KISAH OPS SEROJA

Operasi Seroja dan Kisah Perang di Timtim
Penyergapan David Alex
David Alex, salah satu gerilya Fretilin yang senior pada tanggal 25 juni 1997 sekitar pukul 11.00 Wita, berhasil disergap pasukan ABRI di gua tempat persembunyiannya, di Kampung Caibada, Kecamatan Baucau, sekitar 130 km arah timur kota Dili.

Menurut majalah Cahaya Candrasa dan Suara Merdeka 1997 yang saya koleksi, Pasukan yang berhasil menyergap David Alex adalah :

Tim Gabungan Kopassus,Satgas Rajawali,Kodim setempat, dan Batalyon 312/ Kala Hitam Siliwangi.
Tim gabungan itu dipimpin Kapten Inf David Hasibuan, didampingi Komandan SGI Baucau Kapten Delvianus dan Lettu Agus Pangarso.

David Alex bertanggung jawab atas serangan2 terhadap pasukan TNI sebelumnya dan yang paling akhir adalah penghadangan terhadap truk yang berisi anggota polisi dan brimob dalam pengamanan pemilu 1997 yang menewaskan kurang lebih 19 orang di Kecamatan Quelicai.Pada penghadangan ini pihak Fretilin dengan menggunakan seragam TNI atau ABRI menghadang truk tersebut , sehingga mengira Fretilin tersbeut sesama anggota dan truk berhenti dan tiba-tiba Fretilin tersebut menembak sopir truk tersebut dan melemparkan granat ke truk tersebut.Pada saat itu truk berisi pula bahan bakar dalam drum sehingga mudah sekali meledak dan disertai tembakan dari tempat tersembunyi oleh pihak Fretilin

Penyergapan tersebut diawali dari informasi masyarakat terhadap sejumlah orang yang tidak dikenal sering mengendap masuk kawasan perumahan Kodim setempat.Dari situ dikembangkan penyelidikan dan akhirnya diketahui tempat persembunyian tersebut. Selain itu turut ditangkap sejumlah anak buah David Alex.

tampang David Alex


Penyergapan Nikolau Lobato
Yonif 744 dipimpin oleh Mayor Yunus Yosfiah telah hampir 2 minggu melakukan pengejaran terhadap pasukan Fretilin di Maubisse Kecil.Pasukan yang beroperasi di sektor ini antara lain Yonif 744, Yonif 700, Yonif 401 Raiders dan tim Nanggala-28.

Tanggal 30 Desember 1978 pukul 05.00 Komandan tim Nanggala-28, Kapten Inf Prabowo melaporkan kepada Danyon 744, Mayor Yunus Yosfiah tentang adanya pergerakan pasukan Fretilin ke arah selatan.Hari itu juga Komandan Sektor Tengah, Kol Inf Sahala Raja Guguk segera memerintahkan pengepungan terhadap sasaran.Formasi pasukan TNI waktu itu :

Tim Nanggala-28 disisi utara
Yonif 700 dan Yonif 401 disisi timur
Yonif 744 sebagai ujung tombak serangan

Pada hari itu Peleton I Kompi B Yonif 744 yang dipimpin Sersan Maudobe terlibat kontak senjata yang mengakibatkan sejumlah musuh tewas.Diantara mayat yang berhasil ditembak Sersan Maudobe terdapat mayat Nikolau Lobato.Mayat Nikolau Lobato berhasil dikenali oleh Prajurit Dua Gutteres (tamtama pembawa radio).Dalam pengejaran ini dilibatkan pula satuan helikopter yang mengangkut secara mobil pasukan.

Dari majalah TEMPO
Bobol, Penjaga Gawang Fretilin
Edisi 39/22 Halaman 30 Rubrik Nasional

28 Nov 1992
DUA teman lama itu kembali bertemu pekan lalu: Abilio Jose Osorio Soares dan
Jose Xanana Gusmao. Keduanya, yang sama-sama kelahiran Manatuto 45 tahun lalu,
adalah teman SMP (Primeiro Ciclo do Ensino Secindario) di Dili. Di situ,
Xanana dikenal sebagai penjaga gawang dalam tim sepak bola Academica.
Dua-duanya pernah pula ikut wajib militer Portugal, Tropaz. Di masa
pergolakan, Abilio masuk Apodeti yang pro Indonesia dan Xanana memilih
Fretilin yang mau merdeka.

Nasib mereka berbeda. Kini, Abilio Soares adalah gubernur Timor Timur, dan
Xanana sebagai tahanan aparat keamanan. Ia dianggap memimpin gerakan melawan
Indonesia. Wartawan TEMPO di Dili melaporkan, keduanya sempat
berbincang-bincang di rumah Pangkolakops Brigjen. Theo Syafei di Pantai Varol,
Dili -- dengan suguhan makanan ringan dan minuman kaleng.

Toh itu bukan saat menyenangkan buat Xanana. Ia ditangkap Jumat pagi pekan
lalu, setelah diburu 16 tahun. Penangkapan Xanana diduga erat kaitannya dengan
pembubaran Fitun -- organisasi pelajar sayap Fretilin yang sering terlibat
demonstrasi, termasuk yang mengakibatkan insiden Santa Cruz, 15 November lalu.
Menurut sumber TEMPO, dari Fitunlah didapat info tempat Xanana bersembunyi
(meski menurut aparat keamanan itu berkat informasi masyarakat), yaitu di
rumah seorang polisi, Kopral Satu Agusto Pierera, di Desa Labane Barat, Dili
Barat. Rumah berukuran 80 meter persegi ini hanya 30 meter dari pos penjagaan
pasukan pemukul Batalyon 623. Di dalam rumah itu dibuat lubang persembunyian
bawah tanah berbentuk L, sekitar semeter dalamnya. Syahdan, Xanana sudah dua
bulan ngumpet di sana. Untuk penyamaran, ia mencukur klimis cambang dan
kumisnya yang lebat.

Jumat itu rupanya hari nahasnya. Pemimpin gerilyawan yang konon bisa
menghilang dan berubah rupa itu bangun tidur pukul 6 pagi. Xanana baru saja
selesai mandi, tatkala pasukan baret merah menggertak: "Buka pintu". Xanana
menguak pintu seraya mengacungkan pistol. Namun, belum sempat pistolnya
menyalak, beberapa laras M-16 disorongkan ke wajahnya. Xanana menyerah. Dari
persembunyiannya, ditemukan handy talky dan tiga peti barang lainnya. Juga
sekarung dokumen. Ia langsung dibawa ke rumah Theo Syafei.

Nama Xanana mulai mencuat dalam daftar musuh aparat keamanan sejak 1978,
setelah menggantikan posisi orang pertama Fretilin, Nikolaus Lobato, yang
tertembak mati kala itu. Menurut Alexo Cotreal, tokoh masyarakat yang mengenal
dan pernah menjadi pengikutnya, Xanana sebenarnya biasa saja. "Kalau sekarang
dia jadi pemimpin karismatik, karena tak ada lagi tokoh seangkatannya di
Fretilin," ujar Alexo.

Dulu, Xanana adalah seorang wartawan koran Avez de Timor (Suara Timor) pada
masa Portugal. Ia memegang rubrik drama dan puisi. Semasa SMP Xanana memang
sering menjuarai lomba baca puisi. Tulisannya kerap menyerang penjajah. "Puisinya
sangat tajam menentang pemerintah Portugal," cerita Alexo. Pernah, gara-gara
kritik Xanana pada Portugal, Avez de Timor dituntut ke pengadilan. Pemerintah
Portugal menang. Koran itu didenda 30.000 escudo, tapi tak dibredel. Kemudian,
Xanana membuat koran sendiri, Nakroma (Terang).

Sebelum masuk hutan, Xanana sempat menjadi juru ketik di salah satu instansi
swasta di Dili. Tahun 1973, ia pergi ke Australia. Tak banyak berita tentang
kegiatannya di hutan. September 1990, Robert Domm, pengacara Australia,
mengaku menemui Xanana dan merekam perbincangannya dalam enam kaset.
Wawancaranya diterbitkan oleh Australian Council for Overseas Aid pada
Februari 1991.

Tempat persembunyian Xanana, menurut Domm, dijangkaunya setelah berkendaraan
setengah hari dari Dili dan jalan kaki sekitar 20 kilometer. Agar tak terlihat
tentara Indonesia, ada "upacara menghilangkan jejak" sebelum naik gunung.
Xanana digambarkan sebagai seorang yang cerdik, cerdas, dan tahu banyak berita
sekitar Tim-Tim. Diakui Xanana, pihaknya sangat terjepit oleh ABRI.

Penangkapan Xanana tentu membuat geger. Dari Portugal, Presiden Mario Soares
mendesak PBB agar minta Indonesia membebaskan Xanana. Sabtu lalu, di depan
konsulat Indonesia di Melbourne, sekitar 150 simpatisan Fretilin berseru
serupa. Dalam demo di tengah hujan dan angin deras itu, ikut pula dua anak
Xanana, Nito (21 tahun) dan Zenilda Gusmao (18 tahun).

Emilia, 41 tahun, istri Xanana, sejak dua tahun lalu memang berada di
Melbourne bersama kedua anaknya. Ketika wartawan TEMPO Dewi Anggraeni
mengunjungi rumahnya, Emilia tampak sembab matanya dan hanya duduk termenung
bersandar di kursi panjang. Dia, yang hanya bisa berbahasa Portugis, pada
reporter televisi ABC berkata, "Saya mohon agar Australia membantu pembebasan
suami saya, dan agar dia tak diperlakukan sebagai penjahat politik." Emilia
juga tengah menghadapi soal rebutan dana perjuangan US$ 75.000 di sebuah bank
Portugal dengan pimpinan pucuk Fretilin Ramos Horta.

Xanana, kabarnya, sudah diterbangkan ke Jakarta. Namun, Kapuspen ABRI
Brigjen. Nurhadi Purwosaputro membantahnya. Xanana, katanya, masih di Dili.
Pangab Jenderal Try Sutrisno telah pula terbang ke Dili dan sempat melihat
lokasi penangkapan Xanana, Jumat siang lalu. Dari Dakar, Senegal, masuk kawat
ucapan selamat Presiden Soeharto atas penangkapan ini.

Suasana Dili tampak tenang. Namun, rupanya ada mitos bahwa Xanana adalah
orang sakti. Hingga awal pekan ini, sebagian orang Tim-Tim masih belum percaya
Xanana bisa tertangkap. Apa Brigjen. Theo mesti menayangkannya di televisi?

Kontak Senjata di Baucau, Tiga Anggota GPK Tewas
Dili, Kompas
Tiga anggota GPK (gerakan pengacau keamanan) Timor Timur dan dua angggota ABRI tewas dalam kontak senjata di Baucau, sekitar 180 km dari Dili. Kepala Staf Kodam (Kasdam) Udayanya, Brigjen (TNI) Willem de Costa, mengatakan hari Kamis (16/4) di Bandara Comoro Dili, kontak senjata itu terjadi Rabu malam lalu ketika petugas keamanan menyergap markas GPK di Kampung Manulai, Desa Wailili, Kecamatan Baucau. "Sebelumnya, petugas mendapat laporan dari masyarakat tentang adanya markas GPK di situ. Dalam penyergapan itu anggota ABRI mendapat perlawanan ketat sehingga kontak senjata tidak terhindarkan," ujarnya.

Menurut Kasdam, dalam kontak senjata itu pihak GPK melepaskan tembakan ke arah anggota ABRI, Serda Wayan Darma yang membawa sebuah granat. Tembakan mengenai prajurit tersebut dan granat pun meledak. Serda Wayan tewas bersama Serda Atek Ribiyanto yang berada di sampingnya.

Tiga anggota GPK yang tewas adalah Ny Maria Maia Marques (37), anaknya Cribonto (12), dan Salustiano Freitas (35), pemilik rumah. Sekitar delapan anggota GPK lolos dari penyergapan itu.

Kontak senjata berlangsung satu jam. Rumah yang menjadi markas GPK itu dibangun tahun 1995 tapi hingga kini belum selesai. GPK juga membangun terowongan mirip katakombe. Terowongan ini sekaligus menjadi penyimpanan logistik mereka.

"Salustiano Freitas adalah mantan anggota tim kesatuan "Sera" Kodim 1828 Baucau. Dia lari ke hutan bergabung dengan GPK sejak tahun 1992," kata Willem.

Senjata ditemukan
Kasdam mengatakan, ketika dilakukan pembersihan esok harinya, petugas menemukan 33 butir peluru M16, 12 butir proyektil, satu peti amunisi campuran, tiga pucuk senjata api, senjata api genggam kuno, satu senapan angin, empat magasin penuh peluru, satu magasin M16, dua handy talky, dua rol kabel, 23 antena, bendera Fretelin, tiga teropong, 10 kaset video, satu dos obat-obatan dan bahan makanan, dokumen, bom rakitan, ransel, tiga sepatu ABRI, tiga pasang baju TNI, 12 celana loreng, tujuh peti kosong, beberapa foto pimpinan GPK seperti David Alex, Matan Ruak dan Cesario Haksolok.

Tiga anggota GPK yang tewas di Manulai itu sempat dibawa kabur ke hutan oleh anggota GPK lainnya yang berhasil lolos dalam penyergapan malam itu.

Ia menambahkan, tiga pucuk stengun itu digunakan GPK ketika membunuh Pratu Amandio Coreia, istri dan anaknya dua pekan lalu di markas tersebut. Keberadaan markas GPK di tengah kampung merupakan petunjuk bahwa GPK semakin cerdik melakukan aksi-aksi yang merugikan
masyarakat. Kasdam mengharapkan, masyarakat agar segera melaporkan kepada pihak berwajib jika mengetahui ada kegiatan GPK di daerah itu. Hal itu penting agar petugas keamanan bisa segera mengambil langkah-langkah pengamanan. (kor)

Kejadian ini berhasil saya konfirmasi dengan seorang pelaku penyergapan ini.Pelaku sekarang bertugas di Koramil Tawangsari Sukoharjo berpangkat Kopral Satu.Daerah kejadian ada di sektor Timur yang masih rawan adanya GPK Fretilin.Sang kopral yang aslinya dari Jogja berhasil saya ajak ngobrol ketika sedang istirahat ketika kami sedang latihan di Korem Solo.

Bunker tersebut ada sebuah rumah yang tiap hari dilalui oleh truk atau patroli TNI saat itu.Jadi saat penyergapan pihak lawan berhasil mendahului menembak sehingga timbul korban gugur di pihak TNI.


ENAM GPK FRETILIN DITEMBAK MATI
Dili, Kompas
Komandan Komando Resort Militer (Korem) 164/Wira Dharma (bukan 164/Wijaya Kusuma sebagaimana ditulis Kompas (26/1), Kolonel (Inf) Mahidin Simbolon mengatakan, tim gabungan ABRI di Timor Timur (Timtim) Kamis (25/1) dan Jumat (26/1) menembak mati enam anggota Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Fretilin dan menangkap hidup seorang anggota GPK dan seorang anggota klandestin (gerakan bawah tanah).

"Dari tangan mereka, berhasil dirampas dua pucuk senjata M-16 A1, satu pucuk senjata jenis SP-1, satu pucuk senapan angin, dua magazen M-16 A1 dan satu magazen SP-1," kata Simbolon ketika ditemui wartawan di sela-sela acara pisah kenal, Kepala Stasiun (Kepsta) RRI Regional I Dili yang lama, Paul Jusuf Amalo dan Kepsta RRI Dili yang baru, Sudung Parlindungan Tobing di Dili, Sabtu (27/1).

Danrem ketika itu didampingi Kapen Korem 164/Wira Dharma, Kapten CAJ L. Djoko Purwadi mengatakan, peristiwa itu terjadi di dua wilayah, yakni Atsabe, Kabupaten Ermera sekitar 80 km arah barat Dili. Selain itu di Dilor, Kabupaten Viqueque, sekitar 200 km arah timur Dili. Dua wilayah itu katanya, dikenal sebagai sarang GPK Fretilin.

Baku tembak
Menurut Simbolon, tim gabungan ABRI dalam operasi buru GPK di Atsabe, Kamis (25/1) bergerak pada pukul 4.30 Wita, di bawah komando Serda Mukadi. Tim yang beranggota 12 orang sempat baku tembak dengan GPK. Akibatnya, kata Simbolon, seorang anggota GPK, Kristovao alias Aracabia (30) tertembak mati. GPK Martino alias Aranluli (34) serta seorang anggota klandestin tertangkap hidup.

Anggota klandestin itu, lanjut Simbolon, dikembalikan kepada keluarganya setelah diberi pengarahan oleh aparat keamanan setempat. Tim di Dilor, Viqueque beranggotakan 20 orang, dipimpin Kapten Inf. Eko S. Mereka berhasil menembak mati lima anggota GPK, namun dua orang lainnya sempat lolos. Mereka yang tertembak mati, Serlau (30), Mau Sino (29), Bento Calma (28) (asisten politik), Jose Pendek (30) dan Robido Onak (33). Dalam baku tembak GPK Fretilin-pasukan ABRI di dua wilayah tersebut, kata Simbolon, tidak seorang pun dari tim yang terluka. Menurut Simbolon, sejak April 1995 hingga Januari 1996, tercatat 32 anggota GPK di Timtim berhasil dilumpuhkan. Ada yang tertembak mati, menyerahkan diri dan ditangkap hidup.

TIMOR TIMUR
Serangan Minggu Pagi
Seorang prajurit ABRI tewas ditembak gerombolan Fretilin . SERENTETAN tembakan menyalak di sebuah bukit, di pingiran Kampung Olabai, Kecamatan Kota Viqueque, Timor Timur, sekitar pukul 6.40 Ahad pagi pekan lalu. Rupanya Pos Pengaman (Pospam) II Kodim 1630 Viqueque diserbu segerombolan gerilyawan Fretilin. Bunyi tembakan, kata Gomes Fernando, seorang penduduk Olabai, berlangsung sekira empat menit. Sesudah itu, suasana kembali sunyi. "Tapi warga sini takut keluar rumah," Gomes menambahkan.
Para gerilyawan ini cepat kabur setelah melakukan aksi, meninggalkan Pratu (Prajurit Satu) Mathias Ormai da Silva dengan sejumlah luka di tubuh. Pratu Mathias da Silva tewas. Menurut sumber Gatra di Markas Kodam Udayana, Denpasar, da Silva sendirian di pos ketika para penyerbu datang. Maka betapapun telah mencoba bertahan habis-habisan, ia tak bisa berbuat banyak. Sumber di Dili menduga serangan itu dilakukan oleh gerombolan Asioux yang memang dikenal sering kelayapan di hutan Viqueque. Kekuatan mereka diduga sekitar 15 orang. Namun ancaman kelompok gerilyawan ini dianggap tak berarti. Hampir lima tahun lamanya mereka tak berani mengusik pos-pos militer. "Paling mereka mendatangi penduduk desa dan memin- ta bahan makanan," ujar sumber Gatra di Dili.Pospam II di Kampung Olabai itu biasanya dijaga enam personel. Mungkin karena keadaan dianggap aman maka komandan jaga Sersan Satu Jacinto dan empat anak buahnya pulang ke rumah untuk bersama keluarganya ke gereja menjalankan misa Minggu pagi. Mathius Ormai da Silva, bekas Hansip yang direkrut menjadi anggota militer itu menjaga pos seorang diri. Maka gerombolan Asioux yang diperkirakan telah mengintai sejak beberapa hari sebelumnya, kini mendapat kesempatan. Setelah da Silva roboh, para gerilyawan menjarah pos militer itu. Dua pucuk senapan jenis SP-2, dan 3 pucuk bedil model kuno G-3, serta 240 butir peluru mereka bawa kabur. Sejumlah seragam militer dan
obat-obatan ikut kena gondol.
Pihak militer tentu tak tinggal diam. Pengejaran segera dilakukan. Lima peleton prajurit dari Yon 406 Diponegoro, yang sedang bertugas di Timor Timur, segera dikerahkan. Tiga peleton
diperintahkan menyisir ke daerah perbukitan di timur laut Viqueque dan dua yang lain ke arah barat laut. Tapi sampai akhir pekan lalu, belum diketahui hasil pengejaran.
Saat ini, kata Komandan Korem Wiradharma Dili Kolonel Kiki Syahnakri, kekuatan gerilyawan Fretilin tak lebih dari 176 orang dengan sekitar 105 pucuk senjata. Mereka terbagi menjadi banyak kelompok: ada gerombolan Cony Santana, Alut, David Alex, Lere, Ernesto, Maukonis, dan Asioux. Mereka makin terdesak karena sulit mendapat senjata, amunisi, dan anggota baru.
Operasi menangkal gerilyawan terus dilakukan. Pertengahan Mei lalu, satuan keamanan Timor Timur berhasil menangkap Mario Jose Guteris, gerilyawan Fretilin, di Desa Dare, Kecamatan Hatuberlico, Ainaro. Dari Guteris bisa dirampas sebuah senjata laras panjang dengan 150 butir peluru, dua granat, dan uang Rp 300 ribu. Beberapa hari sebelumnya, aparat Kodim Bobonaro menembak mati Aeulari dan Julio dalam sebuah kontak senjata. Dalam peristiwa itu, Apresio Miquel Soares, 20 tahun, tertangkap hidup. "Kami selalu menyerukan agar mereka menyerah," kata Kolonel Kiki Syahnakri. Ia berjanji gerilyawan yang menyerah tak akan disakiti. (PTH (Jakarta) dan RK (Dili)

Anggota ABRI dan GPK Tewas dalam Kontak Senjata
Dili, Kompas
Antonio Soares (32), anggota gerombolan pengacau keamanan (GPK) dan Pratu Diego Soares Martins (26) anggota ABRI tewas dalam kontak senjata di Kampung Lisafat, Kecamatan Hatolia, Kabupaten Ermera, Rabu (25/2). Kontak senjata berawal dari laporan masyarakat tentang keberadaan GPK di wilayah itu yang sering mengganggu keamanan dan ketenangan masyarakat.
Siaran pers Komando Resort Militer (Korem) 164/WD, Jumat (27/2) yang ditandatangani Wakil Komandan Korem, Kolonel (Czi) Suryo Prabowo menyebutkan, kontak senjata itu merupakan upaya membasmi GPK di Timtim. Di kampung itu sering terjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Petugas keamanan bersama masyarakat mengadakan pengejaran terhadap GPK, kemudian terjadi kontak senjata. Pratu Diego telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Seroja Dili, sedangkan Antonio dimakamkan di Lisafat.
Dalam kontak senjata itu, pasukan ABRI berhasil merampas satu pucuk senjata jenis M 16 AL, satu buah handy talky merek Kenwood, satu buah sangkur, tiga magazin, dan satu bungkus lulik, obat kebal yang dipakai Antonio. Setelah kejadian itu, dua warga masyarakat Ermera masing-masing Carlito Tilman dan Calistro Tilman, menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Keduanya, selama ini membantu GPK mensuplai bahan makanan, obat-obatan, memberi informasi tentang kekuatan ABRI dan berbagai kejadian di Ermera dan Dili. (kor)

Catatan Kejadian yang menimbulkan banyak korban di pihak TNI dalam operasi seroja.
1.Operasi Linud 7 Desember 1975. 16 Kopassandha dan 35 Kostrad gugur.
2.Peristiwa Kraras 8 agustus 1983. 14 Gugur dan 17 pucuk senjata hilang.
3.Penghadangan truk pengamanan pemilu di baucau 1997 .19 gugur ( polisi dan TNI).
4.Penghadangan truk Denzipur-8 tgl (18/9-1997) di Kairura 80 Km arah Timur Dili . 5 TNI orang gugur
5.Penghadangan truk Yonif 405 pada 15 April 1976 di Pegunungan Aitutu. 33 orang gugur.
Itulah yang sedikit saya ingat...mungkin masih banyak...dan bisa ditambahkan


Cerita Bekas Reserse 3, Skandal Penugasan ke Timor Timur dan Para Jenderal Pengecut
05 May 2010
Suatu hari di awal tahun 2000, saya dan ayah saya sedang menonton berita di salah satu televisi swasta yang sedang menyiarkan demo di Jakarta. Di selingan acara, ada wawancara dengan salah seorang pejabat Mabes Polri dengan pangkat Brigadir Jenderal, tiba-tiba bapak saya bergumam “Oh, si pengecut itu sekarang sudah jadi jenderal rupanya,”. Bapak saya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Saya bertanya “, Kok pengecut pak, memang kenapa dia?”. Bapak saya kemudian mengambil sebuah kertas lusuh dari lemari di rumah dan menunjukkan pada saya. Ternyata kertas lusuh itu adalah SK penugasan bapak saya ke Timor-Timur dan disertai dengan daftar nama para anggota Polri di Polwil. Bapak kemudian menunjuk beberapa nama perwira yang cukup terkenal saat ini. Saya yang masih bingung kemudian bertanya lagi “kenapa dengan mereka, pak?”. Bapak saya menjawab “mereka tidak pernah sampai ke Timor-Timur.”. Saya menunggu penjelasan dari beliau.

Ingatan saya kemudian mundur ke sekitar awal 1984, waktu itu saya sudah kelas 4 SD. Pada tahun itu, bapak saya masih berpangkat Letnan Dua (Inspektur Dua) dan menjabat sebagai Kapolsek di sebuah kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.  Sore hari di awal 1984, bapak menjelaskan bahwa beliau mendapatkan tugas untuk berangkat ke Timor-Timur. Pada masa itu, banyak anggota Polri dan TNI memang ditugaskan untuk berangkat ke TimTim sebagai bagian dari Tour Of Duty mereka. Tahun 1984 situasi di TimTim sedang bergolak karena pasukan Fretelin (Falintil) mengubah perjuangannya dari perang terbuka menjadi perang gerilya dan sabotase. Mabes ABRI waktu itu memutuskan untuk melakukan Operasi Militer dengan nama Operasi Kikis sebagai kelanjutan operasi Seroja, kode bagi pasukan bapak saya adalah Rotasi XI. Artinya penugasan ke 11 bagi anggota Polri dan TNI sejak operasi Seroja tahun 1975. Saya tahu bapak saya sudah berpengalaman di medan tempur sejak tahun 50-an sampai 60-an, tetapi mendengar orang yang kita cintai harus pergi ke wilayah perang untuk bertempur tetap saja ada perasaan was-was. Pada masa itu, keluarga anggota Polri dan TNI yang kebetulan berangkat ke Tim-Tim ada kemungkinan tidak kembali.

Singkat cerita bapak saya berangkat ke Tim-Tim pada pertengahan 1984 sampai dengan akhir 1985. Beliau menjabat sebagai Kapolsek di Kec. Vatu Carbau di Kab. Viqueque Tim-TIm. Wilayah ini hanya berjarak 3 km dari Gunung Matabean yang merupakan basis gerilya Fretelin. Selama masa penugasan itu, setiap bulan beliau selalu menulis surat menyampaikan kabarnya. Terkadang ibu menyembunyikan surat itu kalau bapak bercerita ketika sedang berpatroli disergap musuh. Bahkan saya baru tahu ketika bapak pulang, bahwa markas Polsek pernah dikepung semalam suntuk dan bapak harus melayani kontak senjata semalam suntuk di kegelapan malam dengan senjata SKS/Chung yang sering macet. Padahal semua itu ditulis disurat bapak, tetapi ibu tidak menyampaikan pada kami. Mungkin beliau tidak ingin anaknya khawatir. Ada beberapa anak buah bapak yang terpaksa menjadi korban para sniper dari Fretelin, bahkan seorang diantara mereka harus gugur seminggu sebelum penugasannya berakhir. Pada akhir 1985, bapak kembali dari Tim-Tim dengan selamat, meskipun seminggu kemudian bapak harus dirawat di rumah sakit karena gula darahnya tinggi.

Kembali ke tahun 2000-an saat saya dan bapak sedang mengobrol sambil melihat TV. Bapak menjelaskan bahwa sebenarnya yang harus berangkat ke Tim-Tim dari Polwil X ada sekitar 140 orang baik perwira, bintara dan tamtama, namun yang berangkat hanya 32 orang. Saya agak heran, bagaimana bisa penugasan dengan jumlah banyak hanya bisa diberangkatkan satu peleton. Bapak saya menjawab kalau tidak ingin berangkat ke Tim-Tim bisa tetapi harus membayar sekitar Rp 100-500 ribu, tergantung pangkatnya, kalau perwira ya bisa Rp 500 ribu. Bapak kemudian menunjukkan nama-nama perwira lengkap dengan NRP-nya (sampai sekarang masih saya simpan daftarnya) yang saat ini banyak yang sudah jadi Jenderal di Mabes Polri. Para perwira lulusan Akpol ini pada tahun 1984 masih berusia antara 27-30 tahun, tetapi mereka semua dinyatakan tidak memenuhi persyaratan fisik untuk bertempur. Bapak saya dengan usia 43 tahun (waktu itu) dan ketika diperiksa oleh dokter gula darahnya mencapai 200 dinyatakan lolos tes fisik untuk bertempur. Ada seorang perwira di Polwil yang juga lulusan Akpol yang menawari bapak untuk membayar sejumlah uang dan bisa dibatalkan penugasannya, bapak saya dengan halus menolaknya. Perwira ini juga bercerita bahwa semua anak-anak lulusan Akpol di Polwil X pada masa itu memilih untuk membayar dan menghindari penugasan ke TimTim. Akhirnya dari satu peleton Polwil X yang berangkat ke TimTim tidak ada satu orang pun perwira lulusan Akpol yang notabene masih muda. Peleton ini dipimpin seorang perwira berusia 40-an dengan kondisi sakit diabetes.

Pada tahun 2003, saat bapak dan ibu saya berkunjung ke rumah mertua saya, bapak saya diajak berkenalan oleh seorang pensiunan Brigadir Jenderal Polisi. Pada saat bapak bercerita pernah bertugas di Tim-tim tahun 1984, bapak pensiunan Brigjen ini bercerita bahwa pada masa itu, penugasan ke Tim-Tim menjadi bisnis bagi banyak perwira Polri, karena mereka bisa mendapatkan banyak uang dari anggota Polri yang menolak penugasan ke Tim-Tim. Bapak saya hanya membayangkan dua anggotanya yang harus tewas diterjang peluru gerilyawan karena kekurangan personel, sebab banyak anggota Polri yang menolak ditugaskan ke Tim-Tim. Ironisnya, para perwira lulusan Akpol yang menolak untuk bertugas di Tim-Tim justru banyak yang jadi Jenderal di Mabes Polri atau menjadi Kapolda.


Foto-foto Sejarah dan Detik-detik Invasi Indonesia ke Timor-timur 1975
Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.

Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.

Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak-anak karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia).

Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa 'jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000'. Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.

Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975.

Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang. Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.

Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan adapula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.


Operasi Seroja
Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur yang dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu Timor Timur karena adanya desakan Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan agar Fretilin yang berpaham komunisme tidak berkuasa di Timor Timur. Selain itu, serbuan Indonesia ke Timor Timur juga karena adanya kehendak dari sebagian rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan sejarah.

Angkatan Darat Indonesia mulai menyebrangi perbatasan dekat Atambua tanggal 17 Desember 1975 yang menandai awal Operasi Seroja. Sebelumnya, pesawat-pesawat Angkatan Udara RI sudah kerap menyatroni wilayah Timor Timur dan artileri Indonesia sudah sering menyapu wilayah Timor Timur. Kontak langsung pasukan Infantri dengan Fretilin pertama kali terjadi di Suai, 27 Desember 1975.

Pertempuran terdahsyat terjadi di Baucau pada 18-29 September 1976. Walaupun TNI telah berhasil memasuki Dili pada awal Februari 1976, namun banyak pertempuran-pertempuran kecil maupun besar yang terjadi di seluruh pelosok Timor Timur antara Fretilin melawan pasukan TNI. Dalam pertempuran terakhir di Lospalos 1978, Fretilin mengalami kekalahan telak dan 3.000 pasukannya menyerah setelah dikepung oleh TNI berhari-hari. Operasi Seroja berakhir sepenuhnya pada tahun 1978 dengan hasil kekalahan Fretilin dan pengintegrasian Timor Timur ke dalam wilayah NKRI.

Selama operasi ini berlangsung, arus pengungsian warga Timor Timur ke wilayah Indonesia mencapai angka 100.000 orang. Korban berjatuhan dari pihak militer dan sipil. Warga sipil banyak digunakan sebagai tameng hidup oleh Fretilin sehingga korban yang berjatuhan dari sipil pun cukup banyak. Pihak Indonesia juga dituding sering melakukan pembantaian pada anggota Fretilin yang tertangkap selama Operasi Seroja berlangsung.

Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.

Amerika Serikat dan Australia 'merestui' tindakan Indonesia karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.

Namun PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur.

Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi misinya secara drastis.

Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai 'balas budi' atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih krisis lagi dalam hal ekonomi.