Tempo
17 Juli 1976. BAGAIKAN si anak hilang, Alexander Andries Maramis akhirnya
pulang. Hampir dua puluh tahun lamanya dia tidak pernah menengok tanah airnya,
Maramis dengan isterinya Elizabeth Maramis Velthoed, seorang wanita Belanda,
disambut dengan mesra di lapangan udara Halim petang 27 Juni lalu.
Protokol
De partemen Luar Negeri, serombongan teman-teman lamany, tidak sabar menanti si
tua yang sudah berusia 79 tahun. Ia tampak lemah, rambut sudah putih semua dan
tampak sedikit bingung (dan lupa) menghadapi penyambutnya. Cuma seorang yang
dia kenal, Achmad Subardjo, ketua Panitya Penyambutan, yang juga seperti
Maramis, pernah menjabat Menteri Luar Negeri, Duta Besar. Penyambut yang lain:
nyonya Rahmi Hatta, Arnold Mononutu, Sunarya, Iskaq Tjokrohadisuryo. Wiiopo,
sang keponakan ABJ Tengker berikut anak buahnya dari ASMI. Untuk mengenal
mereka memerlukan beberapa detik untuk mengenalnya kembali. Sambil mencium pipi
Maramis, nyonya Rahmi Hatta harus berkali-kali mengatakan: “Ik ben mevrouw Bung
Hatta ” Pernah duduk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan dan
Menteri Luar Negeri dalam kabinet darurat RI (1948/1949), Maramis punya jabatan
yang terakhir: Duta Besar untuk Moskwa.
Ia pemegang Bintaqg Mahaputera dan Bintang Gerilya. Setelah di Moskwa
itulah, Maramis kemudian menetap di Logano, Swiss, di tahun 1957. Alasan yang
pernah diucapkannya waktu itu adalah: “Bagaimana saya bisa hidup (di Indonesia)
dengan gaji yang begitu kecil”. Maklum, Maramis terlalu lama berada di luar
negeri. Ditambah pula dia beristeri bukan orang Indonesia . Kesehatannya
kemudian mundur . Karena dia salah seorang dari Panitya Lima dari perumus UUD
’45, Pancasila dan Piagam Jakarta, atas pendapat Angkatan ’45, rekan lamanya
Prof. Sunaryo khusus pergi ke Lugano agar Maramis turut menanda tangani
Perumusan Pancasila. Itu dilakukan tahun kemarin, setelah empat anggota perumus
lainnya:Dr. Moh. Hatta, Mr. Achmad Soebardjo Prof. Sunaryo dan Prof. Pringgodigdo
membubuhkan tanda tangan. “Tekanan darahnya kini telah turun”, demikian ucap
Subardjo, teman dekatnya semasih muda, yang sering menggesek biola bersamanya.
“Dia memang begitu kangen akan tanah airnya”. Apalagi dia menderita darah
tinggi, perkapuran di nadi (terutama saluran nadi yang membawa darah ke
kepala). Dan siksaannya di Lugano ialah: kesepian. Biarpun dia mempunyai anak
dan cucu tiri yang sudah dianggapnya anak sendiri (mereka adalah anak Elizabeth
dari suami terdahulu, seorang Perancis), hidup santai dan keakraban gaya
Indonesia tidak ditemuinya di Lugano. Kini suami isteri itu tinggal di Wisma
Pertamina. “Mereka memang minta dan senang tinggal di flat”, kata Subardjo.
Mereka menolak untuk beristirahat di Megamendung yang lebih sejuk tapi sunyi.
Minggu lalu, keluarga Kawanua telah membuat pertemuan syukuran dengan
kembalinya tokoh daerah mereka ke tanah air. “Sementara ini memang belum ada
rencana pasti untuk Maramis”, tambah Subardjo, “tapi teman dan kesibukan bisa
membuat sehat orang yang setua saya”. Lima Juli pagi, Maramis dan isteri telah
beraudensi dengan Presiden Suharto. Setelah duduk terhenyak di kursi empuk di
Bina Graha, satu kalimat telah keluar dari mulut Maramis yang sudah banyak lupa
itu untuk Suharto: “Tuan datang dari mana?”