Kisah fatmawati akan terbit


Tempo 06 Agustus 1977. “SUKMAWATI hanya sempat mendapat air susu ibu selama dua bulan. Aku mulai ada tanda-tanda kehamilan lagi.
Pada saat aku mengandung Sukmawati aku mendengar berita selentingan, bahwa ada seorang wanita memakai kerudung bersama-sama Presiden menuju Istana Cipanas. Ceritera itu tidak aku tanggapi. Hal demikian bisa saja terjadi sebab saat-saat itu aku tidak selalu dapat mendampingi Bung Karno”, demikian kisah Fatrnawati Sukarno dalam otobiografinya, yang dibantu-tulis oleh penyair Sitor Situmorang yang kini ada di Negeri Belanda. P.T. Bivisco akan menerbitkan kisah Fatmawati ini sejak lahir sampai tahun 1954 — saat Ibu Negara meninggalkan istana untuk tinggal menyendiri di Jalan Sriwijaya, Kebayoran. Tentang kelahiran anak kelima, Muhammad Guruh Sukarno Putra, Ibu Fat berkisah: “Ketika mulai tanda-tanda Guruh akan lahir, Bung Karno dan aku sedang berada di serambi belakang Istana. Bung Karno minum kopi sambil berbaring di kursi rotan panjang menurut kebiasaannya. (Sudut ini sekarang ditutup dengan kaca riben, sentral pendingin dan ada akuarium, Red.). Bung Karno membaca koran, kemudian bangkit dari duduknya dan pamit akan jalanjalan di kebun istana. Menjelang jam 12 siang lahirlah Guruh, anak laki-laki yang kedua setelah Guntur. Semula Bung Karno akan memberi nama Taufan. Aku tidak setuju. Guruh lahir berkalung usus (menurut orang-orang tua, jika berpakaian apa saja akan pantas).” Dan tibalah kemudian prahara yang menimpa rumah tangga Fatmawati-Sukarno. “Pada waktu kelahiran Guruh alias Irianto, aku mengalami pendarahan yang susah dihentikan. Setelah bayiku berumur dua hari aku sedang berbaring Idi tempat tidur, datanglah Bung Karno. Bapak duduk dan kemudian berkata: “Fat, aku minta izinmu. Aku akan kawin dengan Hartini.” “Boleh saja,” kataku menjawab, “tapi Fat minta dikembalikan pada orangtua. Aku tidak mau dimadu dan tetap anti poligami.” “Tetapi aku cinta padamu dan juga cinta pada Hartini,” demikian Bung Karno. Sukarno kemudian menikahi Hartini. Tidak berhenti di sini saja. Karena setelah Hartini, ada Ratna Sari Dewi, kemudian Haryati dan sejenak dengan Yurike Sanger. Prahara gara-gara orang ketiga dalam perkawinan mereka, dicatat pula oleh Winoto Danuasmoro yang mengatur rumah tangga Bung Karno. Tulisnya: “Sampai dengan lahirnya Mohammad Guruh, tahun 1954, keluarga Presiden rukun dan kelihatan bahagia sekali. Tetapi setelah pecah berita Bung Karno akan menikah dengan Bu Hartini, hubungan Bung Karno dan Bu Fat serta keluarga mulai tegang dan renggang. . . Kemudian malahan beliau (Bu Fat) pindah dari kamar di gedung utama Istana Merdeka ke pavilyun, yang letaknya berdekatan dengan – Mesjid Baitul Rachim.” Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.) lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa atau, menumpang), Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini lebih-lebih lagi melanda ketika Hassan Din harus keluar dari Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di Bengkulu. Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah, Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. “Inilah jalan yang aku tempuh untuk meringankan beban orangtuaku,” tulisnya. Usia 12 tahun, sudah bisa dilepas di warung beras ayahnya. Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno. Bahkan seluruh keluarga — ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya — naik delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. “Masih kuingat, aku mengenakan baju kurung warna merall hati dan tutup kepala voile kuning dibordir.” Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang waktu itu jadi isteri Bung Karno: “Inggit mempunyai pembawaan halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih. Berpakaian rapi, tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang tidak spontan, gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian. Matanya kelihatan seakan-akan suka marah dan kesal. Jika orang tak kuat batin, rasanya susah berdekatan dengan beliau.” Tahun 1921 Sukarno sekolah di ITB Bandung. Tahun 1923 – menikah dengan induk semang tempat dia menumpang makan, Inggit. Dalam buku Cindy Adams tentang hal ini, ditulis atas persetujuan Haji Sanusi, suami Inggit, waktu itu usia Bung Karno baru 22 tahun dan Inggit 46 tahun. Inggit sendiri memberi komentar tentang pertemuan pertamanya dengan Fatmawati: “Kami banyak menerima orang ketika Kusno (maksudnya Sukarno, Red.) dibuang di Bengkulu. Satu di antaranya Fatmawati dengan kedua orangtuanya. Fatma tidak mau pulang, minta tinggal bersama kami. Akhirnya saya ketahui, dia ada hubungan dengan Kus.” Tinggal di Bandung, usia Inggit kini sudah 94 tahun dan masih berdagang kecil-kecilan: jamu dan bedak bikinannya sendiri. Karena tidak mau dimadu, Inggit terus pulang ke Jakarta. Kemudian cerita Inggit: “Fatma mendapatkan rumahtangga yang sudah jalan. Saya tidak bawa apa-apa ketika keluar dari rumah Pegangsaan Timur. Cuma sepasang anjing mainan saya dan tempat sirih pemberian Haji Sanusi.” Bertemu di tahun 1939, Sukarno akhirnya menikahi Fatmawati di tahun 1942. Ketika keadaan Indonesia gawat oleh pendudukan Jepang, terbanglah sepucuk telegram dari Jakarta ke Bengkuiu: “Fatmawati nikah dengan wakil, yaitu saudara Opseter Sarjono, tanggal . . .” Tanggal ini yang tidak diingat Fatmawati. “Saat yang paling penting dalam kehidupanku, di saat-saat menjelang proklamasi 17 Agustus 1945,” demikian Fatmawati. Ibu Negara ini yang menggunting dan menjahit bendera pusaka yang kini disimpan. Di masa-masa pergolakan ada beberapa catatan penting tentang soal yang bisa saja dianggap remeh-temeh. Misalnya: “Kunjungan kami yang pertama ke luar negeri adalah ke India. Aku ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang kebetulan punya persediaan.” Tentang Yogya – dan Fatma berdiam di gedung yang kini namanya Gedung Negara — ia menulis: “Satu kali kami menjamu Merle Cochran dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan dengan protokol ‘perjuangan’nya.” Artinya: protokol yang juga sibuk pinjam taplak meja di rumah lain kalau kebetulan ada tamu negara. Juga protokol yang, tanpa bisa dilihat oleh tamu negara, bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno, kapan dia harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang sekarang.