Tempo
28 Februari 1976 BERITANYA kembali bermula dari Radio Australia, khususnya
siaran bahasa Inggeris ABC (Australian Broadcasting Commission), 17 Pebruari
lalu ABC memberitakan bahwa gangguan gerilyawan OPM (Organisasi Papua Merdeka)
telah meningkat menyusul penyerbuan ‘sukarelawan’ Indonesia di Timor-Timur.
Menurut
koresponden ABC, Albert Asbury, hal itu telah dibenarkan oleh sumber-sumber
intelijen Papua Nugini di Port Moresby, negeri tetangga yang langsung
berbatasan darat dengan Irian Jaya, daerah operasi OPM. Tapi pasukan keamanan
PNC sendiri tidak terlibat dalam masalah intern Irian Jaya — dan RI pada
umumnya — karena mereka hanya berpatrol di perbatasan PNG. Ini dilegaskan oleh
kalangan intel PNG membantah klaim gembong-gembong OPM di Senegal, Afrika
Barat, bahwa serdadu-serdadu PNG telah menangkap 20 pelarian Irian Jaya yang
menyeberang perbatasan, kemudian menyerahkannya pada pasukan Indonesia di Irian
Jaya. Menurut versi OPM itu, orang-orang desa itu memasuki wilayah PNG hanya
untuk mencari pertolongan pengobatan, tapi kemudian dibunuh tentara Indonesia
sesudah diserahkan kembali. Menlu Adam Malik yang diwawancarai Reuter,
membantah hahwa pemberontakan sedang berkecamuk di Irian Java. “Mungkin
korban-korban itu justru merupakan anggota gerakan separatis di Papua Nugini
yang mencoba lari ke wilayah Indonesia, kemudian terbunuh dalam usaha pelarian
itu”, kata Malik. Menlu juga menegaskan, bahwa apa yang dinamakan “Pemerintah
Revolusioner Irian Barat” yang berbasis di Senegal itu sebenarnya tidak ada.
“Mungkin”, kata Adam Malik, “mereka itu adalah sisa-sisa RMS yang mencoba
menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri”. Adapun soal pemulangan orang orang
Irian Jaya yang melintasi perbatasan ke PNG, sudah tercapai persetujuan antara
kedua pemerintah (RI & PNG), yang juga sepakat bersama-sama memelihara
perdamaian sepanjang perbatasan kedua negara. Juga Kaskopkamtib Laksamana
Sudomo membantah berita Radio Australia itu. “Di sana aman dan tidak terjadi
apa-apa. Saya tidak melihat aktivitas OPM di daerah kita”, katanya pada pers
yang mencegatnya di jalan Cendana. Bahkan dari Port Moresby sendiri, PM Papua
Nugini Michael Somare menganggap perlu menanggapi berita itu. Kepada Reuter
Somare menegaskan bahwa negaranya tidak mengakui atau mendukung organisasi
pemberontakan apapun dari wilayah Indonesia, khususnya Irian Jaya. “PNG
menghormati kedaulatan Irian Jaya sebagai bagian integral dari RepubLik
Indonesia”, katanya. “Karena itu, apabila ada sisa-sisa pemberontak dari Irian
Jaya yang tinggal di negaranya, mereka akan dikembaLikan ke wilayah Indonesia.
Sedang warganegara PNC yang diketahui membantu pemberontak Irian Jaya akan
ditindak menurut hukum yang berlaku di Papua Nugini”. Selanjutnya tentang
penjagaan keamanan di perbatasan, Somare menegaskan bahwa mereka hanya
melakukan “patroli rutin” di sepanjang perbatasan. “Seperti Indonesia, kami
tidak mengerahkan pasukan”. Bantuan Belanda Sesudah keterangan PM Papua Nugini
itu, hari Minggu lalu ada keterangan tambahan dari MenLu PNG Sir Maori Kiki,
tahun 1973 pemerintahnya memang pernah mengadakan kontak dengan “Tentara
Nasional Pembebasan Papua Barat” untuk mencari penyelesaian damai dengan
Indonesia. Namun kontak itu sepenuhnya diketahui oleh pemerintah Indonesia dan
hasilnya juga dilaporkan ke Jakarta. Tidak dijelaskan apakah kontak dengan
sisa-sisa OPM itu masih terus dibina sampai sekarang setelah PNG mempeoleh
kemerdekaan penuh dari Australia. Sementara itu dari Jayapura masih tersiar
berita meyerahnya sejumlah tokoh OPM berikut pasukannya — suatu pertanda bahwa
gerakan itu belum padam sama sekali. Menurut kalangan diplomatik PNG,
pelarian-pearian OPM yang merembes masuk PNG umumnya berasal dari daerah
pedalaman Jayapura, yang letaknya hanya 30 mil dari perbatasan PNG. Kalau
mereka masuk PNG membawa senjata, mereka otomatis bisa ditangkap oleh polisi
PNG atas dasar larangan memiliki dan membawa-bawa senjata di PNG (TEMPO, 27
Desember 1975). Tapi kalau mereka masuk PNG dalam keadaan sakit atau luka-luka,
biasanya mereka mendapat pertolongan. Pemerintah PNG juga memberikan kesempatan
pada mereka masuk warganegara PNG, sesuai dengan persyaratan yang berlaku bagi
setiap orang asing di sana. Dan selain itu, ada bantuan uang dan obat-obatan
dari Negeri Belanda melalui yayasan Door de eeuwen trouw yang setiap tahun
mengalirkan sekitar 150 ribu gulden (Rp 22,5 juta) ke sana. Atau 2 x lipat
bantuan yayasan itu untuk RMS (TEMP0, 10 Januari). Lewat Dakar Seperti halnya
RMS, sebagian pentolan OPI juga beroperasi di negeri Belanda. Jumlahnya jauh
lebih sedikit (hanya 6000 orang), dan terpecah dalam 3 kelompok. Yang didukung
oleh Door de eeuwen rouw adalah kelompok Herman Womsiwor. Komandannya Seth
Jafet Rumkoren masih tetap bergerilya di hutan-hutan Irian. Seperti dikemukakan
oleh Dubes RI Letjen Sutopo Yuwono di minggu ketiga Januari lalu pada Toeti
Kakiailatu dari TEMPO: “gerakan OPM ini harus lebih kita perhatikan dari pada
RMS”. Mengapa? “Secara jujur, gerakan gerilya yang dipimpin oleh Rumkoren ini
sulit ditumpas. Arealnya memang sulit karena gerakan ini berada dekat
perbatasan. Pasukan kita tidak bisa dengan intensif mengontrol mereka. Bukan
saja karena daerannya hutan rimba, tapi juga karena perlengkapan kita kurang”.
Dubes Sutopo Yuwono mengakui bahwa satu-satunya negara yang teiah mengakui OPM
secara resmi adalah Senegal. Seperti diberitakan oleh koran Belanda
NRC-Handelsblad, Presiden Senegal Leopold Senghor juga telah mengundang ir
Manusama berkunjung ke sana, dengan paspor diplomatik yang dikeluarkan oleh
kedutaan Senegal di Paris. Undangan itu telah dimanfaatkan benar oleh Manusama
dan ‘kabinet’nya, yang berkunjung ke Dakar 15 Januari lalu sebelum acara tatap
muka dengan PM Belanda Joop den Uyl. Perhatian presiden Senegal itu diduga
tergugah oleh aksi pembajakan RMS di Belanda akhir tahun lalu. Bertolak dari
kejadian itu, mungkin betul juga sinyalemen Menlu Malik bahwa sisa-sisa RMS
telah memperluas kampanye anti-RI-nya lewat Dakar, dan tidak hanya di Negeri
Belanda. Sambil bekerjasama dengan orang-orang OPM di sana.