Lagu seorang penyusup rimba


Tempo 10 Agustus 1974. INI sebuah cerita tentang Iwan Abdurrahman lelaki berusia 27 tahun itu. Seorang calon sarjana pertanian sudah puluhan kali terjun dari pesawat dan mengarungi rimba dan bukit-bukit seorang yang rendah hati dan sederhana.
Satu gigi depannya patah. Tetapi itu tidak merupakan beban batin karena otaknya sendiri menurut beberapa dosen bukan jenis otak kerbau. Ia kelihatan selalu gembira dan selalu segar mungkin karena jasmaninya sudah terbina lewat perguruan silat “Bandarkarima” yang ternyata tebal juga melapisi dasar moralnya yang kelihatan sangat pribumi. Orang ini nyaris ketakutan terhadap publikasi juga terhadap perasaan berjasa — walaupun pacarnya seorang mahasiswi kedokteran yang menyimpan tanda-tanda penghargaan yang dimilikinya mungkin dapat menerangkan bahwa lelaki ini memang banyak membuat jasa. Ada sebuah kata yang merupakan semboyan baginya dan yang dengan segera mengingatkan orang pada moral yang ditetapkan pada pribadi-pribadi para angota kepanduan yakni: SEDIA, SEDIA adalah sebuah kata yang barangkali merupakan motor dari sepak-terjangnya ujarnya. Sementara itu ia memamerkan satu pemeo yang barangkali dirasanya cukup lucu untuk memahami gerak-geriknya — yang kalau boleh dijelaskan agaknya lebih cenderung ke pola seorang Sardono dari seorang seperti WS Rendra atau Remy Sylado. “Merasa takut tapi berjalan terus itulah keberanian” demikian pemeo itu. Iwan terus menyambung: “Saya selalu melihat tahapan-tahapan bukan tujuannya saja. Pemilihan tahapan itulah seni”. Orang yang merasa bahagia baik dalam belantara yang sunyi ataupun di antara kawan-kawannya yang sedang bekerja ini yang sekali-sekali tampak juga berdansa atau meluncur di jalanan dengan menunggang Harly-nya adalah seorang yang mengejutkan pasaran musik pop pribumi dengan gubahannya bernama Flamboyan Bekerjasama dengan grup pencetus “arus baru” dalam pasaran musik pop pribumi — Trio Bimbo — Ridwan Armansyah alias Iwan Abdulrahman telah memasukkan unsur balada sebagaimana halnya Bob Dylan Joan Bacz Nana Mouskouri atau Johnny Cash dalam suara gitarnya. Lagu-lagu mana kemudian dikuntit oleh A. Riyanto dengan Angin Malam, Mawar Berduri dan sekaligus mempersiaplan kuping banyak orang untuk bersedia menikmati lagu Gubahanku Gatot Sanyoto. Lebih penting dari itu: melicinkan datangnya sebuah demam yang seakan-akan menjadi ciri kalangan muda kini — yakni kegandrungan terhadap musik rakyat. Musik yang pada dasarnya spontan, murah, menggembirakan banyak orang tanpa meragukan ada misi penting di dalamnya karena di situ kemerdekaan individu bertetangga damai dengan kebahagiaan bersama. Perkawinan Bobot Dan demam kegandrungan itupun terbukti ketika untuk kasus paling akhir Grup Pencinta Lagu (GPL) mahasiswa Universitas Pajajaran Bandung menyelenggarakan acaranya di Taman Ismail Marzuki 17 Juli yang lalu, 3 buah lagu-lagu rakyat yang keluar dari 4 mulut itu membekas di Teater Terbuka TIM sebagai pertunjukan yang berhasil. Amak Baljun dari TIM yang sangat repot menunjukkan angka pengunjung yang meyakinkan. Bagi GPL sendiri yang muncul dengan seorang dara bernama Iin Parlina dan seorang penyusup rimba bernama Iwan A. Rahman pertunjukan tersebut lebih dari hanya sekedar sukses. Iwan pemimpinnya awal-awal telah membisiki TEMPO untuk sama-sama menyaksikan apa yang akan terjadi: bila eksperimen potpuri lagu-lagunya mendapat giliran. Ternyata lagu-lagu pribumi seperti halnya lagu Gugur Bunga yang menjadi kepala eksperimen itu tidak membuat para pendengar mengantuk malahan gencar mengeplokkan tangan. Tak heranlah Iwan menjadi yakin bahwa lagu-lagu pribumi yang berbobot masih mempunyai kesempatan untuk digandrungi semua lapisan masyarakat asal dibawakan dengan baik dan perhitungan yang tepat. Ini barangkali boleh dianggap sebuah langkah untuk mencoba mengawinkan bobot dengan pengertian ‘musik populer’ yang selama ini diartikan tidak lebih dari musik entengan. “Tampaknya semuanya hanya masalah spontanitas. Padahal sebenarnya kami mempersiapkan dengan hati-hati, bagaimana cara menangkapkan satu pesona yang memegang hati semua orang”. kata Iwan di sebuah warung nasi di Bandung kepada TEMPO. Sambil mengunyah usus sapi ia membeberkan persiapan akal-akalan yang dilangsungkannya di curug Dago yang terletak di kaki Fakultas Pertanian Unpad. Di antara batu-batu suara air terjun yang menimpa batu dari ketinggian sepuluh meteran muncul Jagu Willow Tree yang telah membuka malam pertunjukan di TIM itu. “Publik harus tahu siapa kita dengan cara yang disukai publik itu sendiri” ujar Iwan memberikan alasan pemilihan lagu tersebut. Lagu itu memberi kesempatan kepada organ piano, gitar drum harmonika flut dan sekaligus telah memperkenalkan warna dan karakter lagu-lagu kami”. Selanjutnya lagu Havanagilla — lagu rakyat Yahudi yang juga pernah diperdengarkan drum-band wanita dari Kanada di perebutan mahkota sepakbola dunia — dibawakan pula semata-mata sebagai materi untuk menaikkan irama pertunjukan ke arah klimaks lantaran kesan patriotik dari lagu tersebut. “Ini diusahakan menanjak terus dengan variasi warna dan karakter, untuk kemudian berhenti pada klimaks lagu Siaomoi Lagu ini gubahan kawan kami Rudy Jamil” kata Iwan. Dengan pengamatan psikologi panggung yang semacam ini pula, ia mencoba menerangkan kenapa lagu rakyat Afghanistan bernama Henemaov yang keras da Heroik itu didahulukan dari lagu Gugur Bunga yang boleh dikatakan menjadi mutiara pertunjukan itu. Sehingga pertunjukan tersebut lancar dan ketat. Warna & Karakter “Membawakan warna dan karakter yang khas”. Propaganda yang dicantumkan dalam kelender acara TIM untuk malam pertunjukan tersebut bukan tidak berdasar. Juga bahwa kegiatan tersebut “efektif untuk membina persahabatan dan penyuluhan sesama kaum muda”. Iwan sendiri lewat grupnya bukan tidak menginginkan sesuatu yang lebih daripada sekedar nyanyi. “Ideal saya saya ingin memasukkan perasaan tanggungjawab kepada teman-teman para mahasiswa itu”. Misalnya bahwa mereka tidak selayaknva datang ke sekolah hanya karena perintah orangtua melainkan karena target-target yang pasti. Dan bahwa “kecakapan bermasyarakaf sama pentingnya dengan kesarjanaan” kata Iwan. Dan hal-hal semacam itu boleh dihayati dalam satu Grup vokal yang tanpa bintang dalam hal mana musik hanya menjadi sarana dan bukan alat mengejar popularitas ataupun menjerat uang. Iklim yang sehat dalam kehidupan mahasiswa memang diperlukan. Iwan sendiri seperti juga diterakan dalam kalender pertunjukan TIM memang yakin banwa dengan grup vokal itu ia dan kawan-kawannya mendapatlan “alat untuk menikmati keindahan dan menghayati kebesaran Tuhan”. Boleh saja kata-kata seperti itu hanya dianggap semboyan klise bila orang tidak mengenal perasaan hati para seniman — yang muda — yang sambil terlatih dengan keras (Iwan tak jarang menghukum rekannya yang telat latihan misalnya dengan push-up) memang memupuk dan menurutkan kerinduan kepada alam dan kebesaran Tuhan. Dari seseorang yang berhari-hari berada dalam rimba yang sunyi misalnya — seperti yang diungkapkan Iwan dalam lagunya Balada Seorang Kelana — hal-hal seperti itu memang boleh didengar. “Kerinduan pada Tuhan” kata Iwan “pada orang-orang semuda kita menurut ukuran masyarakat memang aneh”. Tetapi “saya rasakan pada mulanya kegelisahan yang tak jelas. Sehingga saya sering menyepi dalam rimba sendirian”. Persatuan silat Bandarkarima kemudian menolong memberi makna kegelisahan itu. Sementara itu musik besar sekali artinya hagi saya sangat besar. Musik adalah segalanya. Keluarga saya semuanya suka musik”. Ia menjelaskan juga belakangan ini ia memang tidak seedan dulu lagi menyusup rimba dan mendaki gunung. Barangkali antara lain lelaki yang tidak begitu doyan baca buku ini satu ketika terpukau pada kata-kata Damarwulan dalam lakon Sandhyakalaning Majapahit karangan Sanusi Pane — yang kebetulan sekali terbaca — yang misalnya mengatakan bahwa: tapaknya telah hancur dalam mencari akhirnya ketemu jawabannya dalam hatinya sendiri. “Lalu terfikir kenapa saya mesti jauh-jauh mencari ke gunung?” tanya Iwan. Tentu saja ia tak butuh jawaban.