Tempo
16 Agustus 1975. PADA tanggal 17 Agustus 1945, dinihari, di rumah yang sekarang
menjadi tempat kediaman Dutabesar Inggeris di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta,
Sukarno, Hatta dan Subardjo selesai merumuskan naskah Proklamasi.
Sukarno
membawa secarik kertas yang mengandung konsep Proklamasi dengan
tulisan-tangannya ke serambi depan lalu membacakannya di depan para hadirin.
“Marilah, saudara-saudara”, katanya pada akhir pembacaan itu,”kita tandatangani
bersama-sama naskah Proklamasi ini!” Pada saat itu ada tanggapan dari salah
seorang pemuda yang hadir: “Saya tidak setuju budak-budak Jepang ini ikut
menandatangani naskah Proklamasi!” Setelah heboh sebentar, seorang pemuda yang
bernama Sukarni Kartodiwiryo mengusulkan, supaya yang menandatangani naskah
Proklamasi itu cukup Sukarno dan Hatta saja atas nama seluruh Bangsa Indonesia.
Usul itu disetujui, dan kemudian Sukarno menugaskan kepada Sayuti Melik untuk
mengetik rapi naskah Proklamasi yang masih konsep itu. Setelah selesai ditik,
Sayuti Melik menyerahkan naskah Proklamasi yang sudah diketik rapi itu kepada
Sukarno. Maka Sukarno dan Hatta secara berturut-turut menandatangani naskah
Proklamasi yang diketik Sayuti Melik itu. Itulah naskah Proklamasi yang otentik
yang beberapa jam kemudian dibacakan oleh Sukarno di rumahnya di Jalan
Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) no. 56. Saya bertanya: “Siapakah
pemuda yang nyeletuk mengenai ‘budak-budak Jepang’ itu?” Pertanyaan itu saya
tujukan kepada bapak-bapak para proklamator (dalam arti luas) yang menyaksikan
peristiwa yang dilukiskan di atas, Kesempatan bertanya itu adalah suatu
pertemuan rekonstruksi sejarah yang saya selenggarakan pada tahun 1972 di
rumah. Duta besar Inggeris tersebut. Pak Hatta menjawab: “Sukarni”. Pak Sayuti
Melik berpendapat: “Chairul Saleh”. Mereka masing-masing sangat yakin dan
mempertahankan pendapatnya. Pak B.M. Diah, salah seorang pemuda waktu itu,
menyatakan kepada saya, bahwa beliau tidak ingat adanya ucapan itu. Tanya
seorang teman: Bagaimana kau akan menyimpulkan fakta-sejarah mengenai ucapan
“budak-budak Jepang” itu dalam bukumu mengenai Proklamasi?” Jawab saya adalah:
“Saya akan menuliskan dengan persis, bahwa di antara para pelaku peristiwa
perumusan naskah Proklamasi terdapat tiga pendapat mengenai apa dan siapa yang
menyangkut ucapan ‘budak-budak Jepang’ itu, karena saya tidak berani mengambil
kesimpulan yang tegas. Saya akan mempersilakan para pembaca masing-masing
menyimpulkan sendiri pendapatnya berdasarkan kenyataan yang saya temui dalam
penelitian-sejarah saya”. Metode Sejarah Lisan Apa yang saya ketengahkan di
atas itu adalah salah-satu contoh mengenai praktek penelitian sejarah dengan
masalah-masalah riilnya yang mungkin kurang disadari oleh khalayak ramai.
Khususnya mengenai peristiwa-peristiwa di sekitar Proklamasi,, banyak
pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepada sejarawan, antara lain kepada
saya. Sebabnya masuk akal: saban tahun menjelang perayaan Hari Proklamasi pada
tanggal 17 Agustus, muncul karangan-karangan di surat-surat kabar dan media
pers lainnya mengenai peristiwa-peristiwa itu. Dan saban tahun pula
karangan-karangan itu mempunyai segi-segi yang simpangsiur, mengandung
fakta-fakta sejarah yang berlainan atau bahkan berlawanan satu-sama-lain. Sejak
rekonstruksi di Jalan Imam Bonjol I itu. saya dengan rekan-rekan sejarawan di
Pusat Sejarah ABRI telah melakukan serangkaian usaha untuk menjernihkan
pelbagai bagian yang masih simpang-siur dalam kisah mengenai Proklamasi dan
peristiwa di sekitarnya. Usaha itu terutama dilaksanakan dengan penelitian
sejarah lisan atau oral history, suatu cara untuk mengumpulkan data-data
sejarah melalui wawancara-wawancara dengan para pelakunya. Untuk itu sebelumnya
tenaga-tenaga wawancarawan itu mengiikuti suatu kursus kilat selama satu bulan.
Setelah itu kami terjun ke lapangan bersenjatakan tape-recorder. Setiap selesai
dengan wawancara, hasilnya dituliskan dengan bantuan alat yang bernama
transcriber, yang dapat melambatkan pemutaran pita rekaman, sehingga
mempermudah pengetikannya. Transkripsi itu kemudian kami periksakan kepada para
si pengisah, yakni para pelaku, untuk menerima otentikasi mereka. Karena tanpa
otentikasi mereka, bahan hasil wawancara itu belum “sah” sebagai sumber
sejarah. Beberapa Hasil Penjernihan Dalam melaksanakan wawancara-wawancara
sejarah lisan itu kami telah memperoleh pengalaman baru. Salah satu teknik yang
telah saya perkembangkan, adalah apa yang saya sebutkan “wawancara simultan”,
yakni wawancara terhadap sejumlah pelaku yang mengalami peristiwa yang sama
secara sekaligus. Artinya para pelaku itu saya undang pada satu tempat pada
waktu yang sama dan kepada mereka saya ajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai
peristiwa yang sama. Dengan cara itu tercapai dua hasil yang tidak mungkin
terdapat pada wawancara individuil: pertama, para pelaku itu saling membantu
mengingat-ingat pelbagai unsur peristiwa yang sama-sama mereka alami dan kedua,
secara sekaligus saya dapat melakukan pencocokan terhadap pelbagai data yang
diajukan oleh pelbagai pelaku. Dengan cara itu banyak di antara fakta-fakta
yang simpangsiur yang dapat dijernihkan. Di antara fakta-fakta yang dapat
(agak) dijernihkan di sekitar Proklamasi, adalah mengenai ada-tidaknya
perundingan di Rengasdengklok antara Sukarno-Hatta di satu fihak dan para
pemuda yang menculiknya di lain fihak. Pertama kali nampak, bahwa istilah
“perundingan” itu tidak terlalu eksak, sehingga dapat menimbulkan pelbagai
tafsiran. Dari salah seorang pelaku, yakni ex-syodanco Singgih, saya memperoleh
keterangan, bhwa ketika di Rengasdengklok, ia memperoleh commitment dari Sukarno,
bahwa Proklamasi akan dilakukan keesokan harinya. Cara memperoleh commitment
itu adalah dengan memberikan tekanan moril. Dialoog antara Singgih dan Sukarno
itu disaksikan oleh svodanco Affan, yang curiga akan gerak-gerik Singgih yang
nampaknya memegang-megang pistol di pinggang, yang dari kejauhan seakan-akan
mengancam Sukarno. Tetapi Affan tidak cukup dekat berdirinya untuk mendengarkan
dialoog-itu. Dilihat dari sudut metode sejarah, “satu saksi itu bukan saksi”.
Tetapi mengingat bahwa Bung Karno’sudah meninggal, maka saksi mengenai dialoog
itu tidak ada kecuali Singgih seorang diri satu di antara hanya dua pelaku.
Fakta yang ditegakkan atas dasar kesaksian Singgih itu akan saya sajikan kepada
pembaca seperti adanya. Mungkin saya akan. menyampaikan kesimpulan saya
berdasarkan logika daripada keseluruhan situasi (the logic of the whole
situation), tetapi itu sudah menginjak bidang interpretasi. Perlu diketahui,
bahwa setiap hasil penulisan sejarah terdiri atas dua komponen, yakni komponen
fakta dan komponen interpretasi. Fakta dapat obyektif, tetapi interpretasi itu
selalu subyektif. Fakta lain mengenai peristiwa Rengasdengklok yang muncul
dalam wwancara simultan di Rengasdengklok tahun 1974, yang dihadiri antara lain
oleh Pak Hatta, pak Bardjo, ex-cudanco Subeno (yang pada waktu itu komandan
kompi PETA di Rengasdengklok), para ex-syodanco Singgih dan Affan, adalah
semacam persetujuan deal) antara Subardjo dan Subeno. Ketika Subardjo mau
membawa kembali Sukarno-Hatta ke Jakarta, Subeno hanya mengjinkannya setelah
Subardjo memberikan jaminan, bahwa Sukarno-Hatta keesokan harinya pasti akan
(mau) mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hal itu dijamin oleh
Subardjo dengan taruhan nyawanya. Fakta itu diajukan dan didukung baik oleh
Subardjo maupun Subeno. Dari wawancara simultan pada bulan Juli 1975 yang baru
lalu dengan para ex-mahasiswa Ika Daigaku yang pada waktu itu sebagian besar
tinggal di asrama Jalan Parapatan 10 (sekarang Departemen Kesehatan), antara
lain muncul kejernihan mengenai fakta “siapa yang mengawal Bung Karno dari
rumahnya ke lapangan Ikada ada tanggal 19 September 1945″. Yang mengawal adalah
para mahasiswa Ika Daigaku dan yang nyetir mobilnya adalah (sekarang dokter)
Suyono Yudo. Dalam wawancara simultan juga pada tahun 1975 ini, dengan
tokoh-tokoh PETA dan Barisan Pelopor, yang antara lain juga meliputi Pak Sudiro
(ex-walikota Jakarta) dan Latief Hendraningrat, ke luar fakta, bwa yang menarik
tali bendera pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 adalah Suhud,
anggota Barisan Pelopor, sedangkan cudanco Latief Hendraningrat memegang
benderanya. Dan masih banyak lagi fakta-fakta baru yang ditemukan atau
dijernihkan. Waspada Terhadap Istilah Dal Ingatal Dari pengalaman meneliti
mengenai Proklamasi dan sekitarnya selama empat tahun ini, dengan tujuan untuk
menjernihkan sekian banyaknya fakta yang simpang-siur, saya memperoleh kesan,
bahwa banyak di antara kesimpangsiuran itu bersumber kepada istilah yang
multi-interpretabel. Misalnya istilah “perundingan”, seperti diterangkan di atas
istilah “dipaksa” (Sukarno-Hatta ‘dipaksa’ oleh para pemuda), “pengaruh”
(misalnya ‘pengaruh Maeda’), “mengerek bendera”, dll. Istilah “dipaksa”
misalnya saja dapat diartikan “diancam”, “ditodong”, dapat pula berarti
“dipengaruhi”, “dibujuk”, dls. Kesan lain ialah, bahwa ingatan manusia adalah
sangat lemah, bahwa manusia pada dasarnya adalah pelupa, apalagi jika usianya
sudah lanjut. Juga bahwa ingatan sesama pelaku belum tentu sama. Itu semua
kiranya dapat memberikan kesadaran kepada khalayak ramai, bahwa
penelitian-sejarah mempunyai masalah-masalahnya sendiri, yang harus diatasi
terlebih dulu sebelum dapat diperoleh fakta sejarah dan akhirnya kisah sejarah
yang dapat dipegang kebenarannya.