Tempo
14 April 1979. BUNG Tomo, 58 tahun, lagi sembahyang maghrib di kamar tahanan
ketika sedan Primier biru metalic B 1583 EG masuk halaman perkampungan tahanan
Nirbaya di pinggir selatan Jakarta, Senin sore kemarin. Isteri dan ketiga anak
Bung Tomo turun. Mereka menjemput Bung Tomo yang hari itu bebas setelah ditahan
setahun. Tepat jam 19.00, menjelang Isya, Bung Tomo keluar. Wajahnya gembira,
ia tampak lebih sehat tapi tambah gendut. “Habis, di sini makan melulu. Lagi pula
ada larangan dokter untuk senam, ” katanya setengah berteriak. Ia mengenakan
baju hangat dari wool abu-abu. Ada 7 tas dan 3 ember plastik, 1 koper dan 1
ranjang lipat dibawanya pulang. Juga sebuah kompor. Selama ditahan ia memang
suka memanaskan sayur kiriman isterinya atau menggoreng telur sendiri.
Tampaknya ia tidak kesepian. Sebab ada hikmah paling besar yang dirasakannya,
ialah jiwanya yang semakin dekat kepada Tuhan. “Sembahyang di Nirbaya rasanya
lebih tenang dan mantap,” katanya. Banyak penghuni Nirbaya yang menganggap Bung
Tomo aneh. “Saya juga dikira cengeng, karena suka nangis,” katanya lagi.
Terutama, katanya, ketika bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Nirbaya
pada peringatan 17 Agustus. “Bendera itu bikinan isteri saya sendiri,” tuturnya.
Pagi hari, setiap kali sang bendera dikerek, Bung Tomo mengambil “sikap hormat”
dari kamar tahanannya yang berjarak 100 meter dari halaman upacara. Bersama
Bung Tomo, ada 2 tokoh lagi yang juga bebas: Wakil Sekjen PPP Mahbub Djunaidi,
46 tahun, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Ismail Suny, 49 tahun. Ketiganya
dituduh subversi dan ditahan setahun. Belakangan menurut seorang pejabat tinggi
Hankam, mereka dituduh “menghasut mahasiswa.” Cuma Mahbub yang harus berbaring
11 bulan di RS Gatot Subroto karena menderita darah tinggi. Pembebasan itu
diungkapkan oleh Jaksa Agung Ali Said sesaat setelah menghadiri pelantikan
Badan Pembina Pelaksanaan Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP7) di Istana Negara Senin paginya. Menurut Ali Said, berdasarkan
pemeriksaan sementara tak ada alasan lagi menahan mereka bertiga. “Mereka bebas
tanpa syarat,” katanya. Penjual Tulisan Senin siang itu, ketiga tahanan dibawa
ke Kejaksaan Agung, diterima oleh Asisten Khusus Jaksa Agung, Singgih. Mereka
menerima surat pembebasan. “Sebagai ahli hukum, saya sudah tahu sebelumnya
tentang pembebasan ini. Penahanan perkara subversi paling lama kan setahun,”
ujar Suny. Mahbub, meski tampak agak kurusan tapi gembira. Tekanan darahnya
yang dulu mencapai 200, sudah mereda sclitar 140 dan 150. Yang paling tampak
cerah adalah Bung Tomo. Begitu istrinya datang ke Kejaksaan Agung, kontan Bung
Tomo membopongnya. “Ini sudah, nazar saya. Kalau saya bebas, saya akan
membopong isteri saya. Dialah yang begitu tabah setiap hari menengok dan
mengirim makanan ke Nirbaya,” katanya. Dari Kejaksaan Agung, mereka kembali ke
Nirbaya. Siang itu juga, Mahbub dan Suny pulang, sementara Bung Tomo menunggu
jemputan keluarga sampai sore hari. Mahbub tak menduga bakal bebas ketika Senin
siang itu dibawa petugas ke kejaksaan Agung. Dua hari sebelumnya saya masih
diperiksa perkara subversi itu,” katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Tuduhan
itu, menurut cerita kolumnis Mahbub, bukan lantaran tulisan-tulisannya. Tapi
karena pembicaraannya di beberapa seminar dan diskusi, juga waktu kampanye
untuk PP. Apa rencananya kini? “Menulis,” jawabnya “Saya ini tukang jual
tulisan. Selama masih ada yang mau membeli saya akan tetap menjual,” tambahnya.
Dan selama dalam tahanan, “si penjual tulisan” ini ternyata berhasil
menterjemahkan buku The Road to Ramadhan karangan wartawan Mesir Hassanain
Heikal, yang sudah ia kirim kesebuah penerbit di Bandung. Ia juga sempat
menulis novel, “tapi tak sempat menulis artikel,” katanya. Betapa pun, yang
paling gembira tampaknya Ny. Tuti, isteri Mahbub yang di Pasar Minggu, Jakarta.
Pembebasan suaminya, bagi Tuti “melebihi masa penganten, karena dari duka
menjadi bahagia,” katanya. “Dua bulan lalu mas Mahbub pingsan di kamar mandi
rumah sakit, tak ada yang tahu. Tapi kemudian siuman sendiri.” Ismail Suny,
dengan Mercedes putih 220 S, pulang ke rumahnya di Jalan Jenggala Kebayoran
Baru. Ia juga tampak lebih sehat. “Dengan badminton tiap hari, berat badan saya
turun. Dulu 72 kg, sekarang 66 kg,” katanya kepada A. Margana dari TEMPO. Selama
ditahan ia tak sulit mendapat bacaan, terutama buku-buku ilmiah.