Pembantaian Westerling II
Kudeta" Angkatan Perang Ratu Adil
(APRA)
Oleh
Batara R. Hutagalung,
foto id.wikipedia.org
---------------------
---------------------
Setelah
Persetujuan Renville, anggota pasukan KST ditugaskan juga untuk melakukan
patroli dan “pembersihan”, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di
Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan
sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah
menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda,
yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda. Pada
17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya,
membuat
laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST (Korps Speciaale Troepen) yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan.
laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST (Korps Speciaale Troepen) yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan.
Pengaduan
ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan
Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus
pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan
sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan
elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah
menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Jerman yang
terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat para petinggi
tentara Belanda menjadi gerah. Walaupun
Jenderal Spoor sendiri sangat menyenangi Westerling, namun untuk menghindari
pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer, Spoor
memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16 November 1948, setelah
duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST)
kemudian KST, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas
kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL
W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya, Westerling menikahi pacarnya
dan menjadi pengusaha di Pacet (Puncak), Jawa Barat. Namun
ternyata Westerling tidak berpangku tangan dan menikmati kehidupan seorang
sipil, melainkan aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan menjalin
hubungan dengan kelompok Darul Islam di Jawa Barat. Secara diam-diam ia
membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk memukul Republik
Indonesia, yang direalisasikannya pada 23 Januari 1950, dalam usaha yang
dikenal sebagai “kudeta 23 Januari.” Pada
23 Januari 1950, segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten
KNIL Raymond "si Turki" Westerling, mantan komandan pasukan khusus
KST (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang
berseragam TNI yang mereka temui. Ternyata aksi gerombolan ini -yang kemudian
dikenal sebagai Peristiwa Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)- telah
direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah
diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada
bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa
Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar
500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh
pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling
adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya
kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus
KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay,
yang dikenalnya sejak berada di kota Medan. Pada
25 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal
Spoor yang meninggal secara misterius ada yang mengatakan, bahwa Spoor bunuh
diri karena kecewa atas persetujuan Roem-Royen yang membidani Konferensi Meja
Bundar). Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah
penyerahan kedaulatan dia (Westerling) melakukan kudeta terhadap Sukarno dan
kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumors, antara lain ada
sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga
dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden,
sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan
kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak
melakukan tindakan tersebut. Bahwa van Vreeden tidak segera memerintahkan
penangkapan Westerling adalah suatu kesalahan, karena kurang dari satu bulan
kemudian terbukti, bahwa Westerling melaksanakan niat jahatnya yang membawa
malapetaka baru bagi bangsa Indonesia terutama TNI.
Pada
hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah
RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS
menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS
harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan
jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang
besar.
Ultimatum
Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse
Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia.
Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya
menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker
menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan
militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling. Pada
10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia
telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu,
ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan
Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini
tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa
Indonesia pernah menjadi korban exorbitante rechten.
Sementara
itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des
Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949.
Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan
mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling
tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling.
Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas
pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya
Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk
Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena
itu dia harus merahasiakannya. Pertengahan
Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni
Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta
menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk
menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS
Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan
elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari
Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan
tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan
kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda
Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST. Namun
upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret
hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling
mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke
Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan
"kudetanya." Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa
menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak
melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak
mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah
menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat
telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor
KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa
"compagnie Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan
desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta,
namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles
segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin,
Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal
Buurman van Vreeden di Jakarta. Pukul
8.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul
akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Letkol Sadikin
mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang
hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan,
bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan,
bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.Di
kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati
setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas
dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak
APRA, tak ada korban seorang pun. Sementara
Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden
Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan
KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak
muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga
secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang
diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya. Setelah
puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan
yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat
ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid
II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. Setelah
itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima
laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut,
salah satu basis Darul Islam waktu itu. Aksi
militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri
dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di
seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama
melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White,
jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu
krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk
dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar
Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung
dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari
Belanda).
Konspirasi
Belanda Menyelamatkan Westerling
Setelah
kegagalan "kudeta" yang juga sangat memalukan itu, pemerintah Belanda
memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet
tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua
Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi.
Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld
untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari
itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke kapal
Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke
Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Disediakan
tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara
kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat
penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei
1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama
keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400
orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang
pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi
Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer. Jumlah
tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan
dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari
300 orang.
Demikianlah
akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciaale Troepen (RST) yang
merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps
Speciaale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena
"berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Namun
bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di
sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau
pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia
dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Tionghoa. Maka dia kemudian
menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta.
Sejak
kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan
mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah
tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs. Pada
8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang kini
menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling
menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya.
Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld
dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga
sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan
Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan.
Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun
sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak
Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan
agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka
tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat
memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan
militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Weterling.
Namun
tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen
memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk
menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari
Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai
komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman
Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan
Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan
pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang
kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.
Westerling
pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat
Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der
Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan
selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada
Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld,
Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta
–baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi
menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae
Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.
Pada
17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun
rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia
dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas Penerbangan
Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana
ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai
rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen
mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van
Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden.Van
der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan
rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan
dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist
memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan
sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya
menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang
perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling. Kerja
selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap;
mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa
laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir
di Manila. Pada
hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang
gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der
Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok.
Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga
isinya adalah perhiasan. Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung
Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di
perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai
Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan.
Dalam
bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor
dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan
Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera
menghubungi temanTionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli
persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke
Indonesia. Namun
pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling
digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara
Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming,
seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan
bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan
melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis
yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer
Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan
mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika,
Life.
Pemberitaan
di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer
Belanda di Indonesia. Kabinet
RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan.
Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut,
sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula
menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda
kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan
harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan
itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh
van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk
menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.
Fockema
segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak
mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat
memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld
dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.
Pada
5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam
"kudeta" Westerling bulan Januari 1950. Pada
7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124
anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12
Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar
hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa
orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan
hanya Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding.
Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda
terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol
Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang
Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang
terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang
sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi
hukuman mati. Sementara
itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di
Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura
agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang
Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling
sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya,
sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di
Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling
meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia
Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van
der Gaag, seorang pendukung Westerling.
Westerling
sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera
ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera
dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan
Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka
merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana.
Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang
paling disanjung.
Awal
April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak
dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling
ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan
Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda
Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh
Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada
13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap
bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober
1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak
akan diekstradisi ke Indonesia. Setelah
keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai
pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya,
mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab: "Orang
Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak
sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan." Beberapa
hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas
penghinaan tersebut. Pada
17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam
di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak
terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima
pernyataan tersebut secara tertulis. Dengan
demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan
tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga "kudeta' APRA pimpinan
Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan
terhadap satu negara yang berdaulat. Westerling
kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun
1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke
bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to
Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam
literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas
pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika. Kemudian
bagaimana dengan nasib KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)? Berdasarkan
keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah
berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil
keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang ingin masuk ke TNI
harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun
70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI!
Westerling
meninggal dengan tenang tahun 1987.