Tempo
14 Januari 1984. PERINGATAN hari dicetuskannya Tritura (Tri-Tuntutan Rakyat)
tahun ini 10 Januari 1984, istimewa. Ribuan pemuda, pelajar, mahasiswa, dan
Pramuka memenuhi Istora Senayan.
Ada
sambutan dari Presiden Soeharto (yang dibacakan). Ada juga sambutan dari
pimpinan partai politik dan Golongan Karya. Sebuah pernyataan sikap juga
dibacakan: Eksponen 66 menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
seluruh kekuatan sosial politik dan organisasi massa. Mengapa tahun ini perlu
peringatan istimewa? “Kelihatannya memang besar-besaran. Tapi sebenarnya sangat
sederhana, sesuai dengan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda resesi dan
perlu mengencangkan ikat pinggang,” kata Aulia Rachman, ketua umum KNPI yang
menjadi penanggung jawab Panitia Peringatan 18 Tahun Tritura. Yang menarik:
tahun ini panitia peringatan terdiri dari gabungan beberapa kelompok yang pada
tahun-tahun lalu selalu mengadakan peringatan sendiri-sendiri: KNPI, Fosko 66,
dan Laskar Arief Rahman Hakim. Menurut Louis Wangge, wakil ketua umum Dewan
Penasihat dan Pertimbangan Fosko 66 yang menjabat ketua pelaksana Panitia
Peringatan 18 Tahun Tritura, semula kelompok bekas Laskar Arief Rahman Hakim
ingin menggunakan 10 Januari 1984 sebagai titik awal rekonsiliasi kelompok
mereka. Gagasan yang dicetuskan pada musyawarah kerja Fosko 66 di Cisarua, Jawa
Barat, awal Desember lalu, ternyata disetujui Menpora Abdul Gafur, asalkan KNPI
diikutsertakan dalam kepanitiaan. Hingga muncullah pamitia gabungan itu. Tujuan
peringatan Tritura tahun ini, “untuk menyatukan kembali Eksponen 66 yang
terpecah dalam beberapa kutub,” kata Aulia Rachman. “Saya lihat, para pelaksana
Angkatan 66 yang dulu masih muda sekarang sudah berumur. Ada yang sudah sukses,
mantap, dan ada yang ikut dalam sistem sekarang, yang dulu memang
diperjuangkan. Dulu, kita pernah bersatu padu. Sekarang hasil perjuangan ada di
depan mata. Marilah kita perbaharui tekad itu,” ujar Aulia, yang mengaku pada
1966 cuma seorang “prajurit”. Para tokoh Eksponen 66 dari kalangan pemuda dan
mahasiswa saat ini memang berserakan. Ada yang duduk dalam pemerintahan,
seperti Cosmas Batubara, Abdul Gafur, dan Mar’ie Muhammad. Di DPR atau MPR
terdapat David Napitupulu, Zamroni Sarwono Kusumaatmadja, dan Husnie Thamrin.
Yang tercatat sebagai pengusaha sukses cukup banyak, misalnya Fahmi Idris,
Firdaus Wadjdi, Sofyan Wanandi, dan Jusuf A.R. Di samping itu, ada nama-nama
yang bisa digolongkan independen, seperti Marsilam Simanjuntak dan Rahman
Tolleng. Siapa yang bisa digolongkan Eksponen 66 ? “Siapa saja yang ikut aktif
dalam gerakan antara 1966 dan 1969,” tutur Husnie Thamrin, yang pada
tahun-tahun itu menjadi ketua umum KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar
Indonesia) dan kini menjadi anggota MPR dan wakil sekretaris jenderal PPP.
Abdul Gafur mendefinisikan Angkatan 66 dengan “semua yang waktu sekitar 1966
itu bangkit menentang Orde Lama,” termasuk tukang becak, pemuda, mahasiswa,
sarjana, ulama, wanita, pegawai negeri, dan ABRI. Indonesia pada awal 1966 itu
memang Indonesia yang resah dan gelisah. Tiga bulan setelah pemberontakan G 30
S/PKI terjadi Presiden Soekarno masih menolak tuntutan membubarkan PKI.
Sementara itu, situasi ekonomi mencekam: inflasi tak terkontrol. Harga bensin
dinaikkan empat kali lipat setelah satu setengah bulan sebelumnya naik dari Rp
4 menjadi Rp 250. Sebelumnya, pada 13 Desember 1965, pemerintah melakukan
tindakan sanering: memotong nilai uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Toh harga barang
makin menggila. Demonstrasi pertama di Jakarta pada 1966 terjadi pada 8
Januari. Hari itu ribuan pemuda dan mahasiswa mengiringi delcgasi Front Pemuda
Pusat menuju gedung Sekretariat Negara memprotes kebijaksanaan ekonomi keuangan
pemerintah. Tibalah kemudian hari itu, Senin IO Januari 1966. Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI) Universitas Indonesia pagi itu membuka Pekan Ceramah
dan Seminar Ekonomi Keuangan dan Moneter di Aula UI Salemba, Jakarta. Bersamaan
dengan itu, KAMI Pusat menyelenggarakan rapat umum di halaman Fakultas
Kedokteran UI, yang dihadiri beberapa ribu mahasiswa dan pemuda. Pembicara yang
diundang antara lain komandan RPKAD (sekarang Kopasandha) Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo. “Dia kami undang karena pada waktu itu peranannya paling menonjol dalam
mendukung gerakan mahasiswa,” kata Cosmas Batubara, yang waktu itu menjadi
salah satu ketua presidium KAMI Pusat. Mengenakan pakaian seragam dan topi
loreng, Sarwo Edhie begitu datang langsung disodori pernyataan Tritura (Tri-Tuntutan
Rakyat). Isinya: Bubarkan PKI, Ritul (rombak) Kabinet Dwikora, dan Turunkan
Harga. Menurut Sarwo Edhie, waktu itu ia ditanya mahasiswa “Setuju tidak, Pak?”
Ia balik bertanya, “Kalian yakin?” Para mahasiswa serempak menjawab, “Yakin.”
“Kalau yakin, jalan!” kata Sarwo Edhic. Waktu itu, cerita Sarwo pekan lalu, ia
termasuk salah satu perwira ABRI yang bisa “mengerti situasi”. “Tugas saya
waktu itu memberi semangat dan saran saja,” kata letnan jenderal purnawirawan
itu, yang kini manggala tetap di BP7. Hubungan RPKAD dengan mahasiswa waktu itu
memang erat. Bila mau berdemonstrasi, para mahasiswa biasanya berkonsultasi
dulu dengan pimpinan RPKAD. Beberapa anggota pasukan baret merah dengan pakaian
sipil biasanya membaur di antara para demonstran. Selain dengan RPKAD, para
mahasiswa Jakarta waktu itu juga punya “kontak” dengan Kostrad dan Kodam
V/Jaya. “Tapi itu tidak berarti mahasiswa ditunggangi ABRI. Hubungan kami waktu
itu berdasar kepentingan bersama,” kata Cosmas Batubara. Syahdan, pada pagi 10
Januari 1966 itu, para demonstran mahasiswa itu pun bergerak setelah rapat umum
usai menuju gedung Sekretariat Negara, di Jalan Veteran. Sepanjang jalan,
yel-yel mereka membakar semangat: “Turunkan Harga Beras”, “Singkirkan Menteri
yang Tidak Becus”, “Ganyang Menteri Goblok”, “Ganyang Subandrio”. Karena
Waperdam III Chaerul Saleh yang dicari tidak ada, para demonstran duduk
menunggu atau tidur-tiduran di jalan. Lalu lintas macet. Sebagian mahasiswa
siang itu melakukan salat lohor di jalan dengan memakai alas koran. Sore
harinya baru Chaerul Saleh muncul. Tritura dibacakan di depannya. Chaerul Saleh
berjanji akan menyampaikan tuntutan itu kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung
Karno. Setelah itu, massa mahasiswa bubar. Janji Chaerui Saleh mengecewakan
mereka, tapi tampaknya ada hasil tambahan yang pada hari-hari kemudian mengubah
corak gerakan mahasiswa dan pemuda: lahirnya kesadaran bahwa aksi massa
mahasiswa bisa menguasai jalan, melumpuhkan lalu lintas, dan menggugah simpati
masyarakat. Hari-hari berikutnya, Jakarta terus diguncang demonstrasi. Aksi
mahasiswa semakin berani. Demonstrasi juga menyebar ke kota lain. Tuntutan
mereka, Tritura, semakin lantang dikumandangkan. Sasaran demonstrasi kemudian
termasuk beberapa gedung milik RRC di Jakarta. Mogok kuliah dilancarkan. Posisi
pemerintah makin tersudut. Bung Karno mengomandokan tersusunnya Barisan
Soekarno. Bentrokan antara kelompok pro dan anti-pemerintah terjadi. Susunan
kabinet baru, terutama masuknya beberapa tokoh kiri, mengecewakan mahasiswa.
Hingga kemudian terjadilah peristiwa 24 Februari 1966 itu: mahasiswa Fakultas
Kedokteran UI Arief Rahman Hakim tewas tertembak sewaktu berdemonstrasi di
depan Istana. Ia menjadi martir. Gerakan mahasiswa mencapai titik balik,
menjadi perjuangan melawan tirani. Akhirnya, turun Surat Perintah 11 Maret yang
melimpahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto. Esok harinya, diselenggarakan
pawai kemenangan di Jakarta. Orde Baru lahir. Siapa penyusun Tritura? Seingat
Cosmas Batubara, perumusan itu terjadi dalam suatu rapat pada 9 Januari 1966
malam di kantor pusat KAMI Pusat, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. “Itu musyawarah
yang terdiri dari beberapa unsur,” kata Cosmas. Beberapa orang yang menurut
ingatannya hadir dalam pertemuan itu adalah Zamroni, Savarmus Suardi, dan Ismid
Hadad. Menurut Ismid Hadad, yang waktu itu memimpin Biro Penerangan KAMI Pusat,
pada awal Januari 1966 itu beberapa kelompok mahasiswa mengadakan berbagai
pertemuan guna membahas perkembangan dan membuat rencana. Hasilnya adalah
berbagai konsep untuk mengatasi masalah. “Ada sekitar 10 sampai 12 konsep,”
tutur Ismid. Ia bersama Savarinus Suardi, dan seorang yang tak diingatnya lagi,
dltugasi merumuskan kembali konsep-konsep. Dari belasan konsep itu, ada tiga
hal yang menonjol: tuntutan untuk menurunkan harga, pembubaran PKI, dan
perombakan Kabinet Dwikora. Tiga hal itu akhirnya diberi nama Tri-Tuntutan
Rakyat, disingkat Tritura, “agar Iebih komunikatif”. Tapi Ismid menolak
dianggap sebagai perumus konsep Tritura. “Kebetulan, saya waktu itu menjadi
notulis rapat, jadi ditugasi merumuskan konsep yang sudah dibicarakan itu,”
katanya. Suatu sumber lain menilai, cerita yang kini banyak tersiar yang
menyatakan Tritura konsep yang matang dan muncul dari pikiran yang memandang
jauh ke depan menggelikan. “Tritura itu sebenarnya lahir secara kebetulan,”
ujar sumber yang pada 1966 merupakan salah satu tokoh mahasiswa yang menonjol.
Tatkala utusan KAMI Jaya menemui kepala staf Kodam V/Jaya Kolonel Witono untuk
meminta izin apel 10 Januari, mereka “ditegur” karena dianggap telah masuk perangkap
PKI dan telah teralih perhatian mereka dari isu pokok: pembubaran PKI. Witono
menasihati para mahasiswa agar tidak melupakan isu politik dalam tuntutan
mereka. “Jadi, Tritura sebenarnya merupakan kompromi dari perhitungan politik
mereka yang matang dengan keingman mahasiswa yang ingin menurunkan harga,” kata
sumber tadi. Maka kemudian dirumuskanlah Tritura yang berisi tuntutan politis
dan ekonomis. Mana versi yang benar, walahuallam. Namun, tampaknya, kedua versi
itu saling melengkapi. Bagaimanapun, proses terciptanya Tritura telah tercatat
dalam sejarah Indonesia. Dan sejarah pula yang nanti akan menentukan: apakah
peringatan lahirnya Tritura memang bermakna atau sekadar usaha hura-hura
menegakkan suatu mitos
Tempo
14 Januari 1984
Sarwono
Bilang Tidak, Gafur Juga
TATKALA
menerima Panitia Gabungan Peringatan 1 Tahun Tntura di Gedun DPA pekan lalu,
wakil ketua DPA Ali Moertopo antara lain menyarankan agar Angkatan 66
dilembagakan. “Apabila dalam peringatan 10 Januari mendatang ada pernyataan
tentang pelembagaan Angkatan 66, itu sangat tepat. Angkatan 45 juga mempunyai
dewan harian, kenapa Angkatan 66 tidak boleh?,” kata Ali Moertopo. Perlukah
Angkatan 66 dilembagakan? Gagasan ini tidak disetujui Sarwono Kusumaatmadja 40.
Bekas aktivis Somal (Sekretariat Organisasi Mahasiswa lokal) Bandung, dan
pernah ketua DM ITB, yang kini menjabat sekretaris jenderal Golkar itu
berpendapat, yang seharusnya dilembagakan adalah ide perjuangan, bukan orang
atau pelakunya. “Gagasan yang dllontarkan saat ini cenderung melembagakan orang
atau pelaku. Ini akhirnya hanya membuat kumpulan Dested irterests,” ujar
Sarwono. Ketua umum KNPI, Aulia Rachman, juga tidak setuju pembentukan Iembaga
Angkatan 66. “Tritura baru berumur 18 tahun. Masalah waktu itu hanya masalah
panggilan dan pengabdian dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan
bernegara,” ujarnya. Menurut bekas aktivis KAMI ini, “tidak selalu persatuan
dan kesatuan perlu diwujudkan dalam bentuk lembaga.” Menteri Pemuda dan Olah
Raga Abdul Gafur juga menolak. “Menurut saya, tidak akan dibentuk lembaga
Angkatan 66, sebab Angkatan 66 lebih dipentingkan pada nilai juangnya,
kelanjutan dari perjuangan Angkatan 45,” tuturnya pekan lalu. Pada saat ini,
kata Gafur, Angkatan 66 sudah menyebar ke mana-mana. “Ya semangat itu saja yang
dinyatakan dalam perbuatannya di mana seseorang bekerja,” katanya. Penyair
Taufiq Ismail, 46, yang merekam pergolakan 1966 dalam kumpulan sajaknya, Tirani
dan Benteng, malah menganggap identitas dan mitos Angkatan 66 tidak perlu terus
dipelihara. “Praktek hidup menunjukkan, pemeliharaan identitas dan mitos itu
lebih banyak bermanifestasi pamer, tepuk dada, rasa unggul, unjuk jasa,
menuntut hak, menggurui, dan malahan memaksa. Dalam teori, lima ratus kalimat
cantik bisa dibikinkan untuk membenarkan maksud itu,’ katanya. Menurut Taufiq
Ismail, generasi yang lebih muda jangan dirisaukan. Kelompok cendekianya juga
berpikir kritis, bisa membanding dan mungkin malah lebih cerdas karena gizinya
lebih baik. “Mereka tahu mana yang sumbing dan mana yang utuh dari Angkatan 66.
Seperti juga Angkatan 66, walaupun bertahun-tahun digebrak slogan,
indoktrinasi, pidato, manipol, toh tetap kritis dan tahu mana yang loyang dan
mana yang emas dari Angkatan 45.” Pada gilirannya, kata Taufiq, kalau Angkatan
66 ternyata serakah dan serba uang atau benda, tentu akan dikoreksi angkatan
yang lebih muda. Mengapa gagasan pelembagaan Angkatan 66 dianggap perlu? Ada
yang menganggap, ini ada kaitannya dengan proses alih generasi yang pada
tahun-tahun terakhir ini berlangsung. Rupanya, ada yang menilai Angkatan 66
sebagai “pewaris sah” Angkatan 45, hingga kini mulai tiba saatnya untuk
menerima tongkat estafet dari generasi 45. Layakkah eksponen 66 disebut sebagai
Angkatan 66? Menurut Taufik Abdullah, pengertian “angkatan” lahir pada masyarakat
yang sedang berkembang. Adanya konsep ini “untuk mencari kearifan sejarah”.
Kata Tautik, 48, memang ada kecenderungan yang kuat di masyarakat Indonesia
untuk “mengabadikan angkatan”. “Konsep angkatan berbau subyektif,” kata Taufik.
ini, menurut sejarawan itu, dipengaruhi kepentingan pihak yang bersangkutan.
“Kalau melihat Angkatan 66, bagi yang melihat masalah pergerakan pemuda atau
kesadaran politik, peristiwa itu bisa dijadikan titik tolak. Tapi kalau ingin
melihat istilah ekonomi, peristiwa itu tidak ada artinya,” katanya. Taufik
mengingatkan, persoalan yang dihadapi setiap masa tidak sama. Satu-satunya yang
masih mungkin diabadikan adalah aspirasi perjuangan atau persoalan yang
dihadapi. “Bukan perjuangan itu sendiri,” kata sejarawan itu