975. “Berita kematiannya saya terima seminggu setelah gugur. Sampai sekarang kuburannya masih di sana,” kata Harjowiadi. Anak Kepala Dukuh Bibis keempat juga tentara berpangkat sersan. Diberi nama Suharto. Sersan Suharto juga ikut ke Timor Timur dari kesatuan Batalion 407. Sekarang ada di Markas Kowilhan II. Anaknya yang lain ada yang jadi pemborong. “Tapi pembangunan monumen Bibis ini bukan dihorong anak saya,” kata Harjowiadi. Setelah ditinggal mati isterinya Harjowiadi ditemani cucu dari anak perempuannya, yang kebetulan masih di Dukuh Bibis. Setiap harinya ia membersihkan monumen itu. “Yah ini monumen, ini rumah saya,” katanya. Ada keluhan pak “Ada. Saya ini katanya diangkat jadi veteran, tapi sampai sekarang belum pernah terima bantuan apa-apa,” katanya ceplas-ceplos.