Tritura 10 Januari 1966: Tiga Tuntutan
Yang Tak Pernah Tuntas Terselesaikan
In
Historia, Politik on January 10, 2010 at 1:01 AM
“Presiden mana di antara empat Presiden
sesudah Soekarno-Soeharto yang pernah betul-betul telah berjuang untuk mencapai
keadilan sosial, apalagi membuktikan, paling tidak telah meletakkan dasar-dasar
awal program nyata pencapaian keadilan sosial dan keadilan politik? Keadilan
sosial-ekonomi-politik hanya ada dalam janji-janji palsu masa kampanye dan
retorika pemenang kekuasaan tatkala sudah memangku jabatan”. SETELAH
44 tahun detak waktu berlalu, catatan dan ingatan apa yang tersisa tentang
Tritura –Tri Tuntutan Rakyat, yang dicetuskan mahasiswa 10 Januari 1966– bagi
para pelaku sejarah dalam momen peristiwa di tahun 1966 ? Dan adakah pula makna
yang secara signifikan mewaris ke masa ini, terutama ke dalam ruang pemahaman
generasi baru serta para pelaku dalam kehidupan bernegara ?
Dalam
sudut pandang skeptik setelah 1998, pergerakan mahasiswa 1966 dan penamaan
Angkatan 1966,
bahkan seakan berada pada titik nadir karena eksistensi psikologisnya senantiasa disejajarkan dengan kekuasaan Soeharto. Bangun dan kemudian jatuhnya Soeharto serta Orde Baru untuk beberapa lama memang selalu dikaitkan dengan Angkatan 1966 dan atau pergerakan tahun 1966. Kendati, dalam perjalanan sejarah politik sejak 1966 hingga 32 tahun kemudian sesungguhnya terdapat begitu banyak garis patah dalam hubungan rezim Soeharto dengan sejumlah eksponen pergerakan 1966, perorangan maupun kelompok, melalui berbagai peristiwa. Dalam penggambaran yang lain, disebutkan bahwa apa yang pernah disebut Angkatan 1966 praktis sudah dilupakan orang.
bahkan seakan berada pada titik nadir karena eksistensi psikologisnya senantiasa disejajarkan dengan kekuasaan Soeharto. Bangun dan kemudian jatuhnya Soeharto serta Orde Baru untuk beberapa lama memang selalu dikaitkan dengan Angkatan 1966 dan atau pergerakan tahun 1966. Kendati, dalam perjalanan sejarah politik sejak 1966 hingga 32 tahun kemudian sesungguhnya terdapat begitu banyak garis patah dalam hubungan rezim Soeharto dengan sejumlah eksponen pergerakan 1966, perorangan maupun kelompok, melalui berbagai peristiwa. Dalam penggambaran yang lain, disebutkan bahwa apa yang pernah disebut Angkatan 1966 praktis sudah dilupakan orang.
Kini,
nama itu tinggal terselip di lembaran-lembaran buku tipis yang umumnya ditulis
dengan cara yang kurang menarik. Konsep Tritura yang dikumandangkan 10 Januari
1966 oleh barisan mahasiswa kala itu, pun telah dilupakan orang, dan mungkin
hanya tersisa keberadaannya pada satu sudut kecil dalam ruang ingatan publik
–kalau pun tak hanya dalam ingatan sejumlah orang yang terlibat dan memiliki
pertalian emosional dengan momen sejarah itu. Pergerakan 1966 seakan telah
menjadi satu mitos yang patah.
Di
tahun 1966, cetusan spontan Tritura, berhasil mewakili sikap dan hati nurani
rakyat terhadap tekanan situasi aktual yang timbul dari kegagalan menjalankan
politik dan kekuasaan kala itu. Tiga tuntutan dalam rumusan Tritura adalah:
Bubarkan PKI, Ritul Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga-harga. Bagi kebanyakan
rakyat, tuntutan paling aktual dan nyata mengenai keadaan hidup sehari-hari,
tak lain adalah yang terkait dengan himpitan ekonomi yang aspiratif diwakili
oleh Tura Turunkan Harga. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti proses kehidupan
politik dari waktu ke waktu, kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok
masyarakat yang peka merasakan tekanan terhadap kebebasan –sebagai hak dasar
demokrasi– yang berupa tindakan-tindakan ‘revolusioner’ yang tiran dan otoriter
dari PKI dan kekuatan politik kiri lainnya, pembubaran PKI menjadi Tura
esensial setelah terjadinya peristiwa berdarah 30 September 1965. Sedangkan
Tura Ritul Kabinet Dwikora, dianggap gugatan terhadap kegagalan kalangan
kekuasaan –Presiden Soekarno dan para menterinya– dalam mengelola kehidupan
politik dan ekonomi Indonesia.
Dalam
catatan sejarah, pada permukaan tataran formal, Tritura memang telah terjawab
dan terpenuhi. Namun, pada hakekatnya Tritura tak pernah mendapat jawaban dan
pemenuhan tuntas. PKI dibubarkan secara resmi 12 Maret 1966 dan kemudian
terdapat sejumlah penyelesaian hukum melalui peradilan-peradilan Mahmillub.
Pembubaran PKI memang telah dilakukan secara formal, akan tetapi tidak diikuti
dengan penyelesaian politik, hukum dan penanganan sosiologis yang memadai,
wajar dan tuntas. Selain penyelesaian yang normatif, terjadi pula penyelesaian
melalui jalur kekerasan massal yang menyisakan kontroversi penilaian hingga hari
ini, karena adanya pengkategorian sebagai kejahatan atas kemanusiaan dan bukan
sekedar konflik sosial horizontal. Lebih dari itu, pembubaran PKI ternyata
tidak berarti berakhirnya cara berpolitik dengan ideologi dan paham otoriter
yang ditandai perilaku haus kekuasaan secara berlebihan, yang justru kerap
ditampilkan oleh mereka yang menyebut diri anti komunis Pada tahun yang sama
Kabinet Dwikora telah dirombak, bahkan dibubarkan dan diganti dengan kabinet
baru, oleh Soekarno sendiri maupun bersama Soeharto, namun tidak pernah
betul-betul memuaskan.
Bahkan
hingga kini, Indonesia belum pernah sepenuhnya berhasil memperbaharui tatacara
kekuasaan dan pemerintahan, sebagaimana pula ketidakberhasilan memperbaiki
kehidupan berparlemen dan berdemokrasi hingga pada tingkat yang signifikan.
Harga-harga tak dapat diturunkan seketika dengan perintah kekuasaan, melainkan
hanya melalui tindakan-tindakan perbaikan ekonomi yang tepat. Kekuasaan baru di
bawah Soeharto secara bertahap memang berhasil melakukan pembangunan ekonomi
untuk jangka waktu tertentu yang cukup panjang, namun gagal menangani aspek
keadilan ekonomi. Dan ketidakberhasilan mencapai keadilan itu bahkan melanjut
di bawah pemerintahan-pemerintahan baru sesudahnya hingga kini. Presiden mana
di antara empat Presiden sesudah Soekarno-Soeharto yang pernah betul-betul
telah berjuang untuk mencapai keadilan sosial, apalagi membuktikan, paling
tidak telah meletakkan dasar-dasar awal program nyata pencapaian keadilan
sosial dan keadilan politik? Keadilan sosial-ekonomi-politik hanya ada dalam
janji-janji palsu masa kampanye dan retorika pemenang kekuasaan tatkala sudah
memangku jabatan.
Jadi,
apakah tuntutan-tuntutan dalam Tritura 44 tahun lampau telah tuntas terjawab
dan terselesaikan? Secara hakiki, belum. Masalah yang dihadapi bangsa ini pada
hakekatnya tetap terpaku pada pokok masalah yang sama: Kehidupan politik dan
bermasyarakat yang otoritarian dan sarat penyelesaian dengan cara kekerasan.
Pemaknaan kekuasaan, cara memerintah dan tujuan-tujuannya secara kuat masih
menggunakan sisa nilai-nilai feodalistik dan warisan nilai kolonial yang
mengutamakan kekuasaan sebagai pengendalian dan pengutamaan personal power
tanpa altruisme dan bukan penciptaan institutional power yang lebih sesuai
dengan kebutuhan demokrasi. Pemilihan-pemilihan umum, seperti halnya di masa
kekuasaan otoriter Soeharto, tetap berlangsung dalam nuansa manipulasi dan
kecurangan, sarat perilaku berdasar pola money politic, namun selalu
ditutup-tutupi dengan mengatakannya telah berlangsung baik dan bersih.
Kehidupan multi partai Indonesia dengan ‘baik’ mencerminkan segala keburukan
itu. Etalasenya adalah perilaku ‘menyimpang’ tanpa etika para wakil rakyat di
DPR yang menjadi tontonan sehari-hari yang ditayangkan media elektronik.
Kehidupan ekonomi tetap tidak berhasil diberi dimensi keadilan secara nyata
dari waktu ke waktu selama 41 tahun hingga kini. Proses ekonomi berjalan di
atas penderitaan rakyat. Sementara itu, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme
bahkan merajalela dan dilakukan secara massal, di dalam dan di luar
pemerintahan.
Sejarah
berjalan terus bersama waktu. Pelaku sejarah telah dan senantiasa berubah,
namun perilaku manusia dalam sejarah Indonesia tampaknya tak pernah ikut
berubah. (RumAly)