Tempo
25 November 1978. CUACA buruk, Rabu malam pekan lalu, menyelimuti bandar udara
antar bangsa Kutanayake, 25 km dari Kolombo, ibukota negeri pulau Srilangka.
Hujan lebat dan badai. Laju angin utara 11,4 km perjam dan lembab udara
mencapai 100%, lampu-lampu landasan pun padam, hingga jarak pandang cuma
mencapai 6 km. Menurut petugas meteorologi bandarudara, dalam cuaca normal,
jarak pandang landasan yang bagus untuk mendarat adalah 8 km. Jam 23.30 waktu
setempat Rabu malam itu (Kamis jam 02.30 WIB dinihari), petugas menara pengawas
bandar udara samar-samar melihat sebuah pesawat jet mendekat dari jarak 145 km.
Karena terbang pada ketinggian cuma 195 meter, pilot diperingatkan terbang
terlalu rendah. Meski begitu, petugas menara masih berusaha memandunya ketika
pesawat mendekat pada jarak 6 km dari bandarudara. Di layar radar tampak
noktah, tanda bahwa pesawat masih terjangkau oleh radar, sementara kontak
panggilan diserukan berulang-kali: “Lima, Lima, Zero, Zero One ” Tapi 27 detik
kemudian, noktah itu pun lenyap dari layar radar dan sahutan dari pesawat pun
tak lagi terdengar. Pesawat yang bermaksud melandas di Landasan 22 itu jatuh
hanya sekitar 3,7 km sebelah timur bandarudara …. Jatuh di perkebunan kelapa,
pesawat itu patah tiga. Ekornya putus, hidung terhunjam di tanah berlumpur. Mesin-mesinnya
berantakan. Ledakan berdentum dahsyat 2 kali. Ketika fajar menyingsing,
pemandangan mengerikan. Mayat berserakan tertindih puing pesawat, sebagian
meninggal duduk di kursi dengan sabuk pengaman masih terkunci. Itu adalah
pesawat DC-8 Icelandic Loftleider dari maskapai penerbangan Eslandia. Dicarter
maskapai penerbangan Garuda, pesawat long body berkapasitas 240 itu mengangkut
249 jemaah haji dari Jeddah dengan awak pesawat 13 orang. Dengan tujuan
Surabaya, Icelandic di kemudikan oleh pilot Haukar Hervinsson dan Ragnar
Thorkelsson dengan ko-pilot Gudjon Runar Gudjonsson. Hervinsson yang beranak 3
orang itu sudah 12 tahun sebagai pilot di Icelandic Airways. Ia meninggal
bersama 7 rekan awak pesawat lainnya serta 173 jemaah haji. Adapun jemaah haji
itu berasal dari Kalimantan Selatan yang berangkat terbang dari bandarudara
Juanda Surabaya. Itu adalah penerbangan pertama fase kedua memulangkan jemaah
haji ke tanah air. Kesibukan luar-biasa meliputi Kolombo. Kantor-kantor
pemerintah mengibarkan bendera setengah tiang, sementara Menteri Perhubungan
Srilangka, M.H. Mohamed, menghimbau umat Islam bersembahyang gaib. Hari Jum’at
itu dinyatakan sebagai hari duka. Umat Islam Srilangka bahkan menghendaki para
korban yang meningal, para syuhada dimakamkan hari itu juga di Srilangka. Sejak
Rabu malam jam 24.45 waktu setempat, para petugas RSU Kolombo bekerja tanpa
istirahat. Sejumlah besar perawat yang sedang mengikuti sebuah pertemuan,
dengan sukarela membantu para korban. Termasuk sejumlah siswa perawat dan sukarelawan
Palang Merah setempat. Dua tim dokter dikerahkan, juga para ahli bedah syaraf
dan ortopedi. RS Negombo yang jauhnya 50 km dari Kolombo pun, sibuk. Sebelas
jam setelah musibah, kotak pencatat penerbangan yang lazim disebut black box
ditemukan. Dibawa ke Kolombo, kotak berisi pita perekam percakapan antara
petugas menara pengawas dan pilot itu akan diperiksa di pabrik Mc Donald
Douglas, AS, tempat pesawat DC-8 dibikin untuk mengetahui musabab kecelakaan.
Ini musibah besar kedua untuk jemaah haji udara dari Indonesia. Yang pertama 4
Desember 1974 lalu, juga Rabu malam, juga di Srilangka dan juga dengan DC-8.
Juga dicarter oleh Garuda, juga berangkat dari Surabaya. Bedanya musibah 1974
lalu dengan pesawat dari maskapai penerbangan Martinair, Belanda, jatuh di
Puncak Adam dari perbukitan Tujuh Perawan, semua meninggal – 182 jemaah dan 9
awak pesawat. Mengapa harus singgah di Kolombo? Menurut Menteri Perhubungan
Haji Rusmin Nuryadin yang baru pulang menunaikan ibadah haji dan Sabtu pagi
pekan lalu melapor Presiden Soeharto, hal itu terserah perusahaan penerbangan
bersangkutan. Dibanding Bombay dan Karachi sebagai pilihan lain, Kolombo “lebih
menguntungkan,” antara lain karena terbuka 24 jam. Tentang pemilihan maskapai
dan pesawatnya, menurut Rusmin, “lisensinya sudah diperiksa oleh Direktorat
Kelaikan Udara Ditjen Perhubungan Udara.” Sumber TEMPO di Garuda senada dengan
Rusmin. Dalam hal carter, “pokoknya Garuda tahu beres, semua sudah diteliti
Ditjen Perhubungan Udara.” Tentang persinggahan di Kolombo, “karena Kolombo di
tengah-tengah. Jeddah-Kolombo dan Kolombo-Jakarta, masing-masing 5 jam
terbang.” Katanya pula, pesawat Condor Boeing 747 Lufthansa yang jauh lebih
besar juga singgah di sana. Sampai sekarang, setiap Sabtu, Garuda yang terbang
ke Eropa pun singgah di sana. Beberapa waktu lalu Kolombo memang tidak
disinggahi karena persediaan bahan bakar menipis. Tapi mengapa mesti carter
pesawat lain? “Untuk mengangkut 72.000 jemaah haji, armada Garuda tidak cukup,”
kata sumber itu. Untuk itu dicarter 1 DC-8 Icelandic, 1 DC-10 UACI (United Air
Carrier International), 2 DC-10 Martinair. Garuda sendiri mengerahkan 2 DC-10,
“hingga jadwal penerbangan ke Eropa dan Australia dikurangi.” Untuk memulangkan
sisa jemaah haji jatah Icelandic, Garuda akan mengangkut dengan pesawat
sendiri. Minggu 19 Nopember kemarin jam 18.25 WIB, pesawat DC-10 Garuda CA 897
mendarat di Halim Perdanakusumah. Selain membawa 40 penumpang dari Amsterdam
dan Paris, diangkut pula 33 dari 76 jemaah yang selamat. Mereka lalu
diistirahatkan di 20 kamar Hotel Indonesia Sheraton di lantai 3, yang
dilengkapi sajadah, Alqur’an dan kompas penunjuk kiblat. Menurut mereka,
pesawat Icelandic yang celaka itu memang sudah terlambat 3 jam berangkat dari
Jeddah Bagaimana perasaan mereka? Haji Tabrani Basri, 39 tahun, dosen
Universitas Lambungmangkurat, berkata “Di pesawat saya mimpi sembahyang di
mesjid Nabi. Di sekeliling saya mayat berserakan. Ketika terjaga, pesawat sudah
mendekati Kolombo. Dan beberapa menit kemudian pesawat tidak normal.” Dosen
Unlam lainnya, Jusuf Mansur meninggal. Menurut cerita rekannya, Ibrahim Aman,
juga dosen Unlam yang menjenguk Tabrani di HI, dalam rapat senat menjelang
berangkat haji Jusut minta waktu bicara. Katanya antara lain: “Kata orang
berangkat haji itu berangkat mati. Saya minta maaf kepada saudara-saudara,
mungkin saya mati di negeri orang.” Lain lagi cerita Haji Abi Karsa tentang
Jusuf. Dalam perjalanan dari Kutanayake ke rumah sakit, Abi semobil dengan
Jusuf. Cerita Abi: “Kelihatannya ia tak apa-apa. Kami omong-omong biasa,
sementara di luar hujan lebat. Menjelang sampai rumahsakit, eh, dia diam saja.
Ternyata sudah meninggal. Innalillahi. . . ” Abi Karsa, wartawan Banjarmasin
Post itu, ditemui TEMPO di kamar 314. Kakinya bengkak, dibalut. Jalannya
pincang. Di kertas notes hotel, ia menulis: “Sebelum musibah, mendadak ada
pemberitahuan tanda bahaya. Mula-mula pesawat tergoncang keras, perut pesawat
menyentuh pucuk pepohonan, lalu jatuh. Goncangan dan hempasan begitu keras,
rasanya sulit bisa hidup. Teriakan dan rintihan terdengar dari berbagai sudut.
Saya buru-buru membuka sabuk pengaman, mengajak isteri saya keluar. Kursi kami
di sebelah kiri, di bagian ekor dekat pintu darurat, api mulai membesar di
sayap kanan. Saya mencoba memecah jendela tapi gagal. Lalu isteri saya melihat
ada lobang di belakang. Ternyata ekor pesawat putus dan perutnya terbuka lebar.
Dalam waktu singkat, saya berusaha mendorong pecahan pesawat, ke luar
membimbing isteri saya. Baru dua meter, kami terperosok di antara puing
pesawat. Untung bisa lepas. Ledakan pertama terdengar, kami bertiarap. Lalu
lari. Baru sekitar sepuluh meter, ledakan lagi dan kami tiarap lagi. Baru
setelah itu ke rumah penduduk terdekat. Beberapa menit kemudian polisi,
ambulans dan pemadam kebakaran datang. Dengan bahasa Inggeris, saya minta
kepada orang-orang Srilangka agar para korban segera dibawa ke rumah sakit.”
Isteri Abi menambah: “Ada asap hitam. Kira-kira 10 orang yang mengeluarkan
lendir hitam dari hidung karena terisap asap itu. Ketika terdengar ledakan
pertama, semua berteriak Allohu Akbar. Kemudian berlarian keluar dan terdengar
ledakan kedua. Orang Srilangka baik-baik. Mereka membawa makanan. Karena lapar,
saya makan saja. Di RS Negombo, wah susah. WC nggak ada. Kotoran ditampung
entah mau diapakan. Kotornya bukan main, lebih bagus Puskesmas di sini.”
Semalam menginap di Hotel Indonesia Sheraton, paginya mereka diterbangkan ke
Banjarmasin. Sabtu petang jam 15.25 WIT, 2 pesawat Hercules TNI-AU mendarat di
bandarudara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, membawa 111 peti jenasah, berisi 173
korban. Tapi hanya 37 korban yang dikenal identitasnya. Mereka disemayamkan
sementara di bandarudara, sedang 136 lainnya yang tak lagi dikenali dimakamkan
di 4 lubang ukuran 6 x 2l/2 meter, tak jauh dari Makam Pahlawan “Bumi Kencana”,
Banjarbaru. Pemakaman dengan upacara militer itu baru selesai jam 21.30. Hari
itu semua restoran, bar, bioskop dan tempat hiburan lainnya tutup. Bendera
hijau terpancang di pintu-pintu keluarga para korban. Atas kepergian para
syuhada itu, Menteri Agama Alamsyah mengajak berdoa “semoga semua amal
ibadahnya diterima oleh Allah SWT dan mendapat tempat yang layak di sisinya.
Amin.”