Tempo
18 Oktober 1975. FRANSISCO Xavier Lopez da Cruz senyum-senyum saja ketika ia
ditanya tentang rencana aksi militer dari Gerakan Revolusioner Anti Komunis
(MRAC) untuk merebut kembali wilayah Timor Timur.
“Anda
semua sebaiknya menunggu beberapa hari lagi”, katanya kepada sekelompok
wartawan Jakarta di markasnya di daerah Batugade. Ia pun kembali menghadapi
mesin tik Hermesnya melanjutkan sisa-sisa pekerjaan. Tidak berapa jauh dari
meja tulisnya, sebuah pesawat radio dipajang di antara timbunan-timbunan
karung-karung pasir yang dipakai buat berlindung. Hanya pesawat itulah yang
menghubungkan Lopez dengan dunia luar, termasuk berita-berita dari lawan
utamanya Fretilin. Janji Lopez ternyata tidak meleset. Selagi para wartawan
menikmati ketuat Idul Fitri setelah bulan Ramadhan usai, kabar dari perbatasan
menyebutlan telah terjadinya pertempuran sengit. Pasukan-pasukan Apodeti
bersama MRAC — yang belasan maupun sudan setengah baya, yang bule dan asli
maupun campuran, yang dekil bercambang ataupun yang kelimis seperti Jose Martin
dari partai Kota–dengan kekuatan lebih dari 70 orang mengambil bagian dalam
operasi hari pertama itu dipimpin oleh seorang yang sehari-hari dikenal dengan
Mascarinhas. Sebagian dari anggota pasukan gabungan telah kehilangan orang tua,
isteri dan anak-anak mereka. Namun daya penggerak kini bukan lagi soal membalas
dendam, tapi merebut kembali daerah Timor Timur dari tangan Fretilin. Nampaknya
pasukan gabungan ini telah memanfaatkan teori militer yang mereka peroleh
selama masa surut mereka ke daerah Batugade. Orang-orang Apodeti yang selama
ini bungkam, ternyata telah mengisi waktunya dengn memperdalam taktik
peperangan. Ketakutan akan bahaya tembakan mortir fihak Fretilin membuat
doktrin baha mereka bisa menang dengan mortir ternyata telah digunakan pula
sebagai salah satu taktik dalam penyerangan di hari Senin awal pekan lalu.
Sambil melepaskan tembakan mortir ke arah bukit-bukit di sekitar benteng
Batugade mereka mulai bergerak pada siang hari. Tanpa mendapat serangan
balasan, pasukan gabungan ini mengatur posisi di hutan-hutan dalam beberapa
kelompok. Perlawanan dijumpai ketika mereka pada sore harinya berusaha merebut
bukit-bukit itu. Fihak Fretilin yang menduduki bukit-bukit tadi ternyata tidak
mampu lagi menggunakan mortir karena fihak lawannya hanya beberapa ratus meter
di depan. Tembakan-tembakan senapan mauser dan G3 tidak berhasil mencegah gerak
maju pasukan Apodeti dan MRAC. Bukit-bukit yang strategis itu diduduki pasukan
gabungan tanpa seorang korbanpun di fihaknya. Mortir Cina Merasa posisinya
sudah terkurung pasukan Fretilin tidak dapat lagi memusatkan perhatiannya
menghadapi pasukan gabungan Apodeti dan MRAC tersebut. Dihujani mortir
bertubi-tubi, akhirnya mereka menyadari tak bisa bertahan lebih lama dalam
benteng yang kokoh itu. Satu-persatu mereka mengambil langkah seribu tanpa
berhasil membawa serta perlengkapan militernya. Ayam-ayam masih terikat,
bir-bir yang masih segar dalam botol, kendaraan Toyota pick-up, peluru-peluru
basoka dan mortir, mortir buatan Cina berkaliber 60 mm, sejumlah traktor
pertanian, formulir keanggotaan Fretilin, serta dua sosok mayat Fretilin telah
ditemukan oleh pasukan gabungan tadi ketika mereka memasuki benteng itu
keesokan harinya. Kemenangan itu membuat mereka melonjak kegirangan sementara
fihak Fretilin merasakannya sebagai pukulan berat, terutama bagi ke-200 anggotanya
yang mengawal benteng ini. Benteng yang beberapa jam sebelumnya berkibar megah
bendera Fretilin, kini berganti dengan dua bendera masing-masing Apodeti dan
UDT –yang merupakan bagian terbesar dari front MRAC. Sorak-sorai itu
berlangsung hanya sebentar saja, sebab pemimpin mereka mengingatkan akan masih
lamanya upaya pembebasan Timor Timur. Sementara itu Lopez yang ditemui TEMPO
Syahrir Wahab di dekat Sungai Batugade, 300 meter dari benteng, mengatakan
dalam nada suaranya yang tetap lembut — nyaris suara pendeta bahwa dalam
beberapa hari ini pasukan gabungan akan terus mengejar sasaran-sasaran baru.
“Sesudah Batugade, akan menyusul Balibo, Maliana, Atabai, Ermera, Maubara, dan
kemudian Dili”, katanya. Ini berarti kemelut Timor Timur masih akan panjang lagi
penyelesaiannya. Sebab ketiga fihak yang sekarang bertengkar itu nampaknya
tidak menyebut-nyebut lagi penyelesaian “model Al meida Santos” tapi dengan
“perang pembebasan”, kata Lopez. Lantas apa reaksi Fretilin? Dari Dili
sekretaris politik mereka menuduh lasykar penyerbu itu sebagai “tentara reguler
Indonesia” dari pakaian seragam dan senjatanya. Jose Ramos Horta juga
menyebutkan, bahwa serangan infanteri itu ditunjang oleh tembakan-tembakan dari
kapal fregat dan pesawat jet Indonesia, serta sebuah helikopter yang ikut
menyerbu pertahanan Fretilin di Batugade. Sedang di Darwin, pimpinan Fretilin
lainnya, Mar’i Alkatiri memperkuat keterangan Horta dengan menyebutkan bahwa
300 tentara Fretilin kini terkepung oleh 200 pasukan Indonesia yang menguasai
daerah sekeliling Batugade. Sisanya mundur ke gunung-gunung. Seminggu
sebelumnya, DPP Fretilin telah mengirimkan kawat ke alamat PM Australia Gough
Whitlam, Dewan Keamanan PBB dan Dewan Gereja Dunia, menceritakan agresi militer
Indonesia di Timor Timur serta tekad Fretilin untuk “bertahan sampai orang
terakhir”. “Ah, itu hanya perang urat syaraf Fretilin saja”, bantah jurubicara
1 Hankam Brigjen Sumrahadi menanggapi berita-berita Fretilin di Jakarta. Dia
menyangkal adanya invasi darat-laut-udara Indonesia, “karena Indonesia belum
pernah mengeluarkan perintah untuk menyerbu”. Dan untuk lebih memperkuat
sanggahannya – seperti yang disiarkan oleh Radio Australia – jubir Hankam itu
balik bertanya: “bagaimana bisa pesawat Indonesia ikut menyerbu Batugade, kalau
AURI justru sedang mengerahkan pesawat-pesawatnya dalam latihan Elang Malindo
bersama AU Malaysia di Medan, 2000 mil dari Timor?”