Tempo
18 Juni 1977. “Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin
itu orang yang keras. Bung Karno, 28 April 1966 SEBELAS tahun kemudian, orang
yang disebut Bung Karno “keras” itu masih tetap keras.
Ia
masih bisa berteriak “goblog” kepada pembantunya yang berbuat salah – dengan
kemarahan yang termashur itu. Dan ia masih seperti mendera dirinya sendiri
dalan bekerja. Hari-hari terakhir masa jabatannya (akan habis menjelang akhir
Juni ini – lebih cepat dari dugaan semula) ia lalui seolah-olah ia masih akan tetap
ditugaskan di sana. Sampai di kantor jam 6.30 pagi. Kembali ke rumah jam 14.00
atau setengah tiga. Kemudian mulai jam 17.00 bekerja lagi di rumah termasuk
menerima tamu – hingga jauh malam. Ia juga masih memilih olahraga yang keras.
Bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil jalan, melainkan latihan kesegaran
jasmani di ruang khusus di Balai Kota tingkat 4. Latihan berlangsung sampai
satu jam, antara lain dengan mengayuh ergo-cycle. Hal ini dilakukannya dua kali
seminggu, di samping berenang di kolam renang di rumahnya atau terkadang, di
tempat lain. Sekali-sekali ia main sepakbola. Dua pekan yang lalu misalnya ia
jadi kiper – posisi yang kurang cocok dengan semangatnya yang gelisah. Tapi
dengan umur 50 tahun, fisiknya tak urung toh berubah. Berkat latihan dan
disiplin dirinya (ia tak merokok), ada yang pernah menaksir bahwa kondisinya
lebih muda 10 tahun dari umurnya. Namun rambutnya jelas menipis. Kerut di
dahinya lebih kentara. Ia nampak lebih berat, meskipun tidak pernah gendut (77
kg dengan tinggi 1.78 m). Semua itu menyebabkan ia lebih nampak angker atau
berwibawa. Yang membantu Ali Sadikin, selain keluarga yang tenang, barangkali
juga sifatnya yang spontan, yang meledak dalam marah dan ketawa. Ia tak diam
menahan perasaan. Tapi siapa yang tidak di”makan” oleh tugas selama sebelas
tahun, dengan kota yang setegang Jakarta? Sadikin bukan perkecualian. Ia mulai
dari tidak tahu apa-apa sama sekali tentang kota. Ketika Bung Karno, Presiden
pertama dulu menunjuknya jadi Gubernur, isterinya – dokter gigi Nani Sadikin
tertawa karena merasa aneh, bahwa suaminya dapat tugas itu. Tapi pengalamannya
sebagai komandan dalaun ketentaraan toh ternyata berguna. Terutama dalam
mengatur kembali organisasi pemerintahan daerah. Dan agaknya di sinilah
prestasi Ali Sadikin yang terutama yang justru selama ini tidak terlihat.
Seperti kata seorang pembantunya: “Bagi banyak orang luar kepemimpinan Ali
Sadikin ditandai oleh kejutan-kejutan dan pembangunannya yang spektakuler. Tapi
bagi kami yang di dalam ada hal yang lebih penting lagi ia meletakkan dasar
tertib pemerintahan yang sebelumnnya belum ada”. Pembangunan yang spektakuler,
selain menyebabkan ia dipuji tapi juga menyebabkan ia dicela — dan contohnya
amat banyak tentang itu. Juga ucapan-ucapannya, sering mengandung humor tapi
terlalu blak-blakan, sering menyebabkan ia menambah jumlah musuh. Tapi agaknya
apa yang dilakukannya dalam organisasi pemerintahan daerah sukar untuk dibantah
manfaatnya-juga setelah ia tidak ada di kantor gubernuran nanti. Soetjipto
Wirosardjono, Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan DKI
Jakarta, dalam tulisannya dalam majalah Prisma baru-baru ini menyebut beberapa
pembaharuan yang dilakukan Ali Sadikin secara diam-diam di situ: Ia mengakhiri dualisme. Sebelumnya, dalam
pemerintahan daerah terdapat dua perangkat yang secara strukturil terpisah.
Yang satu adalah perangkat pemerintahan pusat (lazimnya disebut: pamongpraja).
Yang lain adalah perangkat otonom. Yang pertama merupakan aparat Departemen
Dalam Negeri, bertugas menjalankan fungsi pemerintah umum di daerah. Yang kedua
adalah aparat pemerintah daerah, berfungsi melaksanakan tugas yang sudah
dilimpahkan kepada daerah. Dalam waktu kurang dua bulan setelah pelantikannya,
Sadikin membereskan ini – dengan doktrin hanya ada satu perangkat pemerintah
daerah. Dengan adanya perubahan itu, “saya misalnya, tak merasa jadi orang
pusat”, kata Hafiz Fatchurachman. Asisten Sekwilda DKI yang waktu itu
kedudukannya menempatkan dia sebagai orang pusat yang bekerja di pemerintah
daerah. Semangat seperti itu tak timbul lengan sendirinya. Sebab pengelolaan
kepegawaian, dari seleksi, pengangkatan, penempatan penggajian, jenjang karir
dan semua aturan kepegawaian bersumber pada satu paket kebijaksanaan, yang
berlaku baik untuk pegawai yang berstatus pusat maupun daerah. Ia mempelopori adanya “badan perencanaan
daerah”. Ali Sadikin sudah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan sejak 19
Juni 1968. Baru enam tahun kemudian, Bappeda ini berlaku untuk daerah-daerah
lain, berkat Keputusan Presiden tahun 1974. Bappeda itu kini berfungsi sebagai
staf perencanaan dari gubernur kepala daerah. Tapi waktu Sadikin memulainya,
dasarnya lebih luas dari sekedar pejabat: untuk mengembangkan keikut-sertaan
masyarakat, wakil pelbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat dimasukkan.
Badan ini pun jadinya bukan cuma diisi oleh birokrasi pemerintah daerah. Ia membagi wewenang kepada mereka yang di
bawahnya. Sampai Juni 1966, para kepala perwakilan pemerintahan umum di tiga
wilayah Jakarta yakni para bupati — tidak dilengkapi dengan wewenang yang
cukup. Wewenang pengelolaan pemerintahan terpusat di tangan gubernur. Sadikin
mengubah ini. Dilakukan “dekonsentrasi teritorial dan fungsionil”, dengan
membentuk wilayah administratif “kota”, kecamatan dan kelurahan. Itu, tentu saja,
cuma beberapa hal pokok yang dilakukannya. Yang lebih penting agaknya bahwa ia
mulai tidak dengan sikap seorang petugas yang terhimpit oleh peraturan. “Saya
lebih suka menyebutkan dia juga sebagai entrepreneur”, kata Hafiz, ketika
ditanya tidakkah perobahan yang dilakukannya di tahun 1966 itu melanggar
Undang-Undang yang ada. Dengan kata lain, Sadikin bisa dikatakan mendahului
perubahan peraluran — yang kemudian memang sering terjadi. Mungkin itulah
sebabnya, dengan sifat “keras”nya itu, ia bisa nampak seperti mau memaksa
pergantian ketentuan. Soetjipto memberi contoh: ada aturan bahwa dari pungutan
pendapatan tanah daerah dapat 40%, pusat 40%. Sadikin bilang “tidak”. Pusat 20%
saja. Caranya, kata Soetjipto, “dengan membuktikan bahwa logikanya lebih genah,
lebih adil”. Tidak semua kepala daerah, tentu saja, berani begitu. Ali Sadikin
sendiri pernah mengatakan, bahwa kelebihannya untuk berkata blak-blakan kepada
pusat adalah karena ia salah satu perwira ABRI yang paling senior. Sikap
demikian juga diharapkannya bisa jadi semacam “pendidikan demokrasi”, karena
tak serta merta mengiyakan bahwa yang dikatakan oleh atasan mutlak benar
(lihat: wawancara, hal. 15). Tapi agaknya orang di “pusat” tak selamanya
senang. Soegiharto, Ketua Fraksi Karya di DPR, misalnya menyuarakan perasaan
itu dengan mengecam sikap Sadikin. Bagi para pembantunya, sikap Bang Ali punya
dasar. Kata ajudannya, Chris Hutapea, ucapan Ali Sadikin “sebetulnya
dimaksudkan untuk memancing reaksi”, sedang “sebelumnya sudah dilakukan usaha
yang cukup lama”. Soetjipto punya penjelasan yang agak lain. Menurut “etik
kekaryaan” memang “maki-maki harus dilakukan di dalam”, namun Ali Sadikin juga
dididik dalam pasukan komando. Dalam saat-saat tertentu, ia menggunakan “terapi
kejutan”. Kita bikin kejutan, kita juga harus tahu konsekwensinya, begitu
katanya. Setelah itu ia mengukur kekuatannya: kira-kira ia bisa terus dengan
rencananya atau tidak. Ada juga yang tidak bisa terus. Ir. Wardiman dari Biro
II DKI, menunjuk misalnya ide “defisit aktif”. Ali Sadikin memperkenalkan ini:
prinsipnya, penerimaan 100 sementara pengeluaran 120, dengan kekurangannya
dicarikan gantinya oleh DKI sendiri. Pusat tidak mengizinkan ini, karena bisa
ditiru oleh daerah lain, sementara defisitnya belum tentu benar. Betapapun
Sadikin masih suka mencoba menawar. Tapi lebih dari ke Marinirannya, ia juga
nampaknya memang suka adu argumentasi. Ketika suatu kali Arief Budiman (kini di
Universitas Harvard) dianggapnya “mengacau” di Gelanggang Remaja, Ali Sadikin
dalam suatu kesempatan melantik anggota Dewan Kesenian (a.l. Arief termasuk
yang dilantiknya) langsung mengecam Arief. Dan langsung dari podium ia
menantang: “Rief, jawab Rief!” Arief memang kemudian mendebatnya, dan Gubernur
melayaninya, dan antara keduanya tak ada perasaan dongkol lagi. Tak
mengherankan bila kaum intelektuil, para tukang kritik itu, terutama mahasiswa,
merasa ada kecocokan dengan Sadikin. Mereka diam-diam mengagumi orang ini,
orang yang tak takut dan tidak sakit hati bila dibantah. Mungkin itulah
sebabnya Ali Sadikin, yang diangkat oleh Sukarno dan pernah dicurigai sebagai
unsur “Orde Lama” oleh para muda di kampus UI, kemudian terasa dekat bagi
mereka. Diakui atau tidak, sumbangannya dalam meredakan beberapa peristiwa
demonstrasi mahasiswa ialah karena ia tidak dianggap apriori memusuhi dan
mencurigai mereka. Dan itu amat penting kiranya bagi sebuah ibukota. Ibukota
negeri-negeri berkembang biasanya mengandung “arus bawah” yang suka beroposisi.
Di Jakarta misalnya, di tahun 1966-1967, demonstrasi anti Bung Karno paling
keras terjadi. Sebab sementara orang di daerah masih menganggap sang pemimpin
bagaikan setengah dewa, di Jakarta segala gosip yang ganas berkecamuk — dan
fakta-fakta yang buruk memang dengan lebih mudah terpaparkan tentang para bapak
dan ibu pembesar. Kontras kehidupan dalam kota yang penuh persaingan ini juga
menyebabkan rasa tak puas mudah terbit – meskipun tidak disuarakan oleh pers,
seperti halnya di zaman Orde Lama dulu, di mana pers dibungkam. Bagaimana Ali
Sadikin menghadapi ini? Mungkin sikapnya yang gemar adu argumentasi itu cocok
untuk tidak melihat gejala “oposisi-oposisi”-an itu sebagai ancaman – apalagi
ia nampaknya cukup populer. Tapi mungkin juga filsafat kepemimpinannya
menolong. Dalam pidatonya di Manila waktu menerima Hadiah Magsaysay 31 Agustus
1971, ia menyatakan bahwa gubernur yang baik adalah “gubernur yang sepenuhnya
menempatkan dirinya sebagai seorang kepala pemerintahan daerah, dari mana pun
dia berasal dan afiliasi politik apapun yang dia anut”. Baginya, “menempatkan
diri sebagai seorang gubernur juga berarti meletakkan kepentingan umum di atas
kepentingan golongan atau korps”. Dan agaknya kritiknya kepada tiga kontestan
sekaligus di waktu pemilu yang baru lalu – meskipun ia ikut dalam rapat umum
Golkar – merupakan pelaksanaan dari prinsipnya. Ia nampaknya berusaha benar,
untuk bersetia kepada sikap fair. Kepada TEMPO yang mengkritiknya ia pernah
berkata, bahwa tidak fair kalau dia tak diberi kesempatan membela diri dan
membantah kritik. Ia sendiri membaca sejumlah besar koran dengan lahap, dan
dengan kecepatan yang mengagumkan (“Mungkin dia belajar teknik baca cepat”,
kata seorang pembantunya). “Pak Ali seolah-olah diperintah koran”, kata Humas
DKI Syariful Alam. Waktu sarapan ia baca koran, di jamjam kantor awal ia baca
koran — dan mencoret-coret dengan spidol merah apa saja yang harus
diperhatikan, dan diperbaiki, oleh anak buahnya. Sedikitnya sehari 20
penerbitan yang ia “garap” begitu. Tapi adakah ia bersedia menerima kritik dari
bawahannya? Beberapa pembantu dekatnya mengatakan “ya”. Ia setidaknya
menciptakan iklim untuk itu, meskipun – kata Soetjipto – bagi bawahannya yang
berlatarbelakang “feodal”, kesempatan yang ada itu jarang dipergunakan. Ir.
Piek Muljadi, Ketua Bappeda DKI, atau Hafiz, biasa saja bila harus menunjukkan
mana sikap Sadikin yang “tidak konsisten” dengan garisnya sendiri. Seperti
suasana di rumahnya, di mana para pembantu rumahtangga nampak cukup bebas
borsikap, bawahan Sadikin menyataksn bahwa hubungan mereka dengan Pak Ali tidak
banyak bersuasana rikuh. Dulu waktu Bang Ali baru duduk jadi Gubernur mereka
punya acara keliling bersama, menginap di rumah daerah pinggiran, dan di
situlah mereka saling kenal dengan intim. Tiap Rabu juga ada acara minum kopi
dan omong-omong bebas. Yang mungkin tidak banyak terdengar ialah justru suara
dari kalangun DPRD. Tapi menurut Hafiz, hal ini disebabkan karena UU yang ada
menentukan begitu rupa, hingga hubungan antara Pemerintah DKI dengan DPRDnya
ibrat suami istri. Setiap kali persoalan diselesaikan di dalam. Nampaknya
memang soalnya kemudian terserah kepada kwalitas para anggota DPRD. Tapi
kiranya asas semacam itu agak kurang konsisten dengan “pendidikan demokrasi
yang diniatkan Ali Sadikin. Toh rakyat di luar ingin tahu juga bahwa anggota
DPRD mereka menyuarakan suara hati mereka, dan pemerintah daerah mau
mendengarkan. Itu tidak berarti bahwa benturan antara anggota DPRD dengan Ali
Sadikin tak pernah terjadi. Pengalaman Haji Hartono Mardjono SH. angota DPRD
dari fraksi PPP misalnya cukup jelas. Dalam sidang pleno 1972 ia menkritik
ketidak-beresan pembangunan terminal bis Rawamangun. Ali Sadikin marah besar
kepadanya. Di muka sidang lenkap, tapi setolah hadirin lain diminta ke luar.
Sadikin menyerang Hartono konon sembari menghantam podium. Hurtono yang waktu
itu sudah hampir saja meninggalkan sidang, kemudian menegtahu bahwa Ali Sadikin
bisa jadi baik. Sadikin mengirim Desun agar Hartono menemuinya. Mereka
berbicara selama 5 jam. Dan menurut seorang pembantu Sadikin. Hartono adalah
salah seorang anggota DPRI yang dihormati Bang Ali. Hartono sendirl tak pernah
sowan ke rumah Sadikin, dan Sadikin sendiri tak menuntut agar ia disowani.
“Hubungan kami tetap zakelijk”, kata Mardjono kepada TEMPO. Maka seraya ia
memuji Ali Sudikin, bahwa orang ini tak punya sikap munailk, bila jadi tauladan
bagi masyarakatnya dan “sulit dicari gantinya”, ia jugu menambahkan kritik. Ali
Sadikin kadang-kadang terlalu mengutamakan strategi, hingga penyalahgunaan
wewenang oleh bawahannya terasa seperti dibiarkan. Tak berarti ia tak pernah
menindak anak buahnya. Tapi Sadikin pun punya batas – dan juga kesalahan, tentu
saja. Mungkin penglepasannyu dari kursi penjabat Kepala Daerah pada saat ini
justru merupakan alamat baik baginya, sebelum harum namanya hilang dari Jakarta
yang terus berubah. Sebelum orang lupa mengenang jasa besar yang telah
dilakukannya. Sewaktu kita dengan kagum melih berkata seperti harapan orang
yang melantiknya dulu – “dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali
Sadikin”.
02
Juli 1977
Apa
Yang Kau Cari, Dipo ?
11
Juli nanti Ali Sadikin berhenti sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan SK Presiden
tanggal 15 Juni No. 70 M/1977. Tapi nyaris sebulan sebelumnya. Senin pekan
lalu. 2 orang mahasiswa mencalonkannya untuk kursi presiden. Mereka adalah Dipo
Alam dan Bambang Sulistomo, masing-masing 7 tahun. Mengenakan kaos oblong
bergambar wajah Bang Ali, mereka bicara di sebuah warung di Pusat Kesenian
Taman Ismail Marzuki. Beberapa hari kemudian tampak beberapa mahasiswa UI
mengenakan kaos oblong bergambar Bang Ali itu. Rupanya mereka membeli di Bursa
UI, yang menjualnya dalam jumlah terbatas. Harganya cuma Rp 350, tentu saja
cepat laris. Akan halnya Dipo dan Bambang, mereka menilai Presiden Soeharto
bukannya tidak berhasil. “Justru keberhasilan Soeharto itu harus digalakkan.
Dan percepatan pembangunan memerlukan orang seperti Ali Sadikin”. kata Dipo,
bekas ketua umum DM UI dan mahasiswa kimia FIPIA-UI yang tinggal menulis
skripsi itu kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Gerakan yang mereka sebut sebagai
“Gerakan Pemikiran” itu, ternyata lahir cuma dalam sehari. Dan petisi mereka
“bersumber dari surat pembaca di koran-koran” sebagaimana ungkap Bambang
Sulistomo anak Bung Tomo mahasiswa politik FIS-UI tingkat terakhir yang pernah
ditahan karena Peristiwa 15 Januari. Petisi bertanggal 20 Juni itu antara lain
“mencoba mengajukan seorang calon untuk diikut-sertakan pada pemilihan Presiden
pada SU MPR bulan Maret 1978″. Terpilih atau tidak, “tergantung dari
pelaksanaan Demokrasi Pancasila”. Mereka berharap tidak dianggap beriktikad
buruk. “Andaikata iktikad kami ini dicurigai, maka peringatkanlah kami,
tunjukkanlah di mana kesalahan kami, tulis petisi. Bambang mengaku tak punya
keinginan politik. “Kami hanya ingin agar arus bawah dapat pula berpartisipasi
mengembangkan kebudayaan politik”. Dipo menimpali. “Dibilang move politik,
nggak juga. Lebih tepat memang Gerakan Pemikiran” sahut Bambang. “Sebab ini
tidak sama dengan kampanye Jimy Carter ketika mencalonkan diri sebagai Presiden
AS lewat Hamilton Jordan”. tambah Bambang. Lalu Dipo menjelaskan, gerakan mereka
bermaksud merangsang terciptanya iklim baru dalam kebudayaan politik. Akan
Sia-Sia Sadar bahwa mereka melawan arus, kedua mahasiswa itu katanya siap
menanggung risiko. Dan mereka juga tak mau dikaitkan dengan kegiatan kampus UI.
Tapi Lukman Hakim. Ketua DM UI, yakin (atau berharap) bahwa Dipo dan Bambang
punya konsep dan perencanaan yang matang. “Kalau mereka hanya sekedar
melemparkan isyu tanpa backing konsep yang kuat, akan sia-sia”, katanya kepada
Syarief Hidayat dari TEMPO. Dipo dan ambang sendiri mengaku belum mendapat
dukungan tokoh-tokoh lain. DM-DM lain pun belum mereka hubungi. Tapi pekan lalu
Iskadir Chottob, ketua DM Unpad, menyatakan dukungannya. Barangkali setelah
Dipo dan Bambang berangkat ke Bandung. “Saya berharap hal itu akan diperhatikan
dalan sidang DPR/MPR yang akan datang” katanya kepada koran Pikiran Rakyat.
Sebaliknya Hudori Hamid, ketua DM IKIP Jakarta, menyayangkan petisi tidak
disalurkan lewat DM-DM se Jakarta. Alasannya,”kalau tak ada dukungan, apa
gunanya?” Tapi memang diakui kesulitan mendapatkan kesempatan dalam sidang
antar DM seperti yang ditunjukkan Sulaiman Hamzah, ketua I DM IKIP. Misalnya
ketika ada rencana mengirim karangan bunga ke Istana Negara “atas matinya
demokrasi di Indonesia”. Semula disepakati, UI yang memimpin IKIP membacakan
pernyataan dan UKI yang menyerahkan karangan bunga. Tapi tiba-tiba rencana
batal karena Lukman Hakim, berubah pikiran. Haruskah dipimpin oleh DM UKI?
“Kani lebih senang kalau sama-sama. Apalagi UI kan dianggap berbobot”, jawab
Sulaiman. Bahwa mereka memijam TIM untuk bicara, ada alasan tersendiri. Sebab.
“di sini kita bebas bicara, meskipun tempat bukanlah soal”, kata Bambang. Pihak
TIM sendiri rupanya tidak tahu-menahu soal ini. “TIM itu kan milik umum, siapa
saja bisa mempergunakannya. Dan saya tak bisa melarang atau meneliti KTP setiap
orang yang masuk”, kata Irawati Sudiarso, ketua Dewan Kesenian Jakarta yang
agak repot juga dengan kejadian itu. Seolah belum cukup repot, setelah
Dipo-Bambang 4 orang, pemuda lain yang mengatas-namakan diri Generasi Muda
Indonesia juga bicara di warung di TIM juga. Katanya, ia bermaksud merangsang
SU MPR yang akan datang agar menetapkan berapa kali seseorang dapat dicalonkan
sebagai Presiden dan Wakil. Reaksi terhadap “Gerakan Pemikiran” itu belum ada
yang tegas. “Petisi itu sebagai alternatif, bagus”, kata Chalid Mawardi, sekjen
DPP PPP. “Tapi soal itu toh tergantung pada pilihan MPR juga”, ujar Nuddin
Lubis, ketua DPP PPP kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO. Meski PPP sendiri jauh
sebelum kampanye pemilu sudah menyatakan kembali mencalonkan Soeharto dan Sri
Sultan, toh Nuddin pekan lalu belum bersedia menjawab siapa calon PPP sebagai
Presiden dan Wakil. “Tidak semua yang ada dalam hati bisa kita beberkan”,
katanya. Yah, Selesailah Sudah Sabam Sirait, sekjen DPP PDI merasa gembira
terhadap petisi tersebut, meski pun tak bersedia bicara banyak. Belum bersedia
mengumumkan calon-calonnya, Sabam cuma menyatakan, “yang jadi pelopor kan
biasanya generasi muda”. Di lain fihak, Sumiskum menganggap “usul seperti itu dalam
negara demokrasi adalah biasa”. Lepas dari materinya, Wakil Ketua DPR dari
fraksi Karya Pembangunan itu memperjelas sikapnya bahwa usul pencalonan
tersebut merupakan sumbangan terhadap usaha mendewasakan bangsa. Tapi ia juga
menilai, keberanian Dipo-Bambang itu lantaran “keadaan sudah berubah”. Di depan
8 DM se Jakarta yang menemuinya pekan lalu, Sumiskum menambah, “coba di tahun
1968 atau 1970, mungkin mereka sudah ditangkap. Tapi sekarang, saya lihat dia
masih nongkrong makan sate”. Lalu bagaimana kalau Ali Sadikin sendiri menolak?
“Yah, selesailah sudah gerakan kami”, jawab Dipo Alam. Kepada pers, Ali sendiri
menilai Dipo-Bambang sebagai punya keberanian moril di tengah masyarakat yang
takut menyatakan pendapat. “Undang-undang yang melarang menyatakan pendapat itu
tak ada”, katanya. “Kalau ada, tentu Ali Murtopo, Mintareja, Amir Murtono yang
pernah menyatakan pendapatnya tentang calon Presiden dan Wakil juga
ditangkapi”, tambahnya. Menganggap takut menyatakan pendapat sebagai pengaruh
feodalisme, Ali Sadikin menyatakan tak perlu curiga atau mencari-cari
latar-belakang politik gerakan tersebut. Misalnya menuduh sebagai subversi. Ia
menilai demikian, bukan lantaran Ali Sadikin sendiri kebetulan yang dicalonkan.
“Bisa saja yang dicalonkan Ali Murtopo, Idhn Chalid atau Sanusi Hardjadinata”,
ujarnya lagi. Kalau MPR mencalonkannya sebagai Presiden? “Saya kan tak punya
backing”, jawabnya. “Lagi pula Indonesia kan bukan AS di mana orang bisa
menyatakan keinginannya jadi Presiden”. Perwira AL yang pernah punya cita-cita
jadi ahli kebidanan itu akhirnya menyatakan, “serahkan soal Presiden dan Wakil
pada sidang Umum MPR yang akan datang”. Dan menjelang sidang MPR nanti, seperti
biasanya, tampaknya bakal terdengar macam-macam suara. Misalnya Sabtu minggu
lalu. Sembilan pemuda asal Sumbawa, anggota Ikatan Pelajar-Mahasiswa Donggo
Bima (IPDB) setelah gagal menemui Presiden Soeharto di Bina Graha
membagi-bagikan kertas stensilan berisi data kecurangan pemilu 1977. Juga
selembar pamflet. Isinya: minta agar pemilu diulang, memhuharkan Kopkamtib,
menjadikan Golkar sebagai partai politik dan membersihkan tubuh pemerintahan.
Mereka menyebut beberapa nama menteri dan pejabat sipil maupun ABRI. Termasuk:
Menlu Adam Malik.
09
Juli 1977
Kenangan
Tentang Bang Ali
Soetjipto
Wirosardjono lahir di Nganjuk 1937 di tahun 1966-1976 adalah Kepala Kantor
Sensus Statistik DKI Jakarta. ini ia Kepala Pusat Penelitian Masalah Perkotaan
dan Lingkungan (PPMPL) DI Jakarta. Penyumbang tetap TEMPO ini kali ini
menceritakan potongan-potongan kenangannya bekerja di bawah Ali Sadikin yang
mulai 11 Juli nanti akan berhenti sebagai Pj. Gubernur setelah 11 tahun menjadi
Kepala Daerah ibukota. Kebudayaan Babak Baru Tepat jam 08.00 sidang dibuka
dipimpin Bang Ali sendiri. Tetapi beberapa kepala dinas dan jawatan terlambat
hadir seperti biasa saat itu. Waktu dilihat kursi banyak yang kosong keberangan
Bang Ali tak tertahankan. Dengan garang digebraknya meja bertubi-tubi. membikin
ciut hati semua yang hadir. Hardiknya ditumpahkan pada mereka yang terlambat dan
orang-orang yang dia — anggap bertanggung jawab atas kelambatan para undangan.
Manakala cekaman situasi memuncak ia memekik: “Siapa yang bertanggung jawab
semua ini!” Nah dalam puncak situasi semacam ini seorang martir harus turun.
Dan dengan suara lembut tapi pasti Pak Wondo Wakil Gubernur saat itu menjawab:
“Saya yang bertanggungjawab.” Laksana disiram air es redalah serta merta
suasana tak menentu itu. Bang Ali sangat menghormati sikap ksatria dan orang
tua. Sidang dapat dilanjutkan. Tetapi babak baru dalam kebudayaan administrasi
Pemerintahan di DKI Jakarta telah dibuka. Kebudayaan tepat waktu atau
pungtuality. Hadiahnya Dengan wajah cerah Bang Ali menenteng lima lembar kertas
doorslag hasil ketikan Ngatijem. Jurutik Kantor Statistik. Isinya laporan hasil
kunjungan kerja ke daerah pinggiran Jakarta Timur. Dalam rapat yang serius itu
seluruh sidang mendengarkan dengan tekun, penilaian Bang Ali tentang situasi
medan. Masalah demi masalah diungkapkan. Angka demi angka disitir. Dan
kesimpulan ia tarik. Pagi itu saya merasa Bang Ali memberi saya sense of
accomplishment (rasa berprestasi) yang sangat membahagiakan saya. Rupanya
kepada semua bawahan, itulah cara dia memupuk kebanggaan berprestasi. Tanpa
basa-basi secara kongkrit konsep Staf dihargai dengan penuh tanggung jawab.
Emoh Feodal Di Tretes. Rapat koordinasi, rehabilitasi dan stabilisasi daerah
(Koresteda). Di deretan meja pimpinan, para menteri Kabinet Ampera. Di depannya
para Gubernur lalu pembantu-pembantunya. Waktu giliran menyampaikan laporan tentang
daerah masing-masing, bergantian gubernur maju ke mimbar. Selalu didahului
sikap sempurna, sejenak tegap membungkuk tabik di depan deretan menteri.
Termasuk Gubernur yang sipil. Kecuali Ali Sadikin. Sampai pada gilirannya
majulah ia secara wajar, sewajar-wajarnya. Anehnya saat itu orang – termasuk
saya tersentak melihat kewajaran. Waktu ngobrol di meja makan, bersama pembantu
yang mendampinginya, saat itu disinggung: “Ini ‘kan pemerintahan sipil dan
bukan zaman feodal!” Cetusnya. Mendengar jawaban itu saya teringat peristiwa
sebelum berangkat ke Tretes. Burung Itu Drs. Sumbono, staf yang keluaran
Gajahmada dan orang Banyumas itu dipanggil. Dengan merunduk-runduk ia maju
perlahan. Tangan kirinya terkatup di pergelangan kanan, lipatannya rapat
menempel di bawah pusar. Ia meragakan sikap sempurna daerah asalnya:
ngapurancang. Sebelum sempat berucap, ia tersentak oleh bentakan Bang Ali:
“Lepaskan burung itu!” Tergopoh-gopoh refleksnya merenggut lepas kedua tangan
itu, dan ia merentang tegak kembali dari sikapnya yang membungkuk itu menjadi
tegak wajar, walaupun seketika ia belum sadar apa yang dimaksud Bang Ali. Baru
kemudian ia tersenyum (kecut), membalas kelakar itu. He Means It Di Manila.
Upacara penganugerahan penghargaan Magsaysay untuk Bang Ali. Setelah pembacaan
pertambangan citation) yang duile, sang ketua mempersilakannya berpidato.
Dengan anggun, Bang Ali mengucapkan pidato pendeknya. Ia terkesan betul rupanya
dengan suasana upacara itu. Turun dari mimbar, ia tidak segera mnuju tempat
duduknya. Dengan langkah pasti, sambil menitipkan plaket kepada saya, ia
menyalami dan “terimakasih” katanya, lirih. Bukan main arti kata itu dari Bang
Ali dalam suasana dan cara seperti itu. Semangat Bersaingnya “How about
Jakarta?” goda Alejandro Melchor, sahabatnya dari Pilipina setelah pamer pusat
komputer nasional Pilipina kepada Bang Ali. Dengan senyum Bang Ali tantangan
itu dijawab diplomatis: “Ini komputer saya. Murah, luwes dan mampu
berkomunikasi dengan bahasa manusia.” Serunya sambil menunjuk seorang staf.
Maksudnya tentu saja yang ditunjuk itu sekedar mewakili tenaga manusia yang
masih ia pakai – Stafnya di DKI. Dalam hatinya saya baca ia berucap: “Sekarang
saya belum punya duit. Tetapi catat, dalam waktu singkat saya akan bikin yang
lebih besar dari ini untuk administrasi kota Jakarta.” Benar saja, dalam tempo
kurang dari dua tahun, tantangan sahabatnya itu sudah ia ungguli. Teriakan Itu
Soal seri berita di sebuah koran Jakarta yang memanfaatkan hasil penelitian
pasar yang saya adakan. Bang Ali merasa secara tidak adil digebug terus-terusan
selama tiga hari, dengan pentung yang saya sediakan. Pagi-pagi Bu Mini –
sekretarisnya dengan gemetaran menghubungkannya dengan saya lewat telpon. Ya
Allah . . . teriakan itu! Rasanya menembus kepala saya dari kuping kiri jebol
sampai kuping kanan. Setelah lima menit penggejlogan yang membikin serasa
berakhir riwayat saya itu, ia melempar gagang telpon dengan kekesalan yang amat
sangat. Sejak kemudian Bu Mini telpon lagi. Saya dipanggil. Di ruang tamunya ia
saya lihat dengan wajah yang lain sama sekali – cerah. Ditunjuknya tempat saya
harus duduk. Dengan senyum ia mulai bicara. Kali ini dengan sikap yang sangat
adil dan proporsionil. Ketegangan saya yang sudah sampai di ubun-ubun, hilang
seketika. Semenit kemudian Yulia dan Dewi masuk, membawa dua cangkir teh pahit
dan beberapa potong kuwe kering. Kami minum teh, kami santai dan kami
senyum-senyum. Itulah cara khas Bang Ali menyatakan rujuk dan minta maaf
barangkali.
09
Juli 1977
Fenomen
Ali Sadikin
MEMANG
terasa ada sesuatu yang hilang dengan kepergian Ali Sadikin – begitu kata teman
saya yang MA dari Amerika dan kini bekerja di Tanah Abang itu. “Tapi”,
tuturnya, “apakah yang hilang itu. Apakah bukan karisma? Look. Kalau kita lihat
dari substansi, kebijaksanaan luar biasa apakah yang pernah dilakukannya? Ia
mulai dengan menambal jalan Dan bagi orang yang semula terbiasa melihat borok
di mana-mana, jalan halus yang baru sepotong pun sudah tampak sebagai mujijat.
Apa lagi. Gedung bertingkat? Taman Ismail Marzuki? Perbaikan kampung,
pelayanan, penghijauan? Tak ada yang istimewa. Saatnya memang sudah matang
untuk itu. Duitnya ada, walaupun dengan defisit berencana. Pendeknya, dari segi
substansi, tak ada yang luar biasa. Malahan kalau kalian berfikir tentang jarak
sosial kaya-miskin, apa yang dilakukannya justeru bisa makin memperlebar jarak
itu. Saya tidak a priori, you know. Saya sekedar — just being sceptical”
Karisma Tertegunlah kami berempat yang lagi terbawa oleh suasana puji-pujian
sekarang ini. Tapi untuk menyerah enggan juga. Lalu serangkaian argumen
dilontarkan. Kebanyakannya memang dengan mengajukan contoh-contoh tentang
pribadinya. Ceplas-ceplosnya. Keterus-terangannya. Keberaniannya. Tahan kritik.
Kesanggupannya menertibkan keadaan yang semrawut. Daya tahannya terhadap tekanan
dari atas-bawah-samping-muka-belakang. Pendeknya komplitlah. Lantas seorang
dari kami bertanya: “bukankah itu kwalitas kepemimpinan yang luar biasa?” Teman
yang satu itu senyum dulu sebelum menjawah. Malahan sedikit menggelengkan
kepala, seperti tklak mengcrti dengan ketidak mengertian kami. “Nah itulah yang
saya mau bilang. Segala keistimewaan Ali Sadikin timbul dari image pribadinya.
Media massa gemuruh membangun image ini. Kalau mau dibilang sukses juga, itu
merupakan sukses PR-men di sekelilingnya. Ali Sadikin mengisi kebutuhan akan
pemimpin yang bisa didewakan. Karismatis. Kita mendewakan pemimpin yang berani,
karena kita semua sudah jadi penakut. Kita tidak terus-terang, tak tahan
tekanan, tak tahan kritik. Maka tokoh yang blak-blakan, tahan tekanan dan tidak
naik pitam jika dikritik, jadi pujaan kita. Kita merindukan orang kuat”,
pemimpin yang karismatis, dan Ali Sadikin mengisi kerinduan itu dengan gaya
pribadinya yang khas”. Ada empat buku tentang pemimpin karismatis yang disebut
teman saya itu. Termasuk Max Weber dan buku saku yang baru dibelinya di
Gramedia. Kami pun kehabisan dalil. Tapi sungguh saya tak bisa membayangkan Ali
Sadikin sebagai pemimpin karismatis. Karisma, mestinya tampak sebagai wibawa
pribadi yang anti institusi, tak rasionil, lepas dari kerutinan yang lumrah
luar biasa, diselubungi romantik. Ali Sadikin justeru menegakkan kepemimpinan
yang rasionil, pragmatis, malahan praktis. Target dan tantangannya tampak dekat
di depan mata. Benahi kota. Titik. Caranya, terutama dalam soal dana pragmatis.
Kalau perlu, pungut saja dari judi. Ia juga menolak dikatakan inkonvensionil.
Itu semua ada aturannya, katanya. Hanya gubernur-gubernur lain tak berani
melakukannya. Ali Sadikin justru menegakkan wibawa kelembagaan dengan
memperagakan efisiensi dan hasilguna. Dalam hal beginian Ali Sadikin justeru
merupakan prototip kepemimpinan yang hendak ditegakkan oleh Orde Baru:
rasionil, efisien, lugas dan erat terkait dengan institusinya. Memang, Ali
Sadikin lain dari yang lain, dalam beberapa hal. Ia tampak sebagai alternatif.
Kalau di Yogya Rendra tak bisa main, di Jakarta justru diberi hadiah. Di daerah
ada target suara, di sini tiaak. Tokoh-tokoh lain bisik-bisik dan menghindar,
dia blak-blakan dan terbuka. Tapi itu pun tidak menyebabkannya jadi semacam
dewa. Tak ada romantik pada gambaran pribadi Ali Sadikin kecuali
kejutan-kejutan komentarnya yang ceplas-ceplos, terus terang dan seringkali
ces-pleng itu. Kadang-kadang kejutan itu timbul juga dari tindakannya mengatasi
kemacetan lalu lintas, atau waktu menempeleng supir bis kota. Tapi semua itu
tak juga membuatnya seperti dewa. Justeru sebaliknya, kejutan-kejutan itu
menampakkan segi insaninya yang lumrah, seperti tetangga kita di sebelah rumah.
Di sinilah mungkin letak pesona Ali Sadikin. Ia gubernur, tetapi sekaligus
tetangga kita. Kalau mau istilah kerennya, Ali Sadikin mungkin merupakan
prototip homo duplex. Ia berkompromi dengan struktur kelembagaan yang
melindunginya, tetapi tidak kehilangan dimensi dan nilainya sebagai sebuah
pribadi. Kepergiannya dirasakan sebagai kepergian seorang tetangga dari kursi
gubernur. Orang merasa kehilangan, karena membayangkan kembali timbulnya suatu
jarak yang jauh antara birokrasi yang dingin dengan kehidupan sehari-hari yang
hangat, spontan dan terbuka. Tanpa homo duplex dalam birokrasi, hanya satu
dimensi saja yang akan tinggal, yang tak lagi bisa diajak berdebat, bercanda
atau bergurau. Sebuah pesona telah pergi, dan itu memang mencenkam.
09
Juli 1977
Bang
Ali Warga Kehormatan UI
ALI
Sadikin ganti nama? Ini sempat terjadi ketika Prof Mahar Mardjono hendak
memulai sambutannya, dan berkata: “Bapak Ali Sadikan… ” yang tentu saja
mengundang hadirin di aula FK-UI 1 Juli kemarin jadi gemuruh. Aula berkapasitas
600 kursi itu penuh sesak sampai banyak hadirin yang berdiri. Terdiam sejenak,
Rektor UI itu pandai jatuh juga, segera menambahkan: “Tadi itu memang saya
sengaja melawak”, katanya. Hadirin pun grrr lagi? termasuk Bang Ali dan nyonya.
Jum’at pagi itu DM-UI & MPM-UI dalam satu sidang terbuka telah sepakat mengangkat
Ali Sadikin menjadi warga kehormatan Keluarga Mahasiswa UI, seperti dibacakan
ketua DMUI Lukman Hakim dan ketua MPM-UI Ghazi Yusuf. Untuk itu Bang Ali lalu
menerima plaket dan jaket kuning (yang langsung dikenakannya) yang disampaikan
Ghazi. Lalu sebentuk cincin UI dari tangan Prof Mahar Mardjono. Acara ini
dimaksud sebagai perpisahan dengan masa jabatan Gubernur Ali Sadikin. Dipo
Alam, yang mempopulerkan kaos oblong bergambar Ali Sadikin nampak sibuk
membidikkan kamera film 8 mm. “Tak ada unsur lain di balik ini,” ujar Ghazi
dalam kata pengantarnya. “Kami menilai Bang Ali seobyektif mungkin” katanya.
Akan halnya Bang Ali sendiri menanggapi pembeberan jasa-jasanya selama ini,
menjelaskan bahwa ia sebenarnya punya dua jabatan. Gubernur strip miring Kepala
Daerah Khusus Ibukota. “Selaku gubernur saya adalah orang pusat, tapi sebagai
kepala daerah saya harus memperjuangkan kepentingan 5 juta rakyat saya.” Hal
ini, menurut Bang Ali termaktub dalam UU, “Cuma sayangnya banyak orang yang
tidak mengerti Undang-Undangnya sendiri.” Menyinggung tentang hubungan
mahasiswa dengan pemerintah, yang sering kurang mesra, kata Bang Ali pula:
“Membuat kedudukan saya jadi sulit. Bayangkan saja, saya terjepit di antara dua
kekuatan.” Namun ia merasa punya sikap yang jelas: tidak mau jadi alat sesuatu
kekuatan. “Saya tak mau diperalat siapapun, termasuk mahasiswa. Jadi hubungan
kita adalah blanko. Sama-sama bersih. Ini karena kita masing-masing punya
martabat. Tak ada deking-dekingan. Saya tak suka dukung-dukungan,” ujarnya yang
disambut hadirin dengan tepuk-tangan yang riuh. Sementara di halaman UI, Bang
Ali “didaulat” agar tak segera pulang, tapi sembahyang Jum’at di masjid ARH
dulu. Dan di mobilnya ada yang menempel: “You are the best, kami mendukung.”
Bang Ali mungkin tak membaca ini, tapi ketika ia dikerumuni jidatnya berkerut.
Sorak-sorai “Hidup Bang Ali” kian gemuruh dan ia diarak menuju masjid. Dari
ribuan mahasiswa nampak puteri Bung Hatta, Halida. Mengenakan kaos bergambar
Ali Sadikin, ia berkata: “Saya merinding melihat acara perpisahan ini. Dia
orang manis budi, sebab itu disenangi semua orang.”