Tan Tjien Kie :

=========================================================
Peringetan Wafatnya Majoor Tan Tjin Kie
Budaya-Tionghoa.Net | Tan Tjin Kie lahir pada tanggal 25 Januari 1853 di Cirebon dan meninggal pada tanggal 13 Februari 1919. Pada tahun 1884 Tan diangkat menjadi Luitenant Wess en Boedelkamer. Pada tahun 1888 , Tan menjadi Kapitein dan pada tanggal 1913 akhirnya menjadi Majoor. Pada tahun 1893 , pemerintahan Dinasti Qing memberikan gelar To-Han [Maharaja Kelas II] dan pada tahun 1908 , Tan mendapat promosi dari pemerintah Qing dengan pangkat To-Wan. Di tahun 1909 , Tan mendapat bintang Gouden Ster van Verdienste [Bintang Emas Untuk Jasa] . Tan juga menjadi ketua dari perkumpulan kematian Kong Djoe Koan ,perkumpulan THHK dan pelindung Hok Siu Hwee. Tan adalah pelindung utama kesenian jawa , "Een Grot Beschemer der Javaanse Kunst" [Dr Th Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen , p114] . Tan juga seorang dermawan yang sering membantu korban bencana alam dan kelaparan di

Institusi Kapitan Cina

=========================================================
Pada 1619 kota Jayakarta direbut dan dihancurkan oleh VOC. Di atas reruntuhan kota tersebut, Gubernur Jenderal VOC yang keempat, Jan Pieterszoon Coen, membangun kota baru Batavia. Penduduk asli Jayakarta, yakni orang-orang Sunda dan Banten, berpindah ke tempat lain selagi kota baru dibangun sehingga Coen menghadapi kenyataan bahwa kota menjadi lengang. Yang tertinggal hanyalah tentara dan pegawai VOC, budak-budak dari Asia Selatan dan sejumlah orang Cina. Persoalannya, jika kota baru kekurangan penduduk (terutama yang cakap bekerja) tentu akan menghambat gerak roda perekonomian. Segera Coen teringat kepada ‘sahabat’ lamanya, Souw Beng Kong (SBK), seorang pedagang besar dan berpengaruh yang dikenalnya di Banten beberapa tahun sebelumnya. Coen membujuk SBK agar mau pindah ke Batavia dengan iming-iming mendapat jabatan sebagai pemimpin golongan penduduk Cina. Berbeda

Kemal Idris, Kisah Tiga Jenderal Idealis

=========================================================
In Historia, Politik on July 30, 2010 at 5:55 PM

“Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan”.
SELAIN Jenderal Soeharto, ada tiga jenderal yang tak bisa dilepaskan dari catatan sejarah pergolakan dan perubahan Indonesia pada tiga bulan terakhir tahun 1965,hingga 1966-1967. Peran mereka mewarnai secara khas dan banyak menentukan proses perubahan negara di masa transisi kekuasaan dari tangan Soekarno ke tangan Soeharto. Tentu saja ada sebarisan jenderal dan perwira bersama Jenderal Soeharto dalam membangun rezim kekuasaan baru menggantikan kekuasaan Soekarno.

Soedjono Hoemardani

=========================================================
Salah satu pendiri dan ketua kehorrnatan Pusat Pengkajian Strategi Intemasional (CSIS). Ia pembantu dekat Presiden Soeharto, dengan jabatan terakhir inspektur jenderal pembangunan dan anggota DPR/MPR-RI. Ia dikenaI juga sebagai penghayat alam kebudayaan tradisional Jawa. Lahir di Desa Carikan, Solo, 23 Desember 1919 dan meninggal di Jepang pada 12 Maret 1986. Pada masa penjajahan Jepang, Ia aktif dalam Perang Asia Timur Raya dengan jabatan Fakudanco pada Keibodan, lalu kepala keuangan pada Pekope (Penolong Korban Perang). Dalam perang kemerdekaan ia menjadi anggota Resimen Infantri XVI di Solo, dan bergerilya bersama Gatot Subroto.
Dari ayahnya, dia mewarisi bakat berdagang. Dalam kariemya sebagai militer ia kerap kali ditunjuk membawahkan bagian ekonomi dan keuangan. Dalam masa Orde Baru, ia duduk sebagai asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, juga dalam bidang ekonomi dan perdagangan. Ia dikenal ahli melakukan lobi, antara lain membuahkan kerja sama pihak Jepang dalam penyediaan dana pembangunan Proyek Asahan di Sumatra

Pembantaian Anggota PKI di Sulsel

=========================================================
Pembantaian Anggota PKI di Sulawesi Selatan  Sahabat Pustakers pada kesempatan kali ini Pustaka Sekolah akan share mengenai Penumpasan G30S/PKI Di Sulawesi Selatan. Di Sulsel gerakan anti komunis berkembang dengan cepat. Demonstrasi anti komunis dari berbagai ormas berkembang menjadi aksi anarkis sehingga menimbulkan korban jiwa. Minggu pertama Oktober 1965 terjadi pengeroyokan massa terhadap Dr. Soenarso ditempat prakteknya karena dituding menyokong kegiatan-kegiatan PKI. Sejak 5 Oktober s/d 10 Oktober secara terorganisir terjadi pelampiasan amarh secara radikal terhadap PKI beserta ormas-ormasnya dan simpatisan lainnya Kerusakan yang terjadi meliputi perusakan rumah, perabot rumah para anggota PKI dan ormas-ormasnya. Ratusan anggota PKI dan ormas-ormasnya berada dalam kompleks Kodim dan Kepolisian baik sebagai tahanan maupun sukarela menyerahkan diri untuk meminta perlindungan dari sasaran massa.

Pembantaian Anggota PKI di Sulawesi Selatan
Sampai akhir tahun 1965, tidak ada tindakan pihak militer untuk mencegah meluasnya pembunuhan dan

Sejarah Maluku hingga RMS Chapter

==========================================================
Sejarah Maluku hingga RMS Chapter-1
Posted on October 7 2010
by Harry Kawilarang/IM

Foto Eksekusi Hukuman Mati Dr Soumokil Pimpinan RMS tahun 1960-an
koranbaru.com
-------------------------
Ambon sejak awal kolonialisme Belanda telah mengalami masa penjajahan penuh penderitaan dan kekejaman yang berkepanjangan, terutama ketika Belanda menerapkan “de kruideniers politiek,” (politik rempah-rempah) di abad ke-17. Semata-mata untuk menguasai rempah-rempah yang sangat potensial yang menjadi primadona ekonomi bagi negara-negara Atlantik Utara.Mengikut lembaran bangsa-bangsa di Asia-Pasifik, Ambon dan kepulauan Maluku menjadi awal dari mata rantai perdagangan dunia sejak masa silam. Dengan rempah-rempah sebagai komoditi

Hasanuddin HM, Pahlawan Ampera Banjarmasin

=========================================================
Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi
Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing

(Banjarmasin, 10 Pebruari 1966)
------------------------
AKSI tiga tuntutan rakyat atau Tritura, memang sebulan lebih lambat terjadinya dari Jakarta. Namun cerita heroisme kaum muda terutama mahasiswa dan pelajar, juga terjadi di Banjarmasin pada Pebruari tahun 1966. Dan inilah demonstrasi terbesar  Banua yang terjadi pada masa rezim orde lama Presiden Soekarno.
Secara umum ada 3 tuntutan yang diperjuangkan. Pertama; turunkan harga barang. Kedua; Bubarkan PKI. Dan ketiga;  bersihkan kabinet dari antek-antek komunis. Secara khusus di Banjarmasin, justru ada 2 tuntutan tambahan yakni stabilkan harga dan adili para tengkulak (cukong sembako). Mengapa? “Karena saat itu perekonomian di Banjarmasin sangat menyedihkan. Di mana-mana orang antre beli

Tritura 10 Januari 1966

=========================================================
Tritura 10 Januari 1966: Tiga Tuntutan Yang Tak Pernah Tuntas Terselesaikan
In Historia, Politik on January 10, 2010 at 1:01 AM
 “Presiden mana di antara empat Presiden sesudah Soekarno-Soeharto yang pernah betul-betul telah berjuang untuk mencapai keadilan sosial, apalagi membuktikan, paling tidak telah meletakkan dasar-dasar awal program nyata pencapaian keadilan sosial dan keadilan politik? Keadilan sosial-ekonomi-politik hanya ada dalam janji-janji palsu masa kampanye dan retorika pemenang kekuasaan tatkala sudah memangku jabatan”. SETELAH 44 tahun detak waktu berlalu, catatan dan ingatan apa yang tersisa tentang Tritura –Tri Tuntutan Rakyat, yang dicetuskan mahasiswa 10 Januari 1966– bagi para pelaku sejarah dalam momen peristiwa di tahun 1966 ? Dan adakah pula makna yang secara signifikan mewaris ke masa ini, terutama ke dalam ruang pemahaman generasi baru serta para pelaku dalam kehidupan bernegara ?
Dalam sudut pandang skeptik setelah 1998, pergerakan mahasiswa 1966 dan penamaan Angkatan 1966,

Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret

==========================================================
Kisah 1966: Dari 10 Januari Menuju 11 Maret (1)
In Historia, Politik on January 5, 2010 at 2:15 AM
”10 Januari 1966, demonstrasi mahasiswa meletus di Jakarta, sebagai reaksi terhadap kenaikan harga-harga. Demonstrasi ini melahirkan Tri Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura. Tiga tuntutan itu meliputi: Bubarkan PKI, ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga. Keadaan ekonomi rakyat sebelum 10 Januari demikian terhimpitnya oleh harga-harga yang makin membubung tinggi. Pemerintah menunjukkan sikap yang ambivalen”.

Antara konsolidasi dan akrobat politik

DALAM bulan Oktober 1965, hanya selang beberapa hari setelah Peristiwa Gerakan 30 September,

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 I

=========================================================
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1)
In Historia, Politik on January 12, 2010 at 5:32 AM

‘Kesibukan’ Jenderal Soemitro

“Jika frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri”. “Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi suatu revolusi sosial ?”.
DUA PERSOALAN yang terpilih jadi pokok masalah yang diperdebatkan berkepanjangan di tingkat nasional di tahun 1970-an, khususnya pada 1973, adalah masalah rambut gondrong dan masalah penanaman modal asing di Indonesia dengan kadar kepekaan yang berbeda-beda. Bahkan dengan tingkat ketajaman persepsi yang berbeda-beda pula. Bagi para mahasiswa Bandung, kedua masalah itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada dalam satu bingkai ‘persoalan’

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 II

=========================================================
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (6)
In Historia, Politik on January 17, 2010 at 1:18 AM

“PADA akhirnya gerakan protes mahasiswa memang menggelinding juga langsung ke arah Presiden Soeharto. Berkali-kali kelompok-kelompok demonstran mahasiswa mendekati kediaman Presiden di Jalan Cendana, berkali-kali pula terbentur pada keketatan barisan pengamanan”. “…. menjelang akhir Desember 1973, setelah suatu delegasi besar mahasiswa Bandung dan Jakarta melancarkan suatu demonstrasi langsung menembus ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana –dan menyampaikan tuntutan untuk berdialog– ‘penguasa tertinggi’ Indonesia itu pada akhirnya …. menyatakan bersedia melakukan dialog”.
SELAIN aksi ekstra parlementer KNPI, ada lagi satu tokoh demonstran yang paling banyak ‘menyedot’ perhatian, baik karena keunikannya, maupun karena keanehan dan  karena ‘menjengkelkan’ sekaligus. Laksus

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 III

=========================================================
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (11)
In Historia, Politik on January 23, 2010 at 12:58 AM
 foto legendaris MALARI, Jenderal Soemitro dengan TOA diatas mobil, disebelahnya Herman Sarens Sudiro, berpidato di tengah kerumunan mahasiswa
--------------------------------
“Setelah melapor, para jenderal mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan ultimatum keras. Tapi yang paling keras barangkali justru apa yang dilontarkan oleh Jenderal Soemitro yang sejak awal tahun berada di posisi bawah angin dan dicurigai berambisi mengambilalih posisi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto”. Jenderal Maraden maupun Jenderal

Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17 Oktober 1952

=========================================================
Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17 Oktober 1952 (1)
In Historia, Politik on October 17, 2011 at 3:44 PM

JENDERAL Abdul Harris Nasution adalah tokoh penting di kalangan militer yang telah menghidangkan dukungan terkuat –suatu peran yang kerap dinilai secara dubious– yang pernah diterima Soekarno dari kalangan militer sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Ini terjadi saat Nasution mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan Soekarno terlebih dulu melalui suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku taktis. Dari lawan menjadi kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak tahun 1966, saat Nasution berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’ bagi proses mengakhiri kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan menghamparkan karpet merah kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal Soeharto. Jenderal Nasution adalah tokoh yang tercatat amat banyak ‘meminjam’ dan mengoptimalkan simbol maupun pemikiran Jenderal Soedirman, meskipun tak bisa dikatakan bahwa ia sepenuhnya memiliki sikap dan jalan pikiran yang sama dengan sang jenderal besar.

JENDERAL NASUTION-PRESIDEN SOEHARTO-JENDERAL SOEHARTO. 'Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan Soekarno terlebih dulu melalui suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku taktis. Dari lawan menjadi kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak tahun 1966, saat Nasution berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’ bagi proses mengakhiri kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan menghamparkan karpet merah kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal Soeharto". (Dok. Foto Setneg).
---------------------
Surut tujuh tahun ke belakang dari 1959. Pada tahun 1952 semakin mencuat perbedaan pandangan antara tentara (terutama Angkatan Darat) yang dipimpin oleh KSAD Kolonel Abdul Harris Nasution

Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto

=========================================================
Laksamana Sudomo, ‘Swiss Army Knife’ Bagi Jenderal Soeharto (1)
In Historia, Politik on April 20, 2012 at 4:06 PM

JENDERAL ketiga setelah Jenderal Soeharto dan Jenderal Soemitro, yang paling ‘ditakuti’ di masa Orde Baru dalam konteks pelaksanaan kekuasaan yang represif –khususnya pada paruh tertentu di tahun 1970-an– tak lain adalah Laksamana Sudomo. Tentu ada sejumlah jenderal represif lainnya, sepanjang yang bisa dicatat, seperti misalnya Jenderal LB Murdani, tetapi kurun waktu berperannya berlainan waktu. Jenderal Benny Murdani berperan pada waktu berbeda, yakni setelah Laksamana Sudomo berpindah dari posisi pimpinan Kopkamtib dan Menko Polhukam ke panggung peran sipil, sebagai menteri yang menangani

Kisah-Kisah Oktober, 1965

=========================================================
06 Oktober 1984
Kisah-Kisah Oktober, 1965
Jenderal Sugandhi, mantan Ajudan Bung Karno.
---------------------------------
Sembilan belas tahun telah berlalu sejak terjadinya malam yang menggetarkan itu. Malam yang kemudian mengubah Warna sejarah Indonesia. Malam yang rentetannya kemudian memporakporandakan dan mengubah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita. Malam, tatkala PKI (Partai Komunis Indonesia) untuk kesekian kalinya menusuk dan belakang. Telah banyak cerita sekitar apa yang terjadi pada 30 September malam dan 1 Oktober 196S itu. Toh masih banyak kisah yang tercecer, atau yang belum terungkap. Khususnya cerita dan kalangan biasa, yang ikut mengalami dan kemudian terseret dalam peristiqa itu. Berikut adalah beberapa di antara kisah itu. CATHERINE PANJAITAN, 37, putri sulung Pahlawan Revolusi Almarhum Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, kini

Tertawa Bersama Bung Karno 4

=========================================================
Latar belakang seorang pemimpin pada dasarnya akan menentukan corak kepemimpinannya dimasa mennadatang.
Rumus diatas ternyata menimpa pula sang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Kita semua tahu bahwasanya Bung Karno dibesarkan didunia politik dan jauh dari dunia militer, hal ini berdampak sangat besar pada saat Bung Karno telah menjabat Presiden RI. Dibanding dengan para politikus dan tokoh partai maka dapat dikatakan hubungan Bung Karno dengan ABRI dirasa kurang mesra terlebih dengan AD. Era kepemimpinan Soekarno merupakan masa kejayaan tokoh partai dan kalangan politikus sementara ABRI bagaikan suatu lembaga yang nyaris terabaikan. Hal ini terkadang menimbulkan suasana yang cukup menegangkan, atau bahkan sering menimbulkan cerita konyol.
Ada cerita di tahun 1946 BungKarno nanya ke Ajudannya :
 “Heh, Paimin pangkat kamu apa sekarang?”

Dibentak Pengawal, Dibalas dengan Tertawa

=========================================================
Potret Keseharian Bung Karno; Kesaksian Mangil (2)
Sumber Jawa Pos

Dibentak Pengawal, Dibalas dengan Tertawa

Bung Karno memang tokoh yang sejuk. Di balik wajahnya yang teduh, tersimpan pribadi yang hangat, rendah hati, dan tak mudah marah. Buktinya, meski beberapa kali diomeli, bahkan dibentak pengawal atau ajudan, Bung Karno tidak marah. Sering, Bung Karno yang juga akrab disapa BK ini malah tertawa melihat polah anak buahnya itu. Berikut lanjutan kisah keseharian Bung Karno sebagaimana ditulis Mangil Martowidjojo dalam buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967.
ISTANA Negara Jakarta, pagi hari di pertengahan 1950. Bung Karno terlihat berjalan-jalan di halaman Istana. Beberapa pengawal tampak berada di belakang presiden pertama Indonesia itu. Tak jauh dari tempat Bung Karno menikmati udara segar pagi, terlihat Sudiyo, salah seorang anggota Detasemen Kawal Pribadi

Kawan Ketua ke Daerah Basis

=========================================================
Setelah Peristiwa G-30-S
Kawan Ketua ke Daerah Basis

DN Aidit
foto Kaskus
--------------
Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor. "Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?" tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan. Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. "Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena

Anjar Dimara Sakti, Presiden KM ITB

=========================================================
Anjar Dimara Sakti.
---------------------
Pemira KM ITB 2012 sudah usai. Presiden KM ITB 2012/2013 sudah terpilih. 38,48 % suara dari 6860 suara sanggup diraih oleh calon C, Anjar Dimara Sakti Geodesi 08. Anjar berhasil mengungguli ketiga kompetitornya ; Mohamad Ashyari Sastrosubroto ( 23,7 %), abstain (22,16 %), dan Taufik Nurcahyo (14,66 %). Anjar dipastikan akan memimpin KM ITB satu tahun ke depan.
Mengutip dokumen dari Grup Facebook ke-SAKTI-an, Anjar menulis “Saat saya diputuskan sebagai Presiden KM ITB terpilih, maka saya akan memiliki suatu tim yang disebut dgn Tim Kementerian. Tim Kementerian ini terdiri atas promotor, tim sukses, pendukung, dan expertise bidang-bidang tertentu (misal: PM, Keprofesian, Eksternal, Kaderisasi, dll) dari berbagai lembaga kemahasiswaan di kampus ITB. Tim Kementerian ini akan bekerja dan dibagi berdasarkan bidangnya masing-masing. Tim ini pula yang akan merumuskan gerakan bidangnya

Peristiwa Andi Azis

=========================================================
Peristiwa Andi Aziz Adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Aziz, seorang bekas perwira KNIL untuk mempertahankan keberdaan Negara Indonesia Timur, dan enggan Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Awal gerakan
Andi Aziz adalah seorang bekas Perwira KNIL yang bergabung Ke APRIS. Ia diterima masuk APRIS. Pada hari pelantikanya disaksikan oleh Letkol Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah itu ia menggerakan pasukannya menyerang markas TNI dan menawan sejumlah perwira TNI

Pembantaian Westerling II

=========================================================
Pembantaian Westerling II
Kudeta" Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Oleh Batara R. Hutagalung,
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Westerling
foto id.wikipedia.org
---------------------
Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST ditugaskan juga untuk melakukan patroli dan “pembersihan”, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda. Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, membuat

Peristiwa Kudeta APRA

=========================================================
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang ada di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949

Bing slamet meninggal


Tempo 28 Desember 1974. SEOLAH-OLAH ia telah mempersiapkan kepergiannya. Ketika ia meninggal Selasa siang pekan lalu, sudah setengah tahun ia tak tampak di depan khalayak.
Film kwartet Jaya terpaksa tak lagi memakai namanya. Bilg Slamet Koboi Cengeng disusul oleh Ateng Minta Kawin. Untuk membantu pertunjukan wayang orang yang diselenggarakan Ny. Lies Mashuri 3 minggu yang lewat, Kwartet Jaya — memegang peran punakawan — dilengkapi dengan Kris Biantoro. Untuk film Ateng Raja Penyamun, Bing juga belum bisa beranjak. Ia hanya bisa memberi semangat dari kamar tidur. Ia mencium pipi Iskak sebelum sahabatnya ini berangkat Shooting. Matanya besar”, Iskak kemudian bercerita “dan suaranya terputus-putus”. Seakan-akan ia mempersiapkan Iskak, Ateng, Eddy Sud dan juga kita semua 20untuk hidup tanpa dia. Mulanya adalah acara bulan April itu. Pertunjukan di Tegal tersebut seharusnya tak diteruskan. Bing sakit perut. Eddy Sud, yang semula menyangka itu masuk-angin biasa, jadi cemas setelah rasa sakit itu mengganggu terus sampai legal. Ia mengusulkan supaya pertunjukan dibatalkan. Tapi Bing menolak. “Nanti penonton menyangka kita mengibuli mereka dan panitia”, katanya, kurang-lebih Maka, sementara Kwartet 20Jaya main di pentas, Bing berdiri di belakang elekton. Sekujur tubuhya telah payah. Di wajahnya sebenarnya tersirat pergulatannya melawan rasa sakit. Tapi ia ingin tetap tegak di panggung. Ia 20mencoba bertelekan pada elekton. Namun beberapa detik kemudian, ia roboh. Di antara deretan penonton terdengar ketawa — seakan-akan Bing jatuh buatkegembiraan pembeli karcis. Waktu Kwartet Jaya kemudian bergegas menutup acara, orang baru sadar bahwa situasinya memang serius. Hanya mereka 20atau siapa saja — tak tahu bahwa itulah isyarat pertama dari sang Maut. Bahwa itulah penampilan Bing Slamet yang penghabisan. Sebab, sejak itu, Bing tak kelihatan lagi. Ia dirawat di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Ulu hatinya konon membengkak, dan dalam saat krisis ia pernah tak sadarkan diri selama 5 hari. Perawatan dr Pang kemudian meredakan sakit itu. Tapi untuk istirahat total, ia harus diungsikan ke sebuah rumah di Jl. Dempo — rumah adiknya — dan dirahasiakan dari publik. Agaknya orang yang dekat dengannya waktu itu pun sudah was-was. “Saya memang telah merasa Bing akan meninggalkan kami semua dalam waktu dekat “, kemudian tutur Eddy Sud rumahnya jadi peristirahatan. Bing di hari-hari terakhir. Perasaan serupa barangkali menghinggapi banyak kenalan. Seperti meramalkan sesuatu menyedihkan pada suatu malam bulan Nopember, TVRI menyajikan acara “Lagu dan Pencipta” — dengan Bing Slamet dalam fokus. Tapi berbeda dengan kelaziman acara ini malam itu sang komponis tidak hadir di studio. Di layar hanya tampak profilnya digambal pada kanvas yang besar. Gambar itu melatarbelakangi kanvas para penyanyi yang membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dan ketika Nien Lesmana menyanyikan Hanya Semalam – ia bagaikan mengenangkan tahun yang lalu, sewaktu nyonya Jack Lesmana ini masih sering menyanyi di RRI Jakarta, bersama Ratna dan (tentu saja) Bing. Banyak penonton terkesiap: TVRI seolah-olah tengah memperingati seorang musikus almarhum. Untunglah di ujung acara diperlihatkan wawancara penyiar Anita Rahmanl dengan sang seniman. Dalam filmnya agak goyang dan kabur itu, mereka tampak duduk di sebuah rumah yang tak dikenal. Suara Bing pelan, gemetar meskipun nadanya masih utuh. Wajahnya pucat, kurus, meskipun tampak cakap dan bersih. Akan sembuhkah ia? Pekan yang lalu, jawabannya adalah tidak. Harapan bagi penderita sakit lever separah Bing memang kecil, tapi kematian itu tetap mengejutkan. Ketika sopir menyusul Eddy Sud di PFN (tempat Ateng Raja Penyamun dibuat) dan mengatakan bahwa Bing dalam keadaan gawat. Sambatnya ini langsung pulang tanpa mencopot cambang palsu dan menghapus bedak riasnya dalam Film Ateng dan Iskak menyusul. Dan di kamar depan yang memantulakan warna coklat dan kuning kesayangan Bing itu Kwartet Jaya kembali berkumpul buat terakhir kalinya. Kali ini tak untuk menbuat orang tertawa. Jl. Arimbi Jemaah dibawa ke Jl Arimbi di daerah Tanah Tinggi Senen. Di situlah rumah Bing Slamet di mana tinggal ister dan 8 anaknya. Tapi sementara sang isteri Ratna Komala Poeri, menangis dan menciumi wajah yang terbaring dalam usia 47 tahun itu, kesedihan hari itu dengan segcra jadi milik umum. Chitra Dewi menangis dalam pelukan Iskak. Vivi Sumanti kehilangan suara dan jongkok termangu di bawah poster Bing Slamet Dukun Palsu. Bekas Kapolri Hugeng menghapus airmata sambil berkata kepada sisa-sisa Kwartet “Teruskan cita-cita kakakmu” Bekas Menteri Budi Hardjo datang Wakil Gubenur Wiriadinata disambut dengan pelukan oleh Eddy Sud. Bersama tokoh PWI Pusat Rosihan Anwar. Menteri Penerangan Mashuri dan nyonya juga ikut berdesak-desakan di antara para pelawat, dan kepada yang hadir berkata ” Saya pribadi dan pemerintah merasa kehilangan seorang seniman yang serba bisa” Jam 12 malam, Rima Melati dan dan suaminya hadir dengan pakaian hitam-hitam. Bagio, Benyamin, Sofia WD, WD Mochtar, Hamid Arief, Wolly Sutinah dan hampir semua buntang layar dan panggung mengalir tak putus- putus. Kesedihan tampaknya tak bisa diringkus dengan mudah, mengenang orang yang kini terbaring beralaskan kain loreng merah-hijau-kuning itu. Begitu rupa desakan orang buat memandang wajah Bing terakhir kali, hingga pada jam 11 pagi, “ijin melihat” itu tak diberikan lagi. Jam 11.15, jenazah dibawa ke mesjid Al Ittihadjah di dekat rumah, untuk disembahyangkan. Di antara yang menyembahyangkan: Wapangab Jend. Surono, “Saya datang sebagai kawan Bing”, kata perwira tingi berpakaian seragam itu dengan singkat. Tidak semua yang hadir, yang sedih, yang ingin serta dalam penghormatan terakhir itu adalah kawan Bing. Tapi unggunan karangan bunga yang tak termuat oleh satu bis khusus itu, juga barisan pengiring jenazah sepanjang 4 Km, juga hiruk-pikuk dan ribuan manusia yang berdesakan itu, semuanya menunjukkan bahwa Bing adalah kawan mereka. Orang dari Banten yang bernama Slamet itu (kemudian ditambahi “Bing” oleh Fifi Young), ternyata begitu dekat ke diri manusia-manusia itu. Barangkali karena namanya sejak hampir seperempat abad yang lalu telah menetap di benak khalayak melalui pelabagai media massa. Ketika umurnya masih belasan, ia sudah nyanyi di radio Zaman Jepang, “Hosokyooku”. Sejak awal tahun 1950-an nama itu semakin menanjak dengan kegiatan Bing di RRI Jakarta. Tapi tangga terpenting karir Bing bukanlah ketika ia dalam umur 28 tahun memenangkan Bintang Radio jenis Hiburan (ia pernah gagal untuk jenis seriosa). Sejarah barunya bermula ketika ia bergabung dengan Cepot dan Udel dalam satu trio lawak. Los Gilos Cepot adalah Hardjodipuro — kini pensiunann Dep. Penerangan — dan Udel adlah Purnomo, sarjana Biologi yang kini hampir pensiun dari Dep. Pertanian, bintang terkenal dalam Si Mamat. Kedua orang itu sejak 1945 mengisi acara “Sepintas Lalu” — mirip gaya obrolan Mpok Ani dan Bang Madi. Di tahun 1953, duet itu bertemu dengan Bing yang baru datang dari Jawa Timur. Bing dicomot dan itu duet jadi trio “Sebab Bing suka nyanyi sambil menggerak-gerakkan alisnya secara menggelikan”, kata Purnomo. Tapi kelebihan Bing bukan cuma itu: ia bisa mengubah suaranya — konon sampai 4 macam dan ia lantip dalam perkara meniru-nirukan. Dan tentu saja faktor lain yang tak bisa ditinggalkan untuk seorang pelawak: Bing bisa akting. Di tahun 1951 ia sudah menunjukkan secara lebih jelas kemampuan ini, walaupun masih belum beres benar, ketika ia ikut film Sepanjang Malioboro di sela-sela Abdul Hadi dan Titien Sumarni. Maka tahun-tahun itu adalah tahun-tahun Trio Los Gilos, zaman tiga orang sinting-sintingan di studio V RRI Jakartal, yang jadi inti dari acara Kabaret akhir bulan yang begitu populer dari seluruh Indonesia. Bing Slamet dengan segera jadi bintang trio. Ia mungkin bukan anggota yang paling cerdas dalam memutar mesin humor di kepalanya, tapi ia yang paling banyak bisa. Ia bisa muncul sebagai perempuan atau anak kecil, ia bisa nyanyi dengan banyak logat dan lagu. Tak mengherankan, bila ia merasa disitulah dunianya. Ketika Los Gilos macet, maka Bing Slamet-lah yang jalan terus denagn aktifitas melawak — dan bukan kedua orang seniornya. Memang tak bisa lain: Hardjodipuro terikat dengan dinas sehari-hari di RRI, sedang Purnomo pegawai Departemen Pertanian. Kedua mereka melawak sebagai sambilan. Ketika kegiatan Trio Los Gilos melebar ke luar studio V, meladeni pesanan dari beberapa kota di Jawa, hal itu tentu sangat merepotkan. “saya da Cepot tak mungkin meninggalkan kantor di hari kerja”, kata Purnomo mengenang masa itu. Mereka baru bisa mengadakan pertunjukkan di luar Jakarta jika lagi cuti atau hari Minggu dengan syara di hari Senin harus balik di kantor. Betapapun, para pelawak hari Minggu itu toh bisa bersama-sama sampai 20 tahun. Di sebuah pertunjukan di Senayan, 1963, Bing dan Purnomo mengambil kesempatan di balik panggung. Mereka merayakan pertemuan 10 tahun sebelumnya, diam-diam. Masing-masing minum sebotol limun. Melawak, setidaknya waktu itu memang pekerjaan yang “sunyi”. Orang ramai cuma tahu apa yang tampak di pentas, tapi tak akan acuh untuk apa yang ada di balik itu. Dengan harapan memperbaiki hidup agaknya, sembari mencoba suatu kesempatan, Trio Los Gilos bermain untuk film Raja Karet Dari Singapura, tahun 1956. Tapi film itu tak laku. Agaknya juga tak bermutu, justru karena terlampau banyak pelawak: Kuncung, Poniman, D. Harris dan Srimulat. “Bukan Raja Karet dari Singapura”, kata Bing setelah kegagalan itu, “tapi Raja Singapura dari karet. Membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun buat Bing untuk mengubah kegagalan menjadi sukses dalam film setidaknya dari segi komersiil. Film semacam Bing Slamet Setan Jalanan diawal tahun 1970-an mengukuhkan popularitasnya, meskipun tidak mengukuhkan kapasitasnya sebagai aktor komedi yang lebih dari sekedar badut-badutan. Maka walaupun dikritik, film-film itu jadi media yang memperkuat kehadirannya dalam kesadaran sehari-hari khalayak ramai — dari anak 3 tahun 20sampai dengan bapak 70 tahun. Seperti 20halnya dalam iklan “Tiga Berlian” TV dengan Eddy Sud dan teriakan “Enaaaak”, pemunculan Bing mungkin tak terlalu meyakinkan tapi efektif. Tentu tak bisa dipastikan bahwa seandainya Bing hidup terus dan aktif terus, ia akan tetap berada di tempat teratas dalam hati penonton. Dunia show business mengandung sifat-sifat yang akan menyisihkan apa saja yang 20mulai membosankan. Bing dan Kwartet Jaya — selama ini bisa tetap menonjol, sukurlah. Tapi, salah satu sebabnya barangkali karena di Indonesia masih terlalu sedikit pelawak — khususnya yang mempergunakan bahasa nasional — dan persaingan belum gencar. Apabila suatu saat nanti tokoh-tokoh baru muncul, barangkali keadaan akan jadi lain. Kekurangan bahan lelucon yang segar pengulangan pola yang itu-itu juga, dengan cepat akan bisa mematikan seseorang atau suatu grup yang sudah puas diri. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal, sudah mulai, banyak pengagumnya yang cemas: bagaimana mengingatkan Bing dan kawan-kawannya bahwa perbendaharaan humor mereka sudah menunjukkan tanda-tanda kering. Bukan karena Bing, Ateng dan Iskak masing-masing kurang berbakat. Tapi mereka agak terlampau sering muncul, baik karena cari uang ataupun karena sekedar menyumbang acara perhelatan seorang rekan. Sementara itu, ilham atau ide baru tak selalu lahir dengan lancar. Kwartet Jaya dan Bing Slamet bagaimana pun juga pada suatu saat akan bersua dengan hukum kebosanan dan kecapekan. Pele Mungkin itulah segi yang positif dari meninggalnya. Tuhan memanggil Bing sebelum ia turun dari pentas. Bagaikan si Raja Bola Pele, Bing “mengundurkan diri” sebelum ia dicoret dari daftar 20penonton. Kwartet Jaya sendiri sudah mulai terbiasa untuk menjadi kwartet minus satu. Trio Ateng-Iskak-Eddy Sud — yang berniat untuk tak menambah anggota — bahkan baru selang tiga hari setelah Bing meninggal sudah tampil di pentas Hotel Aryaduta, sonder wajah sedih. “Kesedihan tak boleh dibawa-bawa ke pekerjaan”, kata Ateng konon mengikuti petuah Bing, sendiri. Dan nama Bing Slamet barangkali juga tak akan lagi mereka bawa-bawa: Bing memang penting, tapi siapa tahu Ateng bisa menggantikan popularitasnya. Bahkan, menurut seorang yang cukup dekat dengan grup pelawak ini, Ateng — yang 20paling muda — paling punya potensi 20untuk ide-ide yang tidak “kuno”, sementara Iskak masih cukup punya kemampuan improvisasi. Tinggal bagaimana Eddy Sud menambah garam dengan menunjukkan dirinya — benar-benar sebagai pelawak secara lebih penuh — dan tak cuma jadi si ganteng yang sedikit meletakkan diri di atas si tampang jelek. Pendeknya, tanpa Bing pun, Kwartet itu masih punya potensi — asal selalu memperkaya diri dengan cadangan 20humor, dan bisa memanfaatkan kritik. Bing Slamet sendiri barangkali kelak tak akan dikenang sebagai pelawak. Sebab ia memang tidak cuma itu. Sebagai komponis barangkali karyanya akan lebih bisa tahan-waktu dari lelucon-leluconnya: Kwalitas komposisinya agaknya tak kalah dari ciptaan-ciptaan 20Ismail Marzaki. Lagu-lagunya seperti 20 Hanya Semalam dan Belaian Sayang — masih tetap enak didengar, apalagi bila suara Bing sendiri yang menyanyikannya: besar, penuh perasaan, jernih. Suara itu juga mungkin abadi. Namun apabila kesedihan begitu merata di kalangan 20bintang film dan penyanyi minggu yang lalu, barangkali soalnya karena yang 20 meninggal adalah seorang yang lebih dari sekedar seniman: ia adalah rekan yang selama hidupnya lebih banyak 20memberi daripada meminta. Udel bisa bercerita panjang bagaimana Bing bukanlah orang yang “profesional” 20dalam urusan uang pembayaran untuk 20 pertunjukannya. Di zaman Trio Los Gilos — yang tentu saja tanpa manager, tanpa promotor — siapa saya di antara 20mereka bertiga bisa menerima pesanan 20untuk main. “Nah, kalau sudah Bing 20yang terima, permintaan uang”, kata 20Udel mengenang rekannya yang 4 tahun lebih muda itu, “sering kami pulang dengan tangan kosong”: Soalnya, Bing tak 20pernah mau menyebut atau menyinggung perkara duit, bila panitia pengunjung menanyakannya. Paling banter dijawabnya: “Itu gampang, deh”. Sering mendapat kesempatan macam ini, diakhir pertunjukan sang panitia betul-betul menggampangkan mereka: orainnya kabur, atau muncul dengan menyodorkan wajah pilu “sorry kita-rugi” Sebagaimana yang digambarkan Udel, pada Bing terdapat pribadi yang selalu menaruh kepercayaan kepada orang lain — kadang-kadang dengan teramat mudah. Dalam diri Bing juga selalu ada kesulitan untuk menolak pemintaan orang. Pada zaman DI masih menteror Jawa Barat, Trio Los Gilos — lewat Bing — menyanggupi untuk main di 20Garut. Mereka kemalaman di jalan, dan meskipun diperingatkan petugas, dengan Fiat-kodok mereka terus saja. Untung selamat. Tanpa diantar ke penginapan, dulu, mereka langsung ke gedung pertunjukan buat 2 x main. Panitia penyelenggara yang menjanjikan honor Rp 10.000 ternyata menghilang 20begitu acara usai. Baru setelah lama 20kemudian ketemu — dan cuma memintakan bisa membayar Rp 1000. Bing memandang Udel: “Sorry, mas”. Udel mengkal juga tapi itulah Bing: “jiwa sosialnya tak ada duanya”. Bing menyelesaikan kerja dan janjinya kepada orang lain dengan baik-, Biarpun seringkali orang lain tak memenuhi 20janji yang diberikan kepadanya. Hatinya mulia. Tuntutannya kepada hidup sangat bersahaja. Banyak pertunjukan yang tiba-tiba oleh Bing jumlah pemainnya ditambah untuk memberi kesempatan artis-artis yang sedang tidak laku supaya bisa ikut. Bila perlu, untuk 20mereka, Bing tak mengambil seluruh agiannya dari honorrarium. Ia berbagi. Pernah ia berkata, kepada Ed Zulverdi: “Tiap saya menyerahkan uang pada isteri di rumah, selalu saya pesawat ini 20uang belanja, dan hati-hati sebagian bukan milik kita”. Orang masih ingat bagaimana komponis Gesang sedikit tertolong hidupnya, ketika Bing menyerahkan seluruh hasil pertunjukannya di TIM, dalam acara malam dana khusus untuk itu. Dan bagi dirinya sendiri? Dengan seorang isteri dan 8 anak yang belum mentas, Bing tetap mendiami rumah di Arimbi itu. Ukurannya tak terlalu lebih luas dari 7 x 10 meter. Listrik di rumahnya remang-remang. Gang sempit itu — yang untuk perbaikannya Bing ikut menyumbang sejumlah uang — masih sering banjir. Benyamin-S., anak didiknya yang sukses, sudah pindah dari gang becek di Haji Ung Kemayoran ke wilayah, mewah Kebayoran Baru. Tapi Bing tetap di tempatnya semula. “Rumah ini sangat saya sayangi”, katanya suatu ketika, “sebab orang sekitar kampung ini 20semua baik-baik”. Baik hati, dan bukan mentereng, agaknya itulah ukuran tertinggi dalam filsafat Wdupnya. Di situlah Bing Slamet 20jadi perkecualian yang amat berharga 20dari gaya hidup orang-orang show business di kota besar ini. Ia tak mengangkat diri ke kemewahan, yang begitu jauh dari orang-orang kampung: Ia penghibur — bukan dengan cuma melawak, tapi dengan merasa sepersaudaraan.

Cak roes, dari “kapten” langsung…


Tempo 27 Desember 1975 19 Desember 1948. Sore itu, persis 27 tahun yang lalu, Yogya sepi. Di jalan Code belakang Hotel Garuda, seorang lelaki bersepeda membawa setumpuk map dan mesin tulis.
Ia bergegas. Mendadak sebuah kapal terbang muncul. Bersama 4 orang lainnya ia tiarap di bawah pohon. Sebentar sepi, mereka meneruskan perjalaskan. Sekejap pesawat itu kembali terbang rendah dan memuntahkan peluru. Tak seorang pun selamat: 3 orang meninggal, 2 luka-luka – termasuk si pengendara sepeda. Sebentar ditolong oleh dr Faruqi, orang Pakistan yang kebetulan menginap di hotel Garuda selanjutnya ia harus 5 hari dirawat dr Picaully di RS Bethesda. Luka di jari tangan kanannya cukup parah. Karena agresi Belanda (terkenal dengan Clash II), perawatannya terpaksa pindah-pindah ke RS Dr Yap kemudian RS Panti Rapih. Setelah 6 bulan, tepatnya 13 Mei 1949, Roeslan Abdulgani sembuh. Dan 24 tahun kemudian, ia ketemu dengan bekas-bekas penembaknya di negeri Belanda. “Peristiwa itu punya arti penting bagi saya. Ketika itulah saya benar-benar mengalami pergolakan revolusi. Bukan hanya di bidang diplomasi tapi juga merasakannya secara fisik. Saya baru keluar dari sidang kabinet membicarakan rencana agresi Belanda bagai sekjen Kementerian Penerbangan mewakili Menteri Penerangan Mohammad Natsir yang lagi sakit. Saya buru-buru ke kantor menyelamatkan beberapa dokumen sampai jam 3. Dalam perjalanan pulang menjelang sore itulah peristiwa itu terjadi” tuturnya dua pekan lewat di rumahnya jalan Diponegoro. Dan ia mendapat ‘kenang-kenangan revolusi’: ibu jari tangan kanannya kaku, seperti tulang terbungkus kulit seadanya. Pangkalnya berkeriput hitam-bakar, kulit batangnya kuning mengkilap. Ada bagian yang agak penyok sedikit. Telunjuk dan jari tengah putus tandas sama sekali. Itulah sebabnya ia sering berjabat-tangan dengan tangan kiri, meski tanan kanan bukannya tak berfungsi. Sudah sejak lama ia bisa mempergunakannya untuk mulai (dengan senduk), mengetik. menulis dan mencoretkan tanda tangan. Tapi dulu pernah berlatih tanda-tanda dengan tangan kiri. 6 bulan dirawat, ia banyak membaca. Mulai dari Sarinahnya Bung Karno, The Story of Jaivaharlal Nehru punya Shakuntala Masani. Polemik, Kebudayaan susunan Achdiat, Kebudayaan Islam oleh Natsir dan Prof Kemal C.P. Wolff Indonesie. Nederland en de Wereld karangan van Mook sampai Korte Inleiding in de Existentie Philosophie-nya van Peursen. Bahkan ia sempat menuliskan sekedar resensi, yang kemudian distensil sebagai buku berjudul Butiran oleh Oerip Hartojo (mahasiswa dan sopirnya ketika itu) yang kemudian menjadi domine. Ada pendapat-pendapatnya yang menarik da lam Butiran yang membuat resensi atas 15 buku yang ia tulis untuk Bung Natsir. Misalnya tentang Lenin en Gandhi oleh Rene Fulop Miller: “Membaca riwayat hidupnya Lenin, sama seperti kita diajak melihat angin taufan dan lautan samodra yang bergelora. Membaca riwayat hidupnya Gandhi, sama seperti kita diajak melihat angin berbisik sayup-sayup dan air tenang sedang mengalir. Bila dalam pergolakan politik sekarang ini, terutama di dalam negeri, kita berkehendak mencari pegangan dari pelajaran kedua hervormers ini, maka tentu akan timbul pertanyaan, jalan yang betul? saya kira jalan yang tengah”. Tentang Polemik Kebudayaan: “Kurang sekali dilukiskan hubungan antara kebudayaan bangsa dan kemerdekaannya. Bagi saya kebudayaan dan peradaban adalah suatu produk dari pada suatu kemerdekaan. Tidak mungkin cultuur berkembang dan peradaban meningkat dari suatu bangsa yang, baik politis maupun ekonomis, keadaannya diikat oleh bangsa lain”. Tentang Korte Inleiding in de Existentie Philsophie: “Saya anggap Chairil Anwar sebagai seorang pujangga yang jiwanya bergulat juga dalam badainya lautan existensialisme. Bung Sjahrir dan Bung Natsir sendiri saya anggap masih tengah bergulat rupanya dalam derasnya aliran existensialisme ini. Bung Sjahrir dengan sadar, Bung Natsir mungkin belum sadar”. Heikal Roeslan yang sejak belasan tahun sudah ‘kutu buku’ ini sekarang lagi asyik membaca The Road to Ramadhan karangan pemimpin redaksi Al-Ahram dan politikus Mesir Mohamed Heikal (TEMPO 11 Oktober). “Saya senang buku itu. Saya sendiri pernah ketemu Heikal di Kairo tahun 1965. Orangnya memang hebat”, kata Roeslan. Tapi yang paling mengesan dua: De Vrijmaking der Mensheid (Hendrik Willem van Loen) yang mengisahkan ikhtiar manusia membebaskan diri dari rasa takut dan memberi semangat melawan penindasan, dan De Heilige Qoer’an (Soedewo). tafsir Qur’an pemberian almarhum Kyai Achmad Zakaria, “nasionalis Islam dan ulama kenamaan”. Ketika ditangkap Belanda, Roeslan membiarkan seluruh miliknya disita asal kedua buku itu tetap padanya. Ketika tahun 1945 ia mengungsi dari Surabaya ke Mojokerto, koper yang saya bawa mengungsi isinya hanya beberapa potong pakaian dan sejumlah buku”. Ia paling suka sejarah. “Asal ada buku baru tentang sejarah dari penerbit dalam atau luar negeri saya selalu kepengen mendapatkannya”, katanya. Sejarah bangsa Romawi misalnya, sangat dikaguminya. Bisa difaham, sebab sejak kecil ibunya sering mendongeng tentang Sriwijaya, Majapahit, Trunojoyo. Untung Suropati, Diponegoro. Dan setelah dewasa membaca buku-buku karya sejarawan besar Toynbee, Jan Romein, Thomas Carlyle, Ibn Khaldun. Dalam usia 61 sekarang (dengan rambut 90% masih hitam) hampir setiap pagi menengok toko buku kalau-kalau ada buku baru. Ini dilakukannya jam 10–11 kalau tak ada tamu atau undangan. Sebelum itu, sesudah sembahyang subuh, ia jalan-jalan sebentar lalu mandi kemudian minum kopi sembari membaca koran atau buku yang dilanjutkan malam hari sampai jam 23. Begitu mendalam pengaruh bacaan atas dirinya. Ia pernah tertarik pada Hafil, nama samaran Sutan Sjahrir untuk menyebut Bung Hatta dalam buku tentang para Digoelis. Ketika anaknya ke-4 (laki-laki) lahir di Yogya, diberinya nama Hafil ditambah Yanto – nama pemuda yang meninggal akibat tembakan Belanda. Maka jadilah: Hafil Budianto. Masih tertarik Sjahrir, ketika anaknya ke-5 (perempuan) lahir di Jakarta ia namakan Hafilia Riniati yang kini 17 tahun, masih duduk di kelas I SMA Negeri IV Jakarta. Dua anaknya yang lebih tua, Rustini Wulan dan Retnowati, dibesarkan dalam suasana revolusi. Waktu mengungsi dari Surabaya ke Mojokerto tahun 1945 keduanya baru 5 dan 3tahum Rustini yang menikah dengan Drs Aisar Rifki Indrakesuma sekarang sudah dianugerahi 3 anak, sementara Retnowati yang sarjana hukum bekerja sebagai assistan cashier dari Bank of America New York. Adapun anak ketiga, Rudiono Iskandar yang lahir dalam pengungsian di Malang (1946) adalah insinyur ahli komputer elektronik di Amsterdam. Ia sudah menikah dengan gadis Belanda. Roeslan sendiri menikah dengan Sihwati Nawangwulan 37 tahun yang lalu, 1938, ketika berusia 24 tahun. Lahir di kampung Palmpitan Surabaya, 24 Nopember 1914, sejak belasan tahun ia sudah masuk Natipij, National Indonesische Padvinderij, organisasi kepanduan adik kandung Jong Islamiten Bond pimpinan Mr. Moh. Roem. Tahun 1930, tanpa melepaskan keanggotaan Natipij, Roeslan masuk Indonesia Moeda, bahkan 3 tahun kemudian terpilih sebagai ketua cabang Surabaya dan tahun berikutnya ketua IM Jatim membawahkan 15 cabang beranggotakan sekitar 700 orang. Tahun 1935 Sukarni Kartodiwirjo (kemudian tokoh partai Murba) ketua Pedoman Besar (pengurus pusat) IM menghilang karena mau ditangkap Belanda. Dalam pemilihan IM beberapa waktu kemudran, Roeslan terpilih sebagai penggantinya dan sekretariat PB-IM pindah ke Surabaya. Hilangnya Sukarni mengakibatkan Roeslan ditangkap pula. Tapi cuma menginap seminggu di Kantor Besar Polisi (jalan Perniagaan Surabaya sekarang). Dan 2 bulan setelah itu diciduk lagi, 10 hari. Lalu 4 bulan sebelum kongres IM, 1937, ia ditangkap untuk ketiga kalinya. Toh usaha Belanda menelacak Sukarni tetap nihil. “Kami memang menghilang dari Jakarta, nyamar sebagai nelayan berbaju hitam-hitam, datang ke Surabaya dengan perahu nelayan malam-malam menemui saya. Setelah saya kumpulkan dana, ia pergi lagi dengan kereta api. Saya jumpa lagi 12 tahun kemudian, 1947, di Yogya. Karni memang hebat”, ujar Roeslan. Akibat ikut gerakan kebangsaan, Roeslan mengalami kesulitan di sekolah. Setelah tamat HIS (197), MULO (1930) dan HBS-B (1934) ia masuk Europeesche Kweekschool (sekolah guru Eropa) semacam Kursus B-I. Kira-kira 2 bulan sebelum ujian ia dikeluarkan. Gurunya tahu ia masuk IM . Ketika itu yang diizinkan masuk EK cuma orang Eropa, pribumi anak bangsawan atau anak pegawai tinggi. Dan menjadi anggota pergerakan nasional tentu saja terlarang. Taopa Diploma Apa boleh buat. Tanpa diploma, sejak 1935 itu Roeslan mengajar mata pelajaran ekonomi dan sejarah di bberapa sekolah partikelir. Antara lain di Sekolah Menengah Islamiyah jalan Baliwerti (kemudian pindah jalan Arjuno). Di antara pengurus dan pengajarnya terdapat Mohammad Sarjan (kemudian tokoh Masyumi dan Menteri Pertanian) dan Surowijono (anak-buah HOS Tjokroaminoto yang kemudian Menteri PP & K). Perguruan Rakyat jalan Peneleh dan kursus malam Taman Siswa (untuk kaum tua) pimpinan Ki Darmobroto. Di sini Roeslan hanya menerima honor, bukan gaji, yang jumlahnya antara 6-8 rupiah sebulan. “Tapi saya puas, sebab merupakan sumbangan murid-murid sendiri yang jumlahnya tak sama, tergantung kemampuan orang tua masing-masing”, katanya. Oleh pengurus uang itu dihimpun. Setelah dipergunakan untuk ini-itu (semuanya dicatat), baru sisanya dibagi sesama guru. “Kalau ada guru yang sakit, uang tidak dibagi dulu sebelum dipisahkan sebagian untu, membantu” . Terutama setelah menjadi guru, Roeslan banyak bergaul dengan politisi Muslim, kaum nasionalis dan Marxis. Ini karena rumahnya berdekatan dengan tempat tinggal HOS Tjokroaminoto, pusat kegiatan Syarikat Dagang Islam. Ayahnya sendiri bendahara SDI, “tapi tidak aktif kecuali menghimpun dana untuk pertemuan ini-itu”. Sejak kecil Roeslan sudah sering melihat Bung Karno meski belum mengenalnya, sebab umurnya terpaut belasan tahun. “Kata ibu, Bung Karno sering ngutang rokok di warung ayah. Tapi semua itu sudah beres, sudah lunas”, kata Roeslan. Haji Abdulgani, ayah Roeslan, dulu membuka warung klontong makanan, minuman dan rokok. Meski warungnya sederhana, pak Abdulgani juga punya 7 Fiat yang disaksikan. “Itulah sebabnya sampai sekarang saya suka Fiat” kata Roeslan. Dan Fiatnya yang sekarang punya nomor B 45 WW, mengingatkan angka tahun proklamasi. Ayah Roeslan juga punya beberapa rumah yang disewakan. Tak heran ketika Bung Karno tahun 50-an mampir ke rumahnya jalan Plampitan Surabaya sempat berseloroh, “pak Abdulgani ini burjuis kapitalis….”. Roeslan sendiri sekalipun dekat dengan Bung Karno tapi tak terlalu akrab. “Bung Karno pernah sekali berkunjung ke rumah saya yang sekarang ini bersama Bu Fat, tahun 1952, setelah almarhum mendengar ibu saya datang dari Surabaya. Ternyata keduanya sudah saling mengenal. Ibu sendiri bilang, Bung Karno itu dulu bernama Kusno”, tutur Roeslan. TEMPO: Apa yang paling mengesan dari Bung Karno? Jawab: Manusiawinya. Bung Karno sebagai idealis, teoritikus dan dreamer. Ia selalu ingin memadukan segala apa yang kontradiktif dalam alam, dalam dunia internasional dan masyarakat kita. Ia menarik garis tegas antara klonialisme imperialisme di satu fihak dengan nasionalisme-patriotisme di lain fihak. Dia tak pernah menyembunyikan diri, selalu blak-blakan, hingga sering-sering ‘sikap berhati-nati’ yang diperlukan dari sorang negarawan atau Kepala Negara dilupakan. Ia dapat membenci atau mencintai sesuai, kadang secara berlebih-lebihan. Cita-citanya besar, kekuatan keyakinannya besar. Kelemahan-kelemahannya pun besar. Itu termasuk “les defauts de ses qualites” kata orang Perancis, yakni kekurangan-kekurangan dari kwalitasnya setiap orang besar dan sebagai manusia. Mengapa Bung Karno bangkrut, Roeslan merasa “tak baik mengusik orang yang sudah tak ada atau bicara tentang orang yang sudah jatuh”. Tapi ia berkesimpulan, mulai 1963 Bung Karno sudah digarap oleh PKI. Adapun tentang Nasakom, asumsinya bertolak dari pemikiran menarik PKI bekerja sama. Ternyata PKI lebih mementingkan ideologinya “Dan memang, dengan Manipol-yang antara lain bertujuan menyederhanakan kepartaian dan sekaligus memberi jalan bagi golongan karya–sebenarnya sudah curiga. PKI jelas tak mau menerima pikiran demikian, sebab punya loyalitas internasional.” Toh Roeslan juga mengakui, Manipol ada juga positif dan negatifnya. “Saya bukannya tak tahu kalau ada yang menyebut saya dengan predikat jurubicara USDEK Manipol atau Jubir Usman dengan nada sinis. Itu risiko perjuangan berlayar tentu selalu kena ombak. Cuma saya meyayangkan orang yang bersikap demikian tidak berkonsultasi lebih dulu secara sepatutnya”. Perjalanan karir Roeslan cukup menarik. Saat-saat menjelang revolusi, ia sudah menduduki jabatan penting dan berkumpul dengan banyak tokoh. Jaman Jepang misalnya, bekerja di kantor Perindustrian Jatim pimpinan Ir. Darmawan Mangunkusumo (kemudian Menteri Prekonomian Kabinet Sjahrir). Tahun pertama RI, ia sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya yang diketuai Doel Arnowo (kemudian Wali kota Surabaya). Beberapa anggotanya yang sempat menjadi orang gedean, antara lain dr. Siwabessy, Ir. Darmawan Mangunkusumo, Notohamiprodjo. dr. Moh. Suwandhi. Baru 6 bulan mengungsi di Malang (akhir 1946), ia dipanggil pemerintah pusat Yogyakarta menjabat Sekjen Kementerian Penerangan (1947–1954). Setahun setelah pengakuan kedaulatan, 1950, ia pundah ke Jakarta. Sementara ia menjabat Sekjen Kemlu (1954–1956) tahun 1955 terpiih sebagai Sekjen Konperensi Asia Afria di Bandung. Barangkali karena sukses menyelenggarakan konperensi yang menurut Roeslan hasilnya sampai sekarang masih bisa dimanfaatkan untuk nengurangi ketegangan dunia – setahun kemudian diangkat menjadi Menlu (1956–1957) menggantikan Soenarjo SH. Maka semangat Bandung pun ia kobarkan . T: Sekarang banyak orang bicara tenang New International Economic Orler singkatnya pembagian rezeki yang merata di dunia. Dalam kerangka ini. bagaimana hari depan negeri-negeri sedang berkembang seperti Asia-Afrika, Amerika Latin, khususnya ASEAN? J: Cagasan seperti itu tak dapat dilihat lepas dari imbangan kekuatan yang nyata antara negara-negara maju dengan negara-negara terbelakang. Barangkali dalam hal ini saya terlalu ‘traumatis’, masih tercekam oleh pengalaman-pengalaman zaman saya. Yaitu bahwa tak ada satu kelompok, baik negara maupun manusia, yang begitu saja secara suka rela mau melepaskan ‘previleged position’-nya. Mungkin mereka mau membagi ‘rontokan-rontokan ‘ nya kepada Dunia Ketiga sebagai semacam penebusan dosa yang filantropis’ Lebih dari itu sulit diharapkan, kecuali kalau mereka dihadapkan pada desakan dan paksaan yang terorganisir. Seperti OPEC umpamanya. Dalam rangka ini, Indonesia jangan terlalu simple mindeakan masalah ekonomi dunia tidak ada kaitannya dengan masalah politik dan militer. Kita pun harus hemat dengan kekayaan alam kita, sekalipun mungkin anka-angka perkiraan persediaannya sangat optimis. Bagaimana pun juga ada hikmah kebenaran pokok dalam laporan Club of Rome tentang the limits to economic growth. Juga growth di Indonesia akan menghadapi limits-nyaa, apalagi uang tak berimbang dalam keadaan sosial budayanya. Bung Karno puas tas sukses-sukses Roeslan. Maka ketika Dewan Nasional yang dipimpinnya terbentuk. Roeslan ditunjuk sebagai wakil (1957-1959). Dewan ini mendampingi Kabinet Kerja (sebelumnya disebut Kabinet Gotong Royong), konon sebagai rem bagi krisis pemerintah. Juga ketika Dewan ganti nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung, Bung Karno tetap menempatkannya sebagai pendamping (1959-1962). Tapi setelah Dr. Soebandrio diangkat sebagai Menlu, timbul perkebangan lain. “Waktu saya jadi Menlu, saya angkat Soebandrio sebagai sekjen. Karenanya saya cukup mengenalnya. Garis politiknya lebih banyak didorong ambisi pribadi, mudah ditunggangi PKI”, ujar Roeslan. Dulu saya tegas non aligned atas dasar Dasa Sila Bandung, sedan Soebandrio lebih condong ke blok kiri. Berulang kali Bung Karno saya peringatkan bahwa garis Soebandrio bisa merugikan. Tapi reaksinya tenang-tenang saja, malah kedudukan saya semakin sulit. Saya memang dekat dengan Bung Karno, tapi selalu ada batas”. Sekitar 1956/1957,kata Roeslan, Bandrio pernah mencoba masuk PNI tapi tak dilayani. Tapi 1961 kelihatan Bandrio sering membawa Njoto, tokoh PKI itu, ke Istana. “Apa maksudnya, saya tak tahu. Yang jelas, mulai 1962 PKI mulai mengerosi saya”, tambahnya. Misalnya ketike ada isyu tentang GAS (Gerakan Anti Soekarno) di Surabaya, 1962, seperti disiarkan Harian Djawa Timur. Tanggal 8 Nopember 1962 malam, seorang lelaki 40 tahun sedang omong-omong dengan gelandangan di sebuah gubug pinggir kali jalan Peneleh. Tiba-tiba datang serombongan orang yang menamakan diri “Arek-arek Suroboyo” (ternyata BTI/PKI) mengeroyoknya sampai babak-belur, diarak dengan becak keliling kota sebagai “anasir subversi dan pengacau rakyat”. Sekitar jam 22 polisi datang lalu membawanya ke rumah sakit. Di sana, ada dokter yan mengenal lelaki malang tadi segai Gatot Goenawan, adik kandung nyonya Roeslan. Sembuh dari perawatan, Gatot mengadu ke pengadilan. Perkaranya belum beres, 2 tahun kemudian ipar Roeslan ini diambil dari rumahnya, jalan Betek 51 Malang. “Waktu itu Menteri Kehakiman memang sudah Astrawinata yang pro PKI”, kata Roeslan. Gatot dibawa ke berbagai tempat, sampai ditahan di markas Biro Pusat Intelijen-nya Bandrio. Bahkan juga di sebuah sel bawah tanah di suatu tempat di Jakarta dan akhirnya dijebloskan ke penjara Kalisosok Surabaya. Semuanya tanpa boleh dijumpai keluarga dan baru bebas tahun 1966 dengan tuduhan mendalangi GAS. “Itu tidak benar”, kata Roeslan. “Sejak 1957 Gatot aktif dalam yayasan atau koperasi pertanian di Malang, mengusahakan produksi dan pemasaran semangka, jagung dan lain-lain. Kecuali bergaul dengan petani, juga dengan abang-abang becak. Tanggal 8 Nopember 1962 malam itu ia memang lagi omong-omong dengan gelandangan bekas petani Malang. Gatot membujuknya kembali pulang. Rupanya itu salah satu cara Subandrio untuk menyingkirkan saya. Dalam rapat KOTI sampai-sampai ia bilang ‘adik Roeslan mendalangi GAS’, hingga Bung Karno bertanya ‘apa betul?’ Untung Jenderal Yani almarhum membantahnya”, tutur Roeslan. Mencium PKI mau kup, Roeslan yang ketika itu wakil ketua DPA dan ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi buru-buru menerbitkan pidato Bung Karno antara tahun 1926-1957, berjudul Kepada Bansaku, setelah konsultasi dengan Jenderal Nasution dan Jenderal Yani. Sukarni Kartodiwiryo yang ketika itu juga anggota DPA, mendukung usaha Roeslan. PKI memang menafsirkan apa yang disebut ajaran Bung Karno dengan caranya sendiri untuk merebut penaruh. Tapi justru karena buku itu pula Roeslan semakin tersisih. “Soalnya isi pidato Bun Karno dalam buku itu, yang mengutuk peristiwa Madiun, sangat merugikan PKI”, katanya. Bagaimana pun tahun 1962 itu juga ia terpental. Jabatannya sebagai wakil ketua DPA diganti Sartono SH yang menurut Roeslan “sudah tua”. Meski kemudian ‘Bung Karno menawari jabatan lebih tinggi – Menteri Koordinator hubungan dengan Rakyat – Roeslan tetap menuntut penjelasan apa kesalahannya. “Bung Karno bilang saya tidak bersalah. Karena jawaban itu tidak memuaskan, saya tetap menolak jabatan Menko”. Akhirnya Mr. Moh. Yamin –sebelumnya ketua Dewan Peranang Nasional (Depernas) – yang diangkat. Tapi ketika setahun kemudian Yamin mangkat, Roeslan toh kembali ke kabinet menggantikan Yamin. Mengapa? “Sesudah saya dicopot dari DPA, Pak Gatot Soebroto almarhum datang. ‘Apa? Monyet kamu!’ katanya. Kalau pak Gatot menyebut monyet itu tandanya sayang. Tapi kalau memanggil dengan sebutan ‘Paduka Yang Mulia’ berarti almarhum punya sikap lain. Pak Gatot bilang ‘Soekarno itu jangan dijauhi, nanti malah berbahaya’. Dan setelah pak Yamin mangkat, Jenderal Yani datang ke rumah menyatakan, kalau nanti Bung Karno memanggil saya menggantikan Yamin, saya jangan menolak. Waktu itu saya kaget, apa iya Bung Karno masih mau memakai saya. Menurut pak Yani, kemungkinan itu sudah diatur rapi. Itu harus saya terima, sebab lewat Subandrio PKI sudah punya calon yang meskipun bukan PKI tapi crypto-komunis macam Astrawinata. Dua hari kemudian sekretaris militer Presiden BrigJen Santosa datang, menyampaikan salam Bung Karno dan sekaligus minta agar saya menggantikan Yamin. Saya masih menolak sebelum mendapat penjelasan garis politik yan harus ditempuh. Tiga hari berikutnya Santosa datang lagi menyatakan, Bung Karno mempersilakan saya bekerja seperti dulu, bebas”. Dua minggu setelah itu Roeslan kembali masuk kabinet sebagai Menko Hubungan dengan Rakyat merangkap Menpen (1963-1965). Dan dalam masa peralihan ke Orde Baru, selama setahun (1965–1966) ia menjadi anggota Presidium Kabinet yang mengkoordinir kegiatan Lembaga-Lembaga Negara non Departemen. T: Pak Roeslan pernah ceramah tentang Pancasila di Universitas Nomensen Medan. Kalau kita ingin melaksanakan cita-cita falsafah Pancasila dalam pembangunan politik, bagaimana sebaiknya menata kembali birokrasi kita? J: Max Weber pernah berkata, bahwa birokrasi sebagai roda administrasi negara adalah penting. Dalam perkembangannya di mana-mana ia merupakan suatu ‘power instrument of the first order’ yang sulit untuk dirobah. Tapi sebaliknya mudah dan cepat mengikuti perubahan kekuasaan. Ia paling sukar dihancurkan dan ia juga paling cepat menyediakan diri bagi mereka yang berkuasa. Sudah tentu kwalifikasi Max Weber ini agak berlebih-lebihan. Tapi saya kira pada umumnya dapat dikonstatir bahwa padanya melekat 2 sifat kontradiktif: Lamban dalam orde tertentu, cepat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan orde yang buru. Apabila birokrasi sudah mencium kekuasaan politik, maka jiwa ‘service to the public’ akan berkurang. Menata kembali birokrasi yang demikian itu dapat dilakukan dengan 2 jaman. Pertama, menyadarkan kembali kepada tugas ‘public service’-nya untuk masyarakat dan rakyat banyak. Kedua, dengan meningkatkan mekanisme check-and-balance dalam pengendalian kekuasaan politik Negara dan Pemerintah kita. Usuha ini tidak mudah dan makan waktu lama. T. UUD 45 kan mengandng kemungkinan adanya check-and-balance itu? J: Jelas. Sekarang ini ada juga check and-balance itu, cuma masih kurang….. Mengambil kasus kegagalan PKI, Roeslan berpendapat partai-partai di masa lewat memang gagal. “Karena mereka terlalu berpretensi merebut kekuasaan. Itulah sebabnya, kepada kaum muda sekarang saya selalu katakan bahwa dinamisme itu harus dipelihara tetapi bentuk penyalurannya harus lain. Sekrang tidak lagi boleh bersikap nihilistis, mendobrak asal mendobrak. Aparat pemerintahan sekarang memang belum sempurna, tapi kita berkewajiban menyempurnakannya bersama-sama’ PNI dan Kuman T: Tentang PNI bagaimana? J: PNI sebagai partai politik yang besar sebelum 1963 besar pula jasa dan peranannya terhadap negara dan rakyat. Misalnya dalam menggulung federalisme Belanda tahun 1950, merintis Konperensi AA di Bandung tahun 1955, membela Pancasila di Konstituante dan mendukung Dekrit kembali ke UUD 45 tahun 1959. Tapi penyakit-penyakitnya pun besar pula. Setiap organisasi yang besar tidak selalu dapat bertahan ‘imun’ terhadap kuman penyakit dari bar. Apalagi dalam saingan perebutan pengaruh. Semoga PDI dapat belajar dari masa silam. Demikian juga Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar. Dalam periode kepemimpinan PNI yang terakhir di bawan Mr Ali Sastroamidjojo, Roeslan sebagai wakil ketua IV. “Ketika itu dalam PNI sudah heterogin. Dalam kongres Bandung – menjelang perpecahan dengan kelompok Ir. Surachman–saya tidak ikut. Saya tak mau ikut-ikutan rebutan kepemimpinan partai dalam perpecahan semacam itu”, katanya. Ia menyayangkan, sejak tahun 60-an PNI mulai kropos “Dan tak bisa secara 100% menerapkan garis Bung Karno tentang penyederhanaan kepartaian, yang mereka anggap merugikan. Padahal gagasan itu kalau terwujud merupakan wadah nasionalisme dan bisa menyingkirkan PKI. PNI kurang berfikir strategis. Selain itu juga, karena kejangkitan trauma of the past. Ingin tetap radikal tapi dalam penerapannya tidak bisa selalu sinkron dengan perkembangan politik, sosial dan ekonomi. Apalagi di dunia ada perkembangan lain – perang dingin”. Jabatan Roeslan yang terakhir adalah wakil tetap RI di PBB dengan pangkat Dubes (1967–1971) setelah secara kebetulan umumnya mendekati pensiunan. Dalam masa jabatannya, 1969, Roeslan pernah menjadi Wakil Presiden Sidang Umum PBB. “Sekolah saya yang pertama di bidang diplomasi adalah pergolakan Surabaya yang terkenal dengan Hari Pahlawan itu”, ujarnya. Sejak 25 oktober 1945 ketika Inggeris mendarat di pelabuhan Perak tanpa izin, sejak itu pula ia terlibat dalam beberapa perundingan, sampai akhirnya diangkat sebagai sekretaris Biro Kontak. “Karena sekretaris dari fihak Inggeris berpangkat Kapten, yaitu Kapten Shaw, kawan-kawan pun berseloroh ‘mengangkat’ saya sebagai ‘kapten’ pula”, katanya tertawa. “Hei, kep!” begitu kawan-kawannya sering bergurau memanggilnya. Bicaranya sehari-hari tetap berbau ‘dialek Surabayan’, Roeslan juga sering dipanggil dengan ‘Cak Roes’–panggilan akrab untuk arek Suroboyo. Sekitar tahun 60-an, ketika AU memberi Subandrio pangkat Lasama Udara, maka AD pun mengangkat Roeslan sebagai Mayjen. “Itu kepangkatan politis, tak ada artinya apa-apa bagi saya”, tambahnya masih tertawa. Unik juga, dari ‘kapten’ langsun naik menjadi ‘jenderal’–dan keduanya bukan pangkat efektif. Dalam pertempuran Surabaya, Roeslan mengaku “cuma lari-lari”. Hadir juga dalam bentrokan senjata, pernah tiarap, merangkak-rangkak mencari perlindungan, bahkan masuk kali kecipratan darah orang. “Tapi saya tak bisa menembak. Pernah juga sekali waktu pegang pestol. saya gemeter Ketika melepas tembakan, ya ngawur….”. T: Apa peranan PBB sekarang dan bagaimana hari depannya? Manfaat apa yang bisa kita ambil sebagai angota dan apa yang bisa kita sumbangkan? J: Peranan PBB sebagai forum penutaraan cita-cita Dunia Ketiga akan tetap penting. Sekalipun Dunia Baru akan merasa tidak senang dengan peranan ini, toh mereka akan terpaksa ‘main tenis’ dalam PBB. Bacalah artikel saya tentang Masa Depan PBB dalam TEMP0 yang lalu. Manfaat materiil yang dapat diambil oleh RI dari PBB agak terbatas. Mungkin tambahan bantuan di bidang Mechanical assistance dapat diusahakan dalam rangka multilateral aid-diplomacy. Sebaliknya tenaga-tenaga RI sendiri yang berpengalaman di bidang pembangunan desa, di bidang pendidikan masyarakat, dibidang nation and character building, dapat ditawarkan kepada perwakilan-perwakilan PBB untuk dimanfaatkan pengalaman-pengalamannya bagi negara-negara Dunia Ketiga. Jangan sampai kita ‘kebanjiran’ dengan tenaga-tenaga ahli PBB di sini yang kurang berbobot. Ketika Indonesia berniat kembali masuk PBB setelah ngambek tahun 1964, Roeslan ditugasi melicinkan jalan. “Keluarnya kita dari PBB memang keliru. Dengan begitu kita terpencil. Dulu itu kan gara-gara Subandrio juga”, katanya. Indonesia keluar setelah Malaysia duduk dalam Dewan Keamanan 1964, yang menurut Roeslan sebenarnya bukan keputusan baru. Tahun sebelumnya, pemungutan suara dalam MU PBB sudah memberi suara sama banyak pada Tjekoslowakia dan Malaysia. Karena masa jabatan untuk anggota tak tetap hanya 2 tahun, MU mengambil kebijaksanaan: kedua-duanya duduk, masing-masing setahun. “Keputusan itu tidak dilaporkan Subandrio kepada Bung Karno. Akibatnya Presiden jadi lebih naik pitam”, kata Roeslan. Pensiunan Tunjangan pensiunnya sebagai bekas Menteri cuma Rp 18 ribu sebulan. Dan sebagai bekas Dubes Rp 16 ribu. Dengan uang sekian, ia tak bisa berbuat banyak. Mungkin itulah sebabnya Oktober kemarin ia sibuk mengurus warisan. “Saya mendapat beberapa rumah warisan. Ada di antaranya yang akan saya jual untuk ongkos 2 anak saya yang masih sekolah”. Ia tak merasa senang kalau anak-anaknya belum beres sekolah. Ayah Roeslan sendiri dulu menginginkan anaknya jadi dokter. Sekarang, hal itu agak meleset. Tahun 1960, 1964, 1965 berturut-turut Roeslan menerima gelar DR-HC dengan (duta besar) dari Unpad (ilmu politik), Unair (hukum) dan IAIN Sunan Kalijaga (pendidikan). Dan sampai setua sekarang, semangat belajarnya masih tinggi. Ketika masih jadi Dubes di PBB dulu misalnya, kalau lagi tak ada sidang, ia ikut kuliah musim panas (6 bulan) di Hunter University untuk masalah kebijaksanaan politik luar negeri AS. Juga di Columbia University dalam perbandingan agama. Ia telah menunaikan Rukun Islam ke-5, tahun 1955. “Ketika itu persis tahun Akbar. Disebut begitu karena pada saat Wukuf di Arafah jatuh hari Jum’at seperti tahun ini. Tidak semua orang mendapat kesempatan naik haji pada tahun Akbar. Jadi saya merasa beruntung sekali”, katanya. Di kamar studinya kecuali deretan dan tumpukan ratusan buku – tampak ayat-ayat Qur’an lengkap yang ditulis hanya pada selembar kertas ukuran 1 meter persegi. Juga 3 gambar suasana sekitar Ka’bah di kota Mekah. Impian naik haji memang sudah mencekam sanubari Roeslan sejak kecil. “Ketika saya masih duduk di Sekolah Rakyat, ayah naik ‘naji. Saya mau diajak, tapi pak Surowijono -guru saya yang kemudian menjadi tokoh nasionalis Muslim — melarang. Naik haji ketika itu kan lama naik kapal api lantas naik onta dan sebagainya. Sejak itu saya selalu kepingin naik haji”, tutur Roeslan. Ibunya, Sitti Murad, dulu mengharap Roeslan memperdalam agama. “Setiap malam ibu mengajar ngaji 100 anak dalam kamar di belakang rumah. Lelaki dan perempuan terpisah. Mula-mula ibu sendiri membaca, kemudian anak-anak menirukan. Saya sendiri pernah gagal membaca surah Ya-Sin – hanya mampu sampai 2–3 baris saja. Maka upahnya sebatang rotan menimpa kaki saya. Sakit juga….”, ia tertawa. T: Seberapa jauh perhatian kaum intelektuil sekarang terhadap agama? J: Syukur alhamdulillah, perhatian itu kian meningkat. Mungkin karena akibat keresahan umum dan stabilitas semu yang dirasakannya, hingga memerlukan pegangan-pegangan spirituil yang lebih mendalam. Ada juga yang memasuki kebatinan. Namun semua itu baik, asal selalu dipelihara jiwa rasionil dan humanismenya. Sekarang karir eksekutipnya sudah berakhir. Tapi prakteknya belum sepi. Letjen Kartakusuma, Sekjen Dewan Pertahanan Keamanan, menunjuknya sebagai konsultan. Beberapa perguruan tinggi pun kerap memintanya berceramah. Antara lain IAIN Sunan Kalijaga Yogya dan Universitas Nomensen Medan. Juga Monash University Australia yang memberinya uang rokok 2000 dolar AS untuk 6 bulan, belum termasuk ongkos pp Australia-Indonesia. Sekalipun sekarang punya kesibukan lain sebagai sesepuh Yayasan Bhinneka Tunggal Ika dan pengurus Yayasan ’45 (dua lembaga yang sering berseminar tentang masalah-masalah sosial) toh kebiasaan lamanya, menulis artikel, tidak dilupakannya. Dalam setiap diskusi tampak kelihaian Roeslan ‘melempar’ dan ‘memancing’ persoalan, hingga kecuali semakin hangat, di sana-sini terselip humor yang segar. Dalam diskusi tentang Birokrasi dan Pembangunan Politik 15 Desember kemarin di UI (bersama Letjen Sayidiman dan drs. Soemiskum depan para peserta Program Pendidikan Non-Degree untuk Wartawan Senior) selain menguasai masalah, ia juga cukup berani melontarkan pendapat-pendapat. Sejak muda Roeslan sudah menulis untuk Garuda (organ IM pusat), Garuda Semeru (IM propinsi) dan Garuda Merapi (IM cabang). Sekarang antara lain menulis di harian Merdeka. Beberapa bukunya yang telah terbit antara lain 100 hari Di Surabaya (tentang pertempuran yang terkenal itu), 25 Tahun Indonesia-PBB, Dr. Soetomo Yang Saya kenal dan Sejarah, Cita-cita dan Pengaruh konperensi AA Bandung, ia merasa cukup bahagia dengan ‘status’-nya kini. Katanya: “Setiap orang kan punya rencana sendiri-sendiri”.