Gertak “rms” di hari panas


Tempo 4 Juni 1977. MEREKA dataNg lagi. Satu setengah tahuN setelah membajak keretaapi di Beilen dan menduduki gedung Konsulat Ri di Amsterdam.
Senin pagi 23 Mei jaun 09.00, gerombolan pemuda Maluku Selatan di Belanda melontarkan lagi aksi radikalnya di dua tempat: membajak kereta-api antar kota Assen-Groningen dan menduduki gedung sekolah dasar di Bovensmilde. Cuaca yang hangat dengan bersinarnya matahari di musim panas di negeri kodok ini, tidak berarti. Kampanye pemilihan umum tanggal 25 Mei, terhenti sejenak. Dan penduduk Belanda yang jumlahnya 9,5 juta orang itu terhenyak dan sadar, bahwa buah kolonialisme hasil tanaman nenek moyang semakin menjadi pahit rasanya. Ketika kereta-api dari Den Haag ke Groningen berada di antara desa Vries (di Drente) dan Glimmen (di Groningen), sepasang muda-mudi berkulit coklat tiba-tiba menarik rem bahaya. Jam waktu itu menunjukkan pukul 09.10 pagi. Cepat mereka mengeluarkan senjata api dari tas plastik dan barulah penumpang sadar bahwa kereta-api dibajak. Beberapa pemuda bertopeng cepat bertindak di wagon penumpang lainnya. 42 orang penumpang yang bisa bergerak eepat langsung meloncat keluar. Juga kondektur dan kontrolir. Tapi sekitar 45 – 50 orang penumpang sebagian besar anak sekolah dan para pekerja yang menuju kantor tidak sempat menyelamatkan diri. Bovensmilde adalah kota kecil berpenduduk 2000 orang. 750 orang di antaranya, orang-orang Maluku Selatam Perkampungan kulit putih (Belanda) dan kulit coklat (Maluku), terpisah. Sebuah sekolah dasar yang punya ruang kelas 6 buah, berada di antara dua perkampungan itu. Pagi itu, salah sebuah kelas sedang merayakan hari ulang tahun salah seorang murid. Ketika sorak hip hip hoera meledak. ada ledakan lain terdengar. Banyak yang menyangka itu suara lampu blitz si tukang potret di pesta ulang tahun. Beberapa menit kemudian, barulah mereka sadar. Ada sesuatu yang tak beres telah berlangsung. Gedung sekolah telah diduduki pemuda Maluku Selatan – dan mereka jadi sandera. Murid-murid yang mendapat pelajaran olahraga di luar, selamat. Bisa menghindar. Siang harinya, 15 murid berasal dari Maluku Selatan dilepas. Tinggal 105 murid dan 5 orang guru. Menjelang malam, banyak orangtua yang mengira anak-anak yang umurnya 6 – 11 tahun itu akan dilepas. Harapan ini menjadi hampa. Di negeri di mana menyiksa binatang saja bisa diadukan polisi, tindakan sandera di sekolah dasar ini mendapat protes keras. Keesokan harinya, jendela sekolah – yang biasanya dijadikan tempat menempel gambar karya murid-murid ditutup dengan koran. Menteri Kehakiman Belanda van Agt mencoba mengajak para teroris untuk sembahyang bersama. Siapa tahu, Kitab Suci dapat mencairkan kekerasan hati para teroris. Hasilnya nihil. Yang keluar adalah tuntutan: pertama, bebaskan dari penjara. 21 orang Maluku. Mereka adalah orang-orang yang disangka mengadakan percobaan untuk menculik Ratu Yuliana dan 14 orang lainnya, yang terlibat dalam peristiwa Beilen dan gedung Konsulat RI di Amsterdam, Desember 1975. Kedua, sediakan bis untuk mengangkut teroris dan para sandera ke lapangan terbang setempat di Eelde, untuk kemudian terbang ke Schiphol. Di lapangan terbang internasional itu harus tersedia sebuah Bocing 747 untuk mereka dan ke-21 pemuda Maluku yang kini meringkuk dalam penjara. Ketiga, stop bantuan Belanda kepada Indonesia lewat IGGI – “tuntutan yang telah lama sekali kami minta”. Ketika batas waktu tuntutan itu berakhir di hari ketiga, ancaman berupa pembunuhan kepada para sandera ternyata tidak mereka lakukan. Pemerintah Belanda tetap menolak berunding kalau anak-anak belum mereka lepas. Sementara itu, sebuah bom api telah meledak di Marem, di salah satu rumah orang Maluku Selatan, 5 km sebelah selatan Groningen, sebagai tindakan balas dendam orang Belanda. Teroris tidak meminta siapapun untuk dijadikan perantara. Tidak juga Pendeta Metiari yang kali ini mengatakan: “Itu tanggung jawab mereka sendiri”. Pihak Belanda mencoba mengajukan Theo Kuhuwael (guru, kemudian pegawai P&K dan sudah jadi warga negara Belanda) tapi ditolak. Hari kelima, Jum’at dinihari, semua murid mereka lepas. Anak-anak itu sebagian besar menderita sakit perut dan mencret. Ini merupakan sukses pertama pemerintah Belanda, yang – menuruti nasehat para psikolog — tidak bersedia berunding sebelum pembebasan anak-anak itu. Para psikolog menempuh jalan ini setelah para pembajak menolak pihak penengah — yang dalam teror terdahulu telah menyebabkan kekalahan mereka. Ada yang mengatakan anak-anak itu sengaja dibikin sakit perut — yang tidak berbahaya — melalui makanan yang dikirim kepada mereka, supaya mereka sengaja dilepas. Tinggal para guru saja kini. Di kereta-api, para sandera yang umurnya berkisar 17 – 57 tahun tidak banyak diketahui dari luar. Kereta yang letaknya di tengah ladang luas itu sulit didekati. Dengan jendela-jendela yang tertutup rapat oleh kertas koran, bisa dibayangkan panas di dalam di atas 30C di siang hari. Malam hari cuaca pasti menjadi lebih dingin di daerah bilangan Drente ini. Suasana di perkampungan Maluku di Belanda jadi dipenuhi keserbatakutan. Kalau-kalau ada pembalasan. Banyak orangtua yang melarang anak mereka keluar rumah. Sementara protes berjalan terus. Juga dari kalangan diplomat. Duta Besar RI untuk Belanda, Sutopo Yuwono, berkata kepada Kompas: “Sangat sukar diterima, kesengajaan menymdera anak-anak”. Seperti ir. Manusalua yang di bulan Januari 1976 pernah herkata: “Ini merugikan perjoangan kami dan mencoret kening sendiri dengan arang”. Setiap tahunnya orang-orang Maluku Selatan di Belanda merayakan apa yang mereka namakan “hari kemerdekaan”, jatuh pada tanggal 25 April — dan tahun ini mereka peringati untuk tahun yang ke-27. Nostalgia hidup di perantauan, hidup antara realita dan impian, telah membuahkan pergeseran pendapat antara ir. Manusama, “Presiden RMS” yang oleh golongan muda dicap terlalu lunak, dengan Pendeta S. Metiari yang lebih radikal dan populer di kalangan muda. Konflik tentang arah “Republik” dan disiplin berpolitik dalam kepemimpinan ganda ini kian meruncing. Tapi Manusama — yang dianggap sebab keterlambatan perjoangan masyarakat Maluku di Belanda, dan yang tidak revolusioner – biarpun tampak mengalami kegoyahan kursi kepresidenannya, toh bisa memenangkan suara dalam kongres di “hari kemerdekaan” ke-27. Sementara suara golongan muda semakin berapi. Misalnya Otto Matulessy (anak Pendeta Matulessy) mengancam dengan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, karena belum tampak sebuah republik secara nyata atas usaha pemimpin-pemimpin selama 27 tahun. Setelah kejadian Beilen dan Amsterdam, bulan Januari 1976 dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari 10 orang, perpaduan tokoh-tokoh Belanda dan Maluku. Belanda mengakui bahwa peristiwa pembajakan Desember 1975 peristiwa politik. Tapi bukarl berarti RMS diakui sebagai organisasi politik. Ini juga disadari orang-orang Maluku Selatan: bahwa RMS secara politis belum diakui Pemerintah Belanda. Kon1isi 10 orang juga dianggap tidak menghasilkan apa-apa atau belum bisa mellghasilkan. Laporan dari komisi ini seyogyanya akan keluar bulan depan, berbarengan dengan telah terbentuknya kabinet baru Belanda. HASIL komisi nol. Ditambah lagi adanya beberapa tindakan baru dari Belanda. Dibubarkannya ICCAN (Badan Kontak Antar Gereja Ambon Belanda) tanggal 1 Januari yang lalu, dianggap merugikan masyarakat Maluku Selatan. Dan Menteri CRM van Doorn dianggap terlalu mendengarkan pihak pegawainya sendiri. Ada kemudian dibentuk inspraak-organ, badan yang menetapkan atau menasehatkan apa-apa tentang masalah masyarakat Maluku, tapi ini dianggap sebagai instansi kolonial. “Ada yang menjadi sebab dilakukannya aksi-aksi teror ini”, kata Prof. Dr. H. Baudet, guru besar ekonomi dari Groningen. “Bahwa pemerintah Belanda bukannya membantu pemuda-pemuda Maluku, bahkan menambah ketegangan”. Baudet kemudian mengambil contoh pembajakan Desember 1975. Ini sebagai akibat pembicaraan van Doorn dengan pihak Pemerintah Indonesia: bahwa orang Maluku Selatan boleh memilih jadi warganegara Belanda (dan tinggal baik-baik) atau kembali ke Indonesia jadi warganegara Indonesia. Yang bisa kembali ke Indonesia ternyata cuma beberapa orang saja, yaitu yang memenuhi syarat hukum di Indonesia (antara lain bukan orang yang telah kehilangan kewarganegaraan). “Ini membuktikan”, kata Baudet, “Pemerintah Belanda tidak berhasil menyelesaikan problematik pengakuan politik terhadap RMS”. Juga adanya diskriminasi bagi orang Maluku Selatan yang masuk warganegara Belanda. Misalnya: mereka tidak mendapat hak pilih dan hak milisi. Bentuk perbedaan lainnya: paspor mereka. Sewaktu mereka tanpa kewarganegaraan (stateless), pemerintah Belanda memberi mereka sebuah paspor berwarna merah. Artinya: tidak mempunyai kewarganegaraan. Kini mereka mendapat paspor warna sama dengan orang Belanda, tapi di bawah kolom “kebangsaan” ada kalimat khusus untuk mereka ini: wordt als Nederlander behandeld. Diperlakukan seperti orang Belanda. Berarti mereka bukan orang Belanda. Untuk paspor macam ini sudah ada tiga negara yang menolak memberikan visa: Italia, Jerman Barat dan Indonesia. Ketidakpuasan sudah selangit, dan tetap berkecamuk. Terutama pada mereka yang berjiwa radikal, biarpun golongan ini kecil saja. Dalam hal begini mudah dimengerti kalau ada yang lantas mengangkat senjata simpanan (yang lolos dari razia polisi Belanda yang makin kerap belakangan ini). Lantas, dari pihak mana datangnya inisiatif dan kepala-kepala panas yang membajak kereta api Assen-Groningen dan SD Bovensmilde? Manusama – seperti biasanya — mengutuk tindakan kekerasan ini. Dan sebaliknya menuduh Metiari mendalangi pembajakan ini bersama pendukung pendukungnya di ‘Pemuda Masyarakat’, seperti dalam kasus Beilen dan Amsterdam. Namun Metiari dan Eti Aponno, ketua Pemuda Masyarakat yang sesungguhnya sudah harus pensiun karena umurnya sudah melewati 30 tahun menyangkal. Elias Rinsampessy, sosiolog muda dari Nijmegen yang menjadi salah satu otak Gerakan Pattimura, juga mencela tindakan itu. Selain Pemuda Masyarakat yang dalam bahasa Belanda lebih dikenal sebagai Vrije Zuidmolukse Jongeren (Pemuda Maluku Selatan yang Merdeka), organisasi Christelijke Molukse Jongeren (Pemuda Maluku Kristen) juga menyangkal sangkut-paut mereka dengan aksi teror akhir Mei itu. Yang belum kedengaran pro atau kontranya terhadap aksi tersebut adalah organisasi pemuda radikal yang menyebut dirinya Front Pembebasan Maluku Selatan Zuidmolukse Bevrijdingsfront). Namun menurut sumber koran Katolik de Volkskrant, 24 Mei lalu, pelaku pembajakan di kereta api dan SD itu mungkin termasuk anak-anak muda yang telah memisahkan diri dari Pemuda Masyarakat karena tidak puas dengan kepemimpinan Aponno muda yang segan melakukan tindakan kekerasan. Memang, Pemuda Masyarakat yang dulunya mempakan “wadah pemersatu” generasi muda yang pro-RMS, sesudah pembajakan kereta api dekat Beilen dan Konsulat RI di Amsterdam mulai pecah jadi beberapa bagian. Kepemimpinan Eti Aponno terancam oleh munculnya menantu Metiari, Passareron. Apa tujuan Passareron dan Metiari, sampai sekarang belum jelas. Tapi mungkin saja merekalah sponsor utama berdirinya Front Pembebasan Maluku Selatan yang namanya sungguh mirip dengan Gerakan Pembebasan Maluku Selatan yang didirikan Metiari untuk menyenangkan hati Hanoi. Sementara itu, edisi luar negeri NRC Handelsblad – sebagaimana dikutip San Pers, September 1976 – memberitakan bahwa sebagian anggota Pemuda Masyarakat yang radikal telah mengadakan pendekatan dengan ‘Gerakan Pattimura’. Dalam sebuah pertemuan terbuka di Bovensmilde guna “menyambut” HUT Proklamasi RI, sayap radikal Pemuda Masyarakat dan Gerakan Pattimura sepakat untuk memindahkan gerakan RMS dari Nederland ke Indonesia”, bekerjasama dengan gerakan Fretilin di Timor Timur dan ‘Republik Papua Barat’ dari “Brigjen” Seth Jafet Rumkoren di perbatasan Irian Jaya-PNG. Makanya makin sulit ditelusuri siapa-siapa sebenarnya pendukung – dan dalang – aksi pembajakan kereta api yang kedua oleh RMS di Belanda itu. Namun dari pihak lain ada dugaan: itu sekedar tindakan pembalasan terhadap pengadilan pelaku-pelaku pembajakan di Beilen tempo hari. Sebab menurut sumber TEMPO, beberapa pembajak di kereta api dekat Assen itu adalah abang dari beberapa pembajak kereta api dekat Beilen. Tapi celakanya, kalau setiap pengadilan terhadap teroris RMS melahirkan aksi terorisme baru untuk membebaskan mereka yang dipenjarakan, kapan habisnya gangguan itu? Sesungguhnya, pemuda-pemuda RMS yang berdarah panas itu bukanlah teroris profesionil. Buktinya ketika membajak Konsulat RI di Amsterdam akhir 1975, ada yang menangis ketika seorang sandera – Saka Datuk – jatuh sakit dan terpaksa digotong ke rumah sakit. Juga anak anak sekolah yang dibebaskan di SD Bovensmilde itu, dikabarkan melambai-lambaikan tangannya pada “abang-abang pembajak” yang masih menahan guru-guru mereka di bangunan sekolah itu. Penembakan masinis dan dua penumpang kereta api dekat Beilen itu juga lebih dapat dilihat sebagai tembakan panik. Dan bukan tembakan dengan darah dingin karena tuntutan para teroris cengeng itu tidak dipenuhi Pemerintah Belanda (dan Indonesia). Anak-anak muda Maluku Selatan-yang hidup dalam iklim kebebasan mimbar yang optimal di Belanda dan dibombardir tiap hari dengan laporan terorisme Palestina, Irlandi dan perjuangan pembebasan Afrika Hitam – toh belum memiliki fanatisme, disiplin dan kerelaan mengorbankan diri seperti pahlawan-pahlawan dinding kamar tidur mereka itu. Juga kalau dibanding gerilyawan-gerilyawan komunis di semenanjung Indo Cina, sanjungan mereka yang baru. Berbeda dengan IRA, OPM atau Fretilin, anak-anak muda itu bergerak di negeri orang lain dengan 36 ribu masyarakat Maluku sebagai bulan-bulanan balas dendam rakyat Belanda. Faktor-faktor sosial-politis itu jelas memperlunak agresi pemuda-pemuda Ambon yang juga doyan nyanyi, pesta, gengsot dan foya-foya. Namun di samping faktor-faktor pelunak itu, kehadiran Nyonya Soumokil –janda “Presiden RMS” kedua – di Assen, menyebabkan api pemberontakan tetap menyala di perkampungan-perkampungan imigran dari Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut dan Seram itu. Sang janda ini memegang surat wasiat Dr Soumokil — yang ditembak mati di Pulau Onrust di Kepulauan Seribu bulan April 1966, ketika banyak tahanan politik zaman Soekarno justru dibebaskan termasuk bekas-bekas pemberontak PRRI dan Permesta. Menurut mingguan Meuwe Revu, 29 April lalu, dalam pertemuannya yang terakhir dengan isterinya, 11 April 1966, ahli hukum yang dipakai Soekarno untuk menterjemahkan kitab-kitab hukum Belanda itu berpesan. supaya gerakan RMS — yang sudah padam di Maluku — dilanjutkan lagi dari Belanda. Sampai saatnya matang bagi para eks-KNIL dan turunannya untuk pulang ke kampung halaman di bawah pimpinan bekas Kapten Baret Merah KNIL, Raymond Westerling, pendukung pemberontakan “Negeri Pasundan” dan Andi Azis di Sulawesi Selatan. Radikalisasi gerakan pemuda-pemuda RMS itu juga merupakan reaksi terhadap politik Pemerintah Belanda yang Inencoba melarutkan minoritas kulit coklat itu dalam larutan kulit putih. Antara lain dengan membubarkan perkampungan-perkampungan Maluku yang ekslusif dan memaksa mereka tingal terpecah-pecah di tengah-tengah daerah pemukiman orang Belanda — sementara paspor mereka tidak persis sama. Di samping itu masih ada faktor politik anti- RMS yang dijalankan dengan gigih oleh bekas Dubes Alamsyah dengan APl-Malukunya. Penahanan dan pengadilan ‘sisa-sisa RMS’ di Ambon –yang bocor ke Belanda melalui turis-turis Maluku dari Belanda dan surat-menyurat antara sanak keluarga — ikut membakar keyakinan anak-anak muda itu, bahwa “RMS” masih hidup di Maluku. Dan tak kalah pentingnya: ayunan-ayunan politik domestik Belanda, di mana isyu “RMS” silih berganti jadi bola kaki golongan kanan dan kiri di sana. Mungkin menyadari betapa opini publik di Negeri Belanda — juga sebelum penyanderaan anak-anak SD di Bovensmilde – makin tidak menguntungkan aksi anak-anak muda “RMS” di sana para pimpinan tua “RMS” mulai sibuk mencari ‘lapangan bermain’ yang baru. Hendrik Owel mencoba menyentil Rusia. Manusama sendiri berusaha membonceng OPM di Senegal. Dan Metiari dikabarkan berunding dengan Vietnam — yang juga mendukung Fretilin dan berkepentingan dengan pembebasan tahanan-tahanan komunis di Pulau Buru yang juga diklaim “RMS” sebagai wilayah mereka. Sayang sekali, respons negeri-negeri itu tidak sehangat seperti yang pernah diterima “OPM” atau Fretilin. Sehingga lahirlah tindakan nekad membajak anak-anak kecil, yang serta-merta melahirkan cap “teroris pengecut” dari seorang diplomat Irak. Juga Yaman Selatan menganggap ulah pemuda-pemuda “RMS” itu “perbuatan kriminil biasa”. Sedang Somalia, yang di Indonesia pernah diisyukan sebagai tempat latihan teroris-teroris “RMS”, “OPM” dan Fretilin, pada koran berhaluan kanan De Telegaaf 26 Mei menyatakan bahwa “teroris manapun tidak welcome di Somalia”. Senada dengan pernyataan diplomat Yaman Selatan, Haji Said El-Alsi yang menyatakan negerinya “tidak sudi jadi keranjang sampah Eropa Barat”. Nah, kalau negeri-negeri yang terkenal cukup getol mendukung pejuang-pejuang kemerdekaan yang terpaksa menggunakan cara-cara terorisme internasional saja tampak kurang semangat menampung mereka, lantas ke mana pesawat Jumbo Jet yang mereka minta mau diterbangkan? Benin (d/h Dahomey), itu negeri mini pendukung “RMS”, “OPM” dan Fretilin di jantung Afrika, terlalu jauh dan talc dapat didarati Boeing 747. Libia, Aljazair dan Vietnam, tak memberi jawaban. Kalau begitu, memang tidak ada jalan lain bagi teroris-teroris muda ini kecuali mengikuti jejak adik dan rekanrekan mereka terdahulu: lewat sidang kriminil biasa, akhirnya mendekam beberapa tahun di penjara Belanda. Tapi sesudah itu, apa? Sebab Pemerintah Belanda toh tidak mengambil tindakan lebih tegas terhadap anak-anak muda Maluku Selatan yang jumlahnya cukup kecil untuk diawasi. Ketika TEMPO mengajukan pertanyaan ini kepada seorang pegawai tinggi salah satu Kementerian Belanda, jawabnya: “Negeri ini negeri hukum. Kalau kami awasi mereka dengan ketat, yang tak bersalah bisa ikut terpenjara. Untuk tetap menjaga agar jangan kami menginjak hak asasi manusia atas nama keamanan, kami pilih jalan panjang dan kesabaran. Kalau dihitung-hitung, kerugian yang ditimbulkan dengan menempuh jalan ini toh akhirnya lebih sedikit dari kejahatan main tindas”.
Tempo 04 Juni 1977
Apa yang sudah dilakukan?

SETIAP kali ada aksi “RMS”, pertanyaan terlantun: apa yang kurang dilakukan buat memperbaiki keadaan mereka? Di bawah ini laporan pembantu TEMPO Jusfiq Hadjar tentang tindakan pemerintah Belanda dan Indonesia ke arah itu: Bagi pemerintah Indonesia persoalannya jelas: persoalan orang Maluku Selatan di Negeri Belanda adalah persoalan dalam negeri Belanda. Hanya pemerintah Belanda yang paling berkewajiban mengatasinya. Namun sebab secara historis dan kulturil nama Indonesia terkait, pemerintah Indonesia bersedia mengulurkan tangan. Lagi pula, setiap kali ada anak-anak muda Maluku Selatan yang berbuat ulah, kemesraan antara kedua pemerintahan bisa saja terusik. Demikianlah, antara lain, KBRI membuka jalan lebar-lebar bagi orang yang berasal dari Maluku Selatan di sana untuk menengok kampung halaman mereka, agar dengan mata kepala sendiri, mereka bisa melihat kenyataan yang ada di sana. Di samping itu Kementerian Kehakiman kita telah memperlapang jalan bagi mereka yang selama terputusnya hubungan diplomatik dulu dengan Den Haag tidak sempat memperpanjang paspor — sehingga terhapus namanya dari daftar orang Indonesia yang berada di Negeri Belanda. Mereka dapat memperoleh perpanjangan paspor. Di samping itu bagi mereka yang karena alasan lain dianggap sebagai orang yang tidak berwarganegara (stateless), dengan undang-undang no.3 tahun 1976, diberi kesempatan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya. Menurut statistik KBRI, hingga sekarang sudah 2.000 yang mendapat perpanjangan paspor dan 5.000 yang mendapat kewarga-negaraan RI kembali. Kalau kepada jumlah ini ditambahkan mereka yang sejak dulu tetap menjadi warga-negara RI, maka sekarang ini ada 12.000 yang terdaftar sebagai WNI di KBRI. Dan kalau dari sisanya ada 30-40% yang sudah menjadi warga negara Belanda, maka hanya tinggal beberapa ribulah yang masih berstatus stateless. Pemerintah Belanda pun tidak ketinggalan. Usaha mengintegrasikan masyarakat Maluku Selatan di sana diperbanyak. Dalam perumahan misalnya, bagi mereka yang ingin keluar dari tangsi dan tinggal di rumah seperti orang Belanda lainnya, kementerian CRM (Kulturil, Rekreasi dan Sosial) memberi pertolongan. Bagi mereka yang ingin tinggal dekat dengan sanak keluarga dan sahabat lain dibangunkan perumahan khusus. Hingga saat ini yang masih berkeras hati untuk tinggal di tangsi hanya kira-kira 1.000 orang masing-masing di Lunetten (600-650 jiwa) dan Vaassen (300-350 jiwa). Di tempat yang terakhir ini bermukim ‘jenderal Tamaela’ yang eksentrik itu. Di samping itu. bagi mereka yang masih ingin berstatus stateless. pemerintah Belanda memberikan kesempatan untuk ‘dipersamakan haknya dengan orang Belanda’. Mereka diberi paspor untuk bisa bepergian dengan bebas. Mereka juga dapat jaminan sosial seperti orang Belanda yang lain. Ini berarti bahwa kalau tidak bekerja mereka dapat tunjangan yang lumayan. Bedanya dengan orang Belanda hanyalah mereka tidak diberi hak pilih, tapi juga tidak usah ikut wajib militer. Persoalan tentunya tidak habis dengan kebijaksanaan itu saja. Pemerintah Belanda, setelah kejadian di Wijster dan Amsterdam tahun 1975 membentuk dua wadah. Yang pertama bernama Inspraakorgaan (Badan untuk bermufakat) yang terdiri dari wakil-wakil organisasi orang Maluku Selatan yang representatif dan yang sekarang ini berjumlah 9 serta beberapa pegawai tinggi kementerian CRM. Yang kedua, adalah Overleg Orgaan (Badan Permusyawarahan) yang dibentuk oleh beberapa menteri yang bersangkutan, antara lain Perdana Menteri sendiri, dan wakil-wakil RMS. Wadah yang pertama untuk memecahkan persoalan teknis administrasi yang timbul, seperti soal perumahan. soal pembayaran pensiun dll. Wadah kedua lebih bersifat politis, berusaha memecahkan persoalan yang timbul antara pemerintah Belanda dan Masyarakat Maluku Selatan. Pendeknya cukup ada usaha kedua pemerintah untuk mengatasi persoalan yang pelik ini. Maklumlah, di samping segi kemanusiaannya, kedua pemerintahan berkepentingan untuk memperlancar hubungan ekonomi mereka. Lalu kenapa masih ada saja peristiwa pembajakan seperti yang terjadi di hari Senin yang cerah tanggal 22 Mei yang lalu? Apakah ini hanyalah ‘Rebel with out a cause seperti yang dituturkan oleh pejabat KBRI di Den Haag. Lukito Santoso kepada TEMPO? Entahlah. Yang terang, yang berbuat ulah – sekurangnya secara langsung – bukanlah anak kolong RMS: tapi keturunannya. RMS sudah keriputan, dan hidup dari pensiun menunggu ajal, seperti ir. Manusama.
18 Juni 1977
17 Menit 8 Nyawa Malayang: Apa … 17 Menit 8 Nyawa Melayang: Apa …

MENJELANG jam 5 pagi, suasana di sekitar kereta api Intercity yang dibajak teroris-teroris RMS di desa Glimmen, Belanda Utara masih senyap. Mendadak sontak, tepat lima menit sebelum pukul lima raungan delapan pesawat pemburu pancargas Starfighter milik AU Kerajaan Belanda – yang menyambar serendah pohon cemara mengoyak keheningan dan kegelapan di sana. Itulah tanda mulainya serangan 120 marinir Belanda membebaskan 51 sandera yang sudah 19 hari tertahan di bawah ancaman senapan 8 pemuda dan seorang pemudi RMS. Hanya dalam waktu seperempat jam, mereka berhasil dibebaskan para marinir yang menyerbu di bawah lindungan tabir asap Starfighter dan 13 mobil lapis baja marsose, setelah memecah dinding gerbong dengan bom plastik dan berondongan peluru senapan otomatis. Enam pembajak tewas – di antaranya Max Papilaya, 27 tahun, yang diduga pemimpin operasi itu, dan sang pemudi, Nona Hansina Otosea, 21 tahun. Seorang lagi luka berat karena tertembak perut dan dadanya. Dua pembajak lainnya menyerah, ketika para marinir datang membebaskan para sandera. Dua sandera yang ngotot ingin melihat serbuan marinir dari jendela kereta api- begitu alasan yang dikemukakan seorang perwira marinir Belanda — mati konyol. Satunya masih nona, 19 tahun. Satunya lagi seorang pria, 40 tahun. Toh jenazah kedua korban itu sampai keesokan harinya belum dikembalikan pada keluarganya karena di rumahsakit Groningen sedang diperiksa peluru siapa yang telah merenggut nyawa mereka: peluru RMS, atau peluru Marinir Belanda. Puluhan sandera lainnya ada yang segera pulang ke rumah, tapi tak sedikit yang perlu dipulihkan dulu kesehatannya – terutama goncangan mental mereka – di rumahsakit. Keempat guru sekolah yang masih tertinggal di sekolah di Bovensmilde lebih beruntung nasibnya. Rupanya mereka sudah mengharapkan pembebasan di Sabtu dinihari itu. Sehingga semalaman mereka bergadang. Penyerbuan sekolah dasar itu cuma makan waktu 5 menit, oleh pasukan anti-huruhara yang dibantu empat kendaraan lapis baja yang membentur tembok gedung dengan dahsyatnya. Seorang pemuda KMS yang mencoba lari ditangkap dan dipukuli sampai babak belur. Keempat pembajak di sekolah dasar itu — yang seminggu sebelumnya terpaksa melepaskan semua anak sekolah gara-gara ‘virus muntaber misterius digiring ke mobil tahanan setelah dilucuti semua pakaian luarnya. Rambut kribo mereka tak luput ‘digeledah’. Jalan Buntu Boleh dikata, pemerintah Belanda cukup lama sabar menahan diri untuk tak menggunakan kekerasan. Namun sebaliknyapun dapat dikatakan, bahwa taktik ulur waktu yang dilancarkan dari Krisiscentrum di Assen memungkinkan segala persiapan dilakukan untuk aksi militer itu. Mulai dari pemasangan perlengkapan pengintai elektronis – kamera televisi jarak jauh dan alat pendengar di bawan gerbong yang dipasang marinir Belanda di malam hari, tekanan-tekanan psikologis, sampai pada pembinaan opini publik di Belanda agar mau menerima kontra-teror itu. Untuk berunding dengan para pembajak di kereta api, kedua pihak juga sudah menyetujui perantaraan dua orang tokoh tua yang masih disegani pemuda-pemuda itu: Ny. Josina Soumokil, 64 tahun, janda ‘presiden’ RMS kedua yang memegang wasiat suaminya untuk meneruskan perjuangan RMS dari Belanda dan dr Hasan Tan, 54 tahun, bekas menteri urusan sosial dalam ‘kabinet’ Manusama sampai tahun 1974. Sesudah peristiwa Wassenaar tahun 1970, dokter paru-paru kelahiran Ambon itu mengusulkan supaya pemimpin-pemimpin pemuda RMS dimasukkan dalam kabinet Manusama. Tapi Manusama menolak, sehingga dr Tan – seorang bekas aktivis mahasiswa Islam di Leiden – keluar dari kabinet, dan kembali menitikberatkan kerjanya memperbaiki kesehatan minoritas Maluku di Belanda. Dua kali kedua tokoh tua itu berunding dengan Max Papilaya dan kawankawannya di gerbong VIP kereta api Intercity itu. Dan baru setelah operasi Sabtu pagi itu selesai mengamankan para sandera, keduanya mau memberikan keterangan pers bahwa perantaraan mereka sudah menumbuk jalan buntu. Makanya kabinet Joop den Uyl — koalisi partai sosialis dan aliansi kristen demokrat yang berhasil mendapat kepercayaan rakyat Belanda lagi dalam pemilu 25 Mei lalu — memutuskan untuk melakukan operasi kilat itu. Dua jam setelah drama 19 hari itu berakhir melalui corong radio PM Belanda itu menyebutkan usaha pembebasan para sandera dengan kekerasan itu sebagai suatu “kekalahan”. Namun apa boleh buat. Wibawa hukum harus ditegakkan – terutama setelah hasil pemilu yang lalu menunjukkan pergeseran suara ke kanan (golongan agama paling tidak senang anarki begini). Dan tuntutan para teroris di kereta api yang didukung sayap radikal Pemuda Masyarakat di luaran -pemutusan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Indonesia — terlalu berat bagi Belanda. Sumber, http://peristiwanasional.wordpress.com/