Tempo
18 Nopember 1972. Karir a.h. nasution di abri. ia peletak fondasi yang kokoh
bagi tni, yang dipakai lalu disingkirkan oleh sukarno. tugas nasution di mprd
telah selesai. ia banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
TANGGAL
30 September malam ia masih terlihat muncul di layar TV RI. Mengucapkan pidato
sehubungan dengan terjadinya G30S/PKI yang nyaris menewaskan dirinya sendiri 7
tahun berselang, jenderal Abdul Haris Nasution malam itu aritaranya
mengingatkan apa yang-barangkali dilupakan orang: yaitu bahwa – mandat kepada
jenderal Soeharto berupa Surat Perintah 11 Maret atau yang dalam singkatan agak
berbau klenik disebut Super-Semar, sesuai dengan Tap MPRS nomor IX, sudah tidak
berlaku lagi sejak dilantiknya MPR hasil pemilu. Dan pelantikan MPR hasil
pemilu itu dilangsungkan tanggal 1 Oktober keesokan harinya. Namun Nasution
ondiri tidak hadir dalam peristiwa resmi yang amat penting itu.
Pertanyaan-pertanyaan beredar dalam masyarakat: kemana Nasution? Apakah ia
tidak diundang? Apakah ia selaku ketua badan legislatif tertinggi yang
berdasarkan Tap MPRS nomor X masih berfungsi sampai terbentuknya MPR hasil
pemilu – tidak akan melakukan serah-terima jabatan dengan ketua MPR yang telah
–berdasarkan kesepakatan antara fihak Parpol/Golkar dengan Presiden otomatis
dijabat oleh ketua DPR? Pelarian Nasution ternyata memang tidak berada di
Jakarta hari itu.
Munculnya
ia di layar TVRI tanggal 30 September malam, bukanlah dalam siaran langsung,
melainkan hasil rekaman beberapa hari sebelumnya. Nasution bukan tidak menerima
undangan, meskipun bukan berupa undangan khusus melainkan hanya kartu undangan
biasa dan bukan pula ditulis untuk “Bapak Ketua MPRS” melainkan hanya untuk
“Bapak Jenderal Abdul Haris Nasution”. Undangan itu diterima ajudannya tanggal
28 September siang. Dan konon fihak panitia merencanakan, jika Nasution hadir
tempat duduknya tidak lagi disediakan di tempat tersendiri melainkan di
tempatkan di deretan para Menteri. Tapi menurut Nasution sendiri, bukan alasan
protokuler ini yang, menyebabkannya tidak bisa memenuhi undangan tersebut.
“Sebagaimana
dulu dalam pelantikan DPR”, katanya dalam jawaban tertulis kepada TEMPO, “juga
dalam hal MPR, pimpinan lembaga lama tidak berperan”. Karena itu “saya tidak
membatalkan acara-acara saya di luar kota, yang telah mengikat dari waktu jauh
sebelumnya, yakni tanggal 29 September untuk Siliwangi dari resimen Mahasiswa
di Bandung dan hari-hari berikutnya berceramah di depan senat-senat IAIN di
Pacet, di depan Mahasiswa-Mahasiswa Katholik di Sindanglaya, serta Yayasan
Pendidikan di Pacet. Kegiatan begitu sudah jadi rutin saya, karena 2 a 3 tahun
terakhir ini saya bergiat di bidang pembinaan pendidikan”. Sejalan dengan
kegiatan isterinya, di bidang sosial, bidang pendidikan memang agaknya sudah
menjadi kegiatan baru jenderal Nasution.
Ia
menjadi Ketua Dewan Kurator, Pelindung ataupun Pinisepuh dari berbagai Lembaga
dan Yayasan Perguruan Tinggi di Jawa dan Sumatera. Tapi banyak orang menilai
bahwa kegiatan baru Nasution itu lebih merupakan “pelarian” oleh kian
tersisihnya ia dari konstelasi kekuasaan masa post Soekarno di tanah air. Anak
dari keluarga H.A. Hlim Nasution yang dilahirkan tanggal 3 Desember 1918 di
Kotanopan Tapanuli, kini jenderal Nasution nampaknya sedang memasuki masa akhir
karirnya dalam jabatan resmi sepanjang 27 tahun sejarah RI – dan dalam cara
yang barangkali tak begitu dikehendakinya. Jejak Yang Panjang Diasuh dalam
lingkungan keluarga yang taat pada agama Islam serta pendidikan Belanda yang
didapatnya dalam masa sebelum perang, merupakan tumpukan latar-belakang yang
telah membentuk sikap hidup serta posisi Nasution kemudian sebagai perwira
dalam ketentaraan Republik Indonesia.
la
mendapat pendidikan formil HIS, kemudian HIK dan AMS B sekaligus, menjadi guru
untuk beberapa lama di daerah Bengkulu dan Palembang untuk kemudian memasuki
Korps Pendidikan Perwira Cadangan yang dilanjutkannya memasuki Akademi Militer
di Bandung ketika perang dunia ke-II pecan di Eropa. Kecuali masa 3″ tahun
setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution adalah salah satu –
kalau tidak boleh dikatakan ‘satu-satunya, tokoh minter yang paling lama berada
di pucuk pimpinan TNI di sepanjang masa kekuasaan Soekarno. Karena itu sejarah
lahir, tumbuh dan perkembangan kehidupan TNI sukar dipisahkan dari karir dan
sepak terjang jenderal Nasution sendiri di dalamnya. Dalam kata-kata jenderal
Yani almarhum ketika menerima penyerahan jabatan KASAD dari jenderal Nasution
di bulan Juni 1962: “Jenderal Nasution bukan saja telah merintis jalan yang
terang bagi kelanjutan TNI, tetapi ia juga telah meletakkan dan menyempurnakan
fondasi yang kokoh bagi TNI”. Beberapa kali pernah teijadi keretakan dalam
tubuh Angkatan Darat matipun Angkatan Bersenjata umumnya, dan Nasution tidak
hanya terlibat dalam keretakan itu akan tetapi juga dalam pemulihan kembali
keretakan itu. Ia yang meletakkan dasar-dasar doktrin perang wilayah, konsep
dwi-fungsi ABRI serta pembentukan Hansip sebagai cara untuk menggagalkan konsep
PKI untuk membentuk Angkatan ke-V.
Tapi
jejak Nasution yang bisa diselusuri masih lebih panjang dari itu. Di masa tanpa
jabatan setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952, ia mendirikan partai
IPKI. Nasution yang memerintahkan pengambil-alihan perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia ketika menghangatnya konflik RI dengan Belanda mengenai
Irian Barat dan mensponsori “PP 10″ yang terkenal itu. Nasution pula yang menghidupkan,
konsep tentang golongan fungsionil yang kemudian bermuara pada pembentukan
Sekber Golkar sebagai imbangan bagi kekuatan PKI terutama dalam Front Nasional.
Tapi yang paling penting bahwa Nasution yang telah mempelopori agar UUD45
diberlakukan kembali sehingga dapat menempatkan Presiden (Soekarno) tidak hanya
pada kedudukan seremonial melainkan sebagai kepala pemerintahan. Meskipun
terdapat berbagai versi cerita mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada
peristiwa yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober tersebut, tapi proses
terjadinya peristiwa itu sedikit-banyak mempunyai hubungan erat dengan usaha
mengembalikan kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan itu. Legalis &
Dipilih Tapi bagi Soekarno, Nasution agaknya memang cocok untuk membintangi
beberapa babak cerita tapi tidak untuk seluruh cerita. Ia memang seorang
legalis dalam jabatan, tapi seorang puritan dalam sikap hidup dan anti-komunis
dalam sikap politik.
Karena
itu ia merupakan seteru bagi PKI, tapi tidak pula dengan sendirinya kawan bagi
golongan selebihnya termasuk juga rekan-rekan nya sendiri dalam ABRI. Sebagai
perwira tinggi yang memegang jabatan penting dalam mesin kekuasaan Soekarno, ia
bukan tidak berfikir politis. “Dalam hidup ini”, katanya kepada TEMPO ketika
ditanyakan mengapa ia mau bertalian dalam rezim Soekarno padahal ia tahu rezim
itu banyak melakukan ke salahan-kesalahan, “orang tidak selalu dihadapkan pada
pilihan antara yang baik dan yang buruk. Dan di sini kita malahan lebih banyak
dihadapkan pada memilih yang paling kurang buruk di antara semua yang buruk”.
Tapi Nasution agaknya bukan memilih ia dipilih. Ia dipilih Soekarno untuk
mengatasi keadaan krisis dalam negeri yang diakibatkan oleh pergolakan di
daerah-daerah. Ia dipilih Soekarno untuk memodernisir ABRI dan kemudian
memimpin operasi pembebasan Irian Barat dan kemudian melakukan konsolidasi
sesudahnya. Tapi. sesudah keadaan bisa dikuasai kembali, ia segera dipilih
untuk disingkirkan pada kesempatan pertama. Pada tingkat ini, Soekarno yang
kembalinya pada kedudukan kepala pemerintahan dengan ditopang Nasution bukanlah
lagi Soekarno yang dulu, melainkan Soekarno Pemimpin Besar Revolusi yang
berkuasa besar, cerdik, penuh perhitungan dan sedang mengimpikan dunia dalam
tangannya.
Nasution
yang puritan dan anti-komunis tidak diperlukan lagi dalam tingkat ini. Dan
Nasution digeser keatas dari jabatan. KASAD yang sekaligus juga menjabat Kepala
-Staf KOTI menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Konon Nasution mau
melepaskan jabatan KASAD dari tangannya karena Soekarno semula setuju konsep
Panitia Djuanda untuk merobah struktur ABRI menjadi struktur Hankam yang
menempatkan semua Panglima Angkatan secara operasionil berada di bawah KASAB
dan sekaligus jabatan Kas KOTI dipegang KASAB. Nasution kemudian menyerah-terimakan
jabatan itu. kepada mayor jenderal Achmad Yani yang diangkat sebagai KASAD baru
di bulan Juni 1962. Tapi Soekarno ternyata telah siap dengan konsep lain di
balik penggeseran itu. Dengan alasan bahwa Panglima AU dan AKRI tidak setuju
berada di bawah kASAB, Soekarno sebaliknya menempatkan semua Panglima Angkatan
berada secara operasionil langsung berada di bawah Panglima Tertinggi sambil
memberikan kedudukan Menteri kepada masing- nasing Panglima Angkatan. Jawa
& Luar Jawa Menyimak kembali kejadian-kejadian di masa itu dalam suatu
kerangka analisa yang lebih luas, orang agaknya suka mengelakkan pula
kesimpulan yang agak berbau “kesukuan” ,dari fikiran yang melatar-belakangi
tindakan Soekarno mengambil alih langsung komando operasionil ABRI waktu itu.
Sebagai
akibat politik Trikora yang kemudian dilanjutkan dengan politik konfrontasi
dengan Malaysia, ABRI telah menjelma menjadi satu Angkatan Bersenjata yang
besar dan modern dan potensi kekuatannya itu justru harus menumpuk di
daerah-daerah di luar Jawa. Dengan seorang Nasution yang berasal dari luar Jawa
dan tak pula rukun -dengan Presiden/Pangti/PBR/dll sebagai pemegang komando
operasionil ABRI secara keseluruhan, Soekarno agaknya menaruh kekuatiran bahwa
kekuatan besar ABRI itu justru akan digunakan untuk menghadapi kekuasaannya.
Nasution memang yang telah menggelakkan penumpasan terhadap
pemberontak-pemberontak di daerah-daerah, tapi bagaimanapun Nasution dinilai
tetap masih lebih dekat dengan daerah daripada terhadap pusat malam keadaap
seperti itu Soekarno merasa lebih aman jika pimpinan Angkatan Darat dipegang
oleh seorang yang berasal dari dan berakar di Jawa. Dan mayor jenderal Yani
cukup memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk kita. Akan tetapi untuk
membuat Yani ataupun Angkatan Darat secara keseluruhan tidak terlalu besar
memegang peranan, maka ABRI tidak diintegrasikan melainkan dipertahankan tetap
terpisah dan masing-masing berada langsung di bawah Panglima Tertinggi.
Benar
atau tidak kesimpulan demikian yang jelas langkah penyingkiran terhadap
Nasution telah dilakukan. Sebagai KASAB yang nota-bene tidak pernah dilantik ia
telah tidak lagi berada dalam garis operasionil ABRI dan tinggal mengurus
bidang administratif belaka luga jabatan Kas-KOTI yang semula akan dipegang
oleh KASAB tetap dirangkap oleh KASAD yang telah digantikan oleh Yani Toh dalam
posisi yang tak bergigi seperti itu Nasution telah dicantumkan di tempat paling
atas dalam daftar nama tokoh-tokoh AD yang akan diculik oleh PKI dalam
percobaanya merebut kekuasaan tanggal 30 September 1965. Karena itu bisa
dimengerti bila setelah Nasution ternyata bisa meloloskan diri dari percobaan
pembunuhan itu ia tidak bisa serta merta melakukan tindakan balasan apalagi
untuk mengambil operasi-operasi penumpasan seperti yang waktu itu banyak
ditunggu-tunggu oleh masyarakat awam. Pelucutan Soekarno Tapi peristiwa
G30S/PKI itu sendiri tidak hanya menandai berakhirnya aliansi semua.
Nasution-Soekarno untuk selama-lamanya Peristiwa itu juga secara politis di
satu fihak telah menandai awal dari keruntuhan Soekarno pula sementara di fihak
lain justru menonjolkan kembali figur Nasution.
Sebagai
satu-satunya perwira yang lolos dari percobaan pembunuhan di antara
perwira-perwira yang dijadikan sasaran unltuk mana toh seorang puteri
kandungnya harus menjadi korban telah menurunkan hujan simpati yang luas
terhadap Nasution Sementara masyarakat mulai mempertanyakan kedudukan Soekarno
yang berkuasa secara tak terbatas itu di sana-sini mulai pula terdengar
suara-suara yang menghendaki agar Nasution diangkat menjadi wakil Presiden.
Tidak mengherankan dalam reshuflle kabinetnya setelah G30S/PKI Soekarno
mengeluarkan sama-sekali nama Nasution dari formasi ia bahkan dipecat dari
jabatannya sebagai Menko Hankam/KASAB. Situasi berubah dengan cepat dan dalam proses
yang berkembang kemulian ternyata kian menjauhkan Nasution dari bidang
eksekutif tapi sebaliknya membawanya masuk ke bidang legislatif. Dalam sidang
umum MPRS pertama setelah G30S/PKI di tahun 1966 Nasution terpilih sebagai
Ketua badan legislatif tertinggi itu menggantikan Chairul Saleh yang telah
terlempar ke rumah tahanan militer. Akan tetapi melalui forum ini pula proses
pelucutan kekuasaan Soekarno dapat dilakukan dengan mantap dan dipercepat
terutama setelah Presiden Soekarno mengucapkan pidatonya yang diberinya judul
Nawaksara yang kemudian disusulnya dengan Pelengkap Nawaksara. Itu agaknya
merupakan pidato terakhir bagi Soekarno Tidak seperti yang diharapkan oleh MPRS
bahwa Soekarno akan memberikan pertanggung jawaban selaku Mandataris, Soekarno
mengatakan bahwa ia tidak punya kewajiban konstitusionil untuk memberi
pertanggungjawaban kepada MPRS. Mengenai G30S atau yang disebutnya Gestok
Soekarno menunjuk kepada jenderal Nasution selaku Menko Hankam/KASAB waktu itu
yang juga bertanggungjawab atas terjadinya peristiwa itu pernyataan terakhir
Presiden Soekarno ini telah menyebabkan Nasution memberikan penjelasan pribadi
secara panjang lebar mengenai kedudukan dirinya waktu menjabat Menko
Hankam/KASAB serta rekonstruksi prolog maupun epilog dari G30S. Calon Presiden?
Dalam kedudukannya selaku Ketua PRS tak dapat dipungkiri Nasution telah
memberikan andil yang besar terhadap pengukuhan kekuasaan pemerintahan yang
baru di bawah jenderal Soeharto terutama dalam periode sampai dengan sidang
umum ke–V MPRS di tahun 1968.
Bahkan
ditetapkannya jenderal Soeharto sendiri sebagai Presiden penuh melalui sidang
umum ke V itu adalah juga hasil dari campur-tangan langsung Nasution Waktu itu
di harihari terakhir bulan Maret 1968 sidan Komisi-I tertumbuk pada jalan buntu
akibat perbedaan pendapat fraksi-fraksi mengenai masa jabatan Soeharto jika ia
ditetapkan sebagai Presiden penuh. Padahal hanya tinggal 2 hari lagi Soeharto
harus berangkat mengadakan kunjungan ke Jepang Kemacetan itu telah menimbulkan
issue-issue yang luas seakan-akan Nasution sendiri ingin mencalonkan diri
sebagai Presiden Malangnya bagi NdsUtion karena issue demikian bagaimana pun
bukan tanpa alasan mengingat ia merupakan tokoh yang sudah lama populer
dibandingkan dengan Soeharto yang baru saja dikenal sejak meletusnya G30S/PKI
Tapi benarkah waktu itu Nasution ingin mencalonkan dirinya sebagai Presiden?
Dari Nasution sendiri tidak bisa diharapkan jawaban tegas terhadap pertanyaan
seperti ini Tapi yang jelas “saya toh tidak mempunyai kekuatan untuk itu”
seperti dikatakannya kepada TEMPO Dan sekarangpun ia agaknya sudah semakin
tidak mempunyai kekuatan lagi untuk itu. Ketika menjelang dan sesudah pemilu
orang mulai ramai lagi membicarakan tentang pemilihan Prcsiden oleh MPR di
bulan Maret 1973 nanti nama Nasution bahkan tak pernah disebut-sebut lagi juga
tidak untuk calon jabatan Wakil Presiden Tapi bagaimana sekiranya ia yang
ditawari untuk jabatan itu? Sehari sebelum wawancara dengan TEMPO, jawaban
telah diberikan nya kepada UPI: “Pertanyaan ke–2 tidak relevant karena pimpinan
Golkar ABRI sebagai pemegang mayoritas mutlak dalam MPR telah menentukan
pencalonan Soeharto–Sultan Yogya Pula tidaklah pantas 2 orang Jenderal
bersama-sama dalam posisi tertinggi itu”.
PETA
VS KNIL Bagaimanapun ketegangan yang terjadi sekitar kedudukan Soeharto dalam
sidang umum ke-V MPRS itu telah menandai terciptanya pula garis pemisah antara
Nasution di satu fihak dengan rekan-rekannya sendiri dalam Angkatan Darat di
lain fihak. Tapi mereka yang menyelusuri sejarah perkembangan TNI sejak mula
lahir nya akan menemukan kesimpulan bahwa apa yang terjadi sekarang agaknya
sudah mempunyai akar jauh di masa lampau orang masih ingat adanya ketegangan
ketegangan antara yang disebut kelompok KNIL dengan yang disebut kelompok PETA
ketika akan dibentuknya atau inti pimpinan TNI di masa awal revolus fisik dulu.
Yang pertama adalah perwira-perwira yang mendapat pendidikan militer Belanda
atau bahkan pernah aktif dalam dinas militer Belanda dan merek ini lazimnya
juga disebut grup Bandung Dalam grup ini dapat disebut antaranya nama-nama TB
Simatupang Alex Kawilarang R Kartakusuma, Hidayat Djatikusumo, Askari Nasution
sendiri bahkan seorang perwira yang sudah senior dalam dinas kemiliteran
Belanda yaitu Urip Sumoharjo Ketika RI Proklamasikan mereka ini kemudian
mengeluarkan ikrar yang menyatakan tidak lagi terikat pada sumpah setia pada
kerajaan Belanda dan menyatakan memihak RI. Pada kelompok PETA adalah
perwira-perwira yang mendapat didikan militer dibawah Jepang rata-rata kurang
mendapat pendidikan formil akan tetapi justru merasa merupakan benih orisinil
dari TNI Kedua kelompok bagaimanapun tak bisa dibedakan dengan ukuran kesukuan
Jawa atau non–Jawa oleh karena meskipun kelompok PETA relatif mempunyai lebih
besar unsur-unsur Jawa kedua grup terdiri baik yang berasal dari Jawa maupun
bukan Jawa Kelompok PTA meskipun terdiri dari orang-orang seperti Sudirman–yang
kemudian menjadi Panglima Besar — atau kolonel Sutarto di Solo toh ada nama
seperti Zulkifli Lubis di Yogya ataupun Aruji Kartawinata di daerah Priangan.
Ketegangan
antara kedua kelompok itu menjadi amat kritis ketika diadakan konperensi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di bulan Nopember 1945 di Yogya Kelompok PETA
beruntung dapat menguasai sidang-sidang berhubung utusan-utusan dari Jawa Timur
dan Jawa Barat tidak banyak yang bisa hadir karena terjadinya
pertempuran-pertempuran di kedua daerah itu. Hasil yang dicapai adalah suatu
kompromi Sudirman dari kelompok PETA diangkat menjadi Panglima Besar sedang
Kepala Stafnya Urip Sumoharjo dari kelompok KNIL. Tapi pasangan Sudirman–Urip
ternyata tak bisa dikatakan ideal Keduanya mempunyai perbedaan baik dalam usia
(Sudirman baru 33 tahun Urip sudah 52 tahun) maupun sikap dan konsepsi. Tapi
dalam soal konflik antara siapa yang paling berhak memimpin TNI jenderal
Sudirman dengan reputasinya yang tinggi di medan pertempuran dan kewibawaannya
yang besar berhasil mengatasinya dengan mengambil sikap bahwa ukuran seorang
prajurit hanya ditentukan oleh prestasinya dalam perjuangan membela Republik
dan bukan dengan ukuran masalah ataupun lainnya. Toh hampir dalam sctiap
konflik yang terjadi baik dalam AD maupun AP polanya sedikit banyak masih
menunjukkan sisa-sisa konflik kelompok KNIL PTA yang dulu juga. Target
Likwidasi Adakah “kasus Nasution” akan merupakan buntut terakhir dari sisa-sisa
konflik lama itu sulit diduga Yang jelas Nasution agaknya merupakan tokoh
terakhir dari kelompvk KNIL itu yang meninggalkan dinas kemiliteran jika ia
memasuki masa pensiun dalam waktu yang tidak lama lagi.
Sejak
berakhirnya sidang umum ke–V MPRS tugas Nasution dianggap telah selesai.
Berbagai masalah prinsipiil yang tertunda dibicara kan oleh Komisi-Komisi dalam
MPRS akibat ketegangan mengenai soal masa jabatan Presiden Soeharto itu
–akhirnya tak pernah sempat diselesaikan lagai oleh MPRS fihak eksekutif pun
sesudah itu berjalan sendiri dengan kebijaksnaan-kebijaksanaannya yang tidak
100% dianggap sempurna oleh pimpinan MPRS Hal itu misalnya bisa dibaca dalam
buku Laporan Pimpinan MPRS yang merupakan pertanggungjawaban pimpinan lembaga
itu selama menjalankan tugas antara 1968-1972. Betapapun lembaga pimpinan MPRS
makin lama makin kehilangan arti dan wibawanya. Setelah pemilu selesai dan
Golkar di menangkan Pemerintah dan DPR segera merumuskan keputusan bahwa pimpina
DPR akan otomatis menjadi pimpinan MPR pula. Tetangga Panggabean
Ketidak-hadiran Nasution dalam upacara pelantikan anggota MPR tanggal 1 Oktober
yang lalu bagaimanapun agaknya tidak terlepas dari kenyataan-kenyataan diatas –
diucapkan atau tidak “Adapun soal serah terima” kata Nasution pula dalam
jawaban tertulisnya kepada TEMPO, “menurut hemat saya yang terpenting ialah
soal tata-laksana pemilu dan termasuk proses kegiatan sampai bersidangnya
lembaga hasil pemilu”.
Dan
menurut Nasution pula “sebagaimana lainnya di negara-negara demokrasi lain
lebih baik kalau tatalaksana tersebut diserahkan kepada suatu badan yang otonom
dengan berdasarkan UU yang bertanggungjawab kepada lembaga kedaulatan rakyat”
Untuk wawancara pers kini Nasution memang hanya bersedia melakukannya dengan
cara tertulis. Belum lama berselang ia terlibat percakapan dengan seorang
wartawan yang mengikuti perjaianannya ke daerah Nusatenggara dan hasil
percakapan tersebut kemudian muncul dalam bulanan Ragi Buana. Banyak hal yang
sifatnya merupakan pernilaian pribadi Nasution mengenai keadaan selama di bawah
pemerintahan Soeharto terutama mengenai perkembangan ABRI — soal dwi-fungsi
soal rekan-rekannya para jenderal yang bermewah-mewah dan sebagainya — dan
senua itu dimuat secara mentah-mentah oleh wartawan bersangkutan. Dan akibatnya
“hanya menambah pekerjaan rumah bagi saya” katanya Reaksi pertama dan keras
segera datang tidak kurang dari jenderal Panggabean – tetangga Nasution yang
jarak rumahnya hanya dipisahkan oleh lebarnya jalan Teuku Umar. Perbedaan
Meskipun begitu dalam jawaban-jawaban ataupun ceramah yang telah di persiapkan
lebih dulu Nasution masih bersedia juga membeberkan pernilaian nya mlengenai
keadaan selamla di bawah pemerintah Soehlarto sekarang. Kepada UPI! mlisalnya,
ia menilai bahwa korupsi sekarang ini tidak semakin berkurang dibandingkan
dengan dimasa pemerintahan Soekarno, bahkan mungkin meluas. Banyak usaha-usaba
non-budgetair yang dilakukan orang-orang pemerintah dan tidak jelasnya status
seorang sebagai penguasa atau pedagang.
Dalam
hubungan ini ia menekankan perlunya segera di lakukan pembaharuan
tata-kehidupan politik dan administrasi. Sampai sekarang masih belum adanya
kepastian hukum bagi rakyat, sehingga masih belum terjaminnya hak-hak
warganegara, hak-hak kelompok warganegara dan juga hak-hak daerah serta desa.
Masih kurang efektifnya public service, justru memperbesar beban berbagai
pungutan pada masyarakat yang sering dirasakan diskriminatif pula. Dengan
selalu berpegang pada rumusan Seminar Angkatan Darat tentang apa yang disebut
orde baru, Nasution memberikan tekanan pada perombakan total dan bukannya
tambal-sulam. Pemilu yang baru lalu menurut Nasution, pada hqkekatnya tidak
membawa pembaharuan kehidupan politik, karena sistim pemilu yang dianut itu
tidak di robah dengan memakai sistim distrik seperti yang disarankan
oleh,seminar AD. Apalagi dengan begitu besarnya jumlah wakil-wakil yang hanya
ditunjuk ataupun diangkat. Dalam berbagai ceramahnya yang terakhir erutama di
kampus-kampus Nasution mencoba memperlihatkan pendiriannya meskipun tidak
selalu dengan bahasa jelas dan-fikiran orisinil. Ia meletakkan perioritas pada
pembangunan sosial. Tapi di sini kembali soalnya pada masalah pembaharuan
mental yang merupakan modal pertama menumbuhkan kesadaran sosial. Mengapa kesadaran
sosial. “Kesadaran nasional kita relatif sudah tinggi”, kata Nasution, “tapi
kesadaran sosial kita amat rendah. Tantangan sosial yang kita hadapi sudah 30
tahun menumpuk tanpa pernah mendapat perhatian”.
Karena
itu ia berpendapat, strategi pemlbangunan, haruslah berporos pada pembangunan
sosial-secara integral Keadilan tidak bisa menunggu sampai tercapainya
kemakmuran lebih dulu “Sebagai contoh dengan tiadanya konsep integral itu”,
kata Nasution dalam ceramahnya di Universitas Andalas bulan Agustus yang lalu,
“dalam pembangunan ekonomi secara makro telah berhasil dan dengan statistik
dapat dilihat kemajuan kemajuannya, justru dirasakan semakin sulit bagi
usahla-usaha pribumi di berbagai sektor, dan makin gawatnya masalah usahla
pribumi dan non-pribumi Yang mana melibatkan diam-diam pejabat-pejabat yang
tidak kuat jiwanya dan telah jadi salah satu sebab salah urut dalam aparatur
negara, sebagaimana dahulu ditemukan oleh Operasi Budi”. Banyak Bekas. Nasution
adalah satu di antara sedikit perwira-perwira TNI yang banyak menulis dan
menerbitkan tulisan-tulisannya sebagai buku. Sampai sekarang tidak kurang, dari
16 judul buku yang telah di terbitkan termasuk kumpulan-kumpulan ceramahnya dan
ia masih terus mengerjakan yang lain. Tulisan-tulisan dan ia ceramah-ceramah
itu bagaimanapun tidak dapat dilepaskan dari situasi politik ketika ia ditulis,
sehingga beberapa dari karyanya itu misalnya ada yang berisi cukup padat
menunjang konsepsi-konsepsi Soekarno di zaman nasakom.
Ceramah-ceramahnya
umumnya steriotip, dan dalam gaya menulis instruksi-instruksi
tulisan-tulisannya tidak memikat seperti tulisan T.B, Simatupang misalnya.
Setelah memasuki masa pensiun, seperti dikatakannya, “saya tidak ada maksud
untuk memulai sesuatu pekerjaan baru, juga tidak untuk jadi rektor”. Yang jadi
niatnya dan telah ia mulai adalah “terus bergiat menghayati identitas prajurit
TNI, yang saya telah ikut menegakkan dan mengembangkannya sejak 1945: yakni
pertama-tama sebagai pejoang untuk kemajuan dan keselamatan rakyat-Doktrin ini
telah jadi persetujuan dengan Presiden, waktu saya tahun 1955 kembali menjadi
KSAD, dan dengan itu saya telah susun pula dag-order Presiden 5 Oktober 1955″.
Itu artinya “. saya akan tetap bergiat dalam masyarakat, tentu dalam
batas-batas yang mungkin termasuk bidang politik, sebagaimana menurut jiwa UUD
45 sudah jadi kewajiban setiap warganegara”. Tapi dalam satu nafas di
tambahkannya: “Sudah barang tentu bahwa kondisi yang diharapkan oleh UUD 45 itu
belum tercapai, dan dengan itu masih saja ada batasan-batasan”. Dia tegaskannya
bahwa bergerak dalam politik, tidak berarti bahwa ia akan memasuki salah satu
partai politik. Adakah itu dapat diartikan bahwa Nasution mengharapkan akan
dapat muncul memegang peranan penting kembali? Sekali lagi dari seorang Nasution
tidak bisa didapat jawaban terhadap pertanyaan seperti i ni. Sebagai seorang
perwira tinggi senior yang sedang menjalani masa persiapan pensiun, Nasution
sampai sekarang masih menerima fasilitas-fasilitas seorang jenderal aktif.
Tapi
suasana sekitar rumahnya sudah jauh berubah. Pengawalan ketat seperti dulu
sudah tidak ada lagi, rumah jaga di gerbang pekarangan kosong dan pengawal yang
terdiri dari beberapa orang itu hanya berjaga dalam pekarangan atau dalam
ruangan: di gedung samping. Kenalan-kenalan masih tetap banyak sering
mengunjunginya tapi amat sedikit jumlahnya yang dirasa dari kalangan militer.
Sampai sekarang jenderal Nasution telah menerima tidak kurang dari 55 bintang,
satyalencana, gelar, jabatan kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri,
termasuk 4 gelar doctor honorius causa. Dari jabatan penasihat. Kepala BPR
Bandung di tahun 1945 sampai menjadi Ketua MPRS di tahun 1966-1972, tak
terhitung berapa jumlah jabatan yang pernah dipegangnya. Ia tercatat sebagai
KSAD RI yang pertama di tahun 1949 pada usia 31 tahun. “Saya ini banyak
bekasnya”, katanya dengan tersenyum membuang pandang ke ubin. Kaum Komunis di
luar negeri yang menganggap pemerintahan Orde Baru sebagai “rezim
Soeharto-Nasution”, agaknya belum tahu bahwa Nasution kini adalah tokoh tanpa
pokok. Orang meragukan kemungkinannya untuk tampil kembali kelak, dalam usia
yang sudah 54.
Potret
keluarga dalam mpp
Kisah
sunarti, putri gondokusumo sampai menikah dengan a.h. nasution. aktif dalam
kegiatan sosial dan mendapat satya lencana. memasuki masa mpp justru keluarga
nasution merasa lebih tenteram.
PERAWAKAN,
wajah dan kening yang tinggi dengan hidung menantang kedepan, memang
mengesankan dia seorang turunan Indo. Tapi dia menolak hal itu. “Indo itu kalau
ayahnya orang asing. Ayah saya Jawa asli, ibu saya yang Belanda”, katanya.
Lahir di Surabaya tahun 1924 sebagai puteri satu-satunya dari 3 bersaudara anak
keluarga Gondokusumo, Sunarti sempat menamatkan pendidikan HBS Gymnasium
Bandung, pernah jadi pembantu Perawat dan anggota PMI sebelum pada akhirnya
menjadi nyonya Abdul Haris Nasution di tahun 1947.
Dibujuk
Itu
adalah buah yang menjelma di masa mengungsi dari suatu proses perkenalan yang
dimulai di masa danilai di tahun 1940 di suatu lapangan tenis kota Bandung,
Waktu itu Sunarti baru berusia 16 tahun, sementara pemuda Nasution masih
menjadi kopral taruna KMA pada usia 21 tahun. Tapi, seperti yang dengan
malu-malu dituturkan nyonya Nasution kepada Toeti Kakiailatu dari TEMPO,
“percintaan kami tidak tumbuh dari pandangan pertama”. Sejak perkenalan itu,
Nasution dengan disertai seorang pemuda Batak lain yaitu T.B. Shimatupang,
sering terlihat bertandang ke rumah ini jalan Nassau Bandung, tempat tinggal
keluarga Gondokusumo. Konon maksudnya untuk bertukar fikiran dengan tuan-rumah
meskipun barangkali yang lebih banyak berlangsung adalah tukar Pandang dan sapa
dengan puteri si tuan-rumah. Walhasil, ketika Nasution yang sudah Panglima
Divisi Siliwangi berpangkat Kolonel muncul lagi ketetnpat pengungsian keluarga
Gondokusumo di desa Ciwidey Bandung Selatan di tahun 1947, kedatangannya
bukanlah sekadar singgah sehabis mengadakan inspeksi pasukan perjuangan,
melainkan untuk melamar Sunarti. “Saya waktu itu sudah di Yogya, akan
melanjutkan pelajaran ke Kedokteran”, tutur Sunarti Pula dengan senyum-senyum
kecil. “Tapi saya disusul, dibujuk untuk menikah dulu, sesudah itu nanti boleh
meneruskan “sekolah”. Dan sambil membuang muka kesamping dengan suara seperti
menggerutu dia menambahkan. “Nyatanya saya dibohongi setelah menikah saya tidak
boleh lagi sekolah”.
Isteri
simpanan
Pernikahan
itu kemudian melahirkan 2 orang anak perempuan: Hendrianti Saharah dan Ade Irma
Suryani. Yanti yang sulung telah menikah dengan seorang lulusan AKABRI.”Udara,
kini tinggal di Malang dan telah mempersembahkan seorang cucu kepada
suami-isteri Nasution. Tapi malang bagi Ade. Irma dia tewas oleh serbuan
G30S/PKI 7 tahun yang lain. Meskipun begitu, rumah di jalan Teuku Umar yang
telah didiami keluarga Nasution selama lebih dari 20 tahun tidak lantas jadi
sepi. Mereka menampung beberapa orang anak angkat, sehingga “kalau waktu makan
ada sekitar 10 orang berkumpul di meja makan”, tutur nyonya Nasution Pula. Luka
hatinya akibat kematian tragis puteri bungsunya itu, juga seakan sedang
disembuhkannya dengan menyibukkan diri di bidang kegiatan sosial, mengurus
anak-anak terlantar dan orang-orang jompo liwat panti-panti asuhan. Dulu dalam
pakaian kain-kebaya dengan dandanan yang pantas dan rapi, dia biasa tampil di
depan umum dengan meninggalkan kesan seorang isteri yang selalu siap
mendampingi tugas-tugas jabatan seorang suami. Kini, dalam pakaian sport dan
rak sedengkul rambut sedikit disasak dan diikat di belakang, dia muncul di
berbagai panti asuhan sebagai seorang ibu yang sibuk di tengah-tengah anak-anak
terlantar yang memerlukan bimbingan dan kasih-sayang. Dia adalah ketua dari
Badan Pembina :Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan Sosial (BPKKS) DKI, di
samping juga sebagai ketua Dewan Nasional untuk Badan Kesejahteraan Sosial di
bawah Departemen Sosial RI.
Dan
semua jabatan itu dipegangnya sebagai tenaga sukarela, tanpa mendapat bayaran
apapun. Untuk pengabdiannya di bidang sosial ini beberapa bulan lalu dia
mendapat penghargaan Satya Lencana dari pemerintah. “Dialah yang selalu
membisikkan ketelinga Ali Sadikin agar pemerintah DKI membangunkan juga sekolah
bagi anak-anak buta, menyumhang tanah untuk panti asuhan”, cerita nyonya
Siregar, kepala Humas BPKKS. “Dan bisikan bu Nas rupanya selalu berhasil”,
katanya pula. Dewasa ini pemerintah DKI memberikan subsidi sebesar Rp 650.000
setiap bulan kepada BPKKS, sedang kebutuhan minimal adalah Rp 1 juta. Tapi
kekurangan itu rata-rata bisa ditutupi dari kian banyaknya sumbangan-sumbangan
yang diterima dari masyarakat, sementara panti-panti asuhan di DKI diakui nyonya.
Siregar sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Konon menurut cerita di sana- sini dewasa ini kantor BPKKS di jalan Tanjung itu
telah menjadi kancah persaingah menyumbang antara isteri pertama dengan
isteri-isteri kedua dan seterusnya dari pejabat-pejabat sipil maupun ABRI yang
punya simpanan. Tentang adanya cerita semacam ini, dari nyonya Nasution hanya,
didapat jawaban yang bisa dicari tafsirnya sendiri: “Pokoknya setiap sumbangan
selalu saya terima dengan senang hati, karena anak-anak kita memang membutuhkan
bantuan”.
Tangis
haji
Tidakkah
Nasution barangkali mempunyai isteri simpanan pula? Nyonya yang tahun lalu
telah menunaikan ibadah haji dan tak pernah meninggalkan shalat ini bercerita:
“Pak Nas sering mengatakan kepada saya, syarat untuk beristeri lebih dari satu
itu amat berat. Ini kalau orang betul-betul mau mengikuti apa yang diwajibkan
agama”. Katanya lagi: “Kalau saya menilai Pak Nas adalah suami yang soleh, itu
bukan berarti ia tidak pernah lupa sembahyang. Tapi saya rasa, suami saya lebih
baik dari kebanyakan kiyai sekarang. Maksud saya, jalan hidupnya selalu
diusahakannya untuk menuruti apa yang diperintahkan agama”: Dekat dengan agama
agaknya memang merupakan suasana kehidupan suami-isteri jenderal Nasution. Barangkali
itu pula sebabnya keduanya bisa tampak begitu tabah ketika terpaksa harus
melepa jenazah si kecil Ade Irma ketempat peristirahatannya yang terakhir 7
tahun yang lalu Dengan tidak merasa terganggu nyonya Nasution sendiri
membiarkan orang menggantungkan gambar puterinya itu di dekat pintu masuk
gedung BPKKS tempatnya berkantor sehari-hari. Nyonya siregar yang selalu dekat
dengan ketua PBKKS itu dan pergi haji bersamanya tahun lalu bercerita. Seorang
nyonya dari kedutaanyang menjamu kami waktu itu menanyakan kembali peristiwa
tewasnya Ade Irma dan ibu Nas tiba-tiba menangis. Tapi setelah kering
air-matanya ibu Nas kemudian berkata mengapa ia saya tangisi lagi hal itu.
Barangkali karena waktu itu kita di luar Negeri sehingga lebih mudah terharu”
kata nyonya Siregar.
Tenis
Menjelang Berbuka
Kesibukannya
dengan tugas-tugas sosial itu ternyata tidak lebih menjauhkan nyonya Nasution
dari tugas-tugas sebagai seorang isteri di rumah. Dia sendiri konon yang masih
turun berbelanja ke pasar untuk kebutuhan sebulan meskipun untuk belanja
hari-hari sudah ada orang lain yang mengerjakannya dan meskipun seperti
dikatakannya “pak Nas tidak pernah rewel dalam soal makanan karena “lidahnya
sudah biasa dengan makanan Jawa dan Sunda” tapi kegemaran si isteri memakan hasil
masakan sendiri masih sering membawa nyonya Nasution menyisakan juga waktunya
untuk ke dapur Tentu saja hal itu tak jarang mendapat teguran dari fihak suami
“Sudahlah itu kau sudah cukup repot dengan tugas lain” di rumah Nasution aanya
bukanlah lelaki yang sekali-kali tidak memperlihaltkan kekuasaan seorang suami.
Dia biasa tidur jam 12 malam dan “jika saya tidur duluan” tutur si isteri “pak
Nas sering ngambek” Juga kalau ia minta ditemani main tenis ajakannya seperti
instruksi seorang komandan ke pada anak-buahnya: “Tinggalkan dulu urusanmu itu
kita main tenis dulu”.
Tenis–olahraga
yang dulu telah mempertemukan keduanya adalah satu-satunya sport mereka dan di
sektor ini jenderal Nasution tercatat sebagai salah seorang pemain tenis
tingkat nasional di Indonesia. Mereka tidak turut-turut main golf seperti yang
umumnya menjadi mode masyarakat tingkat atas karena selain mahal “kami tak
punya waktu banyak untuk main golf” kata nyonya Nasution “Tenis” katanya pula
“selain lebih efektif” untuk sport juga tak banyak memakan waktu” Dalam usia 53
tahun sekarang Stamina Nasution di lapangan tenis nampaknya belum juga
mengendor Bahkan di bulan puasa kemarin 2 kali dalam seminggu dia menyongsong
waktu berbuka puasa dengan bermain tenis di lapangan Monas. Bila waktu berbuka
tiba mereka menghentikan permainan untuk kemudian melanjutkan set yang tertunda
setelah berbuka selesai.
The
Avengers
Habisnya
jabatan-jabatan resmi jenderal Nasution baik di badan eksekutif maupun
legislatif dan ABRI bagi nyonya Nasution dirasakan sebagai menguntungkan dari
sudut ketenangan keluarga Sekarang tak banyak lagi undangan-undangan resepsi
seperti dulu Undangan-undangan dari kedutaan asing biasanya hanya mereka
wakilkan “Tapi kalau undangan yang sufatnya amat pribadi perkawinan. apalagi kalau
ada kematian kami selalu datang” kata nyonya Nasution “Untuk perkawinan saya
sendiri yang memberikan kado meskipun kecil” katanya pula. Sekarang kalau tidak
ada acara keluar malam hari mereka habiskan dengan membaca atau nonton TV “Pak
Nas gemar mengikuti film seri Avengers dan Iron side”‘ kata nyonya Nasution.
Tapi sekali-sekali mereka juga mengunjungi bioskop “kalau kebetulan filmnya
baik” sebagai isteri seorang perwira tinggi wanita ini telah memberikan andil
banyak dengan caranya sendiri dalam menunjang posisi dan karir suaminya. Dia
misalnya tak segan memberikan perhatian pada hal-hal kecil untuk menyenangkan
seorang tamu negara. Ketika dia menerima kunjungan nyonya Imelda Marcos di
wisma Angkatan Darat beberapa waktu yang lalu hadiah-hadiah yang pernah
diperolehnya dari Imelda ketika dia menyertai suaminya ke Pilipina beberapa
waktu sebelumnya di-boyong nyonya Nasution kesana ke dalam bahasa Inggeris yang
Pasih dia berkata kepada tamunya “Lihatlah hadiah-hadiah dari anda. Saya masih
menyimpannya dan ini barang-barang berharga bagi kami sekeluarga”.
Tapi
tentang politik? Jelas nyonya Nasution bukan tidak punya pendapat dan penilaian
tentang keadaau dalam negeri sekarang tapi dalam nada yang tak bisa
menyembunyikan rasa getir dia hanya berkata “Itu urusan pak Nas Saya lebih baik
mengurus anak-anak saja. Konon dalam Pemilu yang lalu nyonya Nastion tidak
turut memberikan hak suaranya beberapa wartawan yang menunggu kedatangannya di
kotak suara dekat rumah Nasution tak melihat nyonya Nasution muncul di sana
sampai saat pemasukan suara selesai Selama jenderal Nasution masih dalam
jabatan aktif di Angkatan Darat nyonya Nasution juga memang tidak banyak
terlihat aktif dalam Persit. Ini agaknya sesuai dengan prinsip suaminya bahwa
isteri seorang pimpinan ABRI tidak harus otomatis juga menjadi atasan dari
isteri-isteri para prajurit bawahannya seperti yang sekarang terjadi dalam
organisasi isteri tentara itu. Sekarang setelah memasuki masa persiapan pensiun
sedang yang “nebeng” di rumah banyak dari mana keluarga Nasution akan dapat
menutupi kebutuhan belanja setiap bulan? Dari jenderal Nasution sendiri jawaban
atas pertanyaan ini hanya sebuah senyum sementara dari isterinya terlompat
ucapan ”Semua orang tahu berapa besar sih pensiun jenderal Tapi pokoknya orang
harus berusaha”. Tapi apa usaha itu tidak disebutkan.