Tempo
24 Maret 1973. Pada tgl 7 juli 1949, rosihan anwar sebagai reporter bersama pak
suharto sebagai perwira tni pergi menjemput pak dirman. bertemu lagi pada saat
ia jadi presiden, tampaknya ia lupa kejadian tgl 7 juli itu.
1.
MAGUWO, lapangan terbang Yoryakarta, pagi tanggal 6 Juli 1949 rnenantikan
sebuah pesawat DC-3 yang membawa Bung Karno Ban Bung Hatta dari pulau Bangka.
Pada tanggal 30 Juni tentara, Belanda mengosongkan Yogya, pemerintah Republik
Indonesia dipulihkan di situ. Berakhirlah pembuangan Sukarno-Hatta semenjak
mereka ditawan Belanda pada aksi polisionil kedua tanggal 18 Desember 1948.
Sultan Hamengku Buwono IX yang tidak pernah mau kerjasama dengan Belanda dan
memimpin perjuangan dari dalam Kraton berada di antara rombongan penyambut, di
Maguwo. Sebagai reporter, walaupun jabatan ialah pemimpin redaksi harian
“Pedoman” saya juga ada di situ melaporkan kejadian bersejarah kembalinya
Dwitunggal ke Yogya.
2.
SRI SULTAN bertanya kepada saya, sarnbil kami berdid menunggu pesawat akan
mendarat: “Jadikah kau besok pergi ke Pak Dirman?”. Says mengangguk.
“Mudah-mudahan berhasil”, kata Sultan. Jenderal Sudirman, Panglima Besar TNI,
yang memimpin perang gerilya dilaporkan tidak menyetujui garis kebijaksanaan
politik pemimpin-pemimpin Republik yang ads di Bangka, Persetujuan Roem-Van
Royen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, “tracee-Bangka” yang digariskan oleh
Sukarno yang pokoknya ialah menghentikan perang gerilya Ban bersedia turut
dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag guna merunding,anpenyerahgn
kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak
seluruhnya dapat diterima oleh Jenderal Sudirman. Maka guna menghindarkan kesan
terdapat perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Jenderal Sudirman
harus dibawa kembali ke Yogyakarta.
3.
SUHARTO, Letnan Kolonel, yang memimpin Serangan Umum tanggal 1 Maret terhadap
kota Yogya sehingga membuat Belanda gelagapan Ban efeknya terasa sampai di
ruangan Dewan Keamanan PBB, diserahi tugas menjemput Jenderal Sudirman dari
daerah gerilya yang waktu itu belum termasuk wilayah kekuasaan Republik.
Pagi-pagi sekali tanggal 7 Juli dekat Malioboro wartawan foto “Ipphos” almarhum
Frans Sumardjo Mendur memperkenalkan saya kepada Letnan Kolonel Suharto, ia
berpakaian seragam putih Ban menyetir sendiri sebuah Landrover. Saya sebelumnya
tidak kenal dengan Suahrto, dan saya kira dia pun tidak pernah membaca
tulisan-tulisan saya.
4.
LEPAS Wonosari kami tidak bisa lagi pakai jeep. Harus naik sepeda dan “latihan
menggenjot” ini berlangsung sepanjang hari. Saya tidak tahu tempat mana yang
hendak ditujukan bila `gerangan akan sampai. Yang di kerjakan hanya mengayuh
kereta angin melewati daerah gunung Kendeng yang tandus dan tidak banyak penduduknya.
Bertiga kami beriringan, Suharto di depan, saya ditengah, kemudian Frans.
Selama perjalanan sejak dari Yogya, Suharto tidak banyak berbicara. Ia jelas
bukan orang yang suka pada “small talk” atau ngobrol. Kata-katanya hemat,
sekali. “Mari minum Began”, ia mempersilahkan saya minum air, kelapa muda,
ketika kami berhenti sebentar. Senjakala sudah meliputi daerah yang kami lalui,
namun kami masih terus genjot sepeda. Baru kira-kira pukul 9 malam, setelah
sepeda ditinggalkan, Ban di lanjutkan dengan berjalan kaki, kami tiba di
pinggir sebuah desa Ban di situ dihadang oleh pasukan pengawal terdepan Pak
Dirman. Sudah sampai rupanya.
3.
PAK DIRMAN dalanr pakaian Ban ikut kepala hitam, ketika menerima saya malam itu
jugs ditempat penginapannya yaitu rumah Lurah dengan spontan berkata: “Saudara
Rosihan dan wartawan Republik yang pertama saya ketemu, sudah masa bergerilya
ini”, Sebelum saya dipersilahkan masuk oleh ajudannya yakni Kapten Supardjo
(kini Mayor-Jenderal, Dutabesar kita di Kuala Lumpur), Pak Dirman terlebih
dahulu menerima Suharto. Saya taksir tentu di situ Suharto sudah melaporkan
ten#ang maksud kedatangannya Ban menyampaikan pecan Sri Sultan, Ketika saya
minta interview dari Pak Dirman, dia berkata: “Besok pagi saja, sekarang
istirahat dulu”.
6.
PRIMEUR berita yang saya peroleh itu tentulah dengan segera harus dikirim ke
suratkabar. Orang-orang Belanda di Jakarta akan sangat menaruh perhatian kepada
wawancara says dengan Jenderal Sudirman. Tetapi juga Sultan Yogya, Kolonel T.B.
Simatupang Ban lain-lain menunggu bagaimana hash “mission” Letnan Kolonel
Suharto. Maka selesai interview says putuskan segera kembali, jadi tidak
bersarpa dengan Pak Dirman yang harus ditandu itu menuju ke Yogya. Sebelum
meninggalkan desa Pak Dirman bergambar bersama-sama kami semua. Saya ingat
waktu itu ada Kapten Tjokropranolo (kini Mayor-Jenderal Aspri Presiden), ada
Letnan Kolonel Suadi ada Dr Irsan, ada Heru, ada Muhammad, dan lain-lain.
Itulah
foto Frans Mendur yang 20 tahun kemudian di muat dalam buku O.G. Roeder “The
Smiling General dengan keterangan teks: “In the jungles near Yogyakarta, June
1949 – General Sudirman, Lt. Colonel Soeharto, and other commanders. Seated in
front was Rosihan Anwar”. Saya rasa Roeder membuat kesalahan di sini, sebab
waktunya bukanlah Juni 1949, melainkan tanggal 8 Juli 1949.
7.
DENGAN pesawat UNCI (United Nations Commission for Indonesia) saya kirimkan
berita wawancara dengan Pak Dirman ke redaksi ‘Pedoman’ waktu itu di Serien,
Jakarta. Kepada Sultan saya laporkan, semua beres, Pak Dirman sedang dalam
perjalanan kembali ke Yogya. Mr Sjafruddin Prawiranegara kepala PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) sudah fibs dari Sumatera. Pak Dirman
dengan, diiringi oleh Letnan Kolonel Suharto dalam suasana meriah gembira
bercampur terharu memasuki Yogya. Says menyaksikannya memeriksa di aloon-aloon
pasukan-pasukan yang menghormati kembalinya Panglima Besar mereka. Selebihnya
termasuk Sejarah. Pada tanggal 13 Juli 1949 kabinet Republik mengadakan sidang
yang pertama, sejak terjadi clash militer ke-2, 7 bulan sebelumnya. Badan
Pekerja KNIP bersidang dan mayoritas menyokong diterimanya persetujuan Roem-Van
Royen. Tanggal 17 Agustus Bung Hatta sudah ada di Kurthaus, Scheveningen, siap
menghadapi KMB dengan Belanda. Sebagai reporter saya juga ada di sana.
8.
TIADA pernah lagi says bertemu dengan Suharto, semenjak hari tanggal 7 Juli
I949, itu, tatkala kami bersama-sama pergi menjemput Pak Dirman, dia sebagai
perwira TNI, saya sebagai reporter. Barulah 15 tahun kemudian, ketika dia sudah
jadi Pejabat Presiden, dalam suatu pertemuan berbuka Puasa dengan para wartawan
di Istana, saya berjabatan tangan lagi dengan Suaharto. Tetapi pada waktu itu
sedikit pun tak tampak tanda pengenalan di fihaknya terhadap says, seolah-olah
Pak Harto tidak ingat kejadian-kejadian tanggal 7 Juli itu “suatu hari dalam
kehidupan seorang reporter”.