Tempo
16 Agustus 1975. DJIAUW Kie Siong lahir tahun 1879 di desa Pisang Sambo
kecamatan Sukatani kabupaten Bekasi.
Dari
tepian Citarum itulah, pada usia 8 tahun ia mengikuti orang tuanya menyeberangi
sungai yang suka meluap itu. Cukup beralasan kalau orangtuanya memilih lembah
bekas kali yang sudah mati tertimbun tanah yang kemudian disebut Kalimati
(kampung Bojong) kelurahan Rengas Dengklok. Tanah itu subur dan perkebunannya
sendiri luas. Lagi pula bau babinya yang banyak itu tentulah tak gampang
mengganggu hidung penduduk, sementara untuk menyalurkan pembuangan kotoran
ternak itu juga tak terlalu sukar. Di rumah yang terpencil, dikelilingi
perkebunan singkong dan pepohonan rimbun itulah usahanya maju pesat. Setelah
dewasa dan berkeluarga, di situ pulalah Kie Siong melanjutkan usaha
orang-tuanya. Keluarganya pun tenteram beranak-pinak, sampai tibalah saat itu.
Setengah abad setelah menetap di Kalimati, untuk pertama kalinya ia mengalami
pe-istiwa mengejutkan. Kamis, 16 Agustus 1945. Seperti biasa petang itu ia
beristirahat dengan anak-isterinya. Beberapa pemuda mendatanginya. Tidak
sekedar bertamu, bahkan mempersilakannya mengosongkan rumah yang cukup luas dan
terhitung baik dibanding rurmah-rumah penduduk lainnya itu. Pagi sebelumnya,
Oemar Bachsan sudah menemui anak kedua Kie Siong untuk pinjam rumah barang
tiga-empat-hari. Dengan serta-merta ia pun memboyong keluarganya, lengkap
dengan bantal dan kasur ke rumah Djiauw Kang Hien (anak sulungnya) 100 meter
sebelah timur. Esok harinya barulah ia tahu bahwa semalam suntuk itu rumahnya
telah dijadikan ‘hotel’ untuk ‘bapak-bapak pemimpin dari Jakarta’. “Tahun 1958
ketika Citarum meluap rumah itu masih bisa bertahan. Tapi ketika tanggul bobol
dilanda banjir tahun 1961 kami sudah khawatir rumah bakal ambruk”, tutur Louw
Kwie Tjwan, 43 tahun, menantu Kie Siong dari anak ke lima. Menyadari rumahnya
punya riwayat, Kie Siong sempat menyelamatkan kerangkanya terdiri dari kayu dan
memindahkannya 125 meter ke arah timur. Banjir Citarum saat itu memang sempat
‘memindah’ arah belokannya ke timur sejauh 50 meter, sepanjang tak kurang dari
5 kilometer. “Beberapa orang juga menyarankan agar bentuk bangunan rumah
dipertahankan seperti yang lama, juga catnya. Dan tetap menghadap ke selatan
seperti dulu. Cuma sayang bangunan yang sekarang ini sudah tidak pakai pendopo
lagi. Rumah yang dulu pendoponya sangat luas. Ketika itu saya baru 14 tahun”,
sambung nyonya Djiauw Lien Njong, anak Kie Siong ke delapan yang kini sudah
beranak enam. Di ruang ketiga dari pendopo itulah, konon dulu ‘tamu-tamu dari
Jakarta’ itu ditempatkan. Di sebelah kanan dan kiri ruang dalam (tempat meja
abu pemujaan itu) terdapat kamar yang menurut anak-anak Kie Siong untuk Bung
Hatta serta Bung Karno dan Fatmawati. Tanah tempat bangunan rumah lama itu
tahun 1961 sudah tergusur banjir dan kini menjadi ‘pantai’ citarum — penuh
ditumbuhi bibit singkong… Beberapa tahun sesudah itu seperti suatu petang tahun
1945 dulu Kie Siong sendiri tak menduga akan mendapat kunjungan Fatmawati yang
ternyata dulu juga menginap di rumahnya. Dan anak-anaknya, sekarang cukup
bangga menceritakan kisah turun-temurun itu sembari memperlihatkan Surat
Penghargaan dari Kodam VI Siliwangi bertanggal 6-2-1961 jam 08.00 yang
ditandatangani oleh Kolonel Ibrahim Adjie. Penghargaan itu diberikan berhubung
dengan “penyerahan benda-benda bersejarah perjuangan Bangsa dan Negara RI pada
tanggal 6-2-1961 yang sewaktu revolusi dimulai, benda-benda tersebut
dipergunakan oleh P.J.M. Presiden R.I.”. “Meja kursi dan tempat tidur itu
kabarnya dibawa ke Bandung, katanya disimpan di museum”, kata Louw Kwie Tjwan
yang sehari-hari dipanggil Oom Oei. Sepeninggal Kie Siong (1963 dalam usia 83
tahun), hanya beberapa orang dari ke sembilan anak-anaknya (empat yang pertama
lelaki, selanjutnya berturut-turut perempuan) yang tinggal di desa Kalimati.
Tiga orang yang tertua Djiauw Kang Hien, Djiauw King Hien dan Djiauw Njien
Hien) sudah meninggal. Yang masih hidup Djiauw Kie Sien (Rengas Dengklok),
Djiauw Kap Njong, Djiauw Ten Njong, Djiauw Jut Njong (semua di Jakarta), Djiauw
Lien Niong dan Djiauw Piang Mooi (keduanya di Kalimati). Keluarga yang masih
tinggal di Kalimati itu menempati 4 rumah berderet-deret di atas areal tanah
perkebunan yang cukup luas. Masih tenang dan damai seperti dulu, seperti halnya
desa-desa yang lain. “Selain berkebun dan berjualan hasil bumi di pasar, juga
sedikit-sedikit masih beternak babi”, tambah sang menantu. Sebuah gang yang
menghubungkan kompleks perumahan keturunan Kie Siong dengan satu-satunya tugu
peringatan di Rengas Dengklok disebut Gang Sejarah. Lewat gang itulah 30 tahun
yang lalu para pemuda berjaga-jaga atau menjadi penghubung antara rombongan
Bung Karno-Hatta dengan Markas Peta. Untuk memperingati perjuangan
anggota-anggota Peta, Heiho dan para pemuda Rengas Dengklok sehari menjelang Proklamasi
dulu itu tahun 1951 didirikan sebuah tugu peringatan (lihat Desa, Rengas
Dengklok 1975). Di markas itulah mereka memusatkan perlawanan terhadap Jepang.
Kalau rumah Kie Siong sempat diselamatkan, Markas Peta itu lenyap ditelan
banjir Citarum 1961. Menurut Lurah Pranoto Usman (dikuatkan oleh wakilnya
Soehardja yang tahun 1945 juga anggota Pelopor/Barisan Banteng) letak markas
itu kira-kira tepat di tengah aliran sungai Citarum yang sekarang, 60 meter
dari tugu. “Dan tugu peringatan itu sekarang berdiri tepat di depan pintu
gerbang markas”, tambahnya. Ada bangunan penting lainnya yaitu Asrama Peta yang
kini rata dengan tanah karena dipergunakan untuk lapangan sepak-bola Achmad
Yani Tugu itu kini ditunggui oleh Pak Dulkamat, 50 tahun, yang hanya bergaji Rp
100 sehari. Dengan anak 12 orang (dan tidak bersawah). “saya senang kerja di
sini karena tugu ini bersejarah”.