Hari terakhir di morotai


Tempo 04 Januari 1975. TERUO Nakamura, 57 tahun, sisa prajurit Jepang dari Perang Dunia II, akhirnya berhasil dikeluarkan dari liang persembunyiannya selama 30 tahun di pegunungan Galoka, Morotai.
Dia adalah prajurit ketiga dalam tahun tujuhpuluhan ini yang sempat menggemparkan dunia, karena ketahanan mereka untuk tidak menyerah. Pada tahun 1972, Yokoi keluar dari persembunyiannya di pilau Guam. Kemudian menyusul Onoda di Pilau Lubang, Pilipina. Buat Indonesia sendiri sesungguhnya peristiwa ini sudah didahului dengan keluarnya 9 prajurit Jepang dari hutan persembunyian, di Maluku pada tahun limapuluhan. Seratus Tahun Munculnya kesembilan prajurit tersebut ketika itu lebih didorong oleh kehendak mereka sendiri untuk mencari hubungan, dengan dunia luar. Setelah tiga hari berjalan kaki, turun dari hutan, mereka sampai di tepi pantai. Kepada tiga orang penduduk yang mereka jumpai di pantai itu, mereka bertanya apakah tentara Amerika Serikat masih ada di daerah itu. Dijawab bahwa tak seorang serdadu Sekutu yang masih tinggal di daerah Morotai tersebut. “Sekarang Indonesia sudah merdeka”. Serdadu yang lepas dari induk pasukannya itu malahan, menahan dua dari tiga penduduk tadi. Yang seorang disuruh pulang untuk membawa bendera dan gambar presiden yang sedang berkuasa. Orang yang disuruh pulang itu patuh, namun. kembalinya membawa seorang anggota angkatan udara Indonesia. Dari sinilah dimulai cerita kembalinya kesembilan prajurit itu ke dunia bebas. Tapi Teruo Nakamura tidak menempuh jalan yang telah dipilih rekan-rekannya terdahulu. Dia tetap ngotot untuk tidak keluar dari persembunyian. Tidak menyerah. Dia tetap patuh kepada perintah atasannya: “Untuk tetap bertahan di situ. Karena cepat atau lambat angkatan darat Jepang pasti akan datang, sekalipun seratus tahun mendatang”. Perintah inilah agaknya yang membuat Nakamura tetap bertahan di hutan Morotai itu. Sebab kalau dikembalikan kepada kesembilan prajurit yang telah menyerah sebelumnya, Konsul Jepang di Jakarta ketika itu, jelas-jelas mengatakan bahwa perintah itulah yang membuat mereka tetap bertahan di Morutai. Malahan ketika itu dengan bangga mereka mengatakan bahwa kejadian tersebut menunjukkan bahwa semangat perlawanan mereka tidak kendor sedikitpun. Tentara Jepang, memang tidak datang, Mungkin untuk seratus tahun kemudianpun tidak. Tapi yang datang menjemput Nakamura di persembunyiannya itu adalah sebuah team pencari yang terdiri dari 11 orang. Team ini mulai bekerja setelah mendapat laporan dari penduduk tentang terlihatnya seseorang di hutan pegunungan. Galoka, di pilau Morotai yang terpencil di utara Maluku itu. Kimigayo Lettu Supardi AS dari KODAU XII/Morotai memimpin team tersebut dan menyelusup masuk ke dalam hutan-hutan belukar di sebuah lembah terkurung empat bukit kecil, di pegunungan Galoka. Ketika itu tanggal 18 Desember dan matahari baru saja bangun membakar punggung pegunungan yang sunyi itu. Dari jarak sepengintaian, team tadi melihat Nakamura sedang menebas pohon bambu, membugil, di sudut pekarangan gubuk persembunyian. Sebuah tipu daya telah tersusun dalam benak anggota team tersebut. Seorang maju dan mengalunkan lagu Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang. Dengan sigap dan seperti tak perduli bahwa dia dalam keadaan telanjang, dia berdiri tegap di depan bendera Jepang yang dikibarkan oleh seorang anggota team. Lenyap lagu kebangsaan itu, anggota team Hans Anthony (orang yang juga ikut dalam penyerahan ke 9 prajurit terdahulu), Gayus dan Nayoan dengan fasihnya mengumandangkan Miyo Tookohina. Selesai lagu yang bersyair indah itu dinyanyikan mendadak sontak wajah Nakamura berobah. Matanya jalang dan berteriak seperti mengusir orang yang mendekat kepadanya. Ketika Nakamura hendak membalik masuk ke dalam gubuk dengan pedang menggantung di tangan, seorang berteriak: “Angkat tangan!”. Cepat Nakamura membalik: Tapi secepat itu pula Hans menyerbu dan menyergapnya. Pedangnya runtuh ke tanah dan tubuhnya menggigil ketakutan. Dia menatap kesebelas orang yang melumpuhkannya, orang-orang yang untuk pertama kali dia lihat setelah 30 tahun. Dari hutan yang sunyi itu dia digiring ke Morotai yang jauhnya lebih kurang 50 kilometer. Menurut keterangan Letkol dr Yuzirnan, kesehatan Nakamura baik-baik saja. Kecuali mulutnya yang kurang bersih. Tekanan darahnya juga normal, hanya kadar haemoglobin dalam darahnya rendah. Selama dalam persembunyian itu dia hidup dari kacang-kacangan, tebu dan keladi yang ditanam dalam kebun seluas. 600 meter persegi. Protein hewani agaknya dia peroleh dari babi yang memang banyak hidup di situ. Dokter tersebut menganjurkan supaya Nakamura beristirahat untuk mengembalikan daya fikirnya. Dari luar dia memang kelihatan segar bugar. “Matanya tajam”, ujar KASAU Marsekal Saleh Basarah yang datang menjemputnya ke Morotai. “Tajam dan penuh kewaspadaan”. Dalam percakapan dia terus-menerus serius dan untuk beberapa hari lamanya tidak tertawa. “Anaknya Letnan Supardi memegang tangannya, baru ketika itulah dia tertawa”, tutur Saleh Basarah kepada rombongan wartawan yang ikut ke Morotai. Kini Teruo Nakamura sudah berada di Jakarta dan diistirahatkan di Rumah Sakit Pelni. Setelah sehat barulah Departemen Luar negeri menyerahkannya kepada pemerintah Jepang. Dia sendiri sebenarnya bukan asli Jepang. Dia orang Taiwan dengan nama julukan A Tung. Sama seperti kesembilan prajurit terdahulu, enam di antaranya adalah orang kelahiran Taiwan. Jika dia kembali ke Jepang dia tidak akan menerima pensiun, sebagaimana yang diterima Yokoi, karena setelah perjanjian Postdam (1945) Jepang hanya menerima tentara-tentara Jepang asli. Dia sendiri ketika ditanyakan ke mana dia akan pergi, menjawab: “Kalau ada kapal ke Taiwan, saya akan pulang, ke Taiwan”. Dia masih beranggapan bahwa hubungan dengan negara itu sampai sekarang masih juga menggunakan kapal laut. Tapi ketika dikatakan bahwa Taiwan sudah tak punya hubungan diplomatik dengan Jepang, dia mengatakan ingin pulang ke Jepang, “Tapi kalau tak ada kapal, saya ingin tinggal di Morotai ini saja”. Hadiah Murita Agaknya yang menghadapi pilihan sukar bukan saja Nakamura. Tapi pemerintah juga. Hendak dikembalikan ke Jepang padahal dia orang Taiwan. Dan dengan Taiwan hubungan diplomatik penuh memang tak ada. Dan lebih jauh lagi, ini juga berakibat sulitnya Nakamura untuk cepat-cepat berjumpa dengan isteri, anak dan cucu-cucunya. Tertinggalnya prajurit bertahan di Morotai ini ada hubungannya dengan kedudukan pulau itu yang begitu dekat dengan Pilipina. Mac Arthur berhasil merebut pulau strategis ini dari tangan Jepang tanggal 15 September 1944, sekalipun Jepang menambah prajuritnya menjadi 2500 orang yang dikerahkan dari Halhamera. Resimen Khusus bala tentara Jepang ini dipimpin oleh Kolonel Murita, yang sampai sekarang ini masih dicari. Dan Mayor Kawashima, Komandan Batalyon dari pasukan ini, yang sekarang mengecap masa pensiun di Jepang, pernah mengumumkan hadiah Rp 1.000.000 kepada siapa yang bisa menemukannya. Itu dia umumkan ketika dia ke sana untuk mengunjungi tempat bersejarah dalam peperangan itu, beberapa waktu yang lalu.