Meninggal Dunia R.M. Margono Djojohadikusumo


Tempo 05 Agustus 1978 .Meninggal dunia “SAUDARA Margono wajib dijadikan contoh oleh Angkatan Muda sekarang,” seru Dr. Mohammad Hatta, bekas Wakil Presiden pertama RI. Bung Hatta turut melepas jenazah R.M. Margono Djojohadikusumo, 84 tahun, di Taman Matraman, Jakarta, ke pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah. Pendiri Pusat Bank Indonesia yang di tahun 1946 diganti namanya jadi Bank Negara Indonesia ’46, termasuk salah seorang yang berumur lanjut tapi selalu sehat walafiat. Baru tahun ini saja, kesehatannya tampak mundur. Dua hari sebelum meninggal, Margono bahkan masih mengadakan transaksi dagang untuk salah satu perusahaannya. Selasa pagi 25 Juli, almarhum pergi ke kamar mandi. Di tempat itulah, rupanya Margono Djojohadikusumo mendapat serangan jantung. Perawakannya kecil dan kulitnya hitam. Almarhum sendiri sering menyebut dirinya sendiri sebagai een klein Negertje, si Negro kecil, biarpun almarhum masih keturrunan bangsawan, yaitu buyut dari Panglima Banyakwide, pengikut setia dari Pangeran Diponegoro. Setidaknya Margono adalah bangsawan yang berjiwa kerakyatan. Menurut Subagijo IN, kepada siapa saja yang bisa berbahasa Jawa, almarhum selalu berkromo inggil. Ayah yang baik ini mempunyai anak sulung yang mempunyai nama terkenal: Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Kesedihannya yang terbesar dari almarhum ialah ketika kedua puteranya, Subianto (21 tahun) dan Sujono (16 tahun) gugur di Serpong di tahun 1946. Ketika Soemitro tidak sejalan lagi dengan Bung Karno dalam perkara PRRI, sang ayahpun turut sependapat dengan sang anak untuk kemudian sekeluarga hijrah ke Kualalumpur. Beberapa tahun ia menetap di sana. Biarpun begitu dalam bukunya Kenangan Tiga Zaman, Gudul aslinya Herinneringen uit Drie Tijdperken) digambarkan di situ Bung Karno sebagai pahlawan. Buku-buku lain yang pernah ditulisnya antara lain Sepuluh Tahun Koperasi, Notities uit Vergeelde Papieren (tentang Douwes Dekker tentang kehidupan perkebunan, dan sedikit banyak cuplikan-cuplikan sejarah republik ini di kala zaman Belanda), dan berbagai artikel di majalah Tongtong (majalah populer untuk kaum Indo di negeri Belanda, yang didirikan oleh wartawan Charlie Robinson) dan satu buku yang belum selesai tentang riwayat hidup Raden Tumenggung Banyakwide.