Tempo
21 Januari 1978. TERIK matahari membakar kampus “Ganeca” ITB Bandung. Tak
kurang dari 3.000 mahasiswa berkumpul di sana Senin siang kemarin. Selembar
spanduk merah terpampang di mulut pintu kampus. Bunyinya serem, senada dengan
pernyataan mereka: “Tidak mempercayai dan tidak menginginkan Suharto kembali
sebagai Presiden Republik Indonesia.” Mereka juga menuntut agar fraksi-fraksi
dalam MPR menampilkan tokoh-tokoh nasional sebagai calon Presiden. Di sana juga
beredar sebuah buku putih “Perjuangan Mahasiswa” yang mengkritik strategi dan
kebijaksanaan pembangunan. Radio ITB ikut menghangatkan suasana dengan
lagu-lagu perjuangan seperti Halo-halo Bandung. Dan Rektor ITB Prof. Iskandar
Alisyahbana tampak mondar-mandir saja membidikkan kamera. Empat mahasiswa,
mengendarai 2 motor Honda kcliling kampus mengibar-ngibarkan bendera merah dan
hitam bergambar tengkorak. Tak kurang dari ketua umum DM ITB Heri Achmadi yang
bicara keras. “Kalau semua fursionaris ITB ditangkap, masih ada 8.000 mahasiswa
yang akan melanjutkan perjuangan. Maka rapatkan barisan menghadapi kemungkinan
yang akan terjadi.” katanya. Jum’at malam sebelumnya, Letjen HR Dharsono juga
bicara keras di gedung “Julius Usman’ Jalan Lembang, Bandung. Menurut bekas
panglima Siliwangi yang kini sekjen ASEAN itu, keresahan sekarang ini karena
adanya penyimpangan perjuangan orde baru. “Saya terharu mendengar teriakan
‘kembalikan ABRI kepada rakyat’. Ini tentu karena ada sesuatu yang dirasakan
oleh rakyat sebagai pemiliknya,” kata Dharsono. Kepada siapa pun yang nanti
terpilih dalam MPR sebagai pimpinan nasional ia minta agar memperhatikan
keresahan masyarakat. “Teriakan dari bawah jangan diartikan merongrong, tapi
sebagai peringatan,” tambahnya. Cita Cita Itu Itu adalah serangkaian acara
peringatan 1 tahun Tritura dari mahasiswa Bandur. Empat hari sebelum Dharsono
bicara di Bandung, Letjen Kemal Idris tampil di UI Jakarta. Dengan kemeja
coklat muda d dasi, bekas panglima Kostrad yang kini sudah pensiun itu berkata:
“Cita-cita orde baru dulu, kini makin menjauh. Cita-cita itu, kini ternyata
tidak dilaksanakan oleh beberapa rekan generasi saya.” Jenderal yang dekat
dengan gerakan mahasiswa di tahun 1966 itu juga menyatakan tak ingin bicara
soal pewarisan nilai-nilai 45. “Kalau saya bicara soal itu. sombonglah saya
ini, katanya. Kemudian dengan nada dalam: Janganlah orde baru yang sekarang
monjadi suatu orde lama. Di taman FE-UI itu, tampak pula bekas tokoh Angkatan
66, M. Zamroni. Ia tak bergabung dengan kelompok KNPI yang hari itu juga
mengadakan peringatan Trifura di gedung mahasiswa Kuningan. Sementara di
Kuningan selesai dengan kebulatan tekud, 200 mahasiswa – deruan beberapa bus
besar – dari taman FE-UI berziarah ke 6 makam pahlawan Ampera di pekuburan
Tanahkusir. Di depan pusara almarhum Arief Rachman Hakim, bekas Komandun
Lasykar Ampera, Fahmi Idris, berkata gemetar terputus-putu. Banyak hal
prinsipil telah dilupakan teman seperjuangan kita dulu. Entah mengapa, 15
Desember lalu, ABRI telah menghardik adik-adik kita mahasiswa. Sekarang kita
sudah tak punya ABRI lagi. Lalu kepada para mahasiswa yang hadir, Fahmi
berpesan: Peranan ini, sekarang telah penuhnya di tangan saudara. Jangan
harapkan lagi dari kami, bekas eksponen Angkatan 66, sebab banyak yang sudah
kacauan takut. Main Sangkur Di Yogya, peringatan 10 Januari itu ditandai dengan
munculnya 4 mahasiswa mengusung keranda mayat demokrasi keluar gelanggang
mahasiswa UGM Bulaksumur. Lalu diletakkan di meja pingpong di tengah jalan
masuk kampus. Ratusan mahasiswa dan masyarakat menyaksikan pula sekitar 50
poster-poster bersuara protes. Depan keranda itulah dibacakan Surat Rakyat yang
ditujukan kepada pimpinan DPRD DIY. Isinya: pencalonan presiden dan wakil
hendaknya tak dilakukan dengan versi calon tunggal. Hari itu pimpinan DPRD DIY
memang repot menghadapi 3 delegasi mahasiswa. Sebelum 12 DM-SM datang
menyampaikan Surat Rakyat, sudah datang 11 DM-SM lainnya menyampaikan Tri
Aspirasi 78. Delegasi satunya, dari UII, menamakan diri Kelompok Pendamba
Keadilan. Pasukan anti huru-hara di luar gedung tampak santai-santai saja
ketika pertemuan tanpa dialog itu berlangsung. Petugas keamanan di Palembang
pun tak banyk kerja ketika para mahasiswa Unsri membagibagikan 50 nasi bungkus
dan 17 lusin kaos oblong kepada gelandangan. Kaos oblong yang langsung dipakai
terutama oleh anak-anak pengemis depan Masjid Agung itu bertulisan “Pikirkan
Nasibku”. Aksi sosial mahasiswa itu diselenggarakan dalam rangka peringatan
Tritura pula. Yang agaknya paling sibuk adalah Pasukan Anti Huru-Hara di
Surabaya. Di sana mereka terlibat dalam bentrokan dengan para mahasiswa. Enam
mahasiswa cidera: Hermanto (ITS) diperkirakan patah tangan karena pukulan
tongkat. AR Pelu (IAIN) tergores punggungnya kena sangkur. Harun Alrasjid dan
M. Sholeh (ITS) serta Wahyu Chairat dan Amiruddin (IAIN) kena pukul di kepala
di badan. Hermanto terpaksa dirawat di RSAL Surabaya. Peristiwa itu mengundang
protes keras berbagai pihak. Selepas insiden Surabaya itu. di Jakarta
Kaskopkamtib Sudomo bicara keras. Kalau mahasiswa nekad, kita juga akan nekad.
katanya. Minggu lalu Menteri P dan K Syarief Thayeb juga menyebut yang bergerak
sekarang ini lebih ekstrim dan militan. Menurut Sudomo, hal itu antara lain
mungkin karena pengaruh film serial Barat di televisi.