Tempo.
8 Januari 1972. Pengurus Dewan Mahasiswa UI menyatakan protes atas teror yang
terjadi di Matraman. Mereka juga menyatakan sikap menentang terhadap proyek
Miniatur Indonesia Indah. Mereka gagal menemui anggota DPR.MINGGU terachir
mendjelang tutup tahun, tampak sebagai minggu penuh perobahan bagi masjarakat
mahasiswa UI. Orang agaknja tak lekas bisa menghapus ngatan atas kebangkitan
jang mereka lakukan disekitar 1966. Sekarang terlihat: sebuah pengurus Dewan
Mahasiswa baru jang masih belum dilantik segera menguak kebekuan jang selama
hari ini dirasakan. Azrul Azwar, pimpinan Dewan baru jang menggantikan Hariadi
Darmawan setjara spontan membawa mahasiswa-mahasiswa “djaket kuning” mendekat
pekarangan DJalan Tjendana: menjatakan protes atas teror Matraman dan sekaligus
menjatakan sikap mereka tentang projek-Miniatur Indonesia Indah jang heboh itu
(TEMPO, 1 Djanuari 1972).
Kemudian
pada hari Senin setelah libur Natal, sedianja mereka akan mengadakan appel
mahasiswa ditempat biasa Djalan Salemba 6. Sekalipun niat itu tertunda – karena
adanja larangan dari Laksus Kopkamtibda – Azrul sempat djuga memberi keterangan
kepada maha siswa dan pers mengenai sikap mereka lebih djauh. Berdiri di anak
tangga pertama aula depan Fakultas Kedokteran, formatir jang terpilih pada 22
Nopember 1971 itu menjatakan bahwa Dewan jang dipimpinnja akan senantiasa
mengadakan kerdjasama dengan Gerakan jang ada di luar jang mempersoalkn projek
MII. Tapi iapun mengingatkan supaja mahasiswa UI djangan sampai terpantjing
pada perbuatan jang akan menumpas idealisme itu sendiri. “Simpanlah idealisme
saudara difakultas masing-masing”, tambal doctorandus medicus jang berkatjamata
itu.
Thames.
Suatu sikap untuk mendjauhkan umpan-umpan diudjung kail, kiranja memang satu
sikap jang tjukup arif — tanpa harus djadi serba-takut. Dan begitulah, sebuah
mobil kombi Thames tua segera diisi lebih sepuluh mahasiswa UI jang terdiri
dari pimpinan Dewan, MPM, dan Senat-Senat jang ada di Universitas itu – madju
menudju gedung DPR di Senajan.
Tidak
begitu beruntung bagi delegasi karena diantara sekian pimpinan Lembaga
perwakilan itu, tak satupun jang ada ditempat. Tapi delegasi tidak mengurungkan
niat mereka dan kepada Sri Hardiman, SH, Sekretaris Djendral DPR dimintakan
supaja DPR segera mengutuk tindakan teror Matraman. Dan dalam pertjakapan
selandjutnja dengan pedjabat jang berpangkat Brigadir Djendral TNI-AD itu oleh
delegasi dimintakan supaja projek MII dihentikan. Mahasiswa UI demikian
dinjatakan, sangat menopang setiap usaha jang menudju kepada pembangunan
nasional, tapi tidak dalam bentuk projek MII jang akan banjak menghamburkan
uang tersebut. Delegasi jang kebetulan tak satupun memakai djaket berwarna
kuning itu menjerukan supaja DPR bersama-sama dengan pemerintah tetap mendjaga
hak individu untuk mendjalankan lontrol sosial. Pada achirnja mereka
mengharapkan supaja DPR pilihan rakjat itu betul-betul bisa mendjalankan
fungsinja sebagai wadah wakil rakjat. “Kalau tidak, maka kami tidak akan datang
kembali kesini”, kata Azrul Azwar. Dan ini artinja, seperti dikatakan delegasi
lebih djauh adalah mengerahkan massa kembali turun kedjalanan, “sesuai dengan
aspirasi generasi muda”.
DMUI
memang bukan satu-satunja organisasi intern mahasiswa jang menjatakan sikapnja
tentang MII. Tapi orang setjara otomatis nampak tak bisa begitu sadja
melewatkan kegiatan mereka. Paling tidak, pelan-pelan agaknja sudah mulai bisa
ditolak anggapan bahwa Dewan Mahasiswa itu, sebagaimana jang dikatakan oleh
Juwono Sudarsono, MA, dosen UI dan demonstran ke Kedutaan Pakistan beberapa
waktu jang lalu: “terlalu melibatkan diri pada establishment ” (TEMPO, 1 Mei
1971).
Tapi
usaha itupun memang tidk mudah bagi Azrul dan kawan-kawannja. Mereka berada
disituasi jang berbeda dengan masa “djaketkuning” 1966. Dan MII hanjalah satu
kasus sadja. Namun Azrul, pemuda Atjeh itu mengatakan tekadnja: “Saja akan
tetap mendjaga kekompakan. Saja berhasil atau saja keluar”.
Kini
Soal Langkah Mundur “Miniatur”
Sejumlah
kelompok mahasiswa & pemuda berdialog dengan gubernur DKI Jaya Ali Sadikin.
Tak ada titik temu antara keduanya yang membahas soal Miniatur Indonesia Indah
itu. Pemuda menuntut proyek dihentikan.
DENGAN
segera kelihatan, projek Miniatur Indonesia Indah tak akan diteruskan seperti
rentjana semula. Di depan kira-kira 120 mahasiswa dari Djakarta dan Bandung
digedung DPRD Djakarta Raya Rabu minggu Ialu Pd Gubernur Ali Sadikin berkata,
bahwa djangka waktu dua tahun penjelesaian projek — seperti jang dikehendaki
Nj. Tien Soeharto sebagai pemrakarsa baru sekedar harapan. “Menurut pengalaman
saja tidak bisa”, kata Ali Sadikin sebagai pelaksana projek. Tentang beaja Rp
10,5 miljar jang pernah disebut kan Nj. Tien, Sadikin djuga mengatakan, bahwa
“uang sebanjak itu belum ada” Dikatakannja djuga tak ada keharusan buat
tiap-tiap daerah untuk menjumbang Rp 50 djuta. Kalau ada jang tak sanggup,
seperti Nusa Tenggara Timur dan Djawa Timur, “ja sudahlah”.
Meski
begitu, Ali Sadikin tak membenarkan kesimpulan wakil Gerakan Akal Sehat dari
Bandung bahwa itu berarti projek Miniatur ditunda setjara keseluruhan. “Kita
mulai sesuai dengan kemampuan”, katanja. Dan sekarang djuga. “Buat saja lebih
baik mulailah daripada tidak samasekali. Dulu djuga sewaktu kita akan merdeka
banjak pertimbangan, tapi djuga kita lakukan. Kalau kemudian sesudah merdeka
brengek, itu lain soal !”–dan hadirin tertawa.
Tersekat.
Toch beberapa puluh menit setelah tertawa, wakil-wakil mahasiswa Bandung
meninggalkan ruangan. Mereka nampaknja tidak puas, walaupun pertemuan hari itu
dimaksudkan untuk mentjiptakan saling pengertian. Ali Sadikin didampingi Ali
Murtopo jang mendjadi wakil pelaksana projek, menundjukkan posisi jang berbeda
dari posisi jang di ambil Nj. Tien Soeharta sebelumnja. Tapi para mahasiswa
jang memprotes masih tersekat pada persoalan waktu pelaksanaan projek jang
tidak ditunda, dan persoalan sampai dimana projek ini bersifat “swasta”. Ketua
baru Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Azrul Azwar (lihat djuga:
Mahasiswa), meskipun tak datang kepertemuan Balai Kota menjatakan komentarnja:
“Jang diberi kan Ali Sadikin belum memuaskan. Bang Ali tak mendjawab pertanjaan
mahasiswa tentang penggunaan aparat Pemerintah dalam projek swasta itu.
Sebaliknja dia berbitjara tentang pelaksanaan projek”. Meski begitu, Azrul
Azwar menambahkan: “Tapi jang positif dari pertemuan itu ialah bahwa Bang Ali
membuka forum dialog, walaupun tidak memetjahkan masalah”. Selain Ketua DMUI,
berkata pula Ketua DM IKIP Djakarta, Adnan Kartapringga, mahasiswa tingkat V
djurusan Ekonomi Perusahaan: “Kami menuntut Pemerintah menunda projek ini,
mungkin sampai permulaan tahap kedua Pembangunan 5 Tahun. Argumentsi Ali
Sadikin tidak mejakinkan kami”. Dan Ketua Dewan Mahasiswa Atma Jaya, Simon
Manao, 24 tahun: “Terus-terang pendjelasan Ali Sadikin kurang begitu diterima.
Jang kami tanjakan tidak didjawab”. Ia tak menjebutkan nama jang ditanja dan
mana jang tak didjawab.
Darah.
Memang tak mudah menim! bulkan saling pengertian dengan satu kali pertemuan —
apalagi dalam suasana jang sudah agak terlandjur rusak. Setelah peristiwa
berdarah dikantor Panitia Miniatur Indonesia Indah seminggu sebelumnja (TEMPO,
1 Djanuari), gerakan protes makin tersebar. Di Djakarta sendiri timbul gerakan
baru, Gerakan Anti Miniatur alias Gerakan Angkatan Muda alias GERAM, jang pada
hari Rabu bersama gerakan lain mengadakan aksi duduk didekat kediaman Presiden
dan Njonja di Djalan Tjendana. Setjara dramatis Herman, korban penikaman di
kantor Panitia MII membuka badju dan menundjukkan luka-lukanja jang belum
sembuh – meskipun kemudian ia menakai badjunja kembali karena hari panas.
Larangan diskusi djuga djadi sia-sia: diawal minggu lalu pemuda dan mahasiswa
jang dilarang polisi berdiskusi di aula Sekolah Tinggi Theologia, berhasil
menjusup masuk Tman Ismail Marzuki dan mengumumkan “Petisi Spontan”. Di Jogja
sebelumnja timbul Liga Anti Pemborosan, protes terhadap MII jang dilakukan para
mahasiswa dan seniman.
Dan
Jogja tak sendirian disamping Djakarta dan Bandung. Di Surabaja
mahasiswa-mahasiswa berbuat jang sama, dan di Medan: 5 grup mahasiswa dan
pemuda djuga memprotes sang projek, meskipun mereka djuga harus berurusan
dengan penguasa militer setempat. Di Bogor IPB menunggu djawaban Nj.Tien
Soeharto. Semua itu tak berarti keadaan sudah berada diluar kontrol. Di
Djakarta dan Bandung, nampak sekali para mahasiswa dan pemuda mengendalikan
diri dengan membatasi djumlah mereka dan tak mempergunakan kata-kata jang bersifat
menjerang pribadi. Disamping itu, para petugas kepolisian Ibukota jang
menghadapi protes-protes itu berichtiar pula menghindarkan kekerasan. Diluar
kebiasaan selama ini, anggota-anggota pelbagai Gerakan jang dibawa ke Komdak
untuk ditanjai bahkan dapat djamuan Green Spot dan makan siang. “Polisi sungguh
bersikap baik sekali”, kata Arief Budiman jang belakangan ikut kedalam gerakan,
setelah beberapa hari sebelumnja absen, untuk menghindarkan tjap “orang jang
itu-itu-djuga” kepada aksi protes kali ini. Sikap berbaik-baik dengan polisi
itu — sesuatu jang tidak terdjadi dalam protes-protes mah.lsiswa dinegara lain,
misalnja di Filipina – djuga berlangsung dalam suasana humor. Sedjumlah petugas
intelidjen kepolisian jang selama ini membajang-bajangi aksiaksi mahasiswa
achirnja djadi kenalan baik. Maka Julius IJsman dari GERAM megusulkan setjara
bergurau kepada Junusi Jusuf, perwira intelidjen kepolisian Djakarta supaja
“mengganti wadjah anak-anak buahnja”. Didjawab dengan humor pula: “Busjet,
lu!”.
Kasus.
Meski demikian, diantara sikap tanpa ketegangan itu para pemrotes nampaknja
menganggap masalah jang mereka hadapi bukan soal main-main. “Ini soal
ketidak-tegasan hukum dalam menentukan wewenang dan status pedjabat”, kata Max
Wilar, 24 tahun, mahasiswa Sekolah Tinggi Theologia tentang tak djelasnja batas
swasta dan Pemerintah dalam pelaksanaan projek MII. “Soal Miniatur Indonesia
hanja kasus dari persoalan besar, seperti hukum, demokrasi dan sebagainja”.
Tapi apakah jang hendak ditjapai para mahasiswa ini dengan protes-protes mereka
jang riuh rendah itu? “Sasaran kami agar projek ini dibatalkan, minimal
ditunda”, djawab Anton Lukmanto, 24 tahun, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas
Trisakti. “Paling tidak kalau projek ini akan di laksanakan, kami melihat kemungkinannja
pada saat Pembangunan 5 Tahun berdjalan, sebab saat itu kalau segalanja
lantjar, keadaan sosial-ekonomi sudah berubah”. Jessi Monintja, 23 tahun,
mahasiswa Trisakti peserta GAPUR, djuga berpendapat hampir sama: “Kami akan
terus berdjuang membatalkan projek ini. Kalaupun tidak berhasil,
setidaktidaknja ditunda.
Membatalkan
projek itu samasekali, nampaknja sulit. Presiden Soeharto jang pendapatnja
ditunggu-tunggu, bagaimanapun sudah memberikan “restu”-nja kepada projek MII.
“Sebagai pemimpin dan djuga komandan”, kata seorang perwira tinggi Hankam, “Pak
Harto tentu sulit menarik kembali itu. Tapi itu tak berarti beliau merestui
bila projek tersebut menjimpang dari proporsinja”. Bagaimanakah proporsi jang
dimaksud? Nampaknja angka-angka Rp 10,5 miljar jang tertjantum dalam
berkas-berkas kertas Nusa Consultant untuk projek itu dianggap perlu diteliti
lagi. Siapa jang menganggap demikian? Dan setidaknja itulah hasil pertemuan
tadi. Perwira tinggi Hankam itu tidak membantah berita bahwa para teknokrat Pemerintah
dan Djenderal Sumitro serta Letdjen Sutopo Juwono dua minggu jang lalu
mengadakan pertemuan. Dalam minggu ini, selama beberapa anggota gerakan
mengumumkan “Minggu Berkabung” hingga 9 Djanuari, besar kemungkinan aksi-aksi
mahasiswa akan ditanggapi Pemerintah dengan siraman air jang sedjuk, meskipun
belum pasti bagaimana. Achir minggu lalu Sinar Harapan memberitakan Presiden
melarang Menteri-Menteri ikut dalam projek MII, dan diluar dikabarkan sesuatu
jang lebih tegas akan menjusul. Walau begitu, tak berarti penguasa tidak punja
alasan untuk kurang senang terhadap protes jang bergelombang selama ini. “Toch
projek Miniatur bukan projek djudi, mengapa ditentang?” kata seorang perwira
tinggi.
Moneter.
Ali Sadikin djuga pernah menggugat mengapa projek MII ditentang sedang misalnja
projek Antjol tidak. Mungkin soalnja antara lain karena projek MII, dengan
biaja jang semula dinjatakan Rp 10,5 miljar, diumumkan ditengah suasana
Indonesia jang tjernas akan krisis moneter jang mempengaruhi masa depannja,
ketika Presiden Soeharto sendiri berbitjara tentang “keprihatinan”. Di samping
itu masalah sumbangan daerah, peranan Pemerintah dalam projek Jajasan Harapan
Kita, dan ketakutan akan manipulasi para pengusaha atau pedjabat, mengganggu
perasaan. Orang mudah ingat masa Soekarno dulu, disamping keadaan ekonomi jang
kini belum 100% pulih–termasuk masih belum terasanja keadilan sosial.
Maka
banjak pendapat menganggap kritik terhadap projek MII djustru merupakan ulah
kampanje pembangunan Pemerintah sendiri. Majdjen Ali Murtopo paling tidak
melihat segi itu. Dihadapan mahasiswa di DPRD DCI Djaya minggu lalu itu Aspri
Presiden dan wakil pelaksana projek MII mengatakan bahwa keberatan
mahasiswa-mahasiswa menundjukkan tingginja perhatian terhadap pembangunan.
Memang menarik bahwa reaksi penguasa tingkat atas terhadap aksi-aksi mahasiswa
kali ini menundjukkan nada rendah, dan tidak memantjing lebih banjak hati
panas. Minggu ini dan minggu depan mungkin sekali akan menundjukkan langkah
mundur projek Miniatur dan djuga protes-protes. “Kami tak ingin melihat
korban-korban jang tak perlu diatas ataupun dibawah”, kata seorang mahasiswa.
“Jang perlu ialah di pertegasnja aturan tentang wewenang swasta dan pedjabat
dan diingatnja kembali ketidak adilan sosial jang berbahaja”.
Gong
& Guntur
Pidato
Presiden Suharto 6 Januari lalu merupakan gong pernyataan para pejabat tinggi
tentang proyek miniatur Indonesia indah. Presiden Suharto mengecam keras
mahasiswa yang menentang proyek tersebut.
PIDATO
Presiden Soeharto 6 Djanuari jang lalu merupakan gong buat pernjataan
pedjabat-pedjabat tinggi disekitar pertentangan pendapat soal projek Miniatur
Indonesia Indah. Menghadapi kritik dan protes mahasiswa, pemuda dan
tjendekiawan di Djakarta, Bandung, Bogor, Jogja, Malang, Surabaja, Medan,
Palembang dan Udjungpandang terhadap projek jang diprakarsai Nj. Tien Soeharto
itu, Presiden menandaskan lagi pernjataan-pernjataan sebelumnja. “Bahwasanja
projek Miniatur merupakan projek mertjusuar, adalah tidak benar”, katanja.
“Bahwa projek Miniatur akan membahajakan pembangunan, adalah djuga tidak benar.
Bahwa projek Miniatur akan menjedot daripada uang rakjat, djuga sebenarnja
tidak benar”.
Tapi
gong jang menguntji pendapat resmi itu djuga berbunji keras dalam pernjataan
selandjutnja – bahkan terlalu keras buat para mahasiswa dan sebagian
masjarakat. Presiden menghubungkan aksi-aksi protes dengan “issue politik”.
Katanja dalam pidato tanpa teks itu: “Tjoba kita lihat dari pelaksanaan. Pola
daripada peng-issue-an dari tahun 1968 sama sadja. Mutar-balikkan daripada
keadaan, menimbulkan perbedaan pendapat, kontradiksi dan lain jang
membingungkan rakjat, sehingga pada dasarnja mendeskreditkan Pemerintah”.
Kepala Negara bahkan menuduh, bahwa dalam djangka pandjang “tudjuan politis”
jang ada pada para pelaku “dibelakang lajar” gerakan-gerakan itu ialah “ingin
mendepak ABRI daripada kegiatan eksekutif, dan menghilangkan dwifungsi ABRI”.
Katanja lagi: “Sekarang kalau persoalannja adalah mendiskreditkan Pemerintah
untuk menjingkirkan saja, soalnja mudah sekali”. Menurut Presiden, bagi mereka
jang “muak melihat saja”, bisa ditempuh djalan konstitusionil: menunggu sampai
tahun depan. tatkala MPR memilih Presiden, atau mengadakan Sidang Istimewa MPR.
Dugaan.
Bahwa Presiden Soeharto dengan nada marah, menghubungkan aksi protes projek
Miniatur Indonesia Indah dengan keinginan politik mendjatuhkan dia, tampaknja
diluar dugaan para mahasiswa samasekali. “Itu mendiskreditkan sikap kritis
generasi muda” kata seorang tokoh mahasiswa jang ketjewa. Meskipun kaget dan
ketjewa, bagaimanapun djuga mereka jang melantjarkan aksi protes projek MII
merasa tak berdaja. Kepala Negara mengantjam bahwa kekuasaan luarbiasa jang
pernah diberikan MPRS kepadanja (dulu berupa Surat Perintah 11 Maret atau
“Super Semar”, kemudian disebut TAP IX), “bisa saja pergunakan untuk mengalakan
keadaan dalam keadaan darurat”. Terhadap antjaman ini, disertai kesadaran akan
kekuatan ABRI, para mahasiswa dan pemuda menjatakan pagi-pagi “menjerah”,
seperti tertjantum dalam statemen “Djanuari Kelabu” mereka.(lihata box).
Dan
diluar orangpun bertanja-tanja: apa jang menjebabkan Kepala Negara begitu keras
berbitjara? Seperti setiap kali dalam suasana Ibukota jang djadi pengap,
spekulasi serta bisik-bisik tak bisa dihindarkan. Teori I: Presiden mendapatkan
informasi, bahwa protes-protes jang tersebar hampir diseluruh pusat universitas
di Indonesia itu “ditunggangi” kekuatan jang menentangnja. Tapi siapa jang
“menunggangi” tentu sadja tak bisa diketahui masjarakat banjak. Meskipun sedjak
beberapa tahun ini, bahkan sedjak masa almarhum Sukarno, tuduhan “ditunggangi”
sering dipakai buat menanggapi aksi protes tanpa disusuli penangkapan dan
pengadilan. Teori II: ada perbedaan pendapat bahkan mungkin pertentangan
dikalangan atas penguasa achir-achir ini, termasuk jang menjangkut perkara
projek MII. Perbedaan pendapat atau pertentangan itu ikut dipengaruhi dan
mempengaruhi aksi-aksi protes dimasjarakat, hingga Kepala Negara perlu memberi
peringatan keras. Namun agaknja kekompakan ABRI jang tertjapai selama ini, dan
bertambahnja kekuasaan Pemerintah setelah Pemilihan Umum, bisa menangkis teori
jang membajangkan adanja konflik serius matjam itu. Lagipula seandainja
terdjadi konflik lingkat atas, amat malang bagi para mahasiswa bila mereka
terkena getahnja.
Alfian.
Maka tak mengherankan bila Kepala Penelitian Perkembangan Politik dari LEKNAS,
Dr. Alfian, ikut terkedjut mendengar pidato Presiden. Kepada harian Berita
Buana ia memberikan komentar–jang pertama kalinja dilakukan oleh seorang
tjendekiawan setelah 6 Djanuari: “Realita perkembangan politik sekarang,
setjara garis besar bahkan menambah kuat dan mantap kedudukan Djenderal
Soeharto sebagai Kepala Negara”. Sementara itu ia “jakin, mereka jang melakukan
aksi kritik terhadap projek MII djuga menginsafi sepenuhnja kenjataan ini”. Menurut
pendapatnja, “sukar untuk mengatakan, bahwa kritik terhadap MII langsung
ditudjukan kepa da kewibawaan Presiden Soeharto sebagai Kepala Negara”. Kalau
melihat kedjadian sehari-hari setjara objektif, kata Alfian, maka persoalannja
kiranja tidak sampai sedemikian.
Betapapun
djuga, buat pertama kalinja setelah meleka mendukung kepemimpinan Djenderal
Soeharto sedjak 1965-1966, para mahasiswa, pemudadan tjendekiawan kali ini
terkena pukulan hebat ditulang rusuk, setelah sekian lama mereka mentjoba
menumbuh-luaskan kemerdekaan klik. Tjukup serius agaknja soal gambaran Presiden
Soeharto dimata mereka sedjak 6 Djanuari 1972 dalam pidato jang mengguntur itu,
meskipun Kepala Negara mengutjapkannja kadang-kadang dengan senjum. Bagaimana
halnja, sulit untuk diketahui. Tapi beberaia petundjuk sudah dinjatakan. Esok
harinja, ketika Nj. Tien Soeharto membentangkan kembali pokok-pokok soal projek
MII didepan sedjumlah pengusaha nasional, didampingi Ali Sadikin, Ali Murtopo
dan Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro, beberapa mahasiswa ditangkap polisi
sedang membawa poster: “Pedjah Gesang Nderek Pak Harto”, “Hitam Kata Pak Harto
Hitam Kata Rakjat”, “Mendukung Pak Harto Tanpa Reserve”. Nampaknja semua itu
sindiran, dan mungkin djuga sikap putus-asa buat mengadakan kritik.
Kartika.
Itu tak berarti tak ada hasilnja gerakan anak-anak muda selama beberapa minggu
ini. Meskipun 7 Djanuari jang mendung lebih 10 orang dari mereka ditahan polisi
didepan Kartika Chandra, dan mengalami pemeriksaan jang lebih keras dari biasa
(mereka baru pulang Sabtu lalu waktu subuh), didalam Gedung Kartika Chandra Nj.
Tien Soeharto berpidato: “Saja bergembira, bahwa dengan adanja suara-suara dari
masyarakat tadi, dengan adanja bermatjam-matjam gerakan dari kaum muda, saja
lebih tahu apa jang seharusnja karna kerdjakan agar projek ini mendjadi
kenjataan”. Pelaksanaan projek tidak djadi persis 2 tahun nampaknja, dan
“dilakukan setjara bertahap, sesuai dengan kemampuan pembiajaan jang dapat
dikumpulkan”. Ibu Negara dengan pidato pakai teks djuga menjatakan, bahwa usaha
pembangunan projek ini adalah sepenuhnja “swasta”, dalam arti pembiajaannja tak
bersumber dari anggaran Negara. “Kami tidak akan meminta kepada Pemerintah
hal-hal jang bukan-bukan atau bertentangan dengan kebidjaksanaan umum
Pemerintah”, misalnja lisensi istimewa, pembebasan padjak, pungutan dan
sebangsanja. Tentang sumbangan daerah: “Tentu sadja bantuan itu djangan sampai
merugikan kepentingan atau usaha pembangunan Daerahnja sendiri”. Kata
pemrakarsa dan Ketua Jajasan Harapan Kita itu pula: “Semua permintaan saja
tadi, bukanlah ‘perintah’ atau ‘paksaan’ sebab saja sendiri menjadari bahwa
saja tidak sedikitpun memiliki hak untuk memerintah ataupun memaksa, setjara
hukum naupun setjara moril”.
Kalimat-kalimat
itu djelas, dan nampaknja tak bakal- memanaskan hati mahasiswa. Soal projek MII
dengan demikian bisa dianggap selesai. Meskipun agak terlambat – setelah
terdjadinja banjak kehebohan bahkan krisis komunikasi antara mahasiswa dan
Kepala Negara – Nj. Tien telah menutup pertentangan pendapat dengan kedjelasan.
Jang masih djadi soal ialah: bagaimana menjalurkan kritik buat dimasa datang.
Orang tahu bahwa Parlemen dimanapun djuga didunia kini ternjata bukan
satu-satunja lembaga kontrol sosial, dan bahwa mahasiswa serta pemuda punja
temperamen jang tak sama dengan orang-orang tua. Pidato Presiden Soeharto
tjukup bikin gentar, tapi Indonesia tak sepatutnja diperintah dalam rasa
ketakutan.
Bendera
Putih Di Januari Kelabu
Mahasiswa
dan pemuda menanggapi pidato Presiden Auharto yang keras sehubungan dengan aksi
anti proyek MII. Mereka mengeluarkan pernyataan yang berjudul “januari kelabu”.
ditulis dengan prosa yang halus.
PIDATO
keras Presiden tentangaksi anti projek MII ditanggapi para pemuda &
mahasiswa jang tergabung dalam pelbagai gerakan dan Dewan Mahasiswa dengan
terkedjut, ketjewa dan djuga senjum pahit. Malam 6 Djanuari itu beberapa
eksponen mereka merumuskan sebuah statemen, berdjudul “Djanuari Kelabu”, dan
ditulis dengan prosa jang halus.
“Tentang sikap Presiden Soeharto terhadap
projek Miniatur Indonesia Indah, sekarang sudah mendjadi sangat djelas dengan
pidatonja kemarin ketika membuka rumah sakit Pertamina. Bagaimana pak Harto
menilai kami, apa jang akan dilakukannja bila kami terus dan sebagainja lagi,
sekarang sudah njata.
Kami
tetap berpendapat bahwa projek Miniatur Indonesia Indah jang akan dilaksanakan
oleh Jajasan Harapan Kita, baik dinjatakan swasta atau tidak, dalam keadaan
sekarang akan mengganggu pembangunan. Dan karena itu kami tetap menentangnja.
Pendapat ini kami bentuk bukan karena prasangka-prasangka apapun djuga, tetapi
berdasarkan pemikiran sehat jang kami berani udji. Kami berani berkelahi dengan
siapapun djuga, untuk mengadu argumentasi kami.
Tetapi
bila kami diantjam dengan kekuatan phisik, bila seluruh ABRI kompak menentang
kami, bila kami akan dihadapi persis seperti ABRI menghadapi PKI dulu seperti
jang di katakan oleh pak Harto kemarin, maka kami ingin pagi-pagi menjatakan
kami menjerah kalah. Kami tidak akan berdaja apa-apa bila konfrontasi phisik
jang diantjamkan kepada kami. Apalah artinja kami berhadapan dengan seluruh
ABRI jang kompak dan bersendjata jang lengkap. Bagaimana pun djuga, kami
tjumalah segelintir anak-anak muda jang dulu pada tahun 1966, punja andil
setjuwil jang tak ada artinja bila dibandingkan dengan andil pak Harto dalam
menegakkan Orde Baru ini.
Djadi,
kami akan mundur, karena memang kami tak berdaja apa-apa. Kami akan tutup
mulut, kalau kami dihadapkan kepada kekuatan ABRI jang bersendjata lengkap,
karena kami tidak tahan pada bajonet-bajonet jang tadjam, pada peluru-peluru
jang panas. Kami tjumalah daging-daging jang lembut dengan mata jang penuh
harap memandang kedepan, kepada hari depan kami.
Achirnja,
kepada semua rakjat Indonesia, jang kami tahu sangat banjak djumlahnja, jang
bersimpati kepada aksi-aksi kami baik dinjatakan setjara terbuka maupun jang
disim pan didalam hati sadja, kami utjap kan terima kasih kami dengan hati jang
setulus-tulusnja. Kepada pak Harto dengan mengingat persahabatan kita pada
tahun 1966 dulu, kami ingin menjampaikan pesan supaja bisa membedakan mana
kawan dan mana lawan, mana jang benar-benar setjara djudjur mentjintai pak
Harto, mana jang ingin mendjerumuskan Kami harap pak Harto masih ingat pada
persahabatan kita jang lama dan mau mendengarkan apa jang kami katakan. Dengan
berlinang kami lambaikan tangan kami kepada pak Harto: Selamat..”.