Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (1)
In
Historia, Politik on January 12, 2010 at 5:32 AM
‘Kesibukan’
Jenderal Soemitro
“Jika
frustrasi sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan
terjadi penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran
sendiri”. “Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan
mungkin terjadi suatu revolusi sosial ?”.
DUA
PERSOALAN yang terpilih jadi pokok masalah yang diperdebatkan berkepanjangan di
tingkat nasional di tahun 1970-an, khususnya pada 1973, adalah masalah rambut
gondrong dan masalah penanaman modal asing di Indonesia dengan kadar kepekaan
yang berbeda-beda. Bahkan dengan tingkat ketajaman persepsi yang berbeda-beda
pula. Bagi para mahasiswa Bandung, kedua masalah itu tidak berdiri sendiri,
melainkan ada dalam satu bingkai ‘persoalan’
hegemoni kekuasaan demi kekuasaan yang berhadapan dengan penegakan demokrasi dan keadilan bagi masyarakat. Suatu pertanyaan yang menyentak dan mengandung alternatif, dilontarkan oleh Delegasi Mahasiswa ITB pada 15 Oktober 1973, kepada penguasa tatkala mendatangi pimpinan DPRD Jawa Barat. “Aksi kami bukan mau mendongkel kelompok penguasa seperti Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Jenderal Soemitro ataupun Tien Soeharto. Kami hanya mengingatkan ada dua alternatif bagi kami: Yang pertama adalah apatis dan yang kedua adalah berontak. Ini bukan ancaman, ada contoh-contoh seperti di Muangthai”. Waktu itu, PM Thanom Kittikachorn memang baru saja mengundurkan diri karena tak tahan tekanan demonstrasi dalam negeri. Delegasi Mahasiswa yang umumnya berambut gondrong –antara lain Kemal Taruc, Hafiz Sawawi, Daryatmo, Henri Hutabarat dan delapan kawan mereka– datang membawa ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’ disamping sejumlah poster dengan tulisan yang pedas ditujukan kepada penguasa. Poster-poster itu mewakili tanggapan dan pikiran mereka terhadap berbagai permasalahan kekuasaan yang diperhadapkan kepada masyarakat. Poster-poster itu antara lain berbunyi ‘Modal asing untuk rakyat atau rakyat untuk modal asing?’, ‘Modal Asing memang Asyik! (Buat siapa?)’, ‘Seribu Yen ditanamkan, seribu Majalaya gulung tikar’. Ketiga poster itu, menyangkut pokok masalah penanaman modal asing yang menjadi dilematis bagi rakyat karena kekeliruan ‘kebijaksanaan’. Sedang dua poster berikut mengungkap aroma penyelewengan dalam bidang perminyakan yang menyengsarakan rakyat, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong pejabat digemukkan’, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong rakyat dikempiskan’. Dan poster ‘GNP naik, celana rakyat melorot’ mengandung kritik kepada kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan keadilan.
hegemoni kekuasaan demi kekuasaan yang berhadapan dengan penegakan demokrasi dan keadilan bagi masyarakat. Suatu pertanyaan yang menyentak dan mengandung alternatif, dilontarkan oleh Delegasi Mahasiswa ITB pada 15 Oktober 1973, kepada penguasa tatkala mendatangi pimpinan DPRD Jawa Barat. “Aksi kami bukan mau mendongkel kelompok penguasa seperti Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Jenderal Soemitro ataupun Tien Soeharto. Kami hanya mengingatkan ada dua alternatif bagi kami: Yang pertama adalah apatis dan yang kedua adalah berontak. Ini bukan ancaman, ada contoh-contoh seperti di Muangthai”. Waktu itu, PM Thanom Kittikachorn memang baru saja mengundurkan diri karena tak tahan tekanan demonstrasi dalam negeri. Delegasi Mahasiswa yang umumnya berambut gondrong –antara lain Kemal Taruc, Hafiz Sawawi, Daryatmo, Henri Hutabarat dan delapan kawan mereka– datang membawa ‘Surat Cinta kepada Negeri Kami’ disamping sejumlah poster dengan tulisan yang pedas ditujukan kepada penguasa. Poster-poster itu mewakili tanggapan dan pikiran mereka terhadap berbagai permasalahan kekuasaan yang diperhadapkan kepada masyarakat. Poster-poster itu antara lain berbunyi ‘Modal asing untuk rakyat atau rakyat untuk modal asing?’, ‘Modal Asing memang Asyik! (Buat siapa?)’, ‘Seribu Yen ditanamkan, seribu Majalaya gulung tikar’. Ketiga poster itu, menyangkut pokok masalah penanaman modal asing yang menjadi dilematis bagi rakyat karena kekeliruan ‘kebijaksanaan’. Sedang dua poster berikut mengungkap aroma penyelewengan dalam bidang perminyakan yang menyengsarakan rakyat, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong pejabat digemukkan’, ‘Sejuta barrel disedot, sejuta kantong rakyat dikempiskan’. Dan poster ‘GNP naik, celana rakyat melorot’ mengandung kritik kepada kebijaksanaan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan keadilan.
Masih
ada lagi dua poster bernada tanya sebagai tanda kegetiran terhadap penegakan
hukum dan keadilan, ‘Siapa mengatur negeri kami, Undang-undang atau selera?’
dan ‘Sesudah Sum Kuning, Rene, Martawibawa, siapa lagi?’ (Martawibawa adalah
seorang tahanan kepolisian Metro Jaya yang mati dianiaya para pemeriksanya. Dan
salah satu pelakunya adalah alumni Taruna Akabri Kepolisian, Bahar Muluk, yang
pada 1970 juga ikut serta mengeroyok sampai mati mahasiswa ITB Rene Louis
Coenraad).
Sepekan
sebelumnya Delegasi Mahasiswa ITB ini juga ke Jakarta membawa surat terbuka
berisi beberapa pertanyaan mengenai tidak terkontrolnya modal asing. Lalu
kepada pimpinan DPR-RI mereka pun sempat membacakan sajak tentang kerbau gemuk
yang merupakan sindiran kearah penguasa. Sedang kepada DPRD Jawa Barat, melalui
Ketua DPRD Rachmat Sulaeman dan Wakilnya Ir Hidayat, mereka menyampaikan ‘Surat
Cinta kepada Negeri Kami’. Dalam surat cinta itu mereka menyatakan “Kekuasaan
dan kekuatan telah menjelma menjadi hukum dan hukum sendiri telah banyak
diperkosa untuk membenarkan ketidakadilan”. Seterusnya dengan getir mereka
menggambarkan, “Dua puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan negeri ini,
harapan akan cita-cita kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian kecil
masyarakat, sementara rakyat banyak memikul kesengsaraannya. Ekses-ekses yang
timbul akibat penanaman modal asing yang tidak terkontrol, pemaksaan-pemaksaan
kehendak dengan dalih demokrasi dan kesewenang-wenangan dengan dalih ketertiban
hukum atau stabilitas nasional, tampaknya akan dibiarkan menjadi kebudayaan
negeri ini oleh sekelompok kecil pejabat-pejabat yang secara kebetulan
mempunyai kekuasaan dan kekuatan”.
Pada
bulan September, Oktober dan November tahun 1973 itu sebenarnya terjadi pula
peningkatan suhu politik dengan makin maraknya demonstrasi pemuda-pemudi Islam
yang menentang RUU Perkawinan di berbagai daerah dan terutama sekali di Jakarta
sendiri. Bagi sebagian umat Islam muncul anggapan, seperti yang dinyatakan
Professor Dr HM Rasyidi dalam Harian Abadi, bahwa RUU itu mengandung tak kurang
dari 7 pasal yang merupakan “Kristenisasi dalam selubung”. Dalam bahasa yang
lebih terang lagi, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan Amin Iskandar
menyebutkan “RUU Perkawinan yang sekarang ini hanyalah terjemahan dari
peraturan yang berlaku untuk perkawinan orang-orang Kristen”. Dikaitkannya
retorika Kristenisasi dalam masalah ini juga terpicu oleh isu bahwa RUU ini
diluncurkan atas desakan kuat Ibu Negara yang menurut isu itu adalah seorang
penganut agama bukan Islam. (Beberapa tahun kemudian, Ibu Negara turut serta
bersama Presiden Soeharto menunaikan Ibadah Haji).
Demonstrasi
terbesar dan dapat disebutkan sebagai puncak dalam kaitan ini adalah aksi di
DPR yang dikenal sebagai Peristiwa Akhir Sya’ban, pada tanggal 27 September
1973. Penamaan Peristiwa Akhir Syaban adalah karena memang peristiwa itu
terjadi tepat di hari terakhir bulan Sya’ban tepat satu hari sebelum memasuki bulan Ramadhan 1393 Hijriah.
Demonstrasi yang dilancarkan pemuda-pemudi Islam itu menggemparkan karena
sampai saat itu baru pertama kalinya terjadi suatu gerakan ekstra parlementer
sedemikian di gedung parlemen. Dalam satu seruan “Allahu Akbar, Allahu Akbar,
Allahu Akbar” yang bergemuruh, ratusan demonstran berhasil menerobos ke ruang
sidang paripurna DPR memenggal jawaban Pemerintah mengenai RUU Perkawinan tepat
pada saat Menteri Agama Mukti Ali tiba pada bagian mengenai pertunangan dalam
Fasal 13, pada pukul sepuluh lewat 7 menit di hari Kamis 27 September itu.
Setelah
demonstrasi anti RUU Perkawinan ini masih berkepanjangan, dan berbarengan
dengan itu aksi-aksi mahasiswa mengenai modal asing dan kesenjangan sosial juga
mulai terjadi, maka Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Laut Soedomo ikut angkat
bicara. Soedomo memperingatkan bahwa larangan demonstrasi tetap berlaku di
Indonesia. Menurut Soedomo, demonstrasi pemuda dan pemudi Islam di DPR 27
September dan “demonstrasi-demonstrasi yang di Bandung” akan diselesaikan
secara hukum. Untuk itu di Jakarta telah terjadi penahanan-penahanan,
setidaknya ada 13 putera dan 1 orang puteri yang ditahan. Sementara Laksamana
Soedomo sibuk dengan gertakan-gertakannya kepada generasi muda yang
berekstra-parlementer, Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro sibuk ber’safari’
dari kampus ke kampus, seolah-olah untuk ‘membayar’ utang-utang pernyataannya
yang disebutkan oleh para mahasiswa sebagai sikap anti demokrasi. Pada pekan
terakhir Oktober ia ke Surabaya bertemu 35 mahasiswa dari Badan Kerja Sama
DM/SM se Surabaya, lalu juga ke Bandung dan Yogya.
Di
Surabaya, Soemitro harus menjelaskan sikapnya mengenai rambut gondrong. Ia
menyatakan tak pernah ada instruksi darinya tentang pemangkasan rambut
gondrong. Bahwa penguasa tak menyukai rambut gondrong, memang benar. Dalam
pertemuan di Surabaya itu Jenderal Soemitro mengaku ingin meyakinkan terus
kepada anak-anak muda bahwa mode rambut panjang itu kurang sedap dipandang.
Namun dengan gaya lunak ia lalu menyatakan “Tapi kalau yang mau diyakinkan itu
tidak mau, ya tidak apa-apa”. Dan, “Anak saya sendiri rambutnya gondrong”.
Pertemuan
yang sengit dan berlangsung blak-blakan terjadi pekan berikutnya, Jumat 2
Nopember, di Bandung. Terbagi atas dua sesi yang diantarai istirahat siang,
untuk memberi kesempatan shalat Jumat, pertemuan seluruhnya berlangsung sekitar
delapan jam. Dari pagi hingga sore. Para pimpinan mahasiswa se Bandung yang
memenuhi Gedung Pertemuan PIAI (Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia) Jalan
Surapati, dengan gencar melontarkan segala pernyataan dan kecaman terhadap
ketidakberesan yang ada di Indonesia waktu itu. Sang Panglima Kopkamtib yang
berbadan gemuk berwajah bulat itu, mendengar dan menjawab, namun selalu
berusaha memperlihatkan keakraban sikap. Kepiawaian yang ditunjukkan Jenderal
Soemitro digambarkan kemudian oleh Komaruddin, pejabat Ketua Umum DM ITB,
secara tepat. “Senyumnya cukup ramah. Awal pembicaraannya dapat dikatakan
relaks dan terbuka”. Lalu, “sebagian yang hadir berhasil dihanyutkan suasana
yang mereka kira terbuka dan fair. Mengalirlah ‘beribu’ pengaduan, yang bisa
diartikan bahwa sebagian pembicara secara tidak sadar mengakui eksistensi
Kopkamtib. Walaupun, sebagian besar dari mereka sangat setuju bila Kopkamtib
dibubarkan saja atau paling kurang dilembagakan kedudukannya hingga jelas
status hukumnya”. Namun, kecuali sedikit cacad hanyutan itu, pertemuan itu
secara menyeluruh sangat bertemperamen.
Adalah
Hatta Albanik, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran, yang dengan
terus terang menyatakan kesangsian akan dialog-dialog dengan kalangan penguasa.
Apa ada gunanya ? “Saya agak enggan, sebab biasanya kalau kita bertemu dengan
pejabat-pejabat dan bicara banyak, akhirnya seolah-olah menghadapi satu tembok
pantul. Artinya, apa yang kita utarakan pada akhirnya memburu-buru kita
sendiri. Kita mulai dihadapkan dengan cara dan sistim intimidasi dan
sebagainya”. Menurut Hatta, sikap-sikap generasi tua yang sedang berkuasa
banyak yang menyebabkan terjadinya frustrasi di kalangan generasi muda.
“Demikian frustrasinya”, ujarnya, “Kita dihadapkan dengan pikiran-pikiran dan
pendapat-pendapat para pejabat itu sendiri, yang kemudian dikontradiksikan
dalam tingkah laku dari pejabat-pejabat itu sendiri. Satu contoh, pak Mitro sendiri
mengatakan bahwa mahasiswa, generasi muda, sebaiknya jangan terlampau terpukau
mempelajari buku-buku dari Barat dan jangan terlampau serius dengan apa yang
diutarakan sarjana-sarjana dari Barat”. Tapi nyatanya, “pejabat-pejabat kita
mengimpor nightclub, mengimpor steambath”. Hatta memperingatkan, jika frustrasi
sudah sedemikian bertumpuknya, dan tak ada penyalurannya, maka akan terjadi
penyelesaian sendiri, yaitu ledakan-ledakan dengan melalui saluran sendiri.
Seperti
menyambung ucapan Hatta, sebuah pernyataan disampaikan kepada Jenderal Soemitro
di forum tersebut, dari DM ITB. “Sangatlah mengkhawatirkan kalau untuk
hampir setiap pencetusan bentuk
spontanitas kaum muda, penguasa menyediakan cap berbau vonnis yang memungkinkan
timbulnya pelbagai bentuk frustrasi. Kami khawatir bentuk frustrasi yang
disebabkan oleh hal tersebut akan membekas dalam jangka waktu yang relatif lama
serta merusak idealisme mereka sebagai generasi penerus”.
Salah
satu topik pertanyaan dan pernyataan yang banyak diutarakan dalam pertemuan itu
adalah mengenai berbagai kepincangan sosial. “Pembangunan sekarang, dari luar
memang kelihatan mentereng dengan mobil-mobil luks yang banyak, Rolls Royce dan
sebagainya, di tengah-tengah kemelaratan rakyat. Banyak orang punya sawah
berhektar-hektar, sedang banyak rakyat petani justru tak punya. Apakah itu
tujuan pembangunan ?”, bunyinya suatu pernyataan yang bercampur pertanyaan.
Lalu dengan adanya jurang sosial yang makin melebar itu, akan mungkin terjadi
suatu revolusi sosial ? Terhadap pernyataan seperti itu, Jenderal Soemitro
mengakui bahwa memang “kurang dirasakan adanya social justice”. Dan “semakin
dirasakan besarnya kontradiksi-kontradiksi sosial”. Tetapi secara umum mengenai
kepincangan sosial, apalagi revolusi sosial, Soemitro menghindari untuk memberi
jawaban atau pernyataan. Ia hanya mengakui adanya ketidakadilan sosial itu
dengan kata-kata yang bersifat umum. Ia pun mengakui adanya
kontradiksi-kontradiksi sosial dan adanya masalah pengangguran. Masalah
ketiadaan lapangan kerja, diakuinya, menimbulkan frustrasi sosial. Pun tersirat
sedikit pengakuan tentang adanya ekses-ekses beberapa penanaman modal asing,
tatkala menjawab seorang mahasiswa yang menyinggung ekses penanaman modal
Jepang. Menurut Jenderal Soemitro ada kebijaksanaan kredit yang diarahkan
membantu usaha-usaha kecil. “Kita membantu golongan lemah agar ada usaha-usaha
baru, yang padat karya”.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (2)
In
Historia, Politik on January 13, 2010 at 3:12 AM
“Makin
jauh dari kota makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota,
bukan pemikiran, tetapi kekuatan yang berbicara”. “Tentulah tidak salah
mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”.
PERTANYAAN
mengenai eksistensi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) mendapat jawaban agak luas dan panjang dari Panglima Kopkamtib
Jenderal Soemitro, lengkap dengan gambaran tentang ‘hubungan buruk’ dirinya
dengan sejumlah Aspri Presiden. Adalah memang, para mahasiswa dalam pertemuan
itu cukup mempersoalkan eksistensi Kopkamtib. Paulus Tamzil dari Universitas
Padjadjaran misalnya mengatakan “Wewenang Pangkopkamtib sekarang ini tidak
jelas. Bukan saja tidak jelas bagi kalangan mahasiswa, tetapi juga tidak jelas
bagi kalangan pemerintah di daerah-daerah”. Lalu dari DM-ITB muncul pernyataan
bahwa waktu ini ada semacam kecurigaan dari mahasiswa terhadap Kopkamtib,
demikian juga terhadap Jenderal Soemitro sendiri.
“Curiga
sifat azasi manusia”, jawab Soemitro, “tapi kecurigaan tak boleh dikembangkan
menjadi permusuhan, karena pada dasarnya kami tak ingin memusuhi orang lain dan
saudara pun pada dasarnya tak mau memusuhi orang lain. Curiga, biasa”. Mengenai
eksistensi Kopkamtib, sang jenderal berkata “Ada pepatah mengatakan ‘Bukan aku
memilih yang baik, yang baiklah memilih aku’. Apakah Kopkamtib perlu, apa
tidak, bukan urusan Soemitro, silahkan masyarakat yang menilai. Kalau tak perlu
Kopkamtib, hak masyarakat lah, hak masyarakat yang disalurkan melalui
konstitusi, tatakrama yang bersumber dari konstitusi. Dus, saya tak akan
membela Kopkamtib. Kalau Kopkamtib dibubarkan, lalu Soemitro sakit hati? Seneng
malah. Capek”. Ia menyebutkan pula bahwa Kopkamtib menyebabkan adanya wibawa
‘atribut-atribut’ (institusi) yang lain. “Penggunaan otoritas Pangkopkamtib itu
adalah last resolve, pemecahan terakhir. Apabila ‘atribut’ yang lain sudah
dapat mengatasi masalah yang ada, Pangkopkamtib tak usah menonjolkan diri.
Tutwuri handayani, itu bahasa Jawa yang saya sendiri tak tahu artinya. Itu
bahasa Jawa Tengah”.
Sejumlah
pertanyaan mengenai masalah sensitif lainnya, menyangkut Aspri, juga diajukan.
Mahasiswa sendiri menilai bahwa Aspri-aspri Presiden juga punya fungsi yang tak
kalah kaburnya, tapi dengan kekuasaan yang begitu besarnya. Termasuk, dalam
urusan-urusan kegiatan ekonomi. Lalu serentetan dengan itu, kepada Soemitro
juga ditanyakan “Apakah pak Mitro berambisi untuk menjadi Presiden ?”.
Pertanyaan ini dilontarkan Paulus Tamzil yang bertubuh tinggi besar dan
bersuara keras nyaring. Lontaran pertanyaan ini dilatarbelakangi oleh apa yang
diucapkan oleh Jenderal Soemitro sendiri beberapa waktu sebelumnya mengenai
yang disebutnya sebagai ‘pola kepemimpinan nasional baru’ (Semula ia menggunakan
terminologi ‘pola kepemimpinan sosial baru’).
“Jangankan
di Indonesia, negara yang sudah maju pun mengenal Aspri. Apalagi sesuatu
pemerintahan yang timbul karena sesuatu peristiwa”, ujar Jenderal Soemitro.
Tentang ambisi menjadi Presiden? “Masalah ini, semenjak tahun enam puluhan
banyak pusat-pusat kebatinan meramalkan. Tapi anehnya, di sini menyebut calon
Presiden itu Soemitro, di sana calon Presiden adalah Ali Moertopo, di sana
calon Presiden pak Widjojo”, Soemitro menjawab. “Mengenai masalah Presiden,
bukan mau tak mau. Kalau saudara tanya pada saya, yang jelas saya tak
memikirkan sejauh itu”. Pertanyaan mahasiswa dan jawaban yang diberikan
Jenderal Soemitro terhadap masalah ambisi menjadi Presiden ini dan kemudian
penonjolannya dalam pemberitaan Mingguan Mahasiswa Indonesia, ternyata menjadi
catatan tersendiri bagi rival-rival dalam kekuasaan. Suatu telaah dilakukan dan
disampaikan kepada Presiden Soeharto dengan beberapa arah kesimpulan. Khusus
bagi mingguan dari Bandung itu, rangkaian pemberitaannya tentang kepemimpinan
nasional itu yang dilanjutkan dengan berita dan analisanya mengenai pertarungan
tingkat tinggi di kalangan kekuasaan
pada edisi akhir 1973 dan awal 1974, menjadi salah satu alasan untuk pembreidelan.
Secara
khusus, Jenderal yang memimpin lembaga ekstra yang sangat berkuasa itu, meminta
kepada para mahasiswa agar jangan menggunakan istilah penguasa. Penguasa adalah
istilah kolonial, “Saya dan kawan-kawan
di sini ingin menghilangkan istilah penguasa”, ujarnya lagi. “Kami bukan
penguasa, kami bukan haus kekuasaan. Kami sekedar menjalankan tugas”. Dan
menambahkan “Masalah takut tak perlu ada. Kepemimpinan yang dikembangkan di
atas rasa takut itu tidak langgeng, tak abadi”.
Lalu
pemerintahan yang sekarang ini, apakah juga dalam beberapa hal tidak berjalan
di atas ketakutan rakyat? Pembicara dari DM Universitas Padjadjaran
menyampaikan, yang menjadi masalah adalah “bagaimana rakyat bisa merasa bahagia
di Klaten, di mana untuk monumen perjuangan 45 beberapa petani dikorbankan
tanahnya, dipaksa untuk menjual tanahnya 500 rupiah per meter persegi ?”. Dan
kalau dikatakan ada kebebasan berbicara, jelas tak ada kebebasan berbicara.
“Saya kagum, pak Mitro begitu terbuka di sini, tapi adalah suatu kenyataan yang
pasti juga bapak ketahui, tapi tidak dikemukakan, yaitu makin jauh dari kota
makin sulit untuk menjalankan demokrasi. Makin jauh dari kota, bukan pemikiran,
tetapi kekuatan yang berbicara”. Untuk ini, seorang pembicara dari DM-IPB
(Institut Pertanian Bogor) mencetuskan perlunya memperhatikan masalah
komunikasi sosial, bukan di pusat saja tetapi hingga tingkat terendah.
Menjawab
segala pernyataan, Jenderal Soemitro menyampaikan ajakan untuk menjalankan
komunikasi yang lebih baik. “Mudah-mudahan dalam pertemuan berikutnya
saudara-saudara tidak marah-marah”. Setelah pertemuan, Komaruddin dari ITB
mengakui, komunikasi memang tampaknya telah terjalin. “Tapi kalau mau berbicara
tentang titik temu, barangkali pertemuan-pertemuan seperti ini masih harus
dilakukan puluhan atau bahkan ratusan kali. Pada waktu ini, dengan
kemantapannya Pangkopkamtib ‘berhasil’ juga menjadikan mahasiswa sebagai ‘anak
bawang’. Namun harus diingat, bau dan kelenjar dari bawang bisa membuat orang
mencucurkan air mata pedih, bukan sedih”. Ia memperingatkan agar mahasiswa menarik
pelajaran dari pertemuan semacam ini, pertemuan yang salah satu targetnya
adalah memberi jalan pelepasan emosi kaum muda. Dalam istilah Paulus Tamzil,
sebagai keran sebuah bak yang yang hampir melimpah. Dan bila itu benar, emosi
mahasiswa lah yang jadi airnya. Karena keran dibuka, tekanan air pada dinding
bak menjadi berkurang. “Karena itu, terhanyutnya sebagian hadirin pada
pertemuan tersebut, dapatlah dikatakan sebagai keberhasilan beliau. Tentu saja
ini menguntungkan Kopkamtib”, ujar Komaruddin. Merasa cukup puas atas hasil
pertemuan itu boleh saja, ujarnya, “Tetapi untuk lantas bersalaman dan menutup
buku perjuangan, sebaiknya jangan”. Masih banyak persoalan yang harus
diselesaikan secara konkrit, bukan sekedar dengan omong-omong.
Yogyakarta
mendapat giliran dikunjungi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sepuluh hari
kemudian, Senin 12 Nopember 1973. Mengenai pertemuan Soemitro dengan mahasiswa
Jawa Tengah dan Yogya itu di gedung BPA (Balai Pertemuan Agung), Mingguan
Mahasiswa Indonesia, menurunkan laporan berdasarkan kontribusi mahasiswa
Universitas Gajah Mada, Mahadi Sinambela, yang sebelumnya pernah menulis
mengenai gejolak pembaharuan di tubuh HMI Yogya secara serial untuk mingguan
Bandung itu.
Suara
mahasiswa Yogya dalam pertemuan itu dilaporkan cukup lumayan. Mereka memulai
dengan satu persoalan mendasar tentang eksistensi Kopkamtib. Mahasiswa Yogya
mengakui fakta kehadiran Kopkamtib, meskipun hati nurani mereka tidak menerima.
Mereka menganggap kekuasaan lembaga ekstra itu terlalu berlebihan, bahkan
menjadi kekuasaan kedua setelah lembaga kepresidenan. Lalu pada forum itu,
mahasiswa Yogya menolak eksistensi Kopkamtib dan “memohon dengan kerendahan
hati agar lembaga inkonstitusional itu dibubarkan”. Ini semua bukan lahir dari
hasrat mendongkel, melainkan sekedar untuk memfungsikan lembaga yang ada. “Apa
guna polisi, kalau Kopkamtib masih ada ?”.
Dalam
pertemuan yang berlangsung tujuh setengah jam ini, sedikit berbeda dengan
mahasiswa Yogya, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Jawa
Tengah banyak menggunakan waktu pertemuan untuk mengadukan bermacam-macam
persoalan kepada Panglima Kopkamtib. Mulai dari soal pupuk, tentang tanah
sampai kepada berbagai persoalan universitas swasta. Walaupun, ada juga di
antara mereka yang menunjukkan isyarat keinginan untuk membubarkan Kopkamtib.
Dengan ungkapan-ungkapan ‘khas’ Mahadi menulis “Rupanya mahasiswa Jawa Tengah
menganggap Kopkamtib semacam miniatur Republik ini. Kita khawatir jadinya,
jangan-jangan Kopkamtib ini adalah semacam PPO (Pak Pung Oil) si raja minyak
angin, yang mampu mengobati segala macam penyakit, tetapi tak berfungsi khusus
untuk satu macam penyakit”. Dengan menyebut pertemuan itu sebagai ‘bull
session’ –yang arti harfiahnya sidang sapi– Mahadi menggambarkan “tapi lumayan,
mereka toh bersuara, mahasiswa Jawa Tengah bagai sapi menguak karena kehausan,
sedang mahasiswa Yogya menguak bagaikan sapi yang ketakutan”.
Tapi
bagaimana pun dalam pertemuan itu tetap muncul sejumlah pertanyaan tajam.
Hanya, jawaban yang diberikan Jenderal Soemitro dalam bull session itu banyak
yang tidak menyentuh pokok persoalan sebagaimana yang dikehendaki para
mahasiswa. Panglima Kopkamtib banyak lari ke GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara), Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai alat penangkis lain yang
telah ‘baku’. Padahal, menurut para mahasiswa, masalah kita bukan terletak pada
kesalahan GBHN atau Pelita, melainkan terutama pada sikap mental manusia yang
sedang mengemudikan GBHN dan Pelita tersebut. “Yang menjadi permasalahan,
kenapa para pelaksana pembangunan kurang bisa mengerti kehendak rakyat”. Suatu
hal yang menarik di antara jawaban Jenderal Soemitro, ialah tentang akan adanya
perobahan kepemimpinan. Yaitu dari kepemimpinan yang otoriter kepada
kepemimpinan sosial yang demokratis. Dengan demikian secara tidak langsung
kepemimpinan yang ada sekarang diakui Jenderal Soemitro sebagai kepemimpinan
yang otoriter. “Tentulah tidak salah mahasiswa meronta menyatakan isi hatinya
menuntut tumbuhnya kepemimpinan yang demokratis”. Tapi yang tidak jelas bagi
para mahasiswa, bagaimana proses perubahan kepemimpinan tersebut. Apakah
kepemimpinan yang ada sekarang masih terpakai melalui adaptasi, atau sama
sekali disingkirkan?
Meskipun
tidak ada yang menanyakan pada forum tersebut, Jenderal Soemitro tetap
memaparkan seputar kabar mengenai keinginannya menjadi Presiden, mengulangi apa
yang pernah disampaikannya di Bandung. Bagi Soemitro, menurut laporan dari
Yogya itu, komunikasi dengan mahasiswa merupakan alternatif baru yang tumbuh.
Memang terasa betapa kecenderungan para mahasiswa melakukan gerakan ekstra
parlementer sangat tinggi waktu itu, dan mungkin pada waktunya tak dapat
dibendung, hingga Jenderal Soemitro berniat membuka komunikasi baru sebagai
katup pengaman.
Sementara
itu di Jakarta, Jenderal Soemitro menolak undangan DM UI berkunjung ke kampus
mereka –dan akhirnya Hariman Siregar cs lah yang berkunjung ke kantor
Kopkamtib. Menurut Gurmilang Kartasasmita, alasan Soemitro adalah karena urusan
kampus-kampus Jakarta telah diserahkan kepada Laksamana Soedomo. Tetapi menurut
Hariman, “dia takut ke kampus UI”. Pertemuan pun sebatas beberapa klarifikasi,
seperti rencana pentas ‘Mastodon’ Rendra di UI.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (3)
In
Historia, Politik on January 14, 2010 at 1:22 AM
“Padahal
ketegangan yang jauh dari pusat merupakan api dalam sekam”. “Keadaan-keadaan
semacam ini membuat kita tidak bebas, kita terpaksa menyimpan sesuatu yang satu
waktu akan meledak. Apa salahnya kalau kita mulai sekarang !?!”. “Kalau perlu,
kita radikal, tapi harus terus berpikir secara logis”
PERJALANAN
waktu membuktikan kemudian, safari Jenderal Soemitro ke kampus-kampus, tidak
berhasil ‘menahan’ –kalau memang betul-betul dimaksudkan begitu–
menggelindingnya gerakan-gerakan mahasiswa. Beberapa pihak dalam kalangan
kekuasaan sendiri, bahkan mencurigai gerakan-gerakan Soemitro ke kampus justru
adalah untuk menggalang simpati dan dukungan kampus bagi dirinya sendiri dengan
menampilkan dirinya sebagai tokoh kuat namun bijak, berkemampuan redam dan
pengendalian, yang sesuai dengan klasifikasi seorang pemimpin masa depan.
Rivalitas yang paling jelas terbaca oleh khalayak adalah perbedaan dan
pertentangan antara Jenderal Soemitro, Mayjen Sutopo Juwono dan kawan-kawan di
satu sisi dengan Jenderal Ali Moertopo dan kawan-kawan pada sisi lain. Sedang
para teknokrat di kabinet, Prof Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan yang sering
dijuluki ‘Mafia Berkeley’ dipetakan pada sisi yang sama dengan Jenderal
Soemitro.
Sekedar
retorika atau ‘revolusi’?
TANPA
kehadiran mahasiswa-mahasiswa Jawa Tengah dan Yogya yang sedang menerima
tamunya, Pangkopkamtib Letnan Jenderal Soemitro, para mahasiswa dari tiga
propinsi lainnya di pulau Jawa berkumpul pada pekan kedua bulan Nopember di
kampus Universitas Padjadjaran Bandung. Setidaknya ada 8 Dewan Mahasiswa dari
perguruan tinggi terkemuka yang menghadiri pertemuan di kampus Jalan Dipati
Ukur itu. Universitas Indonesia dari Jakarta, Universitas Brawijaya dari Malang
dan Institut Teknologi 10 November Surabaya. Lima lainnya, dari Bandung, yakni
IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan), Institut Teknologi Tekstil,
Universitas Parahyangan, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran
sebagai tuan rumah.
Dengan
gaya yang sangat radikal, Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Bandung Sofyan Taftazami,
tampil menyerukan satu ajakan untuk berrevolusi. “Di kalangan masyarakat banyak
yang merasa tidak puas. Ini terbukti sekarang. Saya berpikir begini, apakah sudah
masanya kita harus berrevolusi kembali ?”, cetusnya. “Pada kesimpulan saya,
saya rasa perlu. Satu hal, siapa yang mau jadi korban ? Saya hanya butuh 100
orang. Sekarang masyarakat membutuhkan revolusi !”. Apakah bernama revolusi
atau bukan, tetapi ajakan untuk bergerak sangat kuat tampil dalam pertemuan
itu. Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik, menyampaikan ajakan
untuk bergerak segera. “Selama ini kita takut kalau kita bergerak di luar
kebiasaan, kita dicap kurang ajar. Ini harus kita rombak”, ujar Hatta. “Dan
biasanya dalam diskusi dengan penguasa kita hanya sebagai pendengar, dicekoki.
Kalau bertemu Kopkamtib seolah-olah mendapat kehormatan. Katanya untuk
menampung suara-suara. Ini sekaligus menunjukkan DPR tidak berfungsi”. Menurut
Hatta pula, “Apa yang dikatakan pembangunan, hanya steambath yang bermunculan.
Untuk bikin monumen, rakyat harus digusur. Ini masalah-masalah yang harus kita
perhatikan. Satu hal lain lagi ialah versi demokrasi. Versi kita dengan
penguasa berbeda-beda”. Ia memaparkan, banyak orang yang tidak mau berbicara,
karena risikonya berat, pasti dituduh PKI. Kita tidak mau keadaan ini kian
parah, harus mulai dicegah dari sekarang. “Keadaan-keadaan semacam ini membuat
kita tidak bebas, kita terpaksa menyimpan sesuatu yang satu waktu akan meledak.
Apa salahnya kalau kita mulai sekarang !?!”, serunya yang disambut gemuruh
“Setuju !!”.
Menghadapi
berbagai ketidakberesan dalam pembangunan, yang menyangkut keadilan dan
sebagainya, Ketua Umum DM Universitas Indonesia Hariman Siregar mengingatkan,
“tidak bisa kita jawab hanya dengan kemarahan”. Lalu dianjurkannya agar apa
yang dirasakan saat itu harus disebarluaskan kepada rakyat. “Kata-kata muluk
dari teknokrat, guru-guru besar, merupakan umpan yang dimanfaatkan penguasa
untuk menipu rakyat”. Yang dimaksud Hariman waktu itu pastilah terutama para
teknokrat yang ada dalam pemerintahan Soeharto. Pada berbagai kesempatan
Hariman memang paling sering menempatkan para teknokrat itu pada titik fokus
serangan-serangannya. “Dalam kekuatan, kepintaran, dan tenaga, jelas mereka
lebih dari kita. Jadi setiap pemikiran kita, harus kita pikirkan dua langkah
setelah itu. Masalahnya ialah masalah antara generasi. Issue-issue yang
bersifat sektoral harus kita jauhkan. Konsensus antar generasi muda harus sama,
ini adalah issue generasi. Kalau kita telah bertekad untuk berjuang, kita harus
yakin bahwa tindakan kita benar. Kita harus mengembangkan apa-apa yang
dirasakan rakyat menjadi issue generasi. Kalau kita mengadakan sesuatu harus
ada pesan politiknya, rakyat harus membantu kita”. Hariman juga menyentil
angkatan yang lebih dulu, “Kita jangan terlalu terpaku oleh perjuangan 1966,
berdemonstrasi harus beribu-ribu baru bisa bergerak. Kenangan masa lampau harus
kita hilangkan. Jangan menumbuhkan perjuangan tokoh, ini adalah perjuangan
generasi. Jadi harus ada konsep untuk melawan konsep lain”.
Pada
bulan-bulan menjelang akhir 1973 itu, pertemuan-pertemuan semacam yang
dilangsungkan di kampus Padjadjaran tersebut berguna bagai para mahasiswa
sebagai ajang untuk mengkonsolidasi diri. Karena, bagaimana pun harus diakui
bahwa masih terdapat perbedaan-perbedaan pandangan di antara para mahasiswa
itu, terutama antara mahasiswa-mahasiswa Jakarta yang masih cukup ‘heterogen’
dengan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang relatif homogen dan sangat kuat
berbasiskan komponen intra kampus. Hingga minggu pertama Januari 1974 nantinya,
masih berlangsung berkali-kali pertemuan di berbagai kampus baik di Bandung
maupun di Jakarta. “Kami jauh dari pusat”, ungkap Zainal Arifin, Ketua Umum DM
Universitas Brawijaya dalam pertemuan di Unpad itu, “Forum-forum semacam ini
banyak faedahnya bagi kami. Dengan segala kemauan yang baik kita bertemu di
sini. Kami yang dari daerah kadang-kadang tidak bisa mengerti apa yang terjadi
di pusat. Kami diliputi oleh rasa cemas. Karena sulitnya menerima informasi,
kadang kita mempunyai pandangan yang berbeda dalam menilai sesuatu. Namun
begitu, kita mempunyai ikatan yang sama dan esensil. Solidaritas semacam ini
perlu kita bina dan bagaimana kelanjutannya kita pikirkan bersama pula”. Zainal
Arifin menggambarkan pula, “Saudara-saudara cepat memberikan suatu respon
terhadap keadaan di pusat, kami agak lain. Seolah-olah kami tidak apa-apa di
sana. Padahal ketegangan yang jauh dari pusat merupakan api dalam sekam. Hanya
masalahnya, sulit bagi kami mencari momentum”.
Adalah
pula dalam pertemuan itu, pejabat Ketua Umum DM-ITB Komaruddin yang angkat
bicara mengenai beberapa masalah aktual yang menjadi sorotan waktu itu, yang
merupakan hal-hal yang tidak beres di depan mata, seperti misalnya masalah
modal asing dan eksesnya. “Berbicara mengenai modal asing, kita bagai
membicarakan ladang yang telah ditumbuhi terlalu banyak alang-alang. Untuk
memperbaikinya, ladangnya sendiri harus dibongkar”, ujarnya memberi contoh
soal. “Satu hal yang tragis, apakah betul-betul kredit dari IGGI
(Inter-Governmental Group on Indonesia) telah bermanfaat bagi kita ? Apakah
sebagian dari kredit ini telah menjadi Rolls Royce atau isteri muda para
pejabat. Kita betul-betul prihatin melihat keadaan ini”. Apa yang diutarakan
Komaruddin, bukan sekedar meraba-raba. Kala itu memang betul-betul ada pejabat
puncak perusahaan negara yang punya Rolls Royce. Banyak pula pejabat yang
memang diam-diam (namun diketahui umum) betul-betul punya isteri muda dari
kalangan selebriti atau semacamnya. Seorang pejabat perusahaan negara yang
banyak disorot, juga suatu ketika menikahi seorang isteri yang betul-betul
muda, berusia 17 tahun, tatkala ia sendiri telah berusia 57 tahun.
Komaruddin
mengingatkan pula akan pengalaman pahit masa lampau, tentang peranan isteri
pejabat: Bahwa, salah satu yang menjatuhkan Soekarno dulu ialah ikut campurnya
isterinya dalam mengurusi politik. Isteri yang dimaksud pastilah Nyonya
Hartini, yang dikawini dalam status ‘janda’ oleh Soekarno setelah diperkenalkan
oleh Jenderal Gatot Soebroto. “Kasus ini juga saya lihat mulai terulang di
sini. Misalnya, dalam peristiwa Proyek Mini yang menimbulkan pro dan kontra,
yang masalahnya menjadi main ‘backing-backing’an dalam masyarakat. Jangan
sampai keadaan sudah terlalu busuk, baru masalahnya kita soroti. Jangan sampai
ibu Tien tidak tahu batas ‘wewenang’nya”. Mempertegas ucapan rekan-rekannya
yang hadir, Komaruddin menegaskan “Kalau perlu, kita radikal, tapi harus terus
berpikir secara logis”. Tapi rupanya Ketua Umum DM IKIP yang seorang anggota
HMI Bandung tak puas hanya sampai pada kata ‘radikal’, maka ia mencanangkan
perlu ‘revolusi’.
Agak
berbeda dengan beberapa pertemuan sebelumnya, kali ini para mahasiswa dari 8
perguruan tinggi di pulau Jawa itu, maju setapak dalam langkah konsolidasi.
Mereka melahirkan Ikrar 10 Nopember 1973 dalam pertemuan itu. “Kami, generasi
muda Indonesia, setelah merenungkan sedalam-dalamnya kenyataan yang terjadi
dalam perkembangan kehidupan bangsa, yang semakin jauh dari yang
dicita-citakan, merasa terpanggil kesadaran tanggung jawab kami selaku generasi
pewaris hari depan bangsa untuk turut serta melibatkan diri dalam proses
kehidupan masyarakat, menyatakan: Kesatu, meningkatkan solidaritas di antara sesama
generasi muda dalam menghadapi kenyataan-kenyataan, sebagai konsekwensi dari
keterlibatan kami dalam proses kehidupan kemasyarakatan; Kedua, menyatakan satu
tekad untuk mengadakan langkah-langkah perubahan dalam usaha mewujudkan
cita-cita kemerdekaan yang telah dirintis oleh para pahlawan bangsa. Kiranya
Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjuangan kami”.
Meskipun
pada tiga bulan terakhir 1973 itu, titik berat pusat pergerakan mahasiswa telah
bergeser ke tangan gerakan-gerakan mahasiswa intra, di Jakarta berkali-kali
terjadi pula aksi-aksi yang dimotori oleh beberapa eksponen organisasi ekstra
universiter atau organisasi-organisasi massa yang tidak terkait dengan
universitas. Adalah pula masih terjadi beberapa gerakan oleh
mahasiswa-mahasiswa secara perorangan tanpa membawa nama institusi organisasi
mahasiswa kampus dengan penamaan-penamaan diri yang bersifat ekstra
universiter. Gerakan-gerakan menentang RUU Perkawinan misalnya, senantiasa
dilancarkan oleh organisasi massa kalangan generasi muda Islam –termasuk para
pelajar– dan didukung oleh eksponen-eksponen organisasi mahasiswa ekstra yang
terkait dengan organisasi politik dan partai berideologi Islam. Sungguh khas
bahwa kala itu, perhatian generasi muda Islam begitu terpusatnya kepada masalah
RUU yang dianggap bagian dari Kristenisasi terselubung, sehingga sekalipun
mereka tidak pernah turut atau tergerak menyentuh masalah-masalah lain di luar
itu semisal masalah ketidakadilan dalam pembangunan yang terasa dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Ini sejajar dengan apa yang terjadi di kalangan
politisi yang berideologi Islam, khususnya Partai Persatuan Pembangunan.
Seolah-olah ada pembelahan. Dan apa yang mempersatukan kedua belahan itu tak
lain hanyalah sikap Kopkamtib yang represip terhadap kedua-duanya.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (4)
In
Historia, Politik on January 15, 2010 at 1:56 AM
“Mereka
memperingatkan agar permainan kotor jangan dibiarkan. Mereka menilai, selama
tujuh tahun tidak ada perbaikan berarti yang dicapai pemerintah dalam
pembangunan, terutama yang menyangkut taraf hidup rakyat banyak”. “… dalam soal
dana non budgetair ….. ada kelompok-kelompok yang kegiatannya adalah mencari
‘sumber-sumber’ (pribadi) dari sana”.
Menuntut
para ‘dukun’
KETIDAKADILAN
dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi memang banyak dikaitkan dengan
kebijaksanaan salah arah dalam penggunaan bantuan luar negeri dan penanaman
modal asing. Modal Jepang menjadi sasaran ‘favourit’ kritik mahasiswa dalam hal
yang satu ini. Suasana anti Jepang yang makin meningkat menjelang akhir 1973
itu, khususnya di kalangan generasi muda, sudah dirasakan jauh sebelumnya. Bahwa
pasti akan ada sesuatu yang terjadi pada orang-orang Jepang ini, juga bukanlah
hal yang tak bisa diperhitungkan sebelumnya. Bahkan, banyak yang mengatakan
tinggal tunggu waktu mahasiswa akan turun ke jalan lagi dengan sasaran utama
modal Jepang. Sasaran juga akan mengarah kepada pihak-pihak dalam kekuasaan
yang dianggap mahasiswa ‘mendukuni’ masuknya modal Jepang secara tidak sehat ke
Indonesia.
Sejak
pekan terakhir Nopember, memang telah terjadi setidaknya tiga gelombang gerakan
protes generasi muda. Pertama, pada hari Rabu, satu delegasi mahasiswa ITB
datang ke Bappenas mempertanyakan masalah modal asing. Mereka memperingatkan
agar permainan kotor jangan dibiarkan. Mereka menilai, selama tujuh tahun tidak
ada perbaikan berarti yang dicapai pemerintah dalam pembangunan, terutama yang
menyangkut taraf hidup rakyat banyak. Ekses dari modal asing yang salah arah
hanyalah salah satu penyebab. Disusul sehari sesudahnya, ‘Gerakan Mahasiswa
Bertanya’ dari Jakarta mendatangi Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk pokok
soal yang sama, seraya menyebut-nyebut nama salah seorang Aspri Presiden Mayjen
Soedjono Hoemardani sebagai orang yang sangat terlibat dalam praktek masuknya
modal Jepang dengan cara-cara yang tidak sehat. “Sampai sejauh manakah
kebenaran opini dalam masyarakat bahwa Soedjono Hoemardani memainkan peranan
dalam pelaksanaan penanaman modal Jepang?” tanya mereka.
Pada
akhir pekan itu, menyusul datang satu delegasi besar mahasiswa Bandung yang
dikoordinasi oleh 3 Dewan Mahasiswa –Universitas Padjadjaran, Universitas
Parahyangan dan ITB– mendemonstrasi Kedutaan Besar Jepang di Jalan Mohammad
Husni Thamrin Jakarta. Gerakan mahasiswa Bandung itu, menurut Ketua Umum DM-UI
Hariman Siregar, “kami dukung”, meskipun mahasiswa UI tidak ikut turun ke
jalan. Karena Duta Besar Jepang tidak ada di tempat, delegasi mahasiswa hanya
diterima oleh Kuasa Usaha bernama Mogi. Diplomat Jepang ini dengan
terheran-heran bertanya kepada para mahasiswa Bandung itu, “Apa sebab protes
kepada kami” dalam bahasa Inggeris, “bukankah seharusnya protes ini disampaikan
kepada pemerintah Indonesia ?”. Para mahasiswa menjawab, “Sebagai warga negara
Indonesia, kami berhak menilai keadaan yang merugikan kepentingan kami dan
berhak mengajukan protes-protes kepada pihak-pihak yang terlibat“. Mahasiswa
mengutarakan modal Jepang di Indonesia dalam prakteknya banyak memberikan efek
negatif. Maka menurut Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, mahasiswa mengajukan
appeal kepada para pengusaha Jepang melalui pemerintah Jepang “agar dalam
menjalankan usaha di Indonesia, tidak merugikan bangsa Indonesia”. Seraya
mengungkap betapa dalam tempo hanya tiga setengah tahun saja penjajahan Jepang
telah meninggalkan bayangan pahit yang berbekas dengan mendalam, Ketua Umum DM
Universitas Padjadjaran Hatta Albanik mengatakan Jepang tidak memperhatikan
kepentingan bangsa Indonesia. “Kita melihat wajah lama Jepang itu ditampilkan
lagi oleh para pengusaha Jepang dalam usahanya di Indonesia dengan cara-cara
yang terlampau serakah”.
Menjawab
para demonstran, Mogi menyatakan “Bukankah dalam perdagangan Jepang dengan
Indonesia, justru yang diuntungkan adalah Indonesia?”. Para demonstran dari
Bandung itu membantah dalih sang kuasa usaha, “Tidak benar. Mungkin dari segi
angka itu benar, tapi dari segi kualitatif tidak benar”. Ketua Umum DM
Universitas Parahyangan Budiono Kusumohamidjojo mengecam pihak Jepang yang
hanya memperhatikan segi-segi kuantitatif dalam hubungan ekonomi itu dan
mengabaikan segi kualitatifnya.
Lewat
bahasa poster para mahasiswa menampilkan kalimat-kalimat tajam. “Bukan lautan
tapi kolam Suzu(ki), udang dan ikan dan ganggang dan ubur-ubur dan kadaall
menghampiri jaringmu”. Kalimat poster yang ditenteng mahasiswa Universitas
Padjadjaran yang bernama Tjupriono ini merupakan plesetan dari ‘kolam susu’ lagu
Nusantara ciptaan Koes Bersaudara. Poster lainnya berbunyi “Modal anda =
pengangguran”, “Nipong Indonesia sama-sama (gendut), Nipong kenyang Indonesia
busung lapar”, “Tiga Berlian sedap, Ajinomoto lebar dan kuat, rakyat sekarat
dan tahan lama”, “Laut Indonesia untuk rakyat Indonesia”, “Tanam modalmu buat
kemakmuran rakyat bukan untuk pribadi-pribadi”. Lalu ada anjuran “Bagi modalmu
ada saluran resmi bukan broker-broker”, dan sebuah poster yang dipegang Fuad
Afdhal dari DM-ITB menyimpulkan saran “Tempuhlah saluran resmi”. Untuk urusan
poster dan spanduk ini terjadi dua kali insiden dengan petugas-petugas dari
kepolisian. Poster dan spanduk diambil oleh petugas-petugas tapi terpaksa
dikembalikan setelah diprotes para demonstran. Insiden kedua terjadi ketika para
mahasiswa mau memasang spanduk di mobil, tapi dilarang para petugas. Melalui
adu argumentasi akhirnya spanduk dipasang di kiri dan kanan kendaraan yang
mereka pakai, tetapi yang di bagian belakang dilepas oleh para petugas
kepolisian Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)
Sutrisno Ilham.
Para
demonstran juga mengeluarkan surat seruan yang ditandatangani oleh tiga Ketua
Umum Dewan Mahasiswa yang mengkoordinir gerakan. “Dalam dunia baru, kenangan
pahit terhadap Jepang seharusnya punah. Peranan dan kepentingan Jepang yang
ditampilkan melalui pengusaha-pengusaha Jepang di Indonesia, tidak seharusnya
menggugah kembali kenangan pahit itu, dengan cara yang baru dan merugikan
rakyat Indonesia”. Maka para mahasiswa menyerukan: “Kepentingan rakyat
Indonesia adalah sasaran usaha kami. Itu pun haruslah diperhatikan terhadap
penanaman modal dan usaha, oleh siapa pun di bumi kami. Cara-cara tak wajar
yang anda lakukan, akan semakin merusak wajah anda di mata rakyat kami dan
menjerumuskan pejabat-pejabat kami bermain kotor. Hubungan rakyat kami dengan
anda bukanlah hanya hubungan produsen dan konsumen, tetapi didasarkan atas
kepentingan bersama rakyat Indonesia dan anda”. Seterusnya mereka menyatakan
“Kami ingatkan ini, karena kehadiran anda mewakili rakyat Jepang. Sedangkan
pemerintah kita, Indonesia dan Jepang, telah berusaha membina hubungan baik
selama ini. Harapan kami seruan ini menyentuh pula hati pejabat-pejabat
Indonesia, agar tidak menyediakan dirinya menjadi broker-broker ekonomi.
Sehingga, persahabatan Indonesia-Jepang bukan ditandai oleh persekutuan antara
penjual-penjual negeri Indonesia dengan ‘binatang-binatang’ ekonomi dari
Jepang”.
Adalah
pada Jumat pekan itu juga diselenggarakan diskusi ‘Untung Rugi Modal Asing’ di
Balai Budaya Jakarta. Suasana diskusi saat itu terasa bagai sudah diambang
letupan besar aksi-aksi parlementer. Seorang mahasiswi bernama Sylvia Gunawan
tampil berapi-api di forum itu. “Persoalan modal asing yang sebenarnya, kita
sudah tahu”, ujarnya, “Tapi yang penting adalah bagaimana mengambil sikap dan
langkah-langkah selanjutnya”. Lalu Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI
yang berkacamata itu membacakan sebuah ikrar, untuk “menegakkan kembali
kebanggaan nasional yang sebagian telah dicemarkan oleh berbagai kalangan
masyarakat Indonesia”. Dan, “mengusahakan dengan segala cara yang berdasarkan
hukum untuk menegakkan kembali kebanggaan nasional tersebut”. Ikrar yang
kemudian diedarkan sang mahasiswi kepada hadirin, ternyata mendapat sambutan
yang besar. Tak kurang dari 150 orang membubuhkan tanda tangan pada ikrar.
Diantaranya tokoh-tokoh seperti Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, Yap Thiam
Hien, Juwono Sudarsono, Marsillam Simandjuntak, Dorodjatun Kuntjoro Jakti,
Louis Wangge dan Hariman Siregar.
Yang
paling menonjol dalam diskusi yang hangat ini ialah pernyataan-pernyataan
ketidakpuasan terhadap keadaan saat itu. Apakah itu kepada salah arah
pembangunan, penyalahgunaan kekuasaan dan penyakit lemah iman di kalangan
pejabat ataukah kepada ekses pelaksanaan keliru dalam pemasukan modal asing.
Tatkala suhu diskusi makin meningkat, seorang pembicara muda yang melampiaskan
ketidakpuasannya menyatakan dirinya berani menanggung risiko ucapan-ucapannya
dalam forum tersebut. “Sampai ditangkap sekalipun, saya berani”. Dengan cepat
tokoh pers perjuangan Mochtar Lubis yang menjadi moderator menanggapi, “Saya
rela ditangkap bersama kalau memang ada penangkapan”. Urusan tangkap menangkap
itu muncul karena para penguasa militer dalam hari-hari terakhir memang tak
hentinya menggertak akan menangkap mereka yang tak mau menghentikan
gerakan-gerakan ekstra parlementer.
Dari
para panelis yang hadir, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Maruli Panggabean,
cukup banyak terlontar gambaran pahit. Dua panelis lainnya mantan wakil presiden
RI Muhammad Hatta dan Dr Suhadi Mangkusuwondo seorang Dirjen pada Departemen
Perdagangan, tidak hadir namun mengkontribusikan pemikiran pemikiran bagi
diskusi tersebut. Dorodjatun menunjang pendapat Hatta bahwa modal asing tak
seharusnya menguasai hajat hidup bangsa. “tapi nyatanya sekarang ini masuknya
modal asing telah membuat perusahaan dalam negeri separuh mati, belum lagi
bahwa proteksi terhadap pribumi ini sudah lama dipreteli”. Dorodjatun mengakui
bahwa secara teoritis modal asing dapat berguna menambal kekurangan dana dalam
negeri maupun melengkapi bidang teknologi dan manajemen. Tapi, tanpa proteksi
bagi pengusaha dalam negeri dan tanpa pengarahan, akan menimbulkan
kesukaran-kesukaran. Tanpa segan-segan Dorodjatun menunjuk adanya ketidakberesan
di kalangan pejabat. Salah satu contoh adalah dalam soal dana non budgetair
dimana ada kelompok-kelompok yang kegiatannya adalah mencari ‘sumber-sumber’
(pribadi) dari sana. “Kekacauan makin komplit jadinya”, ujarnya. Ucapannya itu
menjanjikan bahwa di masa depan bilamana ia memegang kendali kebijakan –dan
memang belakangan ia menjadi Menteri Perekonomian di masa Presiden Megawati
Soekarnoputeri– ia akan bersikap tegas dan jelas.
Maruli
Panggabean pun tidak kalah banyak melontarkan kecaman ke arah kalangan pejabat
pemerintahan. Menurut Maruli tak sedikit pejabat yang melontarkan ucapan-ucapan
yang membuktikan bahwa yang bersangkutan tak punya harga diri. Antara lain
ucapan-ucapan mereka yang mengejek bahwa bangsa Indonesia tak bisa bekerja, tak
mampu berekonomi, tidak terampil dan sejumlah ucapan meremehkan lainnya.
“Apakah ucapan-ucapan itu benar? Masih perlu diselidiki”. Maruli sendiri belum
bisa menarik kesimpulan apakah betul bangsa kita ini tak mampu berekonomi dan
sebagainya. Maruli mengecam ucapan-ucapan pejabat yang suka membunuh semangat
pengusaha-pengusaha Indonesia. Ia mencontohkan ucapan Menteri PAN
(Pendayagunaan Aparatur Negara) JB Sumarlin yang beberapa waktu sebelumnya
mengatakan bahwa para pengusaha Indonesia itu sulit dipersatukan, karena semuanya
ingin jadi direktur saja. Lalu Maruli balas melontarkan sindiran “Di kalangan
teknokrat pun ada penyakit, semua ‘kepingin’ jadi menteri saja”. Seperti Hatta
maupun Dorodjatun, Maruli juga menganggap modal asing hendaknya hanya sebagai
pelengkap. Dalam hal ini pemerintah harus punya konsep yang jelas. “Bukan
janji-janji mendadak saja, kalau mahasiswa-mahasiswa ribut lagi. Tapi kalau
keadaan tenang, lupa”.
Pengacara
Yap Thiam Hien menyerang dari sudut yang lain. Ia meminta perhatian akan
masalah pemisahan kekuasaan politik dan ekonomi, khususnya kepada DPR. Namun ia
menyatakan sangsi kepada DPR karena beberapa hal, misalnya fakta banyaknya
anggota DPR yang juga adalah dari eksekutif. “Bagaimana bisa seorang pegawai
yang jadi anggota DPR berani menilai atasannya yang menteri. Bagaimana bisa
seorang anggota DPR berpangkat Kolonel mengeritik Menteri Dalam Negeri yang
berpangkat Letnan Jenderal?”. Moderator Mochtar Lubis mempertajam diskusi
dengan mengemukakan bahwa menurut faktanya modal asing yang saat itu diundang
bersama teknologinya tidaklah sesuai dan serasi dengan tingkat kebutuhan bangsa
saat itu. Kenapa harus dipaksakan, sehingga menjadi satu bentuk penjajahan
baru.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (5)
In
Historia, Politik on January 16, 2010 at 1:04 AM
“Tidak
semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang beruntun-runtun terjadi
belakangan ini mengesankan”. “Ada yang sekedar latah atau karena takut
kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan penguasa ‘sekedar
untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh gerakan menyatakan
aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja”.
SUATU
pertemuan orang-orang tak puas di kampus ITB di Bandung, menjadi lanjutan yang
membuat temperatur politik tetap tinggi. Pertemuan Minggu pagi 9 Desember 1973
yang berlangsung hingga sore, menjadi forum dengan campuran hadirin yang
menarik. Peserta datang dari kalangan mahasiswa, cendekiawan dan seniman, dan
berasal dari lintas kota dan lintas generasi. Ada pengacara vokal dari Bandung
ibu Amartiwi Saleh SH dan pengacara vokal lainnya dari Jakarta Adnan Buyung
Nasution SH. Ada budayawan ‘tukang protes’ W.S. Rendra, ada deretan cendekiawan
dari Jakarta maupun Bandung, seperti Drs Wildan Yatim yang menunjuk dwifungsi
ABRI sebagai penyebab kaburnya hukum, Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang
membahas penggunaan ‘akal sehat’, Professor Deliar Noor yang membicarakan
tentang konflik dan penyelesaiannya, serta Dr Taufik Abdullah. Dan tentu saja
sejumlah pimpinan berbagai Dewan Mahasiswa dari Bandung, Jakarta maupun Yogya.
Pertemuan di ITB ini mengisyaratkan mengentalnya konsolidasi kaum kritis saat
itu. Dan adalah memang setelah itu, suhu pergerakan menentang penguasa semakin
meninggi hingga akhir Desember 1973.
Amat
mencuat dari pertemuan itu penilaian bahwa keadaan negara saat itu telah tiba
ke tingkat yang begitu buruk dan harus segera diakhiri, bila perlu dengan
gerakan yang lebih berani dan tegas. “Kita ingin merdeka dengan tujuan
mencerdaskan bangsa agar tidak bisa diinjak-injak. Setiap kungkungan kebodohan
adalah lawan, tidak perduli siapa orangnya yang melakukan dan apa lembaganya”
ujar Buyung Nasution dalam forum itu. “Memang tidak jelas siapa yang berkuasa
di negara ini. Soeharto? Opsus? Atau Pangkopkamtib? Saya bukannya mengatakan
tidak ada yang berkuasa, tetapi terlalu banyak, sehingga kacau !”. Kalau
“keadaan begini terus, bagaimana? Kalau yang atur tidak beres, bagaimana dengan
yang diatur?”. Lalu ia bertanya “Apakah keadaan ini kita terima atau
bagaimana?!”. Hadirin menjawab “Lawan!”. Buyung melanjutkan “Tapi kita jangan
naif, siapa yang jadi pemimpin tidak jadi soal. Tapi sebelumnya kita tanya dulu
mau ke mana dia, jangan jadi memperkuda kita lagi. Jangan setelah diangkat jadi
anggota DPR kemudian tenggelam, jadi menteri tenggelam. Ini orang-orang yang
tidak berwatak! Momentum kita kembangkan terus, dari satu kita kembangkan
terus. Mari kita bertarung secara jujur, bukan pat gulipat”.
Ketua
DM Gajah Mada menyambut dengan ucapan, “Sekarang ini saya juga tidak tahu siapa
sebetulnya yang berkuasa di negara kita ini, apakah Jenderal Soeharto,
jenderal-jenderal, rektor atau yang lain-lain. Yang pasti hanya untuk menjumpai
Jenderal Soemitro saja diperlukan prosedur yang berbelit-belit”. Kemudian ia
menambahkan “Saya mau saja berdemonstrasi, tapi saya harus yakin lebih dulu,
apakah kalau kita mau membuka front kita pasti menang?”. Untuk pertanyaan ini,
datang jawaban dari Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran Hatta Albanik. Tokoh
kampus yang sudah terjun melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer bersama
sejumlah rekannya dari Bandung dan Jakarta ini, menyatakan “Banyak orang
mengatakan apa yang dihasilkan generasi muda adalah sia-sia” –dan ini kerap
dilontarkan kalangan penguasa yang menilai gerakan ekstra parlementer– “Mungkin
ini benar. Tapi masalahnya, kita melihat kepincangan-kepincangan, ada hal-hal
yang tidak beres ! Siapa yang mau bicara ? Mau tidak mau, harus kita lagi,
generasi muda. Kita harus berkorban lagi ! Ini bukan sekedar pembelaan terhadap
apa yang telah kita lakukan, tapi siapa yang berani menentang pemerintah ?
Akhirnya kita juga para mahasiswa. Saya melihat semakin lama keadaan semakin
buruk. Pemerintah terlalu economic oriented. Inilah yang membuat kita
terhambat”. Menurut Hatta Albanik sudah terlalu banyak teori-teori yang
dilontarkan. Mereka bukan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. “Mereka hanya ingin kekuasaan. Kita sok kerakyatan barangkali, tapi
kita ingatkan agar yang berkuasa ingat akan rakyat. Percuma kita banyak ahli,
tapi bungkam semuanya”.
Hariman
Siregar dari UI mempertegas, “Kalau kita melihat ke atas, pilihan sangat
sempit, yaitu apakah pimpinan yang ada dijatuhkan atau tidak ?”. Lalu
dijawabnya sendiri, “Kultur orang-orang yang di atas jelas tidak memungkinkan
adanya perubahan. Meskipun, mungkin saja tanpa orang-orang muda bergerak mereka
akan jatuh”. Barangkali Hariman memaksudkan adanya pertarungan internal yang
bisa menghasilkan pergeseran kekuasaan. “Tapi bagaimanapun kita harus mengikuti
berjuang dan mengerti suasana, Konflik-konflik dan tantangan adalah risiko !
Lambat atau cepat kita akan ‘mendapat’ konflik”. Komaruddin dari DM-ITB
memberikan jawaban atas segala kesangsian, “Kita harus berpikir bagaimana
caranya membunuh benalu-benalu yang ada, apakah dengan sangkur atau alat yang
lain”. Dengan nada yang memperingatkan untuk bertahan tanpa perpihakan kepada
kelompok dalam rivalitas internal dalam kekuasaan, ia menegaskan “Dari pada
kita merangkul Kopkamtib atau Aspri dan lain-lain…. lebih baik kita merangkul
Miss University”. Sentilan Komaruddin ini menjadi bermakna, karena saat itu
sangat kuat terasa adanya percobaan klik-klik kekuasaan yang sedang bersaing
satu sama lain untuk menyusupkan pengaruh ke tengah generasi muda dan
mahasiswa.
Tak
kalah menarik, di tengah suhu tinggi semangat melawan, ada suara salah satu
pembicara dari kalangan mahasiswa sendiri, Suroso, yang menyentil “Kita
generasi muda terlalu galak kepada yang ada di luar, tetapi terlalu jinak pada
kelemahan diri sendiri. Kalau kita inginkan agar pola konsumsi jangan terlalu
berlebih-lebihan, janganlah kampus dibikin arena ratu-ratuan”. Salah seorang di
antara pemenang kontes ratu-ratuan di tingkat Jawa Barat saat itu tercatat
antara lain mahasiswi bernama Tinneke Pondaaga, yang kebetulan sekampus dengan
Suroso di Universitas Parahyangan. Sedang Komaruddin yang tergolong radikal dan
kampusnya langka akan pemenang kontes kecantikan, tapi pernah sekali melahirkan
Miss Indonesia, yakni mahasiswi Seni Rupa ITB Irma Hadisurya, di tahun 1969,
lebih senang merangkul Miss University daripada merangkul Kopkamtib dan Aspri.
Itulah dinamika kehidupan, hasrat bisa berbeda-beda. Adalah pula Dr Taufik
Abdullah yang juga mempunyai hasrat berbeda, ia berkata “Jangan termakan oleh
pemuda-pemuda radikal, lalu ikut-ikutan radikal”.
Koreksi-koreksi
dan peringatan-peringatan yang bersifat mawas diri, bukannya tak ada gunanya
samasekali pada saat-saat terjadi eskalasi ketegangan seperti kala itu. Tokoh
wanita pergerakan Amartiwi Saleh SH mengatakan “Saya setuju mahasiswa galak.
Tapi yang saya lihat banyak mahasiswa galak, setelah jadi sarjana dan duduk di
lembaga-lembaga pemerintah, jadi jinak. Paling sedih, mereka berkompromi dengan
kejelekan”. Kritik Amartiwi Saleh ada dasarnya, karena saat itu banyak fakta
empiris menunjukkan bahwa di antara kalangan perjuangan 1966 – yang merupakan
senior para mahasiswa 1970-an itu– pun telah mencuat adanya perorangan yang
terbawa arus kepentingan yang tak terpuji. Menurut Amartiwi, yang muda-muda
harus jadi manusia merdeka, “yang harus mampu menciptakan suasana”. Dalam
rumusan Syamsu dari Institut Pertanian Bogor, “Bagaimana kita merobah sistim,
hingga sistim itu bisa berjalan”. WS Rendra yang baru saja usai selama dua hari
berturut-turut mementaskan drama tentang perlawanan terhadap kekuasaan,
‘Mastodon dan Burung Kondor’, tampil berkata “Sudah saatnya orang-orang
menyadari penting atau tidaknya radikalisme. Hendaknya radikalisme itu dengan
tujuan untuk menciptakan suasana tertentu. Tapi juga diharapkan kesadaran
mahasiswa agar rangsangan jangan terlalu banyak, jangan sampai kita muntah,
hendaknya ada irama”. Ketika Benny dari Gajah Mada mengingatkan “jangan mau
dibeli”, Rendra memberi jawaban, “Saya setuju jangan dibeli, tapi juga jangan
diintimidasi”.
Forum
menjelang terjadinya gerakan ekstra parlementer besar-besaran itu, juga digunakan
oleh Badan Kerja Sama DM/SM se Jakarta –yang terdiri dari Universitas Atmajaya,
Universitas Indonesia, Universitas Kristen Indonesia, IKIP Jakarta, Universitas
Muhammadiyah, Universitas Pancasila dan Universitas Trisakti– untuk
menyampaikan sebuah ikrar bersama yang bertanggal 7 Desember 1973. Mereka
berikrar “Meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda, sebagai
konsekuensi rasa tanggung jawab kami, terhadap persoalan-persoalan masa kini”.
Dan “Bertekad untuk mengambil langkah-langkah perubahan dalam usaha untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan”.
Di
ambang demonstrasi besar-besaran
SETELAH
pertemuan ‘orang-orang tak puas’ di Bandung itu, memasuki minggu ketiga
Desember, sudah amat membayang akan segera terjadi demonstrasi besar-besaran. Mingguan
Mahasiswa Indonesia yang termasuk paling banyak memberi tempat kepada berita
pergerakan mahasiswa dan generasi muda, menurunkan judul “Di Ambang Demonstrasi
Besar-besaran ?” (23 Desember 1973). Judul ini menjadi semacam penafsiran
berdasarkan pembacaan atas situasi dari waktu ke waktu. Menjelang Peristiwa 5
Agustus 1973, suatu penafsiran situasi tentang akan terjadi kerusuhan sosial,
juga dilakukan oleh mingguan itu. Karena penafsiran-penafsiran seperti itu
–yang kemudian terbukti menjadi kenyataan– mingguan itu mulai dicurigai
keterlibatannya dalam perencanaan-perencanaan peristiwa. Suatu kecurigaan yang
tidak beralasan samasekali, karena mingguan itu sebenarnya hanya menjalankan
satu peranan jurnalistik yang sederhana, memberitakan dan menganalisa apa yang
terjadi sebagaimana adanya. Tapi kecurigaan tidak harus memerlukan alasan.
Pada
edisi yang terbit di akhir minggu ketiga Desember itu, Mingguan Mahasiswa
Indonesia menulis “Tidak semua gerakan-gerakan ekstra parlementer yang
beruntun-runtun terjadi belakangan ini mengesankan”. Ada yang sekedar latah
atau karena takut kehilangan peranan atau seperti yang dituduhkan kalangan
penguasa ‘sekedar untuk mencari popularitas murah’. Terlepas dari itu, seluruh
gerakan menyatakan aspirasi, bagaimana pun adalah sah-sah saja.
Namun
di antara bermacam-macam gerakan yang muncul, ada satu gerakan yang unik dan
sangat menarik perhatian, pada pertengahan Desember. Gerakan itu dilakukan oleh
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sebagai suatu gerakan ekstra parlementer
dengan tujuan Sekretariat Negara, Bappenas, Kopkamtib dan DPR-RI. Unik dan
menarik, bukan karena KNPI-nya, melainkan karena tokoh-tokohnya. Ada sembilan
tokoh yang turun pada hari pertama. Mereka adalah David Napitupulu anggota
DPR/MPR yang juga adalah anggota DPP Golkar, Drs Surjadi anggota DPR Fraksi
Demokrasi Pembangunan dan Drs Zamroni anggota DPR dari Fraksi Persatuan
Pembangunan. Bersama mereka turut pula Kapten TNI-AU dr Abdul Gafur anggota DPR
dari Fraksi Karya serta Hatta Mustafa, Eko Cokroyogo, Hakim Simamora,
Nazaruddin dan Letnan Kolonel S Utomo. Seperti David, beberapa lainnya adalah
perorangan yang dikenal sebagai aktivis Golkar tingkat pusat yang diasosiasikan
sebagai sayap Ali Moertopo. Sedang nama yang disebut terakhir, Utomo, menurut
koran ibukota tak lain adalah ajudan Mayjen Ali Moertopo.
Di
Bappenas delegasi para senior yang disindir karikatur ‘Sinar Harapan’ pahlawan
kesiangan yang takut ketinggalan sepur, melalui David melontarkan tuduhan
“kurang bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugasnya selama ini dan kurang
responsif terhadap keadaan masyarakat”. Tuduhan David itu dijawab keesokan
harinya oleh Sumarlin, Menteri PAN merangkap Deputi Bappenas. “Tidak benar
kesan bahwa Bappenas menutup diri dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat”,
ujar Sumarlin, “Bappenas memperhatikan masalah-masalah maupun gejolak-gejolak
yang timbul dalam masyarakat”. Delegasi KNPI sebenarnya tampil cukup vokal,
yang terutama diwarnai oleh David Napitupulu tokoh perjuangan 1966 yang memang
dikenal temperamental dan kritis. Kepada Sumarlin delegasi ini memberondongkan
kecaman mengenai terdesaknya pribumi dan ekses-ekses modal asing. Usai
pertemuan David mengatakan tidak puas terhadap jawaban-jawaban Sumarlin. Di DPR
delegasi yang untuk sebagian besar terdiri dari anggota DPR, justru
menyampaikan tuduhan di depan Wakil Ketua DPR Sumiskum – yang juga adalah
petinggi Golkar– bahwa DPR tidak aktif menjalankan fungsinya. Sebagai bukti
mereka menunjukkan terjadinya demonstrasi-demonstrasi belakangan itu. “Kalau
DPR berfungsi semestinya, tak akan terjadi gejolak-gejolak seperti itu”. Ini
ditolak oleh Sumiskum dengan memaparkan beberapa kegiatan yang telah dilakukan
DPR, seperti misalnya beberapa kali menerima dan menampung aspirasi kalangan
generasi muda.
Betapa
pun berulang-ulangnya tokoh-tokoh KNPI itu menyebutkan bahwa aksi ekstra
parlementer itu bukan gerakan politis, pers tetap saja menggambarkannya sebagai
satu lakon politik yang konyol dan absurd. Bahkan gerakan mereka dicurigai
sebagai gerakan silang untuk ‘memotong’ aksi-aksi mahasiswa yang sedang
meningkat intensitasnya. Apalagi, nyatanya mereka adalah tokoh-tokoh yang sudah
dengan jelas masuk dan berada dalam jalur kekuasaan melalui Golkar ataupun
berada dalam partai-partai yang bagaimana pun mempunyai agenda serta
kepentingan politik sendiri. Harian Kompas yang amat moderat pun tak tahan
untuk tidak menggoda. “Semangat amat nih !” judul editorial yang diturunkannya
untuk menanggapi gerakan itu. “Maka orang bertanya-tanya, ikut turunnya KNPI
sekedar agar tidak dikatakan ketinggalan kereta atau memang mengajukan
persoalan-persoalan baru yang perlu diperhatikan pemerintah?”. Memang
‘demonstrasi’ orang-orang muda yang sudah senior ini mendapat banyak sorotan
dan komentar. Soalnya pesertanya dinilai janggal dan ganjil untuk ukuran
demonstran. Akan hal ikutnya ajudan Ali Moertopo, penjaga pojok ‘Indonesia
Raya’ Mas Kluyur sampai menyentil “Kok aneh, Jenderal Ali Moertopo kirim ajudan
ikut demonstrasi ke Bappenas dan Kopkamtib. Kan bisa berdialog dengan angkat
telepon saja?”.
Merasa
tergugah oleh apa yang diperjuangkan rekan-rekannya di ibukota, sejumlah tokoh
eks demonstran 1966 dari KAMI dan KAPPI di Ujung Pandang (Makassar) mencetuskan
keresahan melalui Ikrar 17 Desember. Ikrar tersebut mereka keluarkan setelah
melihat arah dan perkembangan pembangunan bangsa dan negara kala itu. Mereka
menyatakan tekad menegakkan demokrasi, hukum dan konstitusi, serta mengisi
kemerdekaan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial yang merata bagi seluruh
rakyat. Di Surabaya, Ronald dan kawan-kawan menyampaikan cetusan keresahan
menjelang akhir tahun. Sedang di Medan, muncul ‘Gerakan Pemuda Menuntut
Keadilan’.