Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (11)
In
Historia, Politik on January 23, 2010 at 12:58 AM
foto legendaris MALARI, Jenderal
Soemitro dengan TOA diatas mobil, disebelahnya Herman Sarens Sudiro, berpidato
di tengah kerumunan mahasiswa
--------------------------------
“Setelah
melapor, para jenderal mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan ultimatum keras.
Tapi yang paling keras barangkali justru apa yang dilontarkan oleh Jenderal
Soemitro yang sejak awal tahun berada di posisi bawah angin dan dicurigai
berambisi mengambilalih posisi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto”.
Jenderal Maraden maupun Jenderal
Soemitro –sekali ini memiliki nada yang sama– melontarkan bahwa berdasarkan laporan-laporan yang masuk, kegiatan-kegiatan para mahasiswa akhir-akhir ini menjurus kepada penyusunan kekuatan, “yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan menuju makar”.
Soemitro –sekali ini memiliki nada yang sama– melontarkan bahwa berdasarkan laporan-laporan yang masuk, kegiatan-kegiatan para mahasiswa akhir-akhir ini menjurus kepada penyusunan kekuatan, “yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan menuju makar”.
SEBENARNYA
suatu pengetahuan tentang ketidakserasian dan bahkan pertarungan internal
kalangan kekuasaan waktu itu, bukan hal baru, termasuk bagi kalangan mahasiswa.
Mahasiswa Bandung misalnya jauh sebelumnya telah mencium adanya ketidakserasian
pandangan antara para teknokrat dalam pemerintahan Soeharto dengan para Aspri
dan Menteri Dalam Negeri dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Begitu pula
mengenai rivalitas antara Jenderal Soemitro dengan Jenderal Ali Moertopo. Pada
waktu yang bersamaan, terdapat pula suasana tidak enak yang berkepanjangan
dalam hubungan antara Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro.
Dalam
pemberitaan-pemberitaan Mingguan Mahasiswa Indonesia, persaingan internal telah
berulang kali disebutkan dan dianalisis masih pada bulan-bulan awal 1973. Jelas
bahwa memang pertarungan internal memang ada dan berdiri sendiri sebagai suatu
fakta, bukan karena suatu provokasi eksternal. Bahwa realita itu kemudian jalin
berjalin dan terjadi persentuhan kepentingan politis satu sama lain dari
berbagai pihak secara internal dan eksternal, itu adalah merupakan konsekuensi
logis. Bahkan, sejumlah aktivis pergerakan kritis mahasiswa Bandung pun
mengakui bahwa adanya pertarungan internal itu mereka baca dan mereka gunakan
celah-celahnya dalam melancarkan gerakan-gerakan ideal dan kritis mereka. Tanpa
perlu terperosok kepada satu jalinan strategis dengan para pihak dalam
pertarungan internal kekuasaan itu.
Insiden
Halim Perdanakusumah
Tatkala
bertemu dengan 34 Dewan Mahasiswa berbagai kota 11 Januari 1974 di Bina Graha,
Presiden Soeharto meminta para mahasiswa jangan sampai mengganggu jalannya
acara negara menyambut kedatangan PM Kakuei Tanaka yang akan berlangsung 14 dan
15 Januari, tiga hari setelah pertemuan. Untuk menjaga agar permintaan Presiden
itu dipatuhi para mahasiswa, khususnya di Jakarta, maka sejumlah petinggi
bidang keamanan dan ketertiban tak henti-hentinya menyampaikan himbauan, dari
yang bernada persuasif hingga yang bernada ultimatum keras. Namun melihat bahwa
para mahasiswa tetap melakukan aksi-aksi selama beberapa hari setelah bertemu
Presiden Soeharto, dengan nada gusar Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo
menyatakan “Kopkamtib tidak bisa terus menerus sabar kalau aksi-aksi
demonstrasi terus berjalan”. Menurut Soedomo, setelah bertemu dengan Presiden
Soeharto, dan karena Presiden telah menampung protes-protes, tak ada alasan
lagi bagi para mahasiswa untuk berdemonstrasi.
Pagi
dan siang 14 Januari, para petinggi bidang keamanan ini bertemu dan melapor
kepada Jenderal Soeharto. Mulai dari Jenderal Maraden Panggabean dan Laksamana
Soedomo, kemudian terakhir Pangkopkamtib Jenderal Soemitro hanya beberapa saat
sebelum Presiden berangkat ke Halim untuk menyemput tamunya yang akan tiba
petang itu. Setelah melapor, para jenderal mengeluarkan pernyataan-pernyataan
dan ultimatum keras. Tapi yang paling keras barangkali justru apa yang
dilontarkan oleh Jenderal Soemitro yang sejak awal tahun berada di posisi bawah
angin dan dicurigai berambisi mengambilalih posisi kepemimpinan nasional dari
tangan Soeharto. Jenderal Maraden maupun Jenderal Soemitro –sekali ini memiliki
nada yang sama– melontarkan bahwa berdasarkan laporan-laporan yang masuk,
kegiatan-kegiatan para mahasiswa akhir-akhir ini menjurus kepada penyusunan
kekuatan, “yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan menuju makar”. Berbicara
melalui TVRI, Jenderal Soemitro yang kala itu sebenarnya dituduh berada di
belakang gerakan-gerakan mahasiswa –khususnya mahasiswa Jakarta– anti Soeharto,
memberi penegasan bahwa para pimpinan ABRI bertekad untuk menghadapi dengan
tegas semua kemungkinan.
Tapi,
sekeras apa pun ultimatum telah dilontarkan, nyatanya lebih dari lima ratus
mahasiswa Jakarta yang terbagi-bagi dalam beberapa kelompok, sejak sore hingga
malam hari 14 Januari bergerak menuju Bandar Udara Internasional Halim
Perdanakusumah. Penjagaan berlapis-lapis, namun setidaknya sebagian besar
mahasiswa berhasil menembus hingga lapisan penjagaan yang ketiga. Bahkan 18
mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga, yang berhasil menyusup sejak sorenya dengan
pura-pura akan bermain basket, mencapai jarak pandang tamu negara karena
berhasil mendekat hingga area landasan. Mereka yakin bahwa Kakuei Tanaka
melihat mereka dan poster-poster mereka. “Kami telah dilihat Tanaka dan pasti
dia tahu bahwa ada yang menyambutnya”, tutur mereka kepada rekan-rekannya yang
lain dan kepada salah satu reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia Zulkifli
Batubara yang meliput gerakan mahasiswa di Halim itu. Suatu laporan intelejen
juga mengakui bahwa Tanaka sempat melihat para mahasiswa dengan
poster-posternya ini. Seorang petugas protokoler juga menyebut Tanaka sempat
tertegun sejenak dengan bibir yang terlihat dirapatkan.
Mahasiswa
yang lain, praktis tidak berhasil ‘menyambut’ langsung Tanaka.
Mahasiswa-mahasiswa dari 17 kampus perguruan tinggi di ibukota itu bergerak
dengan koordinasi dewan-dewan mahasiswa masing-masing, menuju Halim dengan
menumpang antara lain beberapa buah bus yang penuh sesak, 3 jip Toyota dan kendaraan
lainnya serta sejumlah sepeda motor. Mereka membawa poster-poster protes yang
ditujukan kepada Tanaka. Begitu keluar dari kampus UI di Salemba, para
mahasiswa ini sudah dinantikan oleh para petugas keamanan yang selanjutnya
terus membuntuti mereka ke Halim.
Laporan
Zulkifli Batubara selanjutnya adalah sebagai berikut. Di Jalan Dirgantara dekat
Halim, rombongan mahasiswa disambut penjagaan yang keras. Karena itu rombongan
meneruskan perjalanan menuju jalan baru yang sejajar dengan Jalan Dirgantara
yang diperkirakan para mahasiswa tidak akan dijaga terlalu ketat. Tapi ternyata
sama saja. Di sini pun polisi dan tentara telah siap siaga dengan senjata
lengkap. Di pos penjagaan pertama terjadi perdebatan antara mahasiswa yang
ingin lewat dengan para petugas yang mencegat. Merasa kewalahan, seorang
petugas bernama Bakri S kemudian mengizinkan mahasiswa lewat dengan syarat
tanpa kendaraan. Pada waktu bersamaan terdengar berita dari walkie talkie
terdengar suara “Batalyon segera dikirim” sebagai jawaban atas permintaan
bantuan pos itu. Maka para mahasiswa segera berlari-lari menuju pos lapis dua.
Di sana mereka berhadapan dengan petugas yang lebih keras, berjajar rapat dua
lapis dengan senjata terhunus. “Kita ini seorang prajurit, kita dari pagi di
sini, saudara-saudara jangan memaksa kami”, kata seorang petugas. Hariman
Siregar dari DM-KUI menjawab “Kita bukan mau apa-apa pak. Kalau ada apa-apa
tangkap saya”. Sang petugas menjawab lagi, “Jangan sampai saya bertindak
keras”. Sikap petugas itu tidak mengendor.
“Kita
bukan demonstrasi, kita hanya mau menyambut Tanaka”, seorang mahasiswa mencoba
menjelaskan. Beberapa lainnya berusaha menerangkan kepada petugas lainnya
mengenai kejelekan perilaku ekonomi Jepang selama ini. Tapi dari walkie talkie
dengan jelas ada instruksi bahwa para petugas harus membendung mahasiswa dengan
cara apapun. Ketika para mahasiswa mendesak untuk terus maju, pasukan keamanan
mulai bertindak keras. Mereka mulai menggunakan popor senjata menghajar para
mahasiswa dan keadaan menjadi kacau balau. Para mahasiswa, diantaranya 8
mahasiswi, mundur beberapa meter dan duduk-duduk seraya menyanyikan lagu-lagu
perjuangan. Namun secara mendadak para mahasiswa ini bangkit dan maju
menerobos. Beberapa dari mereka terkena popor petugas, akan tetapi kali ini
mereka berhasil lewat tak terbendung. Dengan secepatnya mereka berlari sejauh
lima ratus meter ke depan hingga pos penjagaan lapis ketiga yang merupakan
lapisan terkokoh dalam rangkaian pengamanan ini. “Dengan hormat, ini daerah
AURI”, seorang anggota Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat, kini Paskhas AU)
memperingatkan. “Kami rakyat, pak”, jawab mahasiswa. “Kalian, kalau memaksa,
pasti senjata ini meledak”, ujar seorang anggota Kopasgat. “Kami bukan mau
bunuh Tanaka”, seru seorang mahasiswa. “Awas, senjata saya bisa meledak”, ujar
prajurit lainnya dan popor senjatanya sudah menumbuk demonstran. Dan mahasiswa
berteriak, “Prajurit berperang, jenderal berdagang”. Empat baris pagar betis
prajurit Kopasgat maju terus dengan menggunakan dorongan popor dan todongan
untuk memundurkan barisan mahasiswa yang berjumlah ratusan itu. “Kami rakyat,
memperjuangkan nasib rakyat”, seru mahasiswa, “bapak-bapak kan juga punya anak
seperti kami ?!!”. Tapi tak digubris.
Para
mahasiswa itu gagal menembus lapis ketiga. Sebagian mahasiswa mencoba lolos
lewat samping tapi tak mampu menerobos rawa-rawa yang dalam dan gelap. Reporter
Zulkifli Batubara yang berhasil lolos lapis ke tiga ini, meskipun sempat kena
popor, bisa sampai ke tepi lapangan terbang dan menyaksikan bahwa tak lama
sesudah Tanaka turun dari pesawat –terlambat sepuluh menit dari jadwal– tampak
suatu iring-iringan mobil keluar. Iringan ini dibuat agar seolah-olah Tanaka
telah meninggalkan Halim. Rombongan Perdana Menteri Tanaka nyatanya baru
meninggalkan Halim kurang lebih setengah jam kemudian.
Hari-hari
Kerusuhan
MENJELANG
tengah malam, usai demo di Halim, mahasiswa Jakarta melakukan rapat membahas
gerakan selanjutnya. Dalam pertemuan itu, para mahasiswa dan pimpinan pelajar
yang bergabung memutuskan bahwa gerakan mereka keesokan harinya akan mulai dari
berbagai arah dengan menyebutkan Istana di Merdeka Utara sebagai tujuan. Tapi
dalam laporan Bakin kemudian, tujuan ke istana ini tidak disebutkan. Laporan
itu berbunyi, “Di bawah pimpinan Hariman Siregar bertempat di UI Salemba Raya,
pada tanggal 14 Januari 1974 jam 23.30-03.00 berlangsung Rapat Dewan Mahasiswa
se Jakarta. Hadir dalam rapat tersebut, Dewan-dewan Mahasiswa UI, Trisakti.
Atmajaya, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Nasional, Jayabaya, IKIP Jakarta,
Pancasila, Sekolah Tinggi Olahraga, IAIN, Universitas Krisnadwipayana, dan
Jusuf AR dengan 7 orang teman-temannya (Pelopor Aksi Monas). Dalam rangka
mempersiapkan aksi tanggal 15 Januari 1974, maka ditetapkan: Tanggal 15 Januari
1974 akan mengadakan appel di kampus Universitas Trisakti. Aksi di Monas anti
Tanaka dan menyampaikan memorandum kepada Tanaka. Menolak tuduhan menjurus ke
makar”. Tuduhan terakhir mengenai makar ini adalah tuduhan yang dilontarkan
Jenderal Soemitro beberapa jam sebelumnya pada 14 Januari sore.
Apa
yang terjadi sepanjang hari 15 Januari 1974 itu ? Menurut laporan para reporter
Mingguan Mahasiswa Indonesia, sejak pukul 09.00 pagi sebagian mahasiswa telah
berkumpul di depan Fakultas Kedokteran UI di kampus Salemba. Mereka membawa poster-poster yang antara lain
berbunyi “Tolak dominasi ekonomi Jepang”, “Get out Japan”, “Menerima Tanaka =
menerima kolonialis”, “Ganyang antek-antek kolonialis Jepang” dan “Menghimpun
kekuatan budak-budak kapitalis Jepang = Makar”. Para mahasiswa juga mengadakan
upacara pengibaran bendera setengah tiang dan memproklamirkan apa yang mereka
sebutkan Tritura baru (Tri Tuntutan Rakyat), yang diadopsi dari perjuangan
1966: ”Bubarkan Aspri, Turunkan Harga, Ganyang Korupsi”. Sewaktu upacara di
Salemba ini berlangsung, secara demonstratif sebuah helikopter terus menerus
berkeliling di atas kampus dengan suara meraung-raung, sementara tampak kampus
seakan dikepung oleh para petugas kepolisian. Melihat keadaan ini, para
mahasiswa berteriak-teriak menyerukan “Kami bukan makar!!”. Berulang-ulang.
Sebagian besar poster ini –seratusan lebih– adalah buatan mahasiswa Universitas
Padjadjaran Bandung. Ketika mengiringi delegasi mereka menghadiri pertemuan 11
Januari di Bina Graha, kontingen Bandung membawa poster-poster tersebut.
Sewaktu akan pulang, Eko dari DM-UI dan kawan-kawannya dari beberapa DM dari
Jakarta meminta poster itu. Poster-poster inilah yang kemudian digunakan dalam
arak-arakan mahasiswa dan appel di kampus Trisakti. Karena poster ini, banyak
pers lalu menyimpulkan kuatnya ‘persamaan aspirasi’ Bandung-Jakarta.
Pukul
10.00 ratusan mahasiswa UI dan mahasiswa IKIP berangkat menuju arah Monumen
Nasional. Ditambah dengan perwakilan dari berbagai dewan mahasiswa perguruan
tinggi lainnya, seluruhnya yang meninggalkan kampus UI berjumlah sekitar 500-an
orang. Sepanjang perjalanan, rombongan semakin membesar dengan cepat terutama
dengan bergabungnya barisan pelajar. (Sementara itu laporan Bakin menyebutkan
bahwa selain mahasiswa yang berangkat dari kampus Salemba, “sejak pagi-pagi
tampak arus massa dari berbagai jurusan menuju sekitar Istana Merdeka dan
Monas, yang makin lama makin banyak. Pasukan keamanan yang menjaga sebelumnya
diperkuat dengan kendaraan lapis baja, telah dikerahkan di sekitar Istana untuk
menjaga segala kemungkinan dan mengamankan perundingan Presiden Soeharto dengan
PM Tanaka”). Sepanjang perjalanan mahasiswa terus menerus meneriakkan Tritura
(Tri Tuntutan Rakyat) baru mereka dan “Kami bukan makar!”. Mereka pun singgah
menurunkan setiap bendera menjadi setengah tiang, sebagai pertanda berkabung
atas kunjungan PM Kakuei Tanaka. Di Jalan Merdeka Selatan sebuah bendera Jepang
yang berkibar berdampingan dengan bendera Merah Putih mereka turunkan. “Jangan
rusak”, seru pimpinan rombongan melalui pengeras suara, “asal turun dan bawa
saja”.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (12)
In
Historia, Politik on January 24, 2010 at 1:24 AM
“Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apa pun
bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan membantu secara
langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan
bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung jawabkan terhadap
hati nurani kami”.
PASUKAN
bersenjata dari berbagai kesatuan –termasuk satuan berkendaraan lapis baja–
telah menjaga dengan ketat jalan menuju Monumen Nasional di pagi hari 15
Januari 1974. Di Merdeka Barat rombongan mahasiswa berdebat dengan para anggota
pasukan keamanan yang menolak bendera Merah Putih diturunkan setengah tiang.
Bendera tidak jadi diturunkan. Menghadapi tebalnya lapisan pengamanan yang
ketat disekitar Istana –tempat PM Tanaka menginap– sebagian besar rombongan
mahasiswa dan pelajar berputar menuju Tanah Abang III. Selama perjalanan ini,
rombongan menjadi makin besar karena bergabungnya rombongan-rombongan lain,
sehingga jumlahnya menjadi ribuan dalam barisan yang amat panjang. Barisan
induk ini meneruskan perjalanan menuju Universitas Trisakti di Grogol dengan
berjalan kaki diiringi sebagian lainnya yang naik truk berkecepatan rendah.
Tapi sementara itu di jalan-jalan menuju Istana banyak rombongan massa lainnya
yang mencoba terus masuk mendekati Istana.
Salah
satu dari rombongan mahasiswa tiba di pertigaan Merdeka Barat dengan Jalan
Museum, dipimpin oleh Gurmilang Kartasasmita dari DM-UI. Tiba-tiba datang
seorang aktivis non kampus Jopie Lasut yang mengajak mahasiswa untuk maju
menuju Istana. Gurmilang menolak karena sejak tadi malam di kampus menurutnya tak
ada penggarisan untuk menerobos ke arah Istana. Jika Gurmilang membiarkan,
pasti terjadi bentrokan keras dengan pasukan yang mengawal ketat Istana dan
kemungkinan besar jatuh korban berdarah saat itu juga. Maka Gurmilang
membelokkan rombongan ke arah Jalan Museum dan meneruskan perjalanan ke kampus
Trisakti. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah adanya dua rombongan
pelajar yang bergabung dengan barisan mahasiswa di sekitar Monas, yang tidak
‘terdaftar’ dalam rencana sebelumnya untuk bergabung. Salah satunya dipimpin
oleh Muhammad Muas ex tokoh KAPI yang dianggap dekat dengan Kelompok Politik
Tanah Abang. Barisan Muas ini diketahui tak pernah ikut sampai di kampus
Universitas Trisakti, yang berarti pergi ke tujuan lain untuk suatu kegiatan
lain.
Ketika
seluruh mahasiswa telah tiba di kampus Trisakti, mereka melakukan appel
bersama. Mereka mengacung-acungkan sebuah boneka yang menggambarkan Aspri,
menyampaikan orasi dan bernyanyi-nyanyi.
AKAN
TETAPI sementara ribuan mahasiswa melakukan appel di kampus Trisakti, di
sekitar Istana terjadi perkembangan lain. Mingguan Mahasiswa Indonesia
melaporkan, bahwa bersamaan dengan gerakan mahasiswa, dari arah Jalan
Pecenongan –sisi Utara Istana– pada tengah hari itu ratusan massa pelajar dan
anggota masyarakat lainnya (yang umumnya masih berusia muda-muda namun jelas
bukan pelajar atau mahasiswa) bergerak menuju Monumen Nasional. Di ujung jalan
depan PT Astra mereka dihadapi oleh pasukan keamanan yang membawa anjing-anjing
herder. Para petugas keamanan ini kadang-kadang seolah melepas anjingnya ke
arah massa, sehingga kelihatan massa menjadi agak marah karenanya. Namun mereka
tak mampu menembus barisan anjing dan barisan keamanan. Lalu mereka mundur.
Tapi itulah, sambil mundur itu mereka lalu mulai melakukan tindakan-tindakan
perusakan. Mereka menjungkir balikkan kendaraan-kendaraan bermotor yang ada di
sepanjang Jalan Pecenongan yang dikenal sebagai daerah perdagangan mobil dan
sepeda motor itu. Sasaran utama adalah kendaraan buatan Jepang. Kaca-kaca
kendaraan dipecah, akhirnya dijungkir balikkan, lalu meningkat menjadi
pembakaran terhadap kendaraan yang ada di area itu. Pada kejadian pertama saja
tak kurang dari 15 mobil –termasuk sebuah Mercedes 220 S– dirusak bersama
sejumlah sepeda motor. Pada waktu yang hampir bersamaan, etalase toko-toko
pamer di situ mulai dipecahkan, terutama PT Astra yang dianggap sebagai salah
satu simbol usaha Jepang di Indonesia. Sewaktu 15 menit kemudian para petugas
pemadam kebakaran datang, massa menghadang dan meneriaki mereka: “Kamu dibayar
Jepang, ya !”. Ada pula yang melempari dengan batu, seraya meniup-niup trompet
kertas dengan suara nyaring.
Para
petugas keamanan yang ada, tidak menindaki karena agaknya mereka lebih
mementingkan untuk menjaga jalan-jalan masuk ke arah Istana agar tidak
kebobolan. Tanpa penindakan –sangat kentara bahwa ada sikap membiarkan dengan
sengaja– kerusuhan makin berkobar dan menjadi-jadi. Dan itu ternyata menjalar
dan meluas ke berbagai wilayah lain yang ‘tak terjaga’ di luar kepentingan
pengamanan Istana dan tamu negara. Peristiwa perusakan terjadi di wilayah Pasar
Senen dan tempat-tempat lainnya, bahkan hingga keesokan harinya. Sepanjang
Selasa tercatat perusakan, penjarahan, pembakaran di wilayah-wilayah Sudirman,
Thamrin, Kramat, Senen, Harmoni, Hayam Wuruk, Gajah Mada. Proyek Senen terbakar
berjam-jam lamanya tanpa bisa dipadamkan, sebagaimana halnya showroom PT Astra
di Jalan Sudirman lengkap dengan mobil-mobil yang ada di dalam ruang pamernya.
Bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya bertebaran di berbagai penjuru
ibukota. Sedang di dasar kanal antara Harmoni di sisi Utara Istana hingga
Gunung Sahari bersemayam tak sedikit kendaraan yang dicemplungkan oleh massa di
hari Selasa 15 Januari 1974 itu.
Mahasiswa
yang selesai melakukan appel di kampus Trisakti di Grogol, dan tidak turut
dalam perusakan dan kerusuhan massal, langsung menarik diri kembali ke
kampus-kampus. Tetapi sebagian dari mereka yang diangkut dengan truk ketika
sampai dekat Monas, justru digiring dan diarahkan oleh para petugas untuk melalui
Harmoni, Jalan Juanda sebelah Utara Istana, melewati pertigaan Pecenongan yang
telah penuh dengan bangkai-bangkai kendaraan yang telah dirusak. Tak ada
mahasiswa yang turun dari truk.
Sementara
itu, di berbagai penjuru ibukota, keadaan ‘tak terkendali’ sudah makin meluas.
Aksi pembakaran dan perusakan meningkat. Kerusuhan massa telah berubah menjadi
kekalapan terhadap segala macam barang mahal, terutama kendaraan-kendaraan
bermotor. Pelaku-pelaku aksi perusakan tak dapat dikenali lagi identitasnya. Hingga
larut malam keadaan bukannya makin mereda, meskipun Laksus Pangkopkamtibda Jaya
memberlakukan jam malam dan mengumumkannya berulang-ulang melalui TVRI dan
saluran-saluran komunikasi lain. Ultimatum-ultimatum tindakan keras yang
berturut-turut dikeluarkan tidak mempan.
Hingga
hari Rabu 16 Januari, seruan penguasa militer daerah yang melarang untuk
bergerombol, mengerahkan massa, melakukan tindakan kekerasan, tidak dipedulikan
massa. Tetap terjadi pemusatan-pemusatan massa di berbagai penjuru ibukota. Ada
rumah tokoh penguasa dikepung, di antaranya rumah Jenderal Ali Moertopo, di
Matraman. Juga rumah Soedjono Hoemardani. Mendengar pengepungan tersebut,
Jenderal Soemitro memerintahkan pengiriman pasukan untuk mengamankan kedua
rumah tersebut. Selain pengepungan rumah pejabat, ada steambath dibakari
seperti di Jalan Blora. Gedung Pertamina di Kramat Raya diseruduk dan dibakari
isinya, termasuk sejumlah kendaraan milik perusahaan minyak itu.
Menteri
Hankam Jenderal Maraden Panggabean pada Rabu pagi 16 Januari coba menenangkan
massa dengan tampil di Kramat Raya. Kepada massa sang jenderal bertanya, apa
yang menjadi tuntutan mereka. Dijawab “Turunkan harga”. Semua pertanyaan dan
pernyataannya, tetap saja dijawab “Turunkan harga!”. Adalah pula Pangkopkamtib Jenderal
Soemitro yang sehari sebelumnya pada Selasa sore 15 Januari telah melakukan hal
yang sama –didampingi Brigjen Herman Sarens Soediro– mencoba menenangkan massa
dari atas kendaraan panser. Di depan Kedutaan Besar Jepang ia menghadapi massa
yang hendak merusak. “Bunuh saya kalau tidak mau percaya”, ujarnya kepada
massa. Ia berjanji untuk menampung tuntutan massa yang menginginkan “Bubarkan
Aspri, turunkan harga, berantas korupsi”. Massa tidak mau menghentikan gerakan,
namun mereka sempat mengelu-elukan sang jenderal dengan meneriakkan “Hidup pak
Mitro !” berulang-ulang. Peristiwa yang sejenak di Jalan Thamrin ini, sempat
dicatat beberapa pihak yang melakukan analisis di kemudian hari, sebagai salah
satu momentum ‘terakhir’ bagi Jenderal Soemitro bila ia ingin melakukan
‘sesuatu’, katakanlah mengambilalih kekuasaan. Momentum lain adalah bila
Jenderal Soemitro berani segera menangkap Jenderal Ali Moertopo dan Soedjono
Hoemardani yang tanggal 15 Januari itu rumahnya dikepung massa. Dan segera
melaporkan kepada Presiden, bahwa ia melakukan penangkapan berdasarkan data
intelejen yang secara kuat menunjukkan keterlibatan Ali Moertopo terutama
karena fakta sebagian besar massa yang mengobarkan kerusuhan digerakkan oleh
‘orang-orang’ Ali Moertopo. Tapi Soemitro tidak melakukannya. Mungkin ia sangsi
kepada sebagian orang di’sekitar’nya yang mungkin saja ada dalam ‘pengaruh’ Ali
Moertopo. Laksamana Soedomo mungkin merupakan faktor lain yang
ke’cenderungan’nya ‘diperhitungkan’ Soemitro. Nyatanya, pada waktu-waktu berikutnya
Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memperkuat arus
‘kesepakatan’ kalangan penguasa saat itu.
Adalah
menarik menyelipkan satu cerita di balik berita yang diangkat berdasarkan
penuturan Jenderal Soemitro sendiri dalam biografinya. Pada tanggal 15 Januari
1974, adalah cukup aneh bahwa pada hari itu di Merdeka Barat diselenggarakan
rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin
oleh Jenderal Maraden Panggabean sebagai Ketua Wanjakti, didampingi Jenderal
Soemitro selaku Wakil Wanjakti. Betul-betul satu rapat yang menurut logika
salah waktu dan salah posisi. Hadir antara lain Jenderal Soerono. Selama sidang
Wanjakti berlangsung, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo bolak balik
menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Diantaranya menyebutkan laporan
Brigjen Herman Sarens Soediro bahwa keadaan semakin gawat (Hari itu sejak pagi
mahasiswa bergerak, diikuti oleh pelajar dan massa lainnya).
Pembakaran
pun sudah mulai terjadi. Tapi sidang terus berjalan. Laporan Laksamana Soedomo
–yang tampak sibuk dan sedikit gelisah– kepada Jenderal Soemitro pun masuk tak
henti-hentinya. Brigjen Herman Sarens melaporkan lagi, pembakaran di depan
Kedutaan Besar Jepang. Perampokan di Glodok. Rusuh mulai di Senen. Lalu
Jenderal Soemitro minta izin kepada Jenderal Panggabean untuk keluar ruangan,
tapi yang terakhir ini menahan Soemitro. “Saya jadi duduk lagi yang tadinya
akan bangkit”, tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan
meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi”. Belakangan, menurut
Soemitro, bila dipikir kok aneh, “Panggabean berulang kali menahan saya setiap
kali saya akan meninggalkan ruangan itu”. Sebenarnya, masalahnya sederhana.
Apakah para ‘rival’ mungkin kuatir bila Soemitro turun ke lapangan segera, ia
akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario menurut beberapa
laporan intelijen? Atau, justru kehadiran Jenderal Soemitro di jalanan akan
bisa meredakan dan mengendalikan situasi, padahal memang diinginkan terciptanya
suatu situasi ‘tertentu’?
Namun,
apa pun dugaan yang ada ketika itu, nyatanya pada hari Rabu siang 16 Januari
1974, Jenderal Soemitro tampil memberikan keterangan pers –didampingi oleh dua
Aspri Presiden, yakni Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Panglima Kopkamtib
Laksamana Soedomo dan sejumlah jenderal teras lainnya– bahwa mulai hari Rabu
itu akan dilakukan penangkapan-penangkapan yang tidak pandang bulu. “Keadaan
telah memaksa kami, yang telah sabar sampai batasnya, terpaksa bertindak tegas
dan di sana sini dengan mempergunakan kekerasan”, ujar Jenderal Soemitro dalam
suatu sikap dan penampilan yang amat represif. “Siapa pun dan kepada kekuatan
sosial apa pun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan
membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada,
kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung
jawabkan terhadap hati nurani kami”.
Tampilnya
Jenderal Soemitro bersama para Aspri dan Laksamana Soedomo, bagaikan membuka
pintu bagi sejumlah pernyataan untuk mengutuk peristiwa tanggal 15 dan 16
Januari itu sebagai “aksi liar yang patut disesali, emosional, destruktif” dan
sebagainya. Termasuk mereka yang masih bimbang menilai situasi perpihakan, di
bawah bayang-bayang asumsi adanya pertarungan internal kekuasaan yang bermuara
ke peristiwa pertengahan Januari tersebut. Yang paling cepat mengeluarkan
pernyataan adalah HMI dan Golkar. Dalam pernyataan PB HMI yang ditandatangani
oleh Ketua Umum Akbar Tandjung dan Ketua I Ridwan Saidi, disebutkan bahwa
aspirasi kolektif yang proporsional dilakukan generasi muda adalah cukup wajar
sepanjang dilakukan dalam bentuk-bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tetapi PB HMI menyesalkan “terjadinya pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan
dalam rangka aksi-aksi protes generasi muda yang dapat menjurus ke arah
anarki”. HMI merasa perlu menegaskan “untuk kesekian kalinya PB HMI tetap
mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”.
Pernyataan
HMI disusul berbagai pernyataan yang mengalir bagai air dari keran yang dibuka
maksimal katupnya, dimulai oleh Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi
Indonesia, GMNI, Angkatan Muda Islam, Federasi Buruh Seluruh Indonesia, PMII
hingga pada PMKRI dan Somal. Sebagian dari pernyataan digunakan pula sebagai
kesempatan oleh beberapa organisasi untuk menyampaikan tanda dukungan kepada
Presiden Soeharto pada satu sisi, dan pada sisi lain melontarkan kutukan
terhadap tindakan-tindakan anarki. Kesatuan Aksi Pengemudi Becak umpamanya,
menyatakan “tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”. Mirip HMI, para
pengemudi becak ini juga menyampaikan “penyesalan atas terjadi
pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan dalam rangka aksi protes generasi muda”.
Formulasi kalimat “pengrusakan dalam rangka aksi protes generasi muda ini” banyak
ditemukan dalam beberapa pernyataan dari berbagai organisasi dan pihak lainnya,
mendampingi pernyataan dukungan kepada kepemimpinan Soeharto.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (13)
In
Historia, Politik on January 25, 2010 at 3:50 AM
“Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat
sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud
tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada
kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme
pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang
memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.
PADA
saat-saat berikutnya, dengan kombinasi tindakan-tindakan keras dengan cara
bujuk rayu, sejumlah kerusuhan di berbagai tempat berhasil diredakan. Meski,
sampai Rabu petang, di sana sini masih ada juga pencegatan-pencegatan dan
pembakaran kendaraan bermotor dilakukan oleh sekelompok massa. Hingga sepanjang
hari Rabu, rangkaian penangkapan dilakukan terus menerus dalam frekuensi yang
besar. Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar yang siang harinya mengadakan
konperensi pers bersama Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono, petang harinya
diberitakan menyerahkan diri kepada Laksus Kopkamtibda. Tetapi istilah
menyerahkan diri ini dibantah oleh Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI.
Tidak benar Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar menyerahkan diri kepada Kopkamtib,
demikian penjelasan mereka. Yang benar adalah bahwa kedatangan Hariman Siregar
untuk menemui Wapangkopkamtib Soedomo atas anjuran dan jaminan Gubernur DKI Ali
Sadikin. Tapi bantahan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini beberapa waktu
sesudahnya (18 Januari) dinyatakan oleh mereka sendiri sebagai dicabut kembali.
Apapun
kejadiannya, faktanya Hariman Siregar kemudian ditahan. Dan malam harinya
menjelang tutup siaran TVRI, Hariman muncul di layar TV milik negara itu
menyerukan kepada mahasiswa dan pelajar untuk tenang dan waspada dan tidak ikut
aksi-aksi perusakan. Ia membacakan pernyataan Dewan Mahasiswa dan Senat-senat
Mahasiswa UI yang menegaskan “tidak membenarkan cara-cara perusakan”.
Tentang
peranan Ali Sadikin di seputar Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro
belakangan mengungkap bahwa setelah ia kembali ke kantor usai menghambat
demonstran dari arah Selatan menuju Monas, ia menerima laporan bahwa Gubernur
Ali Sadikin waktu itu ada di kampus. Ia meminta Ali Sadikin datang, dan menegur
“Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo,
kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke
kampus ?”. Ali Sadikin memang adalah seorang perwira Korps Komando Angkatan
Laut –kini disebut Korps Marinir– dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Lalu
Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini
meminta Ali bertemu Soedomo, namun tak tahu apa dibicarakan mereka kemudian.
“Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan
itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro di kemudian hari. Adalah
menarik bahwa sebelum peristiwa 15 Januari 1974, tak jarang para pimpinan
mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin
sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional.
“Lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak”, kata beberapa
dari mereka.
Keinginan
menjadi ‘incoming leader’ memang secara diam-diam menjadi obsesi beberapa tokoh
dalam kekuasaan waktu itu. Setidaknya ada tiga nama pada deretan atas dalam
daftar tokoh yang punya obsesi seperti itu: Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Ali
Sadikin dan Jenderal Soemitro sendiri. Beberapa diantaranya memang amat serius,
kendati pun secara terbuka mereka menyembunyikan hasrat itu rapat-rapat. Di
lingkungan Ali Moertopo, ada semacam keyakinan bahwa Jenderal Soeharto mau tak
mau pada waktunya harus melepaskan kursi Presiden dalam satu periode atau
paling lambat dua periode lagi, yakni 1978 atau 1983. Alternatif terkuat –dan
harus diupayakan diwujudkan– sebagai ‘the next’ adalah Ali Moertopo. Maka
kemunculan Jenderal Soemitro dengan ‘pola kepemimpinan nasional baru’nya
menjadi persoalan yang harus dihadapi.
Selama
dua hari kerusuhan, 15-16 Januari 1974, tercatat 9 orang meninggal dan 23 orang
luka parah maupun ringan, menurut angka-angka resmi. Berdasarkan keterangan
saksi-saksi mata, jumlah korban yang jatuh sebenarnya jauh lebih banyak,
terutama di antara mereka yang dikategorikan kaum perusuh yang memanfaatkan
situasi. Banyak dari mereka yang dianggap perusuh langsung ditembak di lokasi
peristiwa.
Tetapi
terlihat, betapa kalangan penguasa lebih mengutamakan memberikan keterangan
mengenai kerugian materil yang diderita daripada angka-angka yang menyangkut
nyawa manusia. Menurut Gubernur Ali Sadikin, 269 mobil terbakar, 253 mobil
rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung dibakar dan 113 dirusak,
5 bangunan industri rusak berat maupun ringan. Sedang menurut Menteri
Pertahanan Keamanan Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan Sidang
Pleno DPR-RI Senin 21 Januari, 807 mobil terbakar atau rusak, 187 sepeda motor
dibakar, 160 kilogram emas dirampok disamping kerusakan gedung-gedung dan
bangunan. Korban jiwa diakui 11 orang dan jumlah yang luka-luka tidak bisa
diperincikan.
Garis
sikap yang tak patah
MENANGGAPI
apa yang terjadi di Jakarta sejak 14 hingga 15 Januari 1974, mahasiswa Bandung
tidak menunjukkan garis sikap yang patah. Dewan-dewan dan Senat-senat Mahasiswa
se-Bandung, karena pertimbangan tersendiri yang berkaitan dengan adanya gelagat
penunggangan oleh pihak non kampus terhadap gerakan mahasiswa dan kemungkinan
adanya skenario khusus permainan kekuasaan, tidak jadi ke Jakarta menyambut
Tanaka. Sebagai gantinya mereka merencanakan turun ke jalan pada 14 Januari di
Bandung untuk melancarkan gerakan protes. Selain itu, pada saat-saat terakhir
para pimpinan 13 DM/SM Bandung memutuskan untuk menolak menghadiri pertemuan
dialog dengan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta Rabu siang 16 Januari, sesuatu
yang diusahakan oleh Pangkopkamtib dan telah disetujui oleh Tanaka.
Namun,
turun ke jalan 14 Januari juga batal dilaksanakan oleh para mahasiswa Bandung.
Mereka melangsungkan “Apel Berkabung” dengan kedatangan Tanaka, sebagai
pengganti turun ke jalan. Pembatalan turun ke jalan antara lain sebagai isyarat
mahasiswa Bandung menghormati Divisi Siliwangi, karena pada hari itu ada serah
terima jabatan Panglima Siliwangi kepada pejabat baru Mayjen Aang Kunaefi.
“Bagaimana pun juga, kami tetap menghormati Siliwangi”, ujar Sekjen DM
Universitas Padjadjaran Tjupriono Priatna mewakili para mahasiswa. Dalam apel
yang berlangsung dalam hujan rintik-rintik di kampus Dipati Ukur Universitas
Padjadjaran itu, mahasiswa mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang
sebagai tanda duka. Mereka mengibarkan pula bendera hitam yang di bagian
tengahnya terdapat sebuah tanda tanya, mendampingi bendera Merah Putih. Tak
kurang dari 20 DM/SM se Bandung menghadiri apel duka.
Arjuna
dari DM Universitas Padjadjaran membacakan naskah “Berita Duka untuk
Indonesia”. Hari ini tanggal 14 Januari 1974, Perdana Menteri Tanaka dari
Jepang akan datang ke Indonesia. “Kita kecewa karena pihak penguasa lebih
mementingkan menyambut Tanaka dengan melupakan bagaimana besar perasaan tak
puas masyarakat terhadap peranan pengusaha Jepang dalam kolaborasinya dengan
‘penjual-penjual’ bangsa Indonesia”. Mahasiswa menyimpulkan bahwa penguasa
memang makin menomorduakan perhatian terhadap usaha-usaha kemakmuran dan
keadilan bagi rakyat. Muslim Tampubolon dari ITB menyatakan hukum bukan semakin
tegak, keadilan sosial hampir tak terasa ada, “karenanya sekarang kita perlu
memperjuangkan penurunan harga dan menghilangkan ekspansi ekonomi dari Jepang”.
Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran yang juga tampil berbicara,
menegaskan “Penundaan turun ke jalan bukan berarti perjuangan mahasiswa telah
mengendur, tetapi justru mahasiswa tahu dan harus menghormati norma-norma yang
terdapat di masyarakat”. Menurutnya, “mahasiswa bergerak dengan akal dan
perhitungan, dan mencoba membuang emosi yang tidak-tidak”. Turun ke jalan
bukanlah satu-satunya cara mencapai tujuan.
Tatkala
pada waktu yang bersamaan gerakan mahasiswa di Jakarta ‘dijerumuskan’ ke dalam
perangkap dan skenario gerakan makar, mahasiswa Bandung tidak terbawa arus
untuk melontarkan kecaman apalagi kutukan terhadap kerusuhan yang terjadi di
Jakarta dengan menyudutkan posisi mahasiswa dalam Peristiwa. Pada saat tersiar
berita pecahnya peristiwa 15 Januari di Jakarta, mahasiswa Bandung segera
mengeluarkan seruan bersama. “Berita terakhir yang dapat diperoleh menyatakan
bahwa Jakarta dalam situasi yang dapat mengancam keselamatan negara dan bangsa.
Dikhawatirkan adanya ekses-ekses yang dapat membawa pengaruh buruk bagi rakyat
Indonesia. Maka dengan ini kami, Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung
menyatakan kepada seluruh mahasiswa agar: 1. Tetap tenang dan waspada serta
dapat menilai situasi secara akademis. 2. Tidak bertindak sendiri-sendiri dan
terus mengikuti perkembangan keadaan melalui kampusnya masing-masing (DM-SM
masing-masing). Seruan ini agar menjadi perhatian kita semua dengan mengingat
kecintaan kepada Negara dan Bangsa”. Seruan itu ditandatangani oleh wakil 12
DM/SM se Bandung, yakni Muslim Tampubolon (DM-ITB), Hatta Albanik (DM
Universitas Padjadjaran), Budiono (DM Universitas Parahyangan), Roy Pradana (DM
Universitas Kristen Maranatha), Muddin Said (DM-IKIP), Eddy Suparminto (SM
Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Pulung Peranginangin (SM Akademi Tekstil
Berdikari), Rahman Abbas (SM Akademi Geologi dan Pertambangan), Rizal Asri (DM
Institut Teknologi Tekstil), Dedeng Z (DM Universitas Islam Bandung), Y. Lase
(SM Akper) dan Jance Andreas (SM National Hotel Institute).
Keesokan
harinya, Badan Kerja Sama DM/SM se Bandung kembali mengeluarkan
pernyataan.“Gerakan-gerakan mahasiswa yang berlangsung hingga saat ini masih
berada dalam garis yang menampilkan aspirasi masyarakat luas”, demikian mereka
nyatakan dengan tegas pada tanggal 16 Januari 1974. Dengan sikap kritis yang
tetap jelas dan tegas terhadap kalangan kekuasaan, mereka menguraikan pokok
masalah sejak awal. “Kondisi dan perkembangan hidup kemasyarakatan saat ini,
menunjukkan perlunya perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh dari seluruh
lapisan masyarakat untuk tetap tegaknya kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Betapa pun juga perkembangan kondisi dan situasi ini, bermula dari timbulnya
keresahan-keresahan di dalam masyarakat yang juga melanda dan kemudian
direfleksikan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa.
Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya
kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok
ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak
selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas,
ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945,
serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.
Merasa
gerakan mahasiswa masih berada pada garis aspirasi masyarakat, BKS DM/SM se
Bandung ini menyatakan lebih jauh bahwa perkembangan dari gerakan-gerakan
mahasiswa hingga saat itu, 16 Januari 1974, menunjukkan semakin melebarnya
partisipasi masyarakat luas, “Konsekwensi lanjut dari keadaan ini berkembang
hingga sampai pada suatu titik yang memprihatinkan, sudah seharusnyalah
ditanggapi dalam proporsinya yang wajar. Adalah merupakan kewajiban dari setiap
lapisan masyarakat untuk dalam ikut sertanya, tetap berusaha membela
panji-panji suci kemurnian gerakan mahasiswa yang diarahkan pada tujuan
perjuangan kehidupan masyarakat banyak. Suatu tindakan yang mencoba memancing
sikap keras mahasiswa, haruslah dinilai sebagai sikap yang sama sekali tidak
bijaksana, apalagi jika hal itu dilakukan oleh pihak penguasa”.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (14)
In
Historia, Politik on January 26, 2010 at 2:39 AM
“Terlihat
betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran,
saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang
kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit
justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….”
seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan.
“Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan
kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang
kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan
aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.
BERKAITAN
dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa
se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu,
usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat
ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya
dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai
konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha
penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan
prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila,
yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot,
prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan
mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh
kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur
menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan
ketidakpastian di dalam masyarakat.
Kepada
masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan
mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk
memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih
merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan
Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah
yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh
hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu
menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.
Lalu
kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan,
akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan
pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang
menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang
memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama
untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya
berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan
situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin
ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di
kampus masing-masing”.
Pernyataan
itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap
usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan
dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan
oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi
masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah
benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.
Pernyataan
sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh
pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung),
Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas
Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi
Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen
Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar
(Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung),
Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas
Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).
Tingkat
situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera
menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok,
terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa
eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan
sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus
Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh
perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup
sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing.
Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk
dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah
Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo,
STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun).
Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas
dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai
konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar
Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar
yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya,
yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966.
“Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.
Mereka
yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita,
Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim
Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan
terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro
sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan
untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap
Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran
melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan
gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.
Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang
jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang
bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan
kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak
luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong
untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari
Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu
kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS
ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua
mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.
Selain
aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni
beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris,
Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis
HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam
Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang
dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo
dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara
lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.
Belakangan
dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang
dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan,
tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah
‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya
datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro
sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk
Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan
kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini
mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat
itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat
itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk
dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara
langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat
tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak
karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa
tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri
rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.
Disamping
penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera
pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat
16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian
Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin
TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15,
melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit
yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling
pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung
dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah
diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun
mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang
bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari
Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini
dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin
cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan
sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang
tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di
Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat
dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta,
luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan
dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.
Cara
penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa
Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta
dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat
mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di
wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu
mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus
Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap
Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan
tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan
penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”.
Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para
reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di
Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya
massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu
dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang
terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya
masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman
empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai
dengan kenyataan.
Dalam
pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima
Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya,
menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan
Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu
bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini,
praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap
lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin
Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya
hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex
Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah
beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal
apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”.
Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang,
negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras,
“saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”.
Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya
Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam
posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi
penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai
pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi
pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum
Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak
seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa
wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi
yang bersangkutan.
Waktu
itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali
semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan
terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara
diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada
hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa
pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil,
Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung
bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif
Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus
Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah
dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa
Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia
justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.
Maka,
menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu,
karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut
berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal
Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit
‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa
dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera
‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya,
ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh
besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung
beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah
ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat
sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo.
Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo,
dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para
mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana
Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak
ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan
positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (15)
In
Historia, Politik on January 27, 2010 at 1:01 AM
“Setidaknya
ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam
squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa
memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya.
Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya
dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri”.
KORAN
ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda Jaya sejak 21 Januari
adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang
dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan
Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya.
Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar
–kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan
Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.
Pembreidelan
terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo
dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit
mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk
menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat
foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu
‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini
dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin
redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang
mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu
berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Gunawan Mohammad, agar
mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang
bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh ‘Tempo’ tanggap dan segera mencabut
halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah
betul-betul siap cetak. Edisi ‘Tempo’ kali itu lalu terbit dengan lebih ramping
karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan.
Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers
tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.
Belakangan,
seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang
tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen
Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah
dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban
surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”.
Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan
Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.
Khusus
bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT
kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu
menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV
Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi
bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah
keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan
terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Alasan pencabutan SIT bagi
Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah alasan-alasan yang berat-berat, seperti
mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi,
menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas
subversi dan makar.
Bingkai
skenario makar versi badan intelejen
Penggambaran
peristiwa 15 Januari 1974 sebagai suatu gerakan makar dapat ditemui dalam laporan Bakin. Tetapi
sejalan dengan keyakinan dan pembelaan Brigjen Aang Kunaefi, dalam laporan
Bakin itu memang dapat dikatakan tak ada bagian yang melibatkan mahasiswa
Bandung dalam skenario makar. Hanya ada satu bagian yang menceritakan kegiatan
Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, bahwa “kepergian Ketua Dewan Mahasiswa ITB
Muslim Tampubolon (HMI) ke Medan (17-24 Desember 1973) dengan maksud tidak
lepas dari pada menciptakan situasi dengan cara mengajak dan menghasut
mahasiswa di daerah-daerah untuk bergerak serentak”. Menurut keterangan Muslim
sendiri, kunjungannya ke Medan itu lebih untuk urusan lain dan bukan dalam
konotasi berat seperti yang dituduhkan dengan tujuan-tujuan akhir menggulingkan
pemerintahan. Namun ada dugaan bahwa pihak mahasiswa yang sempat berhubungan
dengannya adalah mahasiswa-mahasiswa
yang dikategorikan sebagai ‘garapan’ intel, dan melalui ‘channel’nya
menyampaikan laporan pada Jakarta.
Mendapat
tempat dan peranan dalam penggambaran pada laporan Bakin itu adalah bergerak
dan bekerjanya jaringan-jaringan eks PSI dan Masjumi serta tokoh-tokoh HMI yang
dikelompokkan sebagai Islam ekstrimis (seperti Ir Tawang Alun dan tokoh lain
bernama Drs Kahar Badjuri). Eks PSI dilukiskan bertujuan menegakkan demokrasi
liberal parlementer, sedang eks Masjumi bertujuan memberlakukan Piagam Jakarta,
dan bersama-sama mendorong gerakan massa untuk mengganti pimpinan nasional dan
pemerintah.
Laporan
Bakin itu melukiskan pecahnya peristiwa kerusuhan menuju perusakan dengan
bekerjanya kekuatan non kampus, bermula ketika pada pukul 09.00 Julius Usman
yang menelpon isterinya, Ita, untuk menghubungi Frans Max pada pukul 10.00 agar
yang disebut terakhir ini mempersiapkan gerakan massa STM dan gerakan turun ke
jalan dengan aksi mengempeskan ban-ban. Lalu datang lagi pesan dari Louis
Wangge melalui Ita juga, anak-anak Senen disiapkan dan agar Proyek Senen
dibakar. Sementara itu, Peter Tarigan memimpin rapat di STM (Sekolah Teknik
Menengah) Negeri I untuk mempersiapkan aksi pengempesan ban. Kelompok Kappi
Gedung Kesenian Pasar Baru juga sudah tahu dan bersiap-siap, begitu pula
kelompok BPSK (Badan Perguruan Sekolah Kristen) yang punya channel dengan
sekolah-sekolah Kristen. “Disamping itu mereka mendapat bantuan dari gang-gang,
gang-gang sekitar Planet Senen dan Proyek Senen, Sartana yang berada di sekitar
Tanah Abang dari Kebayoran gang Legos”.
Daerah
gerakan, masih menurut laporan tersebut, meliputi daerah kota dari SMA II,
Pusat Kegiatan Kappi dibawah pimpinan Jusuf AR dan ex Laskar. Berikutnya, Tanah
Abang Jakarta pusat, pusat gerakan dari BPSK, Sartana, Kappi Gedung Kesenian
Pasar Baru, SMA IV/VII dan SMEA di Jalan Batu yang kesemuanya tergabung dalam
Kappi, dan STM Jaya ditambah Laskar Yon Haryono. Daerah gerakan Senen/Kramat
membawahi daerah Planet Senen, STM Poncol anak buah Katje Sumual, anak daerah
Apotik Farma Senen dan ‘tukang catut’ Kramat. Daerah Jatinegara membawahi Kappi
Raja (PII/HMI), sekolah-sekolah Kristen,
ex Laskar Yon Sutoyo, SMP dan SMA Yayasan IKIP. Daerah Kebayoran membawahi
Legos, anak-anak Blok M (di bawah Buce Rumaruri) dan ex Laskar Yon Pandjaitan.
Daerah Jakarta Utara membawahi ex Laskar Yon Tendean di bawah Fahmi Idris,
Kappi, PII, HMI dan pusatnya di SMA XXX.
Berbeda
dengan laporan Mingguan Mahasiswa Indonesia, laporan Bakin menyebutkan bahwa
sehabis apel di Universitas Trisakti demonstran sudah ditunggu oleh mobil-mobil
baru pelat putih Mitshubishi Colt yang diatur oleh Fahmi Idris. Sebagian
demonstran diangkut menuju Kota, sebagian masuk Jalan Nusantara ke Pecenongan
–karena penggiringan oleh aparat keamanan sendiri yang menimbulkan tanda tanya.
Pukul 12.00 hingga 18.00 terjadi aksi pengrusakan hebat. Dimulai dengan
pengempesan ban-ban oleh pelajar SLP/SMA. Lalu terjadi pengrusakan dan
pembakaran mobil-mobil dan motor-motor buatan Jepang. Pembakaran mobil dimulai
di Mesjid Istiqlal dan menjalar ke jalan-jalan di ibukota seperti di
Pecenongan, Gambir dan Senen. Show room PT Astra di Jalan H. Juanda dan Jalan
Jenderal Sudirman dirusak dan dibakar beserta mobil-mobilnya. Kemudian ada pula
pengrusakan toko-toko di Jalan Gajah Mada dan gedung-gedung steambath dan night
club. Beberapa nama disebutkan sebagai pemimpin pengrusakan, antara lain Monang
Siagian, Yessi Moninca, Pontas Siahaan, Purba, Jusuf AR, Marcus Mali, Asmara
Nababan, Jusril dari kelompok Fahmi Idris, Reny Is dan Mudjiarto.
Selain
versi Bakin itu, beberapa waktu setelah peristiwa 15 Januari 1974, beredar pula
satu versi bahwa kelompok-kelompok yang dikerahkan oleh operator-operator Ali
Moertopo juga ikut memulai kerusuhan dengan melakukan perusakan di
wilayah-wilayah yang sama, terutama di sekitar Proyek Senen. Keterkaitan yang
menyebut-nyebut nama Ali Moertopo ini sempat ada dalam laporan intelejen
beberapa lembaga keamanan. Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa
Indonesia, saat itu di jalanan tempat kerusuhan dan perusakan terdapat beraneka
ragam tipe pelaku. Mulai dari yang tampak berciri pelajar sampai dengan yang
bukan. Justru yang berciri mahasiswa boleh dikatakan tidak ada. Antara massa, satu
sama lain jelas terlihat tidak selalu satu koordinasi atau komando. Apalagi di
Proyek Senen dan sekitarnya, betul-betul sulit mengidentifikasi ciri dan
kelompok.
Seperti
halnya dengan mahasiswa Bandung, mahasiswa Jakarta juga pada siang hari 15
Januari 1974 usai apel di Trisakti –dan kemudian tanggal 16– mencoba mengadakan
rapat-rapat membahas situasi. Di Universitas Indonesia, ada rapat DM-UI yang
dihadiri antara lain Gurmilang Kartasasmita, John Pangemanan (dari STO),
Karantiko, Jusril Amrul dan Hariman Siregar (pada tanggal 15 sebelum
ditangkap), serta Jusuf AR. Mereka mengevaluasi kegiatan serta rencana
selanjutnya. Mereka pun menyerukan agar mahasiswa dan pelajar tetap tenang dan
waspada, tidak terpancing dan tidak sampai terintimidasi. Mereka menegaskan
pula bahwa mahasiswa dan pelajar akan tetap berjuang sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Siang tanggal 16 Januari itu masih sempat terkumpul kurang lebih
2000 mahasiswa yang kemudian menuju Blok P Kebayoran Baru untuk menghadiri
pemakaman korban yang jatuh pada 15 Januari 1974.
Akan
tetapi berbeda dengan keadaan di Bandung, terlihat sudah bahwa gerakan
mahasiswa Jakarta segera patah karena tekanan tuduhan makar. Dan pecahnya
kerusuhan di Jakarta itu sendiri –siapa pun pelaku sebenarnya– sudah lebih dari
cukup untuk menjadi alasan pemukul terhadap gerakan mahasiswa. Maklumat
No.004/PK/I/1974 yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya sangat
efektif dan tak sanggup dihindari. Maklumat itu menyatakan bahwa terhitung
mulai tanggal 16 Januari 1974 semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat
Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta,
ditutup. Ditambah lagi adanya larangan berkumpul diluar rumah lebih dari lima
orang antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung
dengan berlakunya jam malam. Tak ada peluang untuk koordinasi dan konsolidasi.
Belum lagi, beberapa kalangan kekuasaan yang tadinya tampaknya masih cukup
dekat dan bisa berkomunikasi dengan kalangan mahasiswa, mendadak berubah sikap
dan penuh inisiatif menggiring mahasiswa menuju kepada kepatuhan. Hariman
Siregar misalnya, menghadap Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo karena
anjuran dan jaminan Ali Sadikin, dan kemudian berlanjut dengan penahanan.
Setelah peristiwa tanggal 15, Ali Sadikin menjadi yang termasuk di antara yang
berbicara keras terhadap pelajar dan mahasiswa.
Menjadi
luka yang kedua, sebelum luka yang ketiga
BAGI
mahasiswa Bandung, apa yang terjadi dan berlangsung sekitar tanggal 15 Januari
1974, hanyalah merupakan petunjuk kesekian betapa kalangan kekuasaan memang
lebih mengutamakan kekuasaan bagi dirinya masing-masing daripada kepentingan
bangsa dan negara secara keseluruhan. Sehingga, Peristiwa 1974 dapat dicatat
sebagai Luka Kedua dalam hubungan mahasiswa dengan kekuasaan. Pasca Pemilihan
Umum 1971, semua unsur dalam kekuasaan melihat betapa besar kekuasaan yang
telah mereka capai dan peroleh bersama-sama. Dan adalah sangat merangsang untuk
berupaya agar berada pada pucuk kekuasaan.
Setidaknya
ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam
squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa
memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya.
Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan
memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri. Di antara
kelompok yang paling tangguh secara kualitatif, adalah kelompok Ali Moertopo
yang mengendalikan beberapa kekuatan sospol, selain Golkar dan juga beberapa
unsur partai di luar Golkar. Penguasaan mereka terhadap sektor-sektor ekonomi
juga amat signifikan, ditambah pengaruh-pengaruh dalam batas tertentu di
kalangan militer yang terikat dalam satu kepentingan ekonomis. Tetapi kelompok
yang paling kuat dan berotot tentulah kelompok Jenderal Soemitro karena faktor
posisi pengendalian komando-komando. Namun hubungan pribadinya yang kurang
serasi dengan Jenderal Maraden Panggabean yang memegang jabatan Menteri Hankam
Pangab, sedikit mengurangi keunggulannya.
Faktor-faktor
lain yang mempengaruhi adalah rivalitas yang berlangsung di bawah permukaan
berdasarkan rumpun divisi, yakni antara rumpun Diponegoro dan Brawijaya dengan
Siliwangi sebagai faktor yang menciptakan balans. Tapi peranan Siliwangi telah
agak lama merosot sejalan dengan berakhirnya pengaruh perwira-perwira idealis
terkemuka di tubuhnya, tanpa suatu regenerasi kualitatif. Diantara kelompok Ali
Moertopo dan kelompok Jenderal Soemitro, dalam pemerintahan Soeharto, terdapat
kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Kelompok yang sering
diberi predikat Mafia Berkeley ini memiliki kecenderungan kedekatan yang
memadai dengan kalangan perguruan tinggi –tetapi sekaligus juga
dihubung-hubungkan dengan kelompok ex PSI yang satu dan lain hal sering
dilekatkan dengan kaum intelektual. Dalam beberapa pengalaman empiris, terlihat
adanya perbedaan yang cukup mendasar dalam pandangan-pandangan kelompok
teknokrat ini dengan kelompok pemikir yang disusun oleh Ali Moertopo. Paling
terasa adalah dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Dalam banyak hal,
kelompok Jenderal Soemitro lebih banyak memilih pandangan sejajar dengan
kelompok teknokrat, sehingga terutama pada tahun 1973 hingga awal 1974 kepada
mereka dilekatkan teori konspirasi. Di luar kelompok-kelompok yang ‘berseteru’
itu terdapat beberapa kelompok lagi, tetapi tidak terlalu jelas perpihakan
sebenarnya, kecuali bahwa umumnya mengikuti arah angin. Diantara mereka ini,
misalnya para perwira yang telah melakukan praktek korup dan dagang yang tidak
sehat. Pada setiap kelompok utama yang berseteru akan selalu bisa ditemukan
tipe yang punya catatan berbau korup ini.
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15
Januari 1974 (16)
In
Historia, Politik on January 29, 2010 at 3:50 AM
“Pada
bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto
sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai
kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan”. “Dengan apa yang
terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke
dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun
ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di
kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat,
kekuasaannya berlanjut”.
DENGAN
terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, sengaja atau tidak Jenderal Soeharto
menemukan satu momentum untuk ‘meringankan’ beban perseteruan dalam tubuh
kekuasaan yang dipimpinnya. Mula-mula ia melakukan reorganisasi Kopkamtib
dengan mengambil alih langsung jabatan Panglima Kopkamtib. Dengan demikian,
Jenderal Soemitro tinggal menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI. Sementara itu,
Laksamana Soedomo diangkat menjadi Kepala Staf Kopkamtib. Agaknya Presiden
Soeharto tidak terlalu sulit memberhentikan Soemitro dari jabatan Panglima
Kopkamtib –suatu jabatan yang menurut guyonan politik saat itu punya wewenang
menangkap siapa saja kapan saja, termasuk Presiden Soeharto– karena pada
tanggal 17 Januari pagi setelah PM Tanaka meninggalkan Istana dengan
helikopter, Jenderal Soemitro menghadap dan menyatakan “Semua ini tanggung
jawab saya. Karena itu izinkan saya mengundurkan diri”. Soemitro mengaku gagal
mengatasi keadaan. Dan meskipun secara spontan saat itu Soeharto memberi
jawaban bahwa mengundurkan diri tidak memecahkan masalah, dan menyebutkan bahwa
yang salah bukan hanya Soemitro, toh beberapa hari kemudian Soeharto melepaskan
jabatan Pangkopkamtib itu dari Soemitro.
Sepanjang
yang dapat direka ulang dari peristiwa pagi itu, setelah Jenderal Soemitro
meninggalkan Istana, Ali Moertopo yang juga berada di Istana waktu itu, di
ruang belakang, menghadap Soeharto hanya dalam selang beberapa waktu. Ali
Moertopo memberi beberapa pertimbangan berkaitan dengan jabatan Kopkamtib.
Namun adalah ‘menarik’ bahwa pada sekitar waktu yang bersamaan dengan
reorganisasi Kopkamtib, Presiden Soeharto juga memutuskan menghapuskan jabatan
Aspri yang disandang Ali Moertopo dan beberapa lainnya. Ini adalah ‘deal’ Ali
kepada Soeharto, bahwa jabatan Aspri bisa dihapus bersamaan penggantian Pangkopkamtib.
Jabatan Kepala Bakin yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono –yang dianggap
orang dekat Jenderal Soemitro– dilepas dan diserahkan kepada Mayjen Yoga
Soegama yang ditarik dari pos perwakilan di PBB. Sutopo diangkat menjadi Duta
Besar RI di Belanda. Bagi Yoga, ini adalah kedua kalinya memimpin Bakin, karena
sebelumnya jabatan itu pun pernah dipangkunya.
Adapun
Jenderal Soemitro, beberapa waktu kemudian dipanggil dan dipersuasi Presiden
untuk menjadi Duta Besar RI di Washington, tetapi ditolak oleh Soemitro.
Soeharto membuka pembicaraan dengan terlebih dahulu membuka kembali laporan
tentang Ramadi yang mengaitkan nama Soemitro. “Saya minta Mitro mengalah
sementara”, ujar Soeharto sebagaimana dituturkan Soemitro sendiri, “Saya minta
keikhlasan Mitro untuk sementara jadi Duta Besar di Washington”. Pada
waktu-waktu berikutnya, secara sistimatis Soemitro yang kerap temperamental
‘dipancing’ emosinya. Dan melalui suatu pertemuan dengan Jenderal Maraden
Panggabean yang membicarakan masalah-masalah privasinya yang sensitif –antara
lain dengan penggunaan kata ‘kelainan’ terhadap perilaku tertentu dalam kehidupan privasi sang jenderal–
akhirnya Soemitro secara emosional memutuskan membuat surat singkat pengunduran
diri dari jabatannya yang terakhir di kemiliteran, yakni Wakil Panglima ABRI.
Garis karirnya pun praktis patah, berakhir dalam usianya yang relatif masih
cukup muda.
Ali
Moertopo sendiri, setelah peristiwa 15 Januari 1974, tampaknya tetap berkiprah
dengan peranan-peranan memadai dalam kekuasaan. Secara pribadi ia memang
memiliki tingkat kualitas tertentu yang prima. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, seakan-akan suatu proses dialektis, faktor-faktor baru juga muncul dalam
tubuh kekuasaan di sekitar Soeharto, dan dalam kaitan ini nama Sudharmono SH
patut untuk disebut. Dalam tubuh Golkar misalnya, selain jalur A, jalur B juga
menjadi faktor. Dalam tubuh tentara, muncul pula perwira-perwira yang
berkonotasi lebih Islami, yang dalam kancah politik dikenal sebagai proses
‘penghijauan’ di tubuh ABRI.
Presiden
Soeharto juga menarik representasi tokoh dalam kabinet-kabinetnya dari berbagai
sumber dan latar belakang. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam minor
reshuffle untuk mengisi jabatan-jabatan kosong dalam kabinet, antara lain
muncul Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja SH yang tadinya Rektor Universitas
Padjadjaran, menjadi Menteri Kehakiman. Sementara itu, mantan Menteri Perguruan
Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) kabinet peralihan Soekarno 1964-1966 Dr Sjarif
Thajeb ditarik dari pos Duta Besar di Washington dan dinaikkan kembali ke
‘panggung’ dalam negeri sebagai Menteri P&K –dan segera saja muncul dengan
rumusan-rumusan pembinaan kampus yang esensinya penuh pembatasan kendati tidak
diakui demikian. “Harus diingat”, ujarnya, “kegiatan mahasiswa itu banyak
sekali, bukan hanya bidang politik saja”. Dengan sedikit naif ia bertanya-tanya
tentang ‘keberadaan’ KAMI –yang ikut dibentuknya pada tahun 1966– seraya
menyesalkan kenapa wadah itu tidak dipertahankan agar bisa berperanan positif
sesuai keadaan saat itu.
Ali
Moertopo dalam pada itu baru masuk pada Kabinet berikutnya, sebagai Menteri
Penerangan. Namun akumulasi tokoh-tokoh baru yang direkrut dari waktu ke waktu
oleh Presiden Soeharto sedikit banyaknya lebih memperkecil rentang pengaruh Ali
Moertopo, begitu juga yang lainnya di sekitar Soeharto, sehingga tak ada
kekuatan yang betul-betul dominan lagi di sisi Soeharto. Jenderal Soeharto
sungguh semakin efektif dalam menata kekuasaan. Tapi sepanjang Ali Moertopo
hidup, tak ada yang bisa betul-betul menepikan peranannya –yang luar biasa dan
amat fenomenal– secara signifikan. Hanya jantungnya yang pada akhirnya lebih
cepat ‘kalah dan menyerah’ sesuai kehendakNya.
Gerakan-gerakan
mahasiswa 1970 hingga akhir 1973 dan awal 1974, meskipun berada dalam suatu
ruang dan waktu yang sama dengan perseteruan dalam tubuh kekuasaan, pada
hakekatnya adalah suatu gerakan berdiri sendiri. Lahir dari suatu idealisme dan
sikap kritis, meskipun juga tidak selalu sepenuhnya bersih dari
perorangan-perorangan yang terimbas oleh kepentingan-kepentingan sendiri.
Setiap kelompok kekuasaan yang berseteru, selalu mencoba menempatkan atau
menggunakan perorangan-perorangan untuk menjalankan kepentingannya sendiri
dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, dunia
mahasiswa kerap lebih rentan, terutama karena masih cukup kuatnya dominasi dan
pengaruh organisasi-organisasi ekstra kampus dalam tubuh student
government-nya, sehingga agak lebih mudah disusupi. Maka akhir dari gerakan
mahasiswa Jakarta saat itu pun lebih ‘tragis’. Dalam hal ini, kampus-kampus
Bandung menunjukkan perbedaan secara kualitatif.
Mahasiswa
Bandung yang berhasil menjalankan konsep back to campus dan menegakkan proses
demokratis yang kuat dalam pembentukan student government mereka –terutama di
kampus-kampus utama dan besar– berhasil membendung politisasi ke dalam kampus
tanpa menutup pintu bagi keinginan mengembangkan pikiran dan hak politik.
Sebagai hasil akhirnya mereka memperoleh suatu kemampuan melakukan gerakan
kritis yang berwawasan politik luas yang tepat untuk kepentingan masyarakat
dalam menghadapi hasrat dan subjektivitas kekuasaan yang tidak wajar. Dalam
menjalankan gerakan kritis bersama, bisa saja dikenali adanya perorangan yang
terkait dengan organisasi ekstra tertentu, organisasi politik tertentu,
kelompok kekuasaan tertentu, bahkan satu-dua orang yang diidentifikasi terkait
dengan kalangan intelijen sekalipun, tapi tidak pernah ditemukan suatu
keputusan bersama yang terkontaminasi karenanya. Tradisi berpikir secara
akademis membuat mereka tiba pada keputusan-keputusan yang logis dan relevan
terhadap apa yang mereka ingin capai. Dengan demikian, output keputusan mereka
tentang rencana-rencana dan tujuan-tujuan, senantiasa berada dalam batasan
gerakan kritis yang lebih murni. Itulah pula sebabnya mereka menjadi sangat
peka terhadap situasi pada awal 1974 dan tiba pada keputusan untuk tidak turut
ke Jakarta menyambut Tanaka dan tidak turut pada gerakan-gerakan lainnya di
Jakarta dan memilih bentuk-bentuk gerakan mereka sendiri di Bandung. Mahasiswa
Jakarta melakukan hal berbeda, atau setidak-tidaknya tidak bisa menghindarkan
diri dari gerakan-gerakan yang ternyata kemudian diletakkan dalam satu bingkai
skenario yang pada akhirnya merugikan gerakan mahasiswa secara keseluruhan
–meskipun ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh.
Professor
Kusnadi Hardjasumantri almarhum, mantan Rektor Universitas Gajah Mada, kurang
lebih pernah mengatakan andaikata mahasiswa Jakarta –Hariman Siregar dan
kawan-kawan– lebih membatasi diri dengan gerakan kritis murni dan tidak terlalu
jauh ‘membiarkan’ diri masuk ke dalam pertarungan internal kekuasaan yang
terjadi, sehingga terperangkap ke dalam bingkai makar, Soeharto akan jatuh
dengan sendirinya. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan
terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan
pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam
pemerintahan. Padahal gerakan-gerakan kritis mahasiswa yang terukur dalam
situasi hampir zero seperti itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai katalisator kuat
menuju kejatuhan Soeharto.
Dengan
apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan
posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa
Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan
mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal
Soeharto selamat, kekuasaanya berlanjut. Semenetara itu, para mahasiswa
mendadak menemukan diri mereka dalam posisi mencengangkan sebagai pencetus
kerusuhan sosial dan bahkan turut serta sebagai pelaku makar dalam opini yang
berhasil diciptakan by design oleh salah satu faksi dalam pertarungan internal.
Jenderal Soeharto yang sebenarnya sudah berada dalam posisi pelik, diuntungkan
dan mendapat kesempatan melakukan konsolidasi. Setelah Peristiwa 15 Januari
1974, penguasa menjadi lebih keras dan mendapat ‘alasan’ melakukan rangkaian
tindakan supresi ke kampus-kampus perguruan tinggi pada tahun-tahun berikutnya.
Sementara itu pers kritis pun sudah dilenyapkan setelah peristiwa.
Gerakan
mahasiswa Bandung, bagaimanapun ikut terpengaruh. Tak ada tokoh mahasiswa dari
kampus Bandung yang dikenakan tahanan. Hanya memang beberapa dari mereka
mengalami pemeriksaan-pemeriksaan dan klarifikasi baik di Laksusda –di POM ABRI
yang dipimpin Kolonel Samallo– maupun instansi lainnya. Salah satu rangkaian
pemeriksaan untuk dimintai keterangan adalah yang dilakukan di Kejaksaan Tinggi
Jawa Barat hingga beberapa waktu kemudian setelah Peristiwa 15 Januari di
Jakarta. Tetapi pertanyaan-pertanyaan, seperti misalnya yang dialami Denny
Kailimang dari DM Universitas Parahyangan yang diperiksa bersama Budiono
Kusumohamidjojo, lebih banyak diarahkan kepada beberapa tokoh senior yang ikut
ditangkap di Jakarta. Paling banyak yang coba dikorek adalah mengenai Rahman
Tolleng dan Adnan Buyung Nasution, yang ditangkap di Jakarta dan agaknya
dipersiapkan untuk jadi tertuduh. Antara lain ditanyakan apakah peranan mereka
ada dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Bandung, apa ucapan-ucapan yang pernah
mereka lontarkan dan sebagainya. Umumnya, dijawab secara samar dan tidak
memuaskan pemeriksa, karena para mahasiswa pun telah menganalisa apa tujuan
pemeriksaan. Sepertinya penyelidikan dan penyidikan terhadap mahasiswa Bandung
seluruhnya terbentur. Para penyelidik dan penyidik hanya mampu memperoleh
data-data sebatas ‘bukti-bukti’ intelejen namun itu bukan ‘bukti-bukti’ hukum
yang cukup.
Namun,
apapun yang terjadi, student government yang ada di kampus-kampus Bandung tak
terputus –dan memang tidak ada alasan kuat bagi penguasa untuk begitu saja
menghentikannya. Larangan kegiatan politik di kampus-kampus yang dikeluarkan
Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Pimpinan Kopkamtib
di Jakarta, memang meredakan sejenak kegiatan dan menghalangi gerakan kritis mahasiswa
Bandung. Dalam larangan itu dirumuskan kegiatan-kegiatan yang tak
diperbolehkan, seperti demonstrasi, pawai alegoris, apel, rapat, rapat umum,
pernyataan lisan atau tulisan, seminar, diskusi, kuliah, kuliah umum dan
sebagainya.
Menanggapi
aneka pembatasan sebagaimana yang dicantumkan dalam radiogram Laksus
Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Kopkamtib, beberapa Dewan
Mahasiswa –di antaranya DM Universitas Padjadjaran– malah sekalian meminta
Pimpinan-pimpinan Perguruan Tinggi untuk menutup Lembaga-lembaga Perguruan
Tinggi, “sampai dicabutnya kembali seluruh keputusan-keputusan yang
bertentangan dengan azas kehidupan Demokrasi Perguruan Tinggi seperti tercermin
dalam Surat Telegram Laksusda Jabar”. Lalu, menginstruksikan seluruh mahasiswa
untuk menghentikan seluruh kegiatan-kegiatan akademis, sampai ada pengumuman
kembali. Nyatanya, larangan penguasa itu hanya memiliki daya laku yang ringkas.
Dan para mahasiswa tetap melakukan apa yang mereka rasa perlu dilakukan,
meskipun dengan berbagai cara dan improvisasi baru. Student government di
kampus-kampus Bandung pun tetap berjalan.
Maka
pada saat-saat berikutnya tetap ada sesuatu yang terestafetkan. Tradisi
perlawanan kritis mahasiswa Bandung memang tak berakhir di tahun 1974.
Babak-babak baru muncul, hingga saatnya terjadi Peristiwa 1978, tatkala tentara
menduduki kampus-kampus Bandung dan akhirnya tercatat sebagai Luka Ketiga dalam
hubungan mahasiswa dan kekuasaan.
-Diolah
dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis
Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Penerbit Buku
Kompas, 2004.