Tempo
14 Januari 1978. “Sudahlah, saya tidak mau tahu lagi tentang itu,” jawab Nyonya
Fatmawati Sukarno ketika ditanya berapa besar uang pensiun yang diterimanya.
Katanya lagi: “Tok (maksudnya Guntur Sukarno red.) melarang saya mengurus atau
minta-minta kepada Pemerintah tentang itu. Biarlah Nak, Tuhan akan memberi
rezeki apa adanya kepada hamba-Nya.” Ibu Fatmawati kini tinggal di Cilandak
dalam sebuah rumah sederhana yang tidak begitu besar. Jalan di depan rumahnya
tidak beraspal dan listrik di daerah itu baru dikenal sekitar 4 tahun terakhir.
Semula dia tinggal di Jalan Sriwijaya, setelah di tahun 1954 angkat kaki dari
Istana sebagai tindakan protes atas tindakan Sukarno menikahi Hartini. Karena
perlu uang, rumah tersebut kemudian dikontrakkannya kepada sebuah perusahaan
asing. Ketika uang habis di tahun 1974, Fatmawati berniat berdagang. “Tanah di
depan rumah saya jual lagi untuk ongkos Guruh belajar di Negeri Belanda. Apa
salahnya kalau saya mulai dagang kecil-kecilan.” Tapi tindakan ini kurang
mendapat persetujuan dari Guntur, adik-adiknya, juga teman-teman dekat keluarga
Sukarno. Dan bagaimana nasib pensiunnya sebagai janda Sukarno? Tetap tidak
jelas, sampai-sampai Guntur sebagai anak sulung mengirim surat kepada Sudiro
(bekas Walikota Jakarta) yang kini duduk sebagai Ketua Pengurus Pusat PWRI, dengan
pesan: tidak setuju ibunya minta-minta hak pensiun dari Pemerintah. Surat itu
dikirim di bulan April, 1974, karena sang ibu mencoba mengurus sendiri ke sana
ke mari: menemui Sultan Hamengkubuwono, pergi ke Sekretariat Negara dan banyak
instansi lain. Sementara Presiden Suharto di tahun 1974, telah mengeluarkan
peraturan baru tentang pensiun presiden (sejumlah Rp 75.000 sebulan) dan wakil
presiden (Rp 50.0003, instansi terakhir yang didatangi Nyonya Fatmawati
mengeluarkan keraguan: bagaimana sebetulnya status Fatmawati: cerai atau belum,
dengan Almarhum Sukarno? Untuk memperjelas, Sekjen Departemen Agama (waktu itu
Bahrum Rangkuti, aLmarhum, minta nasehat Prof. Ibrahim Hosen tentang persoalan:
seorang wanita, telah memaksa minta cerai kepada suaminya yang berkeberatan
menceraikan isterinya. Karena desakan isterinya, akhirnya sang suami memberikan
surat cerai talak satu. Surat mana kemudian diminta kembali oleh sang suami
dengan alasan “akan dibikin betul.” Kesaksian ketika surat itu diminta kembali
bisa diberikan oleh K.H. Ilyas (Menteri gama waktu itu, almarhum) dan orangtua
Nyonya Fatmawati, H. Hassandin. Hingga Fatmawati angkat kaki dari Istana, surat
itu tidak pernah dikembalikan lagi oleh Sukarno. Sampai Bung Karno sndiri
meninggal. Kalangan dekat dan teman-teman Bung Karno sendiri tahu bahwa Sukarno
sebetulnya tidak mau menceraikan Fatmawati, ibu dari kelima anak-anaknya.
Pendek kata, Prof. Ibrahim Hosen yang duduk sebagai Penasehat Menteri Agama
menyatakan, bahwa hukumnya surat talak itu tidak sah, dan Fatmawati masih
berstatus sebagai isteri Sukarno sampai yang terakhir ini wafat. Untuk lebih
kuatnya lagi hal ini dibawa ke Pengadilan Agama. Dan Ketua Pengadilan Agama
Istimewa K.H. Moh. Mocht tanggal 16 Mei 1974 menyatakan: Fatmawati masih resmi
sebagai isteri Sukarno. Dapat difahami bahwa ia berhak pensiun. Sudiro (yang
menolak diwawancarai) kemudian mengirim surat kepada PresidenSuharto pada
tanggal 7 Juni 1974, sambil melampirkan surat keputusan PengadiLan Agama
Istimewa, dan pernyataan bahwa Sukarno sebagai pegawai negeri–berdasar PP no.
20/60 – bisa memenuhi syarat pensiun, karena almarhum telah bekerja selarna 30
tahun. Beberapa hari kemudian Tjokropranolo (waktu itu Sekretaris MiLiter
Kepresi denan) menelepon bahwa syaratnya kurang lengkap. Harus ada saksi,
karena Fatmawati telah meninggalkan Istana. Nyonya S. Kartowiyono (almarhum)
dan Nyonya H.L. Soekanto (keduanya tokoh-tokoh wanita di masa perkawinan
Sukarno-Hartini) bulan Juni 1974 juga membuat surat pernyataan bahwa keduanya
telah melihat surat Fatmawati kepada Sukarno, untuk minta izin meninggaLkan
Istana di bulan Desember 1954. Surat tersebut antara lain berbunyi: “untuk
ketenangan hati saya, saya minta supaya disetujui diri saya pindah dari Istana
ke rumah yang hampir selesai dibangun, di Kebayoran ” Itulah sebabnya Fatmawati
meninggalkan Istana: sekedar untuk ketenangan. Setelah surat kesaksian
tersebut, hingga kini tidak ada penyelesaian. Sudiro sendiri sebagai Ketua PWRI
menanti persetujuan pemerintah itu. Sedang dari kalangan pemerintah ada
suara-suara: “Kalau dia dibeli, bagaimana dengan isteri-isteri yang lain?”
Kemudian ada yang mendapat akal: bagaimana kalau Fatmawati mendapat uang
sebagai janda Perintis Kemerdekaan. Tapi hingga kini Sukarno tidak pernah
diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan. Semasa masih hidup hal ini memang pernah
diusulkan kepada Sukarno. Tapi Bung Karno menolak. Setelah-didesak, di tahun
1966 Bung Karno cuma berkata: “Jadilah, tapi masukkan saya sebagai orang yang
paling akhir.” Panitia yang mengurus hal itu sudah beberapa kali berapat, tapi
ada satu orang yang tidak. setuju kalau Sukarno atau Fatmawati (yang pernah
menjahit bendera pusaka merah-putih) diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan.
Orang tersebut adalah R.P. Suroso,yang,pernah menjabat Menteri Perburuhan, dengan
alasan tidak jelas. Berapa tunjangan sebagai Perintis Kemerdekaan? Rp 25.000
sebulan. Tetapi, mungkin juga, Fatmawati akan mendapat tunjangan sebagai isteri
Pahlawan Kemerdekaan. Berapa? Rp 9.000 sebulan. Hingga memasuki tahun 1978
pertama belum menerima apa-apa. “Masakan saya ditanya, mau tidak sebagai
perintis kemerdekaan,” ujarnya. “Yang menilai saya kan bukan saya sendiri.
Harus orang lain.” Terus terang saja dia sebenarnya masih penuh harap akan uang
rapel sekian tahun dari tunjangan atau pensiun sebagai haknya. “Lumayanlah,
untuk ongkos Guruh belajar lagi,” kata Fatma yang kini juga mengidap sakit
kencing manis. “Tapi sudahlah. Malu awak jadinya kalau mengingat hal itu.”
Kabarnya, Ibu Fatma kini bisa memijat. “Lumayan juga hasilnya, bisa untuk makan,”
kata Fatmawati Sukarno, yang Pebruari nanti genap berusia 55 tahun. Katanya:
“Tuhan telah membuka jalan untuk saya cari rezeki.”