Pengawal demonstran di masa tritura ( Kemal Idris )


Tempo 14 Januari 1984. DEMONSTRASI pemuda, pelajar dan mahasiswa di Jakarta pada 1966 mengawali kebangkitan Orde Baru. Setiap saat bisa terjadi bentrokan fisik.
Setiap saat korban bisa berjatuhan. Merasa perlu agar korban tidak terlalu banyak yang jatuh di kalangan massa, Brigadir Jenderal Ahmad Kemal Idris, kepala staf Kostrad, ketika itu mengerahkan pasukannya mengawal demonstran KAPPI/KAMI. “Apalagi panglima Kostrad ketika itu berpesan kepada saya: Kemal, jagalah pemuda-pemuda kita jangan sampal mereka menjadi korban,” tutur Kemal, 60. Panglima Kostrad ketika itu adalah Pak Harto yang kini menjadi presiden. Tidak tanggung-tanggung, Kemal Idris juga turun di jalan di tengah anak-anak muda itu. Itu terjadi 10 Januari, 18 tahun lalu. Dalam salah satu rangkaian acara Peringatan Tritura (Tri-Tuntutan Rakyat) – yang menjadi imti perjuangan kaum demonstran – tanpa canggung Kemal tampil di taman FE UI, Jakarta, 1978. Tidak lagi mengenakan seragam hijau loreng, hari itu Kemal tampak lebih rapi denan kemeja cokelat muda, berdasi. Dan tetap dengan sikapnya yang suka bicara terus terang hlak-blakan. “Jujur, berani, adil, terus terang, dan berpendirian adalah sikap-sikap yang ditanamkan dalam jiwa saya sejak kecll,” ujar Kemal ketika ditemui Zaim Uchrowi dari TEMPO pekan lalu. “Ibu dan Bapak yang membentuk sikap keras itu,” tuturnya. Lahir di Singaraja, Bali, Kemal kecil pernah berkelahi bersenjatakan pelepah pisang, karena sebelumnya ia disabet dengan pelepah pepaya. Ibunya marah. “Kalau orang lain bermain kotor jangan ikut main kotor,” kata sang ibu. “Tapi Ibu juga mengharuskan agar saya keluar sebagai pemenang,” tutur Kemal. Dari pihak ayahnya drh. Idris, si kecil Kemal meneladami slfat-sifat memberontak terhadap ketidakadilan. Ketika masih kuliah di sekolah tinggi kedokteran Stovia, sang ayah sempat bentrok dengan dosen bulenya. Karena itu, ia pindah ke Fakultas Kedokteran Hewan di Bogor. Belakangan, dokter hewan itu juga dikenal sebagai salah seorang aktivis pergerakan nasional, Parindra, sampai dibuang ke Kupang dan Makassar. Sang ayah rupanya berhasil menanamkan rasa benci terhadap kaum penjajah di lubuk anaknya, Kemal. Itu sebabnya, ketika bala tentara Dai Nippon masuk dan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, Kemal tertarik menjadi anggota pasukan sukarela, Seinendan. Beberapa nama yang seangkatan dengan dia adalah Jonosewojo, Daan Mogot, dan Zulkifli Lubis. Begitu Indonesia merdeka, Kemal dan kawan-kawan mendirikan sebuah akademi militer di Tangerang (Jawa Barat) dengan Daan Mogot sebagai direktur pertama. Tamatan akademi ini dikukuhkan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman dengan pangkat letnan satu. Ketika itu, pergolakan bersenjata mulai berkecamuk. Kemal, yang sudah memimpin sebuah batalyon, berusaha merebut gudang senjata bekas milik Jepang di Serpong. Pertempuran pun berkobar di Lengkong, tak jauh dari Serpong, menewaskan 34 TNI, termasuk Daan Mogot. Karier Kemal Idris sebagai tentara tumbuh dari berbagai pertempuran. Tak lama setelah ia memikah, 1947, dengan Herwienoor (putri Mr. Singgih, anggota Volksraad), tentara Belanda berusaha kembali ke Indonesia. Dan setahun kemudian, ketika tentara Belanda untuk kedua kalinya melancarkan agresi, Kemal, yang ketika itu sudah bergabung dengan Divisi Siliwangi, harus menerima akibat pahit dari perundingan Linggarjati: beberapa daerah tertentu harus dikosongkan dari tentara Relublik. Kemal pun ditugasi memimpin pasukan Siliwangi pertama yang hijrah. Mereka menyusuri kawasan Priangan, menuju Cirebon lantas ke selatan ke arah Gombong. Di tengah perjalanan, beberapa anak-buahnya gugur akihat temhakan tentara Belanda di sana-sini. Dengan pasukan compang-camping, dilengkapi beberapa pucuk senjata seadanya, Kemal tiba di Yogyakarta, ibu kota Republik waktu itu. Tak lama setelah Kemal diangkat sebagai komandan Batalyon I Brigade I Divisi Siliwangi, pemberontakan PKI meletus di Madiun, 19 September 1948. Bersama pasukan yang lain, batalyon Kemal pun ditugasi menumpasnya. Untuk mengepung Madiun, Kemal bergerak menyusur ke timur laut menuju Kudus, Pati, dan Cepu. “Di sana saya saksikan banyak penduduk dibantai PKI,” tuturnya. Di daerah tandus itu, di tengah sawah, Kemal menyaksikan pengalaman yang sampai di hari tuanya sulit dilupakan. “Dua orang perempuan dan seorang lelaki ditusuk seperti sate,” tuturnya dengan nada tinggi. Kedua perempuan itu ditusuk dengan sehilah bambu runcing, dari kemaluan menembus punggung. Korban lainnya, seorang lelaki, ditusuk dari dubur menembus perut. “Saya kira mereka sekeluarga. Dan bayangkan betapa lambat mereka akan mati dengan menanggung rasa sakit,” kata Kemal dengan geram. Pada saat pemberontak hampir tertumpas, Kemal dan pasukannya pulang ke Yogya melalui pegunungan kapur di kawasan Purwodadi. Ketika itulah anak buahnya melapor ada segerombolan orang beriringan menuju arah sebaliknya, ke utara. Setelah diselidiki dengan cermat, itu adalah rombongan bekas perdana menteri Amir Sjarifuddin yang ikut memberontak. Rupanya, mereka lari dari Madiun yang sudah direbut tentara Republik. Rombongan itu pun menyerah pada Kemal. Pada tahun 50-an, Republik pun mulai mapan. Sistem demokrasi parlementer memungkinkan perbedaan pendapat yang tajam sehingga sebuah kabinet bisa jatuh dengan mudah. Keadaan negara pun menjadi kurang stabil. Ketika itulah banyak tokoh angkatan darat, termasuk Kemal sendiri, yang merasa kecewa terhadap “gaya” pemerintahan sipil seperti itu. Beberapa perwira tinggi kemudian melancarkan tuntutan agar Presiden Soekarno membubarkan Parlemen. Sampai-sampai moncong meriam diarahkan ke Istana. Kejadian itu terkenal dengan “Peristiwa 17 Oktober 1952″, dengan tokoh utamanya Zulkifli Lubis, sejawat Kemal. Karena dianggap terlibat dalam peristiwa itu, Kemal lantas “dikotakkan” Soekarno tanpa jabatan, tanpa kenaikan pangkat. Baru 1963 ia “dipakai” lagi, sebagai wakil Mayor Jenderal Soeharto, komandan Komando Mandala dalam operasi merebut kembali Irian Barat. Pada tahun itu juga, ia diangkat sebagai komandan Batalyon Garuda III (pasukan perdamaian PBB) di Kongo, selama setahun. Pulang dari Kongo, Kemal ditarik lagi oleh Soeharto. Kali ini ke Kostrad. Ia ditugasi mempersiapkan pasukan untuk melakukan serbuan ke Malaysia dalam rangka “konfrontasi” dengan Malaysia. Pasukan Kemal pun disiagakan di Tebingtinggi, Sumatera Utara. Tapi, sebelum serangan dilancarkan, G 30 S meletus di Jakarta. Rupanya, PKI sengaja mengalihkan perhatian orang ke Malaysia sementara kudeta dipersiapkan di Jakarta. Maka, Kemal pun bersama pasukannya segera kembali ke Jakarta menumpasnya. Pada Agustus 1966, Angkatan Darat menyelenggarakan seminar di Bandung, dan lahirlah gagasan dwifungsi ABRI – sekalipun, menurut Kemal, “cikal-bakalnya sudah ada sejak revolusi kemerdekaan.” “Sebenarnya, tujuannya hanyalah faktor kekuatan sosial-politik ABRI, yang memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh ABRI dalam kegiatan sipil,” kata Kemal. Belakangan, ia sendiri kecewa karena, katanya, “tumbuhnya dwifungsi tidak seperti yang direncanakan semula.” Tapi ia buru-buru menambahkan, mungkin tuntutan selanjutnya memang menghendaki dwifungsi seperti adanya sekarang. Tahun berikutnya, Kemal diangkat menjadi panglima Kostrad menggantikan Pak Harto, yang ketika itu menjadi penjabat presiden. Dengan maksud membantu Pak Harto, secara rutin Kemal Idris bertemu dengan para panglima Kodam V, VI, VII, VIII, dan komandan RPKAD. Hasil diskusi itu kemudian disumbangkan kepada Penjabat Presiden sebagai laporan dan saran. “Hanya itu, tanpa ada maksud lain,” kata Kemal. Tapi penilaian orang ternyata lain. Ada sementara pihak yang memfitnah seolah-olah mereka bermaksud “mengontrol” Pak Harto dan “mengendalikan” pemerintahan. Karena itu, pertemuan panglima se-Jawa itu hanya berumur setahun. Dalam karier kemiliteran Kemal Idris, ada yang menarik. Ia hampir selalu menjadi komandan. Ketika masih mengikuti pendidikan kemiliteran di zaman Jepang, ia terpilih sebagai wakil instruktur. Kemal mengakhiri karier militernya sebagai panglima Kowilhan IV yang meliputi wilayah Indonesia bagian timur, dengan pangkat letnan jenderal. Jabatan ini dipegangnya selama tiga tahun, sampai 1972. Tugas selanjutnya sebagai duta besar di Yugoslavia, sampai MPP-nya pada 1976. Setelah itu, ia memilih jalur swasta. Ia mendirikan perusahaan hotel dan restoran Griyawisata, yang dimulai dari bawah. Dia tak menuntut fasilitas dan dispensasi. Sikapnya sampai sekarang tetap konsisten. “Saya tidak mau menjual nama. Juga tidak mau dibantu-bantu orang lain,” kata bapak tiga anak ini, tegas. Kini ia memiliki tiga restoran (sebuah di Blok M, dua di Rawamangun, Jakarta) dan mengelola tiga hotel: Tiara (Medan), Swarnadwipa (Palembang), dan Bali Sanur Bungalow. Bisnis lainnya ialah cleaning service, importir, dan pensuplai beberapa kebutuhan restoran dan hotel. Semua kegiatan itu ia kendalikan dari kantor dan rumahnya di Jalan Anggur II, Cipete, setelah rumahnya di Menteng, ia jual. Sementara itu, istrinya juga mencari kesibukan sendiri dengan membuka restoran tak jauh dari Gedung KONI Senayan dengan sistem self service. Di waktu senggang, ia jogging. Agaknya, olah raga ringan inilah yang masih diizinkan dokter, terutama setelah mata kirinya kena tembakan bola tenis. Padahal, dulu ia suka naik kuda dan bermain ski air. “Dulu, saya memang menyukai olah raga yang punya risiko, karena seolah-olah ada tantangannya,” katanya suatu saat. Kemal dua kali menjadi juara pertama, dalam kejuaraan ski air untuk kelompok veteran, di Sulawesi Selatan, sewaktu ia menjabat panglima Kowilhan.