Hilang Di Puncak Adam (Kecelakaan Pesawat Haji)


Tempo 14 Desember 1974. LIMABELAS menit lagi DC-8 Martinair yang dikemudikan kapten penerbang Lamme yang 58 tahun dan berkacamata itu mendarat di lapangan terbang Bandaranaike.
Terbang malam di atas pebukitan Tajuh Perawan di jantung negeri Srilangka, pesawat itu menerima clearence unluk turun dari ketinggian 8000 menjadi 2000 kaki. Di bawah pesawat itu menganga medan yang ganas dengan bukit dan jurang yang curam. Sesungguhnya Lamme sudah kenal betul dengan daerah itu, sebab sudah berkali-kali dia lalui. Malahan setelah Perang Dunia II dia pernah bekerja sebagai penerbang untuk pemerintah Srilangka. Tapi cuaca yang buruk, dengan kabut dan hujan membuat perjalanan itu terganggu dan menyeretnya ke dalam malapetaka. Dalam kegellapan malam itu dia menabrak sebuah bukit dan hancur terbakar di situ pada ketinggian 4300 kaki. Kuranglebih 60 mil di tenggara Kolombo. Sebanyak 182 jemaah haji yang dia terbangkan dari Surabaya dan 9 awak mati secara tragis, pada hari Rabu tengah malam, 4 Desember lalu. Radio Amatir Kamis besoknya, reruntuhan pesawat itu baru ditemukan. Kemudian pada sore hari ditentukan potongan-potongan tubuh manusia yang langsung dikuburkan dengan upacara agama Islam di negara yang didominir penganut Budha tersebut. Upacara penguburan itu dipimpin oleh seorang tokoh agama Islam setempat dan dihadiri oleh 6 atau 7 organisasi Islam di Kolombo, serta Kepala Staf Angkatan Udara Srilangka. Deputi Menteri Penerangan dan pejabat lainnya. Penguburan massal di 7 lubang itu sengaja dilakukan di tepi jalan untuk memudahkan kalau ada sanak saudara korban yang ingin berziarah. Medan di mana pesawat jatuh begitu sulitnya dicapai manusia, hingga sampai sekarang seluruh puing pesawat belum juga ditemukan. Terutama kotak pencatat penerbangan yang lazim disebut black-box yang akan membantu memecahkan teka-teki kecelakaan itu. “Kecelakaan itu terjadi di daerah perbukitan, 15 mil di utara Puncak Adam yang memiliki ketinggian 8000 kaki. Sedangkan puing-puing pesawat berserakan dalam daerah seluas 2 mil persegi”, demikian seorang veteran angkatan udara Srilangka, Wijasurya dalam siaran radio amatirnya yang tertangkap di Jakarta, pada hari Kamis. Tapi dalam siaran keesokan harinya, Wijasurya mengatakan bahwa puing-puing yang lain ditemukan pula kira-kira 8 mil dari daerah kecelakaan utama itu. Radar Apa yang menjadi sebab dari kecelakaan ini masih belum diketahui. Tetapi “ahli-ahli partikulir” memang banyak muncul setelah kejadian itu, sebagaimana yang diungkapkan Menteri Perhubungan Emil Salim. Koran-koran Kolombo yang kemudian dikutip mentah-mentah oleh sebuah koran di Jakarta, mengatakan bahwa kecelakaan itu terjadi karena salah tangkap menara pengawas Bandaranaike. Pemberitahuan dari penerbang tentang jaraknya dari landasan forty miles, salah tangkap menjadi fourteen, hingga dia memperbolehkan pesawat mendarat. Tapi seperti kata beberapa orang penerbang, laporan antara penerbang, kepada pengawas menara biasanya akan lebih berhati-hati kalau dipandang bisa meragukan. Maka fourteen biasanya diperjelas dengan one four, fourty dengan four zero. Dalam pada itu seorang penerbang senior Garuda yang pernah mendarat di Bandaranaike pada tahun 1965, mengatakan bahwa lapangan terbang tersebut belum diperlangkapi dengan radar. “Kalau ada radar setidak-tidaknya dia dapat membantu pendaratan itu”, katanya. Tapi sebuah keterangan yang agak mengejutkan datang dari Jakarta Control yang bertempat di Halim Perdanakusuma. Kabarnya Halim meminta kepada pesawat berikutnya — yang akan mengisi bahan bakar di Bahrein — untuk menanyakan nasib DC-8 Martinair yang dikemudikan Lamme tersebut. Pesawat yang belakangan ini memperoleh keterangan bahwa pesawat yang bakal mendarat di Bandaranaike itu telah jatuh di daerah perbukitan. “Melalui penunjuk radar kami sudah berteriak Hill… kepada pilot, ketika kelihatan dia sedang menuju tebing sebuah bukit”, kata menara itu. Perintah untuk mencek keadaan pesawat yang akan memdarat di Kolombo itu bukan sebagai kebetulan, tapi memang jadi kebiasaan dalam dunia penerbangan. Membingungkan Kesaksian-kesaksian mata dari kejadian itu sangat membingungkan, kata Wijasurya dalam siaran radionya. Malahan dalam laporan yang disampaikan kantor Martinair kepada Garuda, disebutkan bahwa posisi dari pesawat itu adalah 14 mil dari beacon (lampu landasan), dengan ketinggian 8000 kaki. Sedangkan pesawat kelihatan seperti bola api yang menyala melayang pada kejauhan 50 mil. “Ini membingungkan. Karena ketinggian 8000 kaki tidak mungkin punya jarak 14 mil dari landasan”, kata seorang awak Garuda. Sebab musibah kecelakaan ini baru akan terungkap dalam waktu yang agak lama, melihat black-box yang belum juga ditemukan sampai saat ini. Dan kalaupun sudah ditemukan, sebagaimana lazimnya, tidak pernah diumumkan. Seorang eksponen penerbangan sipil mengatakan, bahwa pengumuman sebab musabab itu perlu, supaya pilot yang lain tidak melakukan kesalahan yang sama kalaupun pilot yang salah. Sementara itu, jatuhnya pesawat DC-8 nampaknya tidak mengganggu rencana perjalanan haji berikutnya dari Surabaya maupun dari Jakarta dan Medan. Jumat berikutnya pesawat DC-8 lainnya sudah mendarat di Juanda, Surabaya, untuk menggantikan pesawat carter yang jatuh ini. Sementara itu pejabat-pejabat dari Departemen Agama cepat-cepat datang” ke tempat-tempat karantina jemaah Haji. Kalimat bujukan yang datang dari Menteri Agama Mukti Ali dan disiarkanlewat televisi dan RRI mereka ulang-ulangi. Tempat di mana orang menghembuskan nafas penghabisan adalah banyak. Ada di udara. Ada di laut, di daratan. Tapi sebagian besar orang menghembuskan nafasnya di tempat tidur. Karena itu kita tidak perlu takut dengan udara, sebagaimana kia tidak takut kepada tempat tidur”. Kala yang kedengaran seperti banyolan ini agaknya ada kekuatannya juga, sebab sampai sekarang tidak terdengar jemaah yang membatalkan niat sucinya.

21 Desember 1974
Duka Cita Itu Begitu Besar

MERAH-PUTIH berkibar setengah tiang di seluruh tanah air Kamis minggu lampau. Tanda duka nasioanl itu bagi para syuhada haji yang tewas akibat kecelakaan pesawat Martinair di Srilangka (TEMPO, 14 Desember). Musibah dalam perjalanan udara menunaikan rukun Islam ke-5 ini, merupakan yang kedua bagi kaum muslimin dalam tempo dua tahun terakhir. Sekaligus pengalaman pahit yang kedua pula buat perusahaan penerbangan Belanda itu. Tahun lalu sebuah pesawat jet Boeing 707 Martinair, mengalami kecelakaan ketika membawa sekitar 200 jemaah yang sudah haji dari Mekah ke Nigeria. Tapi Indonesia belum pernah mengalami kecelakaan pesawat sedahsyat itu. Suasana berkabung nasional itu tertutama kentara di Surabaya, yang hari itu siap menerima kembalinya sebuah peti jenazah para calon haji tersebut. Bendera setengah tiang sudah dikerek sejak pagi buta, di mana-mana warga kota plus dari pelbagai pelosok Jawa Timur tumpah di jalan raya, menanti lewatnya iring-iringan kereta jenazah. “Musibah ini lebih mempertebal iman kami”, ujar seorang calon haji yang masih di karantina Surabaya. Dia siap terbang pada kesempatan berikutnya. Seluruh pengangkutan jemaah haji udara dari kota ini meliputi 83 kali penerbangan (a 180 jemaah) dan sampai hari ini masih tersedia 11 kali lagi. Di hari datangnya sebuah peti jenazah syuhada haji ini, Presiden Suharto menunjuk Menteri Agama Mukti Ali serta Menteri Perhubungan Emil Salim untuk memimpin penerimaan jenazah itu. Upacara negara berlangsung di bandar udara TNI-AL “Juanda” dengan barisan kehormatan yang terdiri dari kompi gabungan pasukan komando ABRl dan Polri. Dalam rombongan Menteri di samping para isteri, nampak hadir Dubes Srilangka untuk RI, Dirjen Perhubungan Udara Kardono, Ketua DPRD-DKI RM Harsono dan tentu saja Dirut Garuda Wiweko. Matahari di langit Surabaya pagi itu timbul tenggelam dipermainkan awan tebal. Tapi syukur pesawat DC-8 (milik World Airlines) yang dinanti-nantikan, selamat menjejakkan kakinya di landasan “Juanda” sesuai menurut rencana setelah ber-tolak dari Colombo pada dinihari jam 02 waktu setempat. Menunggu pesawat diparkir, inspektur upacara Menteri M Mukti Ali mengenakan lapisan kaca warna coklat di kacamatanya. Sebentar-sebentar melirik pesawat kian mendekat bola matanya tak tersem-bunyikan rada marah juga, Keheningan menunggu diamnya mesin pesawat. Dari barisan menunggu terdengar sesenggukan keluarga pramugari IAIN, Lilik Herawati. Gubernur Jawa Timur, Haji Moh. Noer (yang nampak letih) menghampiri kedua orang tua almarhumah “Pasrahlah kepada Allah. Ini takdirNya” ujar Noer dengan suara lembut sembari mengingatkan sepatah ayat Quran, Kun fayakun”. Begitulah kehendak Tuhan. Sesaat peti jenazah siap turun dari perut pesawat, dari pintu penumpang muncul Dubes RI untuk Srilangka Sukirman. Di sampingnya adalah Dirjen Urusan Haji, Kolonel TNI-AD Burhani Cokrohandoko (yang 6 hari terakhir berada di Srilangka). Burhani masih menunduk tersedu-sedu sejak turun pesawat. Sampai harus menghapus air mata bergantian dengan dua saputangan. Acara serah terima dari Dubes Sukirman kepada Menteri Mukti Ali berjalan ringkas. Dan didahului genderang korps kepolisian, peti jenazah diusung oleh seregu prajurit TNI-AL menuju kereta jenazah. Diiringi oleh para pramugara dan pramugari haji Garuda plus awak Martinair dan World Airlines (dua perusahaan ini pesawatnya dicarter Garuda untuk membawa jemaah haji dari Surabaya). Peti jenazah itu berselimutkan merah-putih beludru, dikalungi enam rangkaian melati, lalu bertolak menuju gubenuran Jawa Timur (26 kilometer dari Juanda). Di sini jenazah disemayamkan di pembaringan yang beralaskan beludru hijau dan dikawal oleh 4 prajurit dari satuan komando ABRI dan Polri. Menteri Agama atas nama negara kemudian menyerahkan jenazah kepada gubernur Jawa Timur. Dicelah asap pedupaan wewangian cendana, gubernur Noer kemudiam memimpin upacara hening-keliling. Sekaligus diikuti oleh para sanak keluarga syuhada haji itu, sambil membaca surat al-Fatihah. Turun dari gubernuran iringan jenazah didahului oleh seorang pramugari IAIN dengan satu karangan bunga. Peti diusung oleh para pramugara Haji Garuda dan sesaat sebelum masuk kereta jenazah, regu tembak kehormatan melepas dengan satu salvo. Di sepanjang jalan menuju mesjid agung Ampel, warga kota berderet termangu mengamati iringan kereta jenazah. Yang tak sempat turun, berebutan menjulurkan kepala di jendela. Sementara para karyawan dari kantor-kantor bertingkat, ramai menjenguk dari teras gedung. Jalan raya Surabaya yang pernah tersohor rawan dan banyak menelan korban kecelakaan, saat itu seakan-akan aman. Sebab baik pengemudi mobil maupun abang-abang beca sama tertegun. Masuk di gerbang mesjid Sunan Ampel, kerubungan manusia kian padat. Bedug di mesjid ditabuh yang disambung suara azan, sementara derap genderang dan alunan terompet yang manyayat makin mendekat. Para penunggu di mesjid berebutan ingin dapat tempat di muka, meski jalur sejak pintu sampai tempat penyembahyangan sudah dibatasi dengan kain putih. Protokol di situ lewat megafon berseru: “Tetap di tempat. Tenang, tenang. Yang datang ini tamu dari luar negeri. harap dihormati”. Maksudnya mungkin karena jenazah para syuhada ini baru saja datang dari Srilangka. Tapi seruan “Allahu Akbar” dari para maklumat di mesjid mulai bersahut-sahutan. Ketika jenazah mendekati pembaringan di muka mimbar khatib sejenak terjadi rebutan ingin membopongnya. Menerobos Pada detik-detik irama “Allahu-Akbar” itu mulai mirip koor dan diucapkan dengan wajah pucat dan bibir bergetar. Menteri Mukti Ali akhirnya berhasil juga menerobos desak-desakan itu. Dengan tenang Menteri Agama mulai melakukan sembahyang sunnah, dua rakaat. Emil Salim yang lantas mengenakan kopiah juga bershalat sunat. Sedangkan Kardono (mungkin menyangka kopiah itu wajib) mengikat kepalanya yang berambut pendek dengan saputangan. Sementara protokol mesjid berseru agar para makmum mengatyr diri dalam syaf yang lurus, sebab Menteri Agama sudah mengambil tempat di muka peti jenazah, bertindak sebagai imam. Keadaan langsung menjadi khusyu dan seperti diketahui penyembahyangan jenazah ini dilakukan hanya dengan berdiri, tanpa rukuk dan sujud. Giliran peti jenazah hendak diturunkan dari mesjid. Lewat pintu belakang karena pemakamannya memang berada di pekarangan belakang mesjid. Regu tembak kehormatan sekali lagi pasang kuda-kuda dan berbarengan dengan turunnya jenazah, meletus salvo untuk kedua kalinya. Dan sesaat sebelum turun ke liang lahat, tembakan kehormatan berdentang untuk ketiga kalinya dari 10 laras dengan sangkur terhunus itu. Lalu protokol mengundang para keluarga syuhada haji itu mendahului penaburan bunga. Tentu saja mereka yang sejak tadi ingin lebih dekat ke makam lantas berduyun. Satu diantaranya tak urung serta-merta pingsan di dekat makam. Dia seorang ibu dan anak serta suaminya tak cukup kuat menggotongnya ke luar desak-desakan manusia. Melihat ini jurubicara Departemen Perhubungan, Ismono yang berperawakan besar dan mengenakan stelan jas coklatoker, tanpa banyak bicara menggendongnya ke tempat yang lebih sejuk. Pelayat ini datang dari Trenggalek. Pemilihan lokasi di pemakaman Sunan Ampel itu ditetapkan oleh gubernur Noer. Sebab tempat ini mengandung makna khas di hati umat lslam Indonesia, mengingat riwayatnya semenjak mesjid itu didirikan Sunan Ampel 6 abad silam. Sunan Ampel merupakan satu di antara 9 wali yang mensyiarkan ajaran Islam di seantero Jawa. Hingga tempat ini sering diziarahi pada waktu-waktu tertentu. Mereka datang dari pelbagai pelosok nusantara. Peti jenazah yang ditanam hari itu berisi delapan bagian anggota tubuh yang tak dikenal lagi identitasnya, seperti diungkapkan Dubes Sukirman. Karena sulitnya menjelajahi medan tempat kecelakaan. Sehingga dengan menghimpun anatomi tubuh manusia itu, diharap dapat dipandang sebagai perlambang dari jenazah para syuhada haji itu seluruhnya. Ini yang dikebumikan di tempat yang mulia itu. Atau dalam kalimat pemerintan yang dibacakan Menteri Agama menghantar para syuhada haji itu di pembaringan terakhir: “Syuhada haji ini beroleh kehormatan besar, baik secara duniawi maupun ukhrawi”. Dengan begitu, diharap keluarga yang ditinggalkan “ikhlas melepas saudara-saudaranya, sebagai syuhada haji ini ikhlas memenuhi panggilan Allah Swt”. Lalu Menteri Mukti Ali berdiri diam di tepi makam dengan karangan bunga menggunung.