Tempo
01 April 1978. 20 Juli, 1956, Wakil Presiden Mohammad Hatta menulis sepucuk
surat kepada Ketua DPR, Sartono SH yang isinya antara lain: “Merdeka, Bersama
ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan
Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan
rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri
sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan
meletakkan jabatan itu secara resmi.” 20 juli adalah hari Jum’at. Surat sampai
ke DPR hari Senin, tanggal 23 juli. Empat bulan setelah tanggal tersebut,DPR
belum memberikan tanggapan apapun. Akan hal ini, ada beberapa dugaan DPR sibuk
dengan sidang-sidang,atau DPR tidak yakin bahwa itu keputusan akhir salah
seorang dari tokoh Dwitunggal. Dugaan lain : DPR menolak secara halus
permintaan Hatta tersebut, dengan jalan mendiamkan surat tersebut. Kemudian, 23
Nopember dalam tahun ang sama, Bung Hatta menulis surat susulan tentang suratnya
yang pertama. Isinya tetap.Bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti
sebagai wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.
Kendati, di tahun 1955, Hatta pernah pula mengedarkan pernyataannya bahwa bila
parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan
diri. Dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, begitu pendapatnya,
Kepala Negara adalah sekedar lambang saja dan Wakil Presiden tidak diperlukan.
Dengan tegas Hatta berkata: “Sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia tamat,
setelah UUD 1950 menetapkan sistim kabinet parlementer. ” Tanggal 28 Nopember,
DPR bersidang khusus membicarakan minta berhentinya Wakil Presiden. Sebelumnya,
sebuah Panitia Permusyawaratan telah dibentuk untuk mempermudah rembugan
ten-tang masalah ini. Hadir dalam sidang 28 Nopember tersebut 145 anggota.Dan
sidang hanya berlangsung selama 2 menit saja. Ketua DPR Sartono SH bertanya
kepada panitia tentang laporan sudah belumnya dibuat tentang pertemuan mereka
dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Panitia belum siap dalam hal laporan.
Gedung DPR pada waktu itu terletak di Lapangan Banteng Timur bersebelahan
dengan Departemen Keuangan yang sekarang. Sidang dilanjutkan pada hari
berikutnya, 29 Nopember. Kali ini hadir 200 anggota dan sidang cuma berlangsung
7 menit saja.Panitia melapor kepada ketua DPK bahwa dianggap perlu untuk
bertemu dengan Presiden Sukarno untuk membicarakan hal ini. Dan Sukarno baru
akan menerima panitia keeokan’ harinya, 30 Nopember. Sidang ketiga tentang acara
setuju tidaknya parlemen bila Wakil Presiden Hatta meletakkan jabatan
dilangsungkan malam hari tanggal 30 Nopember. Jumlah anggota yang hadir
bertambah dan disemarakkan pula oleh 14 orang Menteri yang turut muncul.
Panitia memberikan laporan, pandangan umum beberapa anggota dilontarkan dan
atas musyawarah dan mufakat, DPR akhirnya meluluskan permintaan Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Akibat dari mundurnya Bung Hatta ini, DPR mencoba membahas,
siapa penggantinya.Dalam UUD hanya disebutkan bahwa Presiden didalam melakukan
kewajibannya dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Lantas siapa yang akan
membantu Presiden kalau wakilnya tidak ada? Tidak dijelaskan dalam UU. Sidang
kemudian diramaikan oleh pro dan kontra perlu tidaknya jabatan wakil Presiden
diisi kembali. Kalau iya siapa yang akan menggantikan Bung Hatta? Dan
pembicaraan tentang hal ini tetap berlarut-larut sampai hanyut dengan
sendirinya. Jabatan wakil Presiden kemudian osong selama 17 tahun. Dan barulah
di tahun 1973, kursi Wakil Presiden diisi lagi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
IX. Keluarnya Hatta dari lingkaran kekuasaan politik, telah mengakibatkan
berbagai reaksi waktu itu. Partai NU menginginkan agar Bung Hatta tidak keluar
sama sekali dari kursi pemerintahan. Diusulkan agar Hatta duduk dalam Badan
Perencana Nasional di samping Dewan Nasional yang diketuai Sukarno.
Partai-partai IPKI, Perti, Masyumi dan organisasi lainnya, mengharapkan sebuah
Kabinet Kerja dan Hatta sebagai pimpinannya. Pihak Angkatan Darat yang waktu
itu Kepala Stafnya adalah Mayjen A.H. Nasution dan Wakilnya Kol. Gatot Subroto,
telah berusaha memulihkan hubungan kerjasama Sukarno-Hatta. Bahkan seusai Rapat
Panglima tanggal 20 Maret 1957, KSAD, Wakil KSAD dan ketiga Deputy (Kol. A.
Yani, Kol. Ibnu Subroto dan Kol. Dahlan Djambek) daang menghadap ke Bung Hatta
untuk melaporkan hasil rapat. Di sana dinyatakan betapa pentingnya untuk
“memelihara kesempurnaan kekuasaan sentral” dewasa itu. Retaknya pasangan
dwitunggal kian nyata, biarpun Soekarno selalu menyangkal hal itu. Ini kentara
ketika Bung Karno dalam pidatonya di hari Sumpah Pemuda 28 Okrober 1956, ketika
ia mencanangkan betapa pentingnya sebuah demokrasi terpimpin. Hatta, sebulan
kemudian, ketika dia dikokohkan oleh Universitas Gajah Mada untuk doktor H.C.,
27 Nopember, 1956,antara lain berkata “Demokrasi terpimpin tujuannya baik, tapi
cara dan langkah yang hendak diambil untuk melaksanakannya kelihatannya malahan
akan menjauhkan dari tujuan yang baik itu.” Sekitar 1957, pertentangan belum
meruncing betul. Hatta bahkan dalam sebuah surat kabar menganjurkan bahwa
“untuk mengatasi kesulitan yang bertumpuk-tumpuk yang sukar diatasi oleh
Kabinet Parlementer dewasa ini, sudah seharusnya diadakan Kabinet Presidentiil
di bawah Presiden Sukarno sendiri.” Rupanya, atas desakan berbagai aliran dan
partai, Hatta juga mencoba untuk bersatu kembali dengan Sukarno Ini terbukti
seperti yang ditulis dalam buku kecilnya Demokrasi Kita (semula diterbitkan
oleh majalah Pandji Masjarakat) pada halaman 19: “Bagi saya yang lama
bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang
efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada
Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistimnya itu akan menjadi
suatu sukses atau suatu kegagalan sikap ini saya ambil sejak perundingan kami
yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu.” Hatta menulis Demokrasi
Kita di tahun 1960. Tentang DPR, ada pula kritiknya waktu itu: “Dengan
perobahan Dewan Perwakilan Rakyat yang terjadi sekarang, di mana semua anggota
ditunjuk oleh Presiden, lenyaplah sisa-sisa demokrasi yang penghabisan.
Demokrasi terpimpin Soekarno menjadi suatu diktatur yang didukung oleh
golongangolongan yang tertentu.” Dan pecahlah ikatan dwitunggal. Dan memang
sulit untuk suatu Kabinet Presidentiil kalau Presiden dan Wakil-nya mempunyai
pandangan dan pendirian yang berbeda.