Sutarto & Anggrek Ungu


Tempo 6 Okt 1973 Mahkamah Militer yang mengadili Sutarto, eks kepala staf BPI, menjatuhkan hukuman mati. Tertuduh terbukti pro komunis dan mendukung cara-cara teror. Bekerjasama dengan PKI hingga meletusnya G30S/PKI.

APAKAH Sutarto hanya seorang simpatisan “yang hanya mengangguk-anggukkan kepala saja?”. Ternyata tidak. Menurut keyakinan Majlis, yang habis memeriksanya tanggal 24 bulan lalu, bekas Brigjen Polisi yang dimahmilubkan secara maraton itu adalah seorang simpatisan “yang bersedia melaksanakan semua program partai”. Mula pertama Majlis yang dipimpin Hakim Ketua Letkol Laut Djajus Sukoto SH ini mengambil alasan dari ucapan bekas Ketua CC PKI DN Aidit yang mengatakan: “Bentuk Sutarto-Sutarto kecil di daerah, karena BPI sudah mmbantu PKI “. Tidak melamar. Mahkamah telah berupaya membuktikan hingga di mana kerjasama tertuduh dengan orang-orang PKI yang mengakibatkan meletusnya peristiwa G30S/PKI. Ketika di Semarang, sebagai Kepala DPKN, putera seorang bupati ini mulai belajar ABC politik dari Pono. Lantas ketika menjabat Kepala Staf BPI, Sutarto mulai ikut rapat-rapat dengan orang-orang PKI – antara lain dengan Sudjarwo Hardjowisastro yang membincangkan perihal sakitnya Presiden Sukarno, perihal adanya apa yang disebut Dewan Jenderal – serta perihal perwira-perwira muda “yang berfikiran maju” yang akan mendahului gerakan itu DJ. Bentuk kerjasama ini meningkat ketika tertuduh ditawari duduk dalam Dewan Revolusi – dan tidak menolak. Maka untuk memenuhi unsur pidana ini, tidak usah kerjasama tertuduh dilakukan dengan banyak orang. Cukup dengan Hardjowisastro itu saja. Kesengajaan tertuduh “mengadakan pemufakatan jahat untuk merebut kekuasaan yang sah dengan cara pemberontakan” ini, oleh Mahkamah dibuktikan lagi dengan perkara dokumen Gilchrist yang sebelumnya harus dianggap surat kaleng biasa saja (TEMPO 30 September Buku) seperti kesaksian orang-orang BPI sendiri dalam sidang. Namun barang yang disebut dokumen itu ternyata diperbanyak dan disebarkan kepada orang-orang PKI dan pejabat lain (Brigjen Sabur, Letkol Heruatmodjo serta Jenderal Polisi Sukarno Djojonegoro). Begitu juga: laporan-laporan mengenai peningkatan kegiatan PKI yang dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan perwira-perwira muda berfikiran maju — latihan-latihan perang oleh 2000-3000 anggota PKI di Lubangbuaya — oleh tertuduh didiamkan saja. Tentang keterangan-keterangan saksi Kartono Kadri SH dan Syarifuddin Tanjung – keduanya orang BPI — bahwa issue DJ itu tidak benar, disimpulkan Mahkamah: “Adalah serangkaian pengetahuan bahwa tertuduh menghendaki G 30 S dan Dewan Revolusi. Niat itu ada dengan sengaja dan terbukti secara sah dan meyakinkan. Lalu bagaimana dengan dalih pembela Djokotirtono SH hahwa kalau toh ada pembicaraan dengan PKI, maka maksudnya hanya untuk merubah sistim ketatanegaraan saja? “Perubahan sistim ketatanegaraan dengan bentuk Dewan Revolusi”, jawab Mahkamah seperti yang dibacakan seorang hakim anggota, “tidak sesuai dengan prosedur”. Jadi, lanjut Majlis pula, “walaupun tertuduh tidak melamar sebagai anggota Dewan Revolusi pada Letkol Untung, tapi tertuduh tidak menolak pencantuman namanya dalam dewan yang direncanakan sebagai kelanjutan dari G 30 S.” Model briefing. Dalam sidang akhir yang dihadiri anak-isteri tertuduh — selain pejabat-pejabat seperti Wapangkopkamtib Laksamana Sudomo, Kapolri llassan dan lain-lain — Mahkamah berbicara soal unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan Sutarto. Misalnya bahwa dia memberikan kesempatan, keterangan dan sarana untuk suatu kejahatan makar dengan menggerakkan orang lain. “Walaupun yang digerakkan itu tidak mau”, sambung Mahkamah, tapi “karena ini adalah delik formil, maka penggerak sudah dapat dihukum”. Lantas bcrikut ini beberapa fakta. Tertuduh memberikan briefing kepada Mayor CPM Heru Sukarto berkenaan dengan ihwal negara yang dalam keadaan gawat, ihwal sakitnya Presiden dan lain-lain. Ungu di dada. Bukan itu saja beban pundak tertuduh — yang hari itu berstelan jas warna gelap dengan peci hitam. “Tertuduh tidak membantu jenderal Suharto yang sedang bertugas selaku Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban”, lanjut Mahkamah lagi. Yakni dengan tindakannya melepaskan wartawan Naibaho, Hanan Rakyat, dari kejaran yang berwajib juga tidak melaporkan tempat persembunyian gembong G 30 S, Suyono dan Supardjo. Pokoknya dalam satu kesimpulan umum: “Sikap politik tertuduh cenderung pada komunis dan mendukung cara-cara teror untuk mencapai tujuan serta infiltrasi ke tubuh ABRI”, dan itu satu hal yang “menusuk hati seluruh rakyat Indonesia”. Padahal, sebaliknya, “tak dapat diragukan pengabdian tertuduh yang penuh dedikasi terhadap nusa dan bangsa”, seperti yang tak lupa menjadi perhatian Mahkamah. Tapi apa boleh buat: “Tertuduh tergelincir setelah kenal Pouo (anggota PKI dan Biro Khusus)”. Mungkin tetap apa boleh buat –biarpun Sutarto tegas-tegas menyatakan akan menggunakan hak grasinya, dan biarpun isteri tertuduh yang pakai rok putih dengan bunga kecil warna ungu di dadanya — dengan didampingi ayahnya – nampak tenang. Mata merah sang nyonya, bagaimanapun memang tak tersembunyikan. Begitu juga, tetaplah hukuman mati dari Mahmilub, tatkala ketiga anaknya, menjelang Sutarto masuk ke mobil tahanan, juga dengan baju putih dan bunga ungu di dada, sempat berpeluk-cium sambil kemudian menyerahkan rangkaian bunga anggrek biru bertuliskan: Semoga Tuhan Bersamamu. Sungguh saat akhir yang tampak terhormat, dibanding kematian mereka yang terbantai oleh ulah PKI dahulu.