Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 III

=========================================================
Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (11)
In Historia, Politik on January 23, 2010 at 12:58 AM
 foto legendaris MALARI, Jenderal Soemitro dengan TOA diatas mobil, disebelahnya Herman Sarens Sudiro, berpidato di tengah kerumunan mahasiswa
--------------------------------
“Setelah melapor, para jenderal mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan ultimatum keras. Tapi yang paling keras barangkali justru apa yang dilontarkan oleh Jenderal Soemitro yang sejak awal tahun berada di posisi bawah angin dan dicurigai berambisi mengambilalih posisi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto”. Jenderal Maraden maupun Jenderal
Soemitro –sekali ini memiliki nada yang sama– melontarkan bahwa berdasarkan laporan-laporan yang masuk, kegiatan-kegiatan para mahasiswa akhir-akhir ini menjurus kepada penyusunan kekuatan, “yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan menuju makar”.
SEBENARNYA suatu pengetahuan tentang ketidakserasian dan bahkan pertarungan internal kalangan kekuasaan waktu itu, bukan hal baru, termasuk bagi kalangan mahasiswa. Mahasiswa Bandung misalnya jauh sebelumnya telah mencium adanya ketidakserasian pandangan antara para teknokrat dalam pemerintahan Soeharto dengan para Aspri dan Menteri Dalam Negeri dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Begitu pula mengenai rivalitas antara Jenderal Soemitro dengan Jenderal Ali Moertopo. Pada waktu yang bersamaan, terdapat pula suasana tidak enak yang berkepanjangan dalam hubungan antara Jenderal Maraden Panggabean dengan Jenderal Soemitro.

Dalam pemberitaan-pemberitaan Mingguan Mahasiswa Indonesia, persaingan internal telah berulang kali disebutkan dan dianalisis masih pada bulan-bulan awal 1973. Jelas bahwa memang pertarungan internal memang ada dan berdiri sendiri sebagai suatu fakta, bukan karena suatu provokasi eksternal. Bahwa realita itu kemudian jalin berjalin dan terjadi persentuhan kepentingan politis satu sama lain dari berbagai pihak secara internal dan eksternal, itu adalah merupakan konsekuensi logis. Bahkan, sejumlah aktivis pergerakan kritis mahasiswa Bandung pun mengakui bahwa adanya pertarungan internal itu mereka baca dan mereka gunakan celah-celahnya dalam melancarkan gerakan-gerakan ideal dan kritis mereka. Tanpa perlu terperosok kepada satu jalinan strategis dengan para pihak dalam pertarungan internal kekuasaan itu.

Insiden Halim Perdanakusumah

Tatkala bertemu dengan 34 Dewan Mahasiswa berbagai kota 11 Januari 1974 di Bina Graha, Presiden Soeharto meminta para mahasiswa jangan sampai mengganggu jalannya acara negara menyambut kedatangan PM Kakuei Tanaka yang akan berlangsung 14 dan 15 Januari, tiga hari setelah pertemuan. Untuk menjaga agar permintaan Presiden itu dipatuhi para mahasiswa, khususnya di Jakarta, maka sejumlah petinggi bidang keamanan dan ketertiban tak henti-hentinya menyampaikan himbauan, dari yang bernada persuasif hingga yang bernada ultimatum keras. Namun melihat bahwa para mahasiswa tetap melakukan aksi-aksi selama beberapa hari setelah bertemu Presiden Soeharto, dengan nada gusar Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo menyatakan “Kopkamtib tidak bisa terus menerus sabar kalau aksi-aksi demonstrasi terus berjalan”. Menurut Soedomo, setelah bertemu dengan Presiden Soeharto, dan karena Presiden telah menampung protes-protes, tak ada alasan lagi bagi para mahasiswa untuk berdemonstrasi.

Pagi dan siang 14 Januari, para petinggi bidang keamanan ini bertemu dan melapor kepada Jenderal Soeharto. Mulai dari Jenderal Maraden Panggabean dan Laksamana Soedomo, kemudian terakhir Pangkopkamtib Jenderal Soemitro hanya beberapa saat sebelum Presiden berangkat ke Halim untuk menyemput tamunya yang akan tiba petang itu. Setelah melapor, para jenderal mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan ultimatum keras. Tapi yang paling keras barangkali justru apa yang dilontarkan oleh Jenderal Soemitro yang sejak awal tahun berada di posisi bawah angin dan dicurigai berambisi mengambilalih posisi kepemimpinan nasional dari tangan Soeharto. Jenderal Maraden maupun Jenderal Soemitro –sekali ini memiliki nada yang sama– melontarkan bahwa berdasarkan laporan-laporan yang masuk, kegiatan-kegiatan para mahasiswa akhir-akhir ini menjurus kepada penyusunan kekuatan, “yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan menuju makar”. Berbicara melalui TVRI, Jenderal Soemitro yang kala itu sebenarnya dituduh berada di belakang gerakan-gerakan mahasiswa –khususnya mahasiswa Jakarta– anti Soeharto, memberi penegasan bahwa para pimpinan ABRI bertekad untuk menghadapi dengan tegas semua kemungkinan.

Tapi, sekeras apa pun ultimatum telah dilontarkan, nyatanya lebih dari lima ratus mahasiswa Jakarta yang terbagi-bagi dalam beberapa kelompok, sejak sore hingga malam hari 14 Januari bergerak menuju Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusumah. Penjagaan berlapis-lapis, namun setidaknya sebagian besar mahasiswa berhasil menembus hingga lapisan penjagaan yang ketiga. Bahkan 18 mahasiswa Sekolah Tinggi Olahraga, yang berhasil menyusup sejak sorenya dengan pura-pura akan bermain basket, mencapai jarak pandang tamu negara karena berhasil mendekat hingga area landasan. Mereka yakin bahwa Kakuei Tanaka melihat mereka dan poster-poster mereka. “Kami telah dilihat Tanaka dan pasti dia tahu bahwa ada yang menyambutnya”, tutur mereka kepada rekan-rekannya yang lain dan kepada salah satu reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia Zulkifli Batubara yang meliput gerakan mahasiswa di Halim itu. Suatu laporan intelejen juga mengakui bahwa Tanaka sempat melihat para mahasiswa dengan poster-posternya ini. Seorang petugas protokoler juga menyebut Tanaka sempat tertegun sejenak dengan bibir yang terlihat dirapatkan.

Mahasiswa yang lain, praktis tidak berhasil ‘menyambut’ langsung Tanaka. Mahasiswa-mahasiswa dari 17 kampus perguruan tinggi di ibukota itu bergerak dengan koordinasi dewan-dewan mahasiswa masing-masing, menuju Halim dengan menumpang antara lain beberapa buah bus yang penuh sesak, 3 jip Toyota dan kendaraan lainnya serta sejumlah sepeda motor. Mereka membawa poster-poster protes yang ditujukan kepada Tanaka. Begitu keluar dari kampus UI di Salemba, para mahasiswa ini sudah dinantikan oleh para petugas keamanan yang selanjutnya terus membuntuti mereka ke Halim.

Laporan Zulkifli Batubara selanjutnya adalah sebagai berikut. Di Jalan Dirgantara dekat Halim, rombongan mahasiswa disambut penjagaan yang keras. Karena itu rombongan meneruskan perjalanan menuju jalan baru yang sejajar dengan Jalan Dirgantara yang diperkirakan para mahasiswa tidak akan dijaga terlalu ketat. Tapi ternyata sama saja. Di sini pun polisi dan tentara telah siap siaga dengan senjata lengkap. Di pos penjagaan pertama terjadi perdebatan antara mahasiswa yang ingin lewat dengan para petugas yang mencegat. Merasa kewalahan, seorang petugas bernama Bakri S kemudian mengizinkan mahasiswa lewat dengan syarat tanpa kendaraan. Pada waktu bersamaan terdengar berita dari walkie talkie terdengar suara “Batalyon segera dikirim” sebagai jawaban atas permintaan bantuan pos itu. Maka para mahasiswa segera berlari-lari menuju pos lapis dua. Di sana mereka berhadapan dengan petugas yang lebih keras, berjajar rapat dua lapis dengan senjata terhunus. “Kita ini seorang prajurit, kita dari pagi di sini, saudara-saudara jangan memaksa kami”, kata seorang petugas. Hariman Siregar dari DM-KUI menjawab “Kita bukan mau apa-apa pak. Kalau ada apa-apa tangkap saya”. Sang petugas menjawab lagi, “Jangan sampai saya bertindak keras”. Sikap petugas itu tidak mengendor.

“Kita bukan demonstrasi, kita hanya mau menyambut Tanaka”, seorang mahasiswa mencoba menjelaskan. Beberapa lainnya berusaha menerangkan kepada petugas lainnya mengenai kejelekan perilaku ekonomi Jepang selama ini. Tapi dari walkie talkie dengan jelas ada instruksi bahwa para petugas harus membendung mahasiswa dengan cara apapun. Ketika para mahasiswa mendesak untuk terus maju, pasukan keamanan mulai bertindak keras. Mereka mulai menggunakan popor senjata menghajar para mahasiswa dan keadaan menjadi kacau balau. Para mahasiswa, diantaranya 8 mahasiswi, mundur beberapa meter dan duduk-duduk seraya menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Namun secara mendadak para mahasiswa ini bangkit dan maju menerobos. Beberapa dari mereka terkena popor petugas, akan tetapi kali ini mereka berhasil lewat tak terbendung. Dengan secepatnya mereka berlari sejauh lima ratus meter ke depan hingga pos penjagaan lapis ketiga yang merupakan lapisan terkokoh dalam rangkaian pengamanan ini. “Dengan hormat, ini daerah AURI”, seorang anggota Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat, kini Paskhas AU) memperingatkan. “Kami rakyat, pak”, jawab mahasiswa. “Kalian, kalau memaksa, pasti senjata ini meledak”, ujar seorang anggota Kopasgat. “Kami bukan mau bunuh Tanaka”, seru seorang mahasiswa. “Awas, senjata saya bisa meledak”, ujar prajurit lainnya dan popor senjatanya sudah menumbuk demonstran. Dan mahasiswa berteriak, “Prajurit berperang, jenderal berdagang”. Empat baris pagar betis prajurit Kopasgat maju terus dengan menggunakan dorongan popor dan todongan untuk memundurkan barisan mahasiswa yang berjumlah ratusan itu. “Kami rakyat, memperjuangkan nasib rakyat”, seru mahasiswa, “bapak-bapak kan juga punya anak seperti kami ?!!”. Tapi tak digubris.

Para mahasiswa itu gagal menembus lapis ketiga. Sebagian mahasiswa mencoba lolos lewat samping tapi tak mampu menerobos rawa-rawa yang dalam dan gelap. Reporter Zulkifli Batubara yang berhasil lolos lapis ke tiga ini, meskipun sempat kena popor, bisa sampai ke tepi lapangan terbang dan menyaksikan bahwa tak lama sesudah Tanaka turun dari pesawat –terlambat sepuluh menit dari jadwal– tampak suatu iring-iringan mobil keluar. Iringan ini dibuat agar seolah-olah Tanaka telah meninggalkan Halim. Rombongan Perdana Menteri Tanaka nyatanya baru meninggalkan Halim kurang lebih setengah jam kemudian.

Hari-hari Kerusuhan

MENJELANG tengah malam, usai demo di Halim, mahasiswa Jakarta melakukan rapat membahas gerakan selanjutnya. Dalam pertemuan itu, para mahasiswa dan pimpinan pelajar yang bergabung memutuskan bahwa gerakan mereka keesokan harinya akan mulai dari berbagai arah dengan menyebutkan Istana di Merdeka Utara sebagai tujuan. Tapi dalam laporan Bakin kemudian, tujuan ke istana ini tidak disebutkan. Laporan itu berbunyi, “Di bawah pimpinan Hariman Siregar bertempat di UI Salemba Raya, pada tanggal 14 Januari 1974 jam 23.30-03.00 berlangsung Rapat Dewan Mahasiswa se Jakarta. Hadir dalam rapat tersebut, Dewan-dewan Mahasiswa UI, Trisakti. Atmajaya, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Nasional, Jayabaya, IKIP Jakarta, Pancasila, Sekolah Tinggi Olahraga, IAIN, Universitas Krisnadwipayana, dan Jusuf AR dengan 7 orang teman-temannya (Pelopor Aksi Monas). Dalam rangka mempersiapkan aksi tanggal 15 Januari 1974, maka ditetapkan: Tanggal 15 Januari 1974 akan mengadakan appel di kampus Universitas Trisakti. Aksi di Monas anti Tanaka dan menyampaikan memorandum kepada Tanaka. Menolak tuduhan menjurus ke makar”. Tuduhan terakhir mengenai makar ini adalah tuduhan yang dilontarkan Jenderal Soemitro beberapa jam sebelumnya pada 14 Januari sore.

Apa yang terjadi sepanjang hari 15 Januari 1974 itu ? Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, sejak pukul 09.00 pagi sebagian mahasiswa telah berkumpul di depan Fakultas Kedokteran UI di kampus Salemba.  Mereka membawa poster-poster yang antara lain berbunyi “Tolak dominasi ekonomi Jepang”, “Get out Japan”, “Menerima Tanaka = menerima kolonialis”, “Ganyang antek-antek kolonialis Jepang” dan “Menghimpun kekuatan budak-budak kapitalis Jepang = Makar”. Para mahasiswa juga mengadakan upacara pengibaran bendera setengah tiang dan memproklamirkan apa yang mereka sebutkan Tritura baru (Tri Tuntutan Rakyat), yang diadopsi dari perjuangan 1966: ”Bubarkan Aspri, Turunkan Harga, Ganyang Korupsi”. Sewaktu upacara di Salemba ini berlangsung, secara demonstratif sebuah helikopter terus menerus berkeliling di atas kampus dengan suara meraung-raung, sementara tampak kampus seakan dikepung oleh para petugas kepolisian. Melihat keadaan ini, para mahasiswa berteriak-teriak menyerukan “Kami bukan makar!!”. Berulang-ulang. Sebagian besar poster ini –seratusan lebih– adalah buatan mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung. Ketika mengiringi delegasi mereka menghadiri pertemuan 11 Januari di Bina Graha, kontingen Bandung membawa poster-poster tersebut. Sewaktu akan pulang, Eko dari DM-UI dan kawan-kawannya dari beberapa DM dari Jakarta meminta poster itu. Poster-poster inilah yang kemudian digunakan dalam arak-arakan mahasiswa dan appel di kampus Trisakti. Karena poster ini, banyak pers lalu menyimpulkan kuatnya ‘persamaan aspirasi’ Bandung-Jakarta.

Pukul 10.00 ratusan mahasiswa UI dan mahasiswa IKIP berangkat menuju arah Monumen Nasional. Ditambah dengan perwakilan dari berbagai dewan mahasiswa perguruan tinggi lainnya, seluruhnya yang meninggalkan kampus UI berjumlah sekitar 500-an orang. Sepanjang perjalanan, rombongan semakin membesar dengan cepat terutama dengan bergabungnya barisan pelajar. (Sementara itu laporan Bakin menyebutkan bahwa selain mahasiswa yang berangkat dari kampus Salemba, “sejak pagi-pagi tampak arus massa dari berbagai jurusan menuju sekitar Istana Merdeka dan Monas, yang makin lama makin banyak. Pasukan keamanan yang menjaga sebelumnya diperkuat dengan kendaraan lapis baja, telah dikerahkan di sekitar Istana untuk menjaga segala kemungkinan dan mengamankan perundingan Presiden Soeharto dengan PM Tanaka”). Sepanjang perjalanan mahasiswa terus menerus meneriakkan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) baru mereka dan “Kami bukan makar!”. Mereka pun singgah menurunkan setiap bendera menjadi setengah tiang, sebagai pertanda berkabung atas kunjungan PM Kakuei Tanaka. Di Jalan Merdeka Selatan sebuah bendera Jepang yang berkibar berdampingan dengan bendera Merah Putih mereka turunkan. “Jangan rusak”, seru pimpinan rombongan melalui pengeras suara, “asal turun dan bawa saja”.


Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (12)
In Historia, Politik on January 24, 2010 at 1:24 AM

 “Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apa pun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung jawabkan terhadap hati nurani kami”.

PASUKAN bersenjata dari berbagai kesatuan –termasuk satuan berkendaraan lapis baja– telah menjaga dengan ketat jalan menuju Monumen Nasional di pagi hari 15 Januari 1974. Di Merdeka Barat rombongan mahasiswa berdebat dengan para anggota pasukan keamanan yang menolak bendera Merah Putih diturunkan setengah tiang. Bendera tidak jadi diturunkan. Menghadapi tebalnya lapisan pengamanan yang ketat disekitar Istana –tempat PM Tanaka menginap– sebagian besar rombongan mahasiswa dan pelajar berputar menuju Tanah Abang III. Selama perjalanan ini, rombongan menjadi makin besar karena bergabungnya rombongan-rombongan lain, sehingga jumlahnya menjadi ribuan dalam barisan yang amat panjang. Barisan induk ini meneruskan perjalanan menuju Universitas Trisakti di Grogol dengan berjalan kaki diiringi sebagian lainnya yang naik truk berkecepatan rendah. Tapi sementara itu di jalan-jalan menuju Istana banyak rombongan massa lainnya yang mencoba terus masuk mendekati Istana.

Salah satu dari rombongan mahasiswa tiba di pertigaan Merdeka Barat dengan Jalan Museum, dipimpin oleh Gurmilang Kartasasmita dari DM-UI. Tiba-tiba datang seorang aktivis non kampus Jopie Lasut yang mengajak mahasiswa untuk maju menuju Istana. Gurmilang menolak karena sejak tadi malam di kampus menurutnya tak ada penggarisan untuk menerobos ke arah Istana. Jika Gurmilang membiarkan, pasti terjadi bentrokan keras dengan pasukan yang mengawal ketat Istana dan kemungkinan besar jatuh korban berdarah saat itu juga. Maka Gurmilang membelokkan rombongan ke arah Jalan Museum dan meneruskan perjalanan ke kampus Trisakti. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah adanya dua rombongan pelajar yang bergabung dengan barisan mahasiswa di sekitar Monas, yang tidak ‘terdaftar’ dalam rencana sebelumnya untuk bergabung. Salah satunya dipimpin oleh Muhammad Muas ex tokoh KAPI yang dianggap dekat dengan Kelompok Politik Tanah Abang. Barisan Muas ini diketahui tak pernah ikut sampai di kampus Universitas Trisakti, yang berarti pergi ke tujuan lain untuk suatu kegiatan lain.

Ketika seluruh mahasiswa telah tiba di kampus Trisakti, mereka melakukan appel bersama. Mereka mengacung-acungkan sebuah boneka yang menggambarkan Aspri, menyampaikan orasi dan bernyanyi-nyanyi.

AKAN TETAPI sementara ribuan mahasiswa melakukan appel di kampus Trisakti, di sekitar Istana terjadi perkembangan lain. Mingguan Mahasiswa Indonesia melaporkan, bahwa bersamaan dengan gerakan mahasiswa, dari arah Jalan Pecenongan –sisi Utara Istana– pada tengah hari itu ratusan massa pelajar dan anggota masyarakat lainnya (yang umumnya masih berusia muda-muda namun jelas bukan pelajar atau mahasiswa) bergerak menuju Monumen Nasional. Di ujung jalan depan PT Astra mereka dihadapi oleh pasukan keamanan yang membawa anjing-anjing herder. Para petugas keamanan ini kadang-kadang seolah melepas anjingnya ke arah massa, sehingga kelihatan massa menjadi agak marah karenanya. Namun mereka tak mampu menembus barisan anjing dan barisan keamanan. Lalu mereka mundur. Tapi itulah, sambil mundur itu mereka lalu mulai melakukan tindakan-tindakan perusakan. Mereka menjungkir balikkan kendaraan-kendaraan bermotor yang ada di sepanjang Jalan Pecenongan yang dikenal sebagai daerah perdagangan mobil dan sepeda motor itu. Sasaran utama adalah kendaraan buatan Jepang. Kaca-kaca kendaraan dipecah, akhirnya dijungkir balikkan, lalu meningkat menjadi pembakaran terhadap kendaraan yang ada di area itu. Pada kejadian pertama saja tak kurang dari 15 mobil –termasuk sebuah Mercedes 220 S– dirusak bersama sejumlah sepeda motor. Pada waktu yang hampir bersamaan, etalase toko-toko pamer di situ mulai dipecahkan, terutama PT Astra yang dianggap sebagai salah satu simbol usaha Jepang di Indonesia. Sewaktu 15 menit kemudian para petugas pemadam kebakaran datang, massa menghadang dan meneriaki mereka: “Kamu dibayar Jepang, ya !”. Ada pula yang melempari dengan batu, seraya meniup-niup trompet kertas dengan suara nyaring.

Para petugas keamanan yang ada, tidak menindaki karena agaknya mereka lebih mementingkan untuk menjaga jalan-jalan masuk ke arah Istana agar tidak kebobolan. Tanpa penindakan –sangat kentara bahwa ada sikap membiarkan dengan sengaja– kerusuhan makin berkobar dan menjadi-jadi. Dan itu ternyata menjalar dan meluas ke berbagai wilayah lain yang ‘tak terjaga’ di luar kepentingan pengamanan Istana dan tamu negara. Peristiwa perusakan terjadi di wilayah Pasar Senen dan tempat-tempat lainnya, bahkan hingga keesokan harinya. Sepanjang Selasa tercatat perusakan, penjarahan, pembakaran di wilayah-wilayah Sudirman, Thamrin, Kramat, Senen, Harmoni, Hayam Wuruk, Gajah Mada. Proyek Senen terbakar berjam-jam lamanya tanpa bisa dipadamkan, sebagaimana halnya showroom PT Astra di Jalan Sudirman lengkap dengan mobil-mobil yang ada di dalam ruang pamernya. Bangkai mobil dan kendaraan bermotor lainnya bertebaran di berbagai penjuru ibukota. Sedang di dasar kanal antara Harmoni di sisi Utara Istana hingga Gunung Sahari bersemayam tak sedikit kendaraan yang dicemplungkan oleh massa di hari Selasa 15 Januari 1974 itu.

Mahasiswa yang selesai melakukan appel di kampus Trisakti di Grogol, dan tidak turut dalam perusakan dan kerusuhan massal, langsung menarik diri kembali ke kampus-kampus. Tetapi sebagian dari mereka yang diangkut dengan truk ketika sampai dekat Monas, justru digiring dan diarahkan oleh para petugas untuk melalui Harmoni, Jalan Juanda sebelah Utara Istana, melewati pertigaan Pecenongan yang telah penuh dengan bangkai-bangkai kendaraan yang telah dirusak. Tak ada mahasiswa yang turun dari truk.

Sementara itu, di berbagai penjuru ibukota, keadaan ‘tak terkendali’ sudah makin meluas. Aksi pembakaran dan perusakan meningkat. Kerusuhan massa telah berubah menjadi kekalapan terhadap segala macam barang mahal, terutama kendaraan-kendaraan bermotor. Pelaku-pelaku aksi perusakan tak dapat dikenali lagi identitasnya. Hingga larut malam keadaan bukannya makin mereda, meskipun Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan jam malam dan mengumumkannya berulang-ulang melalui TVRI dan saluran-saluran komunikasi lain. Ultimatum-ultimatum tindakan keras yang berturut-turut dikeluarkan tidak mempan.

Hingga hari Rabu 16 Januari, seruan penguasa militer daerah yang melarang untuk bergerombol, mengerahkan massa, melakukan tindakan kekerasan, tidak dipedulikan massa. Tetap terjadi pemusatan-pemusatan massa di berbagai penjuru ibukota. Ada rumah tokoh penguasa dikepung, di antaranya rumah Jenderal Ali Moertopo, di Matraman. Juga rumah Soedjono Hoemardani. Mendengar pengepungan tersebut, Jenderal Soemitro memerintahkan pengiriman pasukan untuk mengamankan kedua rumah tersebut. Selain pengepungan rumah pejabat, ada steambath dibakari seperti di Jalan Blora. Gedung Pertamina di Kramat Raya diseruduk dan dibakari isinya, termasuk sejumlah kendaraan milik perusahaan minyak itu.

Menteri Hankam Jenderal Maraden Panggabean pada Rabu pagi 16 Januari coba menenangkan massa dengan tampil di Kramat Raya. Kepada massa sang jenderal bertanya, apa yang menjadi tuntutan mereka. Dijawab “Turunkan harga”. Semua pertanyaan dan pernyataannya, tetap saja dijawab “Turunkan harga!”. Adalah pula Pangkopkamtib Jenderal Soemitro yang sehari sebelumnya pada Selasa sore 15 Januari telah melakukan hal yang sama –didampingi Brigjen Herman Sarens Soediro– mencoba menenangkan massa dari atas kendaraan panser. Di depan Kedutaan Besar Jepang ia menghadapi massa yang hendak merusak. “Bunuh saya kalau tidak mau percaya”, ujarnya kepada massa. Ia berjanji untuk menampung tuntutan massa yang menginginkan “Bubarkan Aspri, turunkan harga, berantas korupsi”. Massa tidak mau menghentikan gerakan, namun mereka sempat mengelu-elukan sang jenderal dengan meneriakkan “Hidup pak Mitro !” berulang-ulang. Peristiwa yang sejenak di Jalan Thamrin ini, sempat dicatat beberapa pihak yang melakukan analisis di kemudian hari, sebagai salah satu momentum ‘terakhir’ bagi Jenderal Soemitro bila ia ingin melakukan ‘sesuatu’, katakanlah mengambilalih kekuasaan. Momentum lain adalah bila Jenderal Soemitro berani segera menangkap Jenderal Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani yang tanggal 15 Januari itu rumahnya dikepung massa. Dan segera melaporkan kepada Presiden, bahwa ia melakukan penangkapan berdasarkan data intelejen yang secara kuat menunjukkan keterlibatan Ali Moertopo terutama karena fakta sebagian besar massa yang mengobarkan kerusuhan digerakkan oleh ‘orang-orang’ Ali Moertopo. Tapi Soemitro tidak melakukannya. Mungkin ia sangsi kepada sebagian orang di’sekitar’nya yang mungkin saja ada dalam ‘pengaruh’ Ali Moertopo. Laksamana Soedomo mungkin merupakan faktor lain yang ke’cenderungan’nya ‘diperhitungkan’ Soemitro. Nyatanya, pada waktu-waktu berikutnya Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang memperkuat arus ‘kesepakatan’ kalangan penguasa saat itu.

Adalah menarik menyelipkan satu cerita di balik berita yang diangkat berdasarkan penuturan Jenderal Soemitro sendiri dalam biografinya. Pada tanggal 15 Januari 1974, adalah cukup aneh bahwa pada hari itu di Merdeka Barat diselenggarakan rapat Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi) yang dipimpin oleh Jenderal Maraden Panggabean sebagai Ketua Wanjakti, didampingi Jenderal Soemitro selaku Wakil Wanjakti. Betul-betul satu rapat yang menurut logika salah waktu dan salah posisi. Hadir antara lain Jenderal Soerono. Selama sidang Wanjakti berlangsung, Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo bolak balik menyampaikan memo kepada Jenderal Soemitro. Diantaranya menyebutkan laporan Brigjen Herman Sarens Soediro bahwa keadaan semakin gawat (Hari itu sejak pagi mahasiswa bergerak, diikuti oleh pelajar dan massa lainnya).

Pembakaran pun sudah mulai terjadi. Tapi sidang terus berjalan. Laporan Laksamana Soedomo –yang tampak sibuk dan sedikit gelisah– kepada Jenderal Soemitro pun masuk tak henti-hentinya. Brigjen Herman Sarens melaporkan lagi, pembakaran di depan Kedutaan Besar Jepang. Perampokan di Glodok. Rusuh mulai di Senen. Lalu Jenderal Soemitro minta izin kepada Jenderal Panggabean untuk keluar ruangan, tapi yang terakhir ini menahan Soemitro. “Saya jadi duduk lagi yang tadinya akan bangkit”, tutur Soemitro. “Lalu, saya bergerak lagi akan bangkit, akan meninggalkan sidang itu. Eh, Panggabean menahan lagi”. Belakangan, menurut Soemitro, bila dipikir kok aneh, “Panggabean berulang kali menahan saya setiap kali saya akan meninggalkan ruangan itu”. Sebenarnya, masalahnya sederhana. Apakah para ‘rival’ mungkin kuatir bila Soemitro turun ke lapangan segera, ia akan mempergunakan momentum sebagaimana skenario-skenario menurut beberapa laporan intelijen? Atau, justru kehadiran Jenderal Soemitro di jalanan akan bisa meredakan dan mengendalikan situasi, padahal memang diinginkan terciptanya suatu situasi ‘tertentu’?

Namun, apa pun dugaan yang ada ketika itu, nyatanya pada hari Rabu siang 16 Januari 1974, Jenderal Soemitro tampil memberikan keterangan pers –didampingi oleh dua Aspri Presiden, yakni Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo dan sejumlah jenderal teras lainnya– bahwa mulai hari Rabu itu akan dilakukan penangkapan-penangkapan yang tidak pandang bulu. “Keadaan telah memaksa kami, yang telah sabar sampai batasnya, terpaksa bertindak tegas dan di sana sini dengan mempergunakan kekerasan”, ujar Jenderal Soemitro dalam suatu sikap dan penampilan yang amat represif. “Siapa pun dan kepada kekuatan sosial apa pun bentuknya, yang masih belum mengerti keadaan sekarang dan membantu secara langsung maupun tidak langsung menambah ketegangan yang ada, kami terpaksa akan bertindak tegas. Dan hal ini sudah cukup kami pertanggung jawabkan terhadap hati nurani kami”.

Tampilnya Jenderal Soemitro bersama para Aspri dan Laksamana Soedomo, bagaikan membuka pintu bagi sejumlah pernyataan untuk mengutuk peristiwa tanggal 15 dan 16 Januari itu sebagai “aksi liar yang patut disesali, emosional, destruktif” dan sebagainya. Termasuk mereka yang masih bimbang menilai situasi perpihakan, di bawah bayang-bayang asumsi adanya pertarungan internal kekuasaan yang bermuara ke peristiwa pertengahan Januari tersebut. Yang paling cepat mengeluarkan pernyataan adalah HMI dan Golkar. Dalam pernyataan PB HMI yang ditandatangani oleh Ketua Umum Akbar Tandjung dan Ketua I Ridwan Saidi, disebutkan bahwa aspirasi kolektif yang proporsional dilakukan generasi muda adalah cukup wajar sepanjang dilakukan dalam bentuk-bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi PB HMI menyesalkan “terjadinya pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan dalam rangka aksi-aksi protes generasi muda yang dapat menjurus ke arah anarki”. HMI merasa perlu menegaskan “untuk kesekian kalinya PB HMI tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”.

Pernyataan HMI disusul berbagai pernyataan yang mengalir bagai air dari keran yang dibuka maksimal katupnya, dimulai oleh Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, GMNI, Angkatan Muda Islam, Federasi Buruh Seluruh Indonesia, PMII hingga pada PMKRI dan Somal. Sebagian dari pernyataan digunakan pula sebagai kesempatan oleh beberapa organisasi untuk menyampaikan tanda dukungan kepada Presiden Soeharto pada satu sisi, dan pada sisi lain melontarkan kutukan terhadap tindakan-tindakan anarki. Kesatuan Aksi Pengemudi Becak umpamanya, menyatakan “tetap mempercayai kepemimpinan Presiden Soeharto”. Mirip HMI, para pengemudi becak ini juga menyampaikan “penyesalan atas terjadi pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan dalam rangka aksi protes generasi muda”. Formulasi kalimat “pengrusakan dalam rangka aksi protes generasi muda ini” banyak ditemukan dalam beberapa pernyataan dari berbagai organisasi dan pihak lainnya, mendampingi pernyataan dukungan kepada kepemimpinan Soeharto.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (13)
In Historia, Politik on January 25, 2010 at 3:50 AM

 “Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

PADA saat-saat berikutnya, dengan kombinasi tindakan-tindakan keras dengan cara bujuk rayu, sejumlah kerusuhan di berbagai tempat berhasil diredakan. Meski, sampai Rabu petang, di sana sini masih ada juga pencegatan-pencegatan dan pembakaran kendaraan bermotor dilakukan oleh sekelompok massa. Hingga sepanjang hari Rabu, rangkaian penangkapan dilakukan terus menerus dalam frekuensi yang besar. Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar yang siang harinya mengadakan konperensi pers bersama Rektor UI Prof Dr Mahar Mardjono, petang harinya diberitakan menyerahkan diri kepada Laksus Kopkamtibda. Tetapi istilah menyerahkan diri ini dibantah oleh Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Tidak benar Ketua Umum DM-UI Hariman Siregar menyerahkan diri kepada Kopkamtib, demikian penjelasan mereka. Yang benar adalah bahwa kedatangan Hariman Siregar untuk menemui Wapangkopkamtib Soedomo atas anjuran dan jaminan Gubernur DKI Ali Sadikin. Tapi bantahan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran ini beberapa waktu sesudahnya (18 Januari) dinyatakan oleh mereka sendiri sebagai dicabut kembali.

Apapun kejadiannya, faktanya Hariman Siregar kemudian ditahan. Dan malam harinya menjelang tutup siaran TVRI, Hariman muncul di layar TV milik negara itu menyerukan kepada mahasiswa dan pelajar untuk tenang dan waspada dan tidak ikut aksi-aksi perusakan. Ia membacakan pernyataan Dewan Mahasiswa dan Senat-senat Mahasiswa UI yang menegaskan “tidak membenarkan cara-cara perusakan”.

Tentang peranan Ali Sadikin di seputar Peristiwa 15 Januari 1974, Jenderal Soemitro belakangan mengungkap bahwa setelah ia kembali ke kantor usai menghambat demonstran dari arah Selatan menuju Monas, ia menerima laporan bahwa Gubernur Ali Sadikin waktu itu ada di kampus. Ia meminta Ali Sadikin datang, dan menegur “Jenderal Ali, keadaan kacau. Kalau ada apa-apa, silahkan bicara dengan pak Domo, kolega pak Ali, sama-sama dari Angkatan Laut. Jangan main sendirian. Ada apa ke kampus ?”. Ali Sadikin memang adalah seorang perwira Korps Komando Angkatan Laut –kini disebut Korps Marinir– dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Lalu Jenderal Soemitro yang merasa ‘terganggu’ oleh beberapa manuver Ali Sadikin ini meminta Ali bertemu Soedomo, namun tak tahu apa dibicarakan mereka kemudian. “Saya pikir, kalau dia ingin jadi Presiden, itu haknya. Saya tidak persoalkan itu. Tapi jangan mengacaukan keadaan”, catat Soemitro di kemudian hari. Adalah menarik bahwa sebelum peristiwa 15 Januari 1974, tak jarang para pimpinan mahasiswa Jakarta melontarkan ucapan-ucapan suggestif kepada Ali Sadikin sebagai salah satu manusia masa depan yang tepat untuk kepemimpinan nasional. “Lebih banyak untuk main-main saja, dan agar hubungan jadi enak”, kata beberapa dari mereka.

Keinginan menjadi ‘incoming leader’ memang secara diam-diam menjadi obsesi beberapa tokoh dalam kekuasaan waktu itu. Setidaknya ada tiga nama pada deretan atas dalam daftar tokoh yang punya obsesi seperti itu: Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Ali Sadikin dan Jenderal Soemitro sendiri. Beberapa diantaranya memang amat serius, kendati pun secara terbuka mereka menyembunyikan hasrat itu rapat-rapat. Di lingkungan Ali Moertopo, ada semacam keyakinan bahwa Jenderal Soeharto mau tak mau pada waktunya harus melepaskan kursi Presiden dalam satu periode atau paling lambat dua periode lagi, yakni 1978 atau 1983. Alternatif terkuat –dan harus diupayakan diwujudkan– sebagai ‘the next’ adalah Ali Moertopo. Maka kemunculan Jenderal Soemitro dengan ‘pola kepemimpinan nasional baru’nya menjadi persoalan yang harus dihadapi.

Selama dua hari kerusuhan, 15-16 Januari 1974, tercatat 9 orang meninggal dan 23 orang luka parah maupun ringan, menurut angka-angka resmi. Berdasarkan keterangan saksi-saksi mata, jumlah korban yang jatuh sebenarnya jauh lebih banyak, terutama di antara mereka yang dikategorikan kaum perusuh yang memanfaatkan situasi. Banyak dari mereka yang dianggap perusuh langsung ditembak di lokasi peristiwa.

Tetapi terlihat, betapa kalangan penguasa lebih mengutamakan memberikan keterangan mengenai kerugian materil yang diderita daripada angka-angka yang menyangkut nyawa manusia. Menurut Gubernur Ali Sadikin, 269 mobil terbakar, 253 mobil rusak, 94 sepeda motor terbakar dan 43 rusak, 5 gedung dibakar dan 113 dirusak, 5 bangunan industri rusak berat maupun ringan. Sedang menurut Menteri Pertahanan Keamanan Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean di depan Sidang Pleno DPR-RI Senin 21 Januari, 807 mobil terbakar atau rusak, 187 sepeda motor dibakar, 160 kilogram emas dirampok disamping kerusakan gedung-gedung dan bangunan. Korban jiwa diakui 11 orang dan jumlah yang luka-luka tidak bisa diperincikan.

Garis sikap yang tak patah

MENANGGAPI apa yang terjadi di Jakarta sejak 14 hingga 15 Januari 1974, mahasiswa Bandung tidak menunjukkan garis sikap yang patah. Dewan-dewan dan Senat-senat Mahasiswa se-Bandung, karena pertimbangan tersendiri yang berkaitan dengan adanya gelagat penunggangan oleh pihak non kampus terhadap gerakan mahasiswa dan kemungkinan adanya skenario khusus permainan kekuasaan, tidak jadi ke Jakarta menyambut Tanaka. Sebagai gantinya mereka merencanakan turun ke jalan pada 14 Januari di Bandung untuk melancarkan gerakan protes. Selain itu, pada saat-saat terakhir para pimpinan 13 DM/SM Bandung memutuskan untuk menolak menghadiri pertemuan dialog dengan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta Rabu siang 16 Januari, sesuatu yang diusahakan oleh Pangkopkamtib dan telah disetujui oleh Tanaka.

Namun, turun ke jalan 14 Januari juga batal dilaksanakan oleh para mahasiswa Bandung. Mereka melangsungkan “Apel Berkabung” dengan kedatangan Tanaka, sebagai pengganti turun ke jalan. Pembatalan turun ke jalan antara lain sebagai isyarat mahasiswa Bandung menghormati Divisi Siliwangi, karena pada hari itu ada serah terima jabatan Panglima Siliwangi kepada pejabat baru Mayjen Aang Kunaefi. “Bagaimana pun juga, kami tetap menghormati Siliwangi”, ujar Sekjen DM Universitas Padjadjaran Tjupriono Priatna mewakili para mahasiswa. Dalam apel yang berlangsung dalam hujan rintik-rintik di kampus Dipati Ukur Universitas Padjadjaran itu, mahasiswa mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda duka. Mereka mengibarkan pula bendera hitam yang di bagian tengahnya terdapat sebuah tanda tanya, mendampingi bendera Merah Putih. Tak kurang dari 20 DM/SM se Bandung menghadiri apel duka.

Arjuna dari DM Universitas Padjadjaran membacakan naskah “Berita Duka untuk Indonesia”. Hari ini tanggal 14 Januari 1974, Perdana Menteri Tanaka dari Jepang akan datang ke Indonesia. “Kita kecewa karena pihak penguasa lebih mementingkan menyambut Tanaka dengan melupakan bagaimana besar perasaan tak puas masyarakat terhadap peranan pengusaha Jepang dalam kolaborasinya dengan ‘penjual-penjual’ bangsa Indonesia”. Mahasiswa menyimpulkan bahwa penguasa memang makin menomorduakan perhatian terhadap usaha-usaha kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Muslim Tampubolon dari ITB menyatakan hukum bukan semakin tegak, keadilan sosial hampir tak terasa ada, “karenanya sekarang kita perlu memperjuangkan penurunan harga dan menghilangkan ekspansi ekonomi dari Jepang”. Hatta Albanik Ketua Umum DM Universitas Padjadjaran yang juga tampil berbicara, menegaskan “Penundaan turun ke jalan bukan berarti perjuangan mahasiswa telah mengendur, tetapi justru mahasiswa tahu dan harus menghormati norma-norma yang terdapat di masyarakat”. Menurutnya, “mahasiswa bergerak dengan akal dan perhitungan, dan mencoba membuang emosi yang tidak-tidak”. Turun ke jalan bukanlah satu-satunya cara mencapai tujuan.

Tatkala pada waktu yang bersamaan gerakan mahasiswa di Jakarta ‘dijerumuskan’ ke dalam perangkap dan skenario gerakan makar, mahasiswa Bandung tidak terbawa arus untuk melontarkan kecaman apalagi kutukan terhadap kerusuhan yang terjadi di Jakarta dengan menyudutkan posisi mahasiswa dalam Peristiwa. Pada saat tersiar berita pecahnya peristiwa 15 Januari di Jakarta, mahasiswa Bandung segera mengeluarkan seruan bersama. “Berita terakhir yang dapat diperoleh menyatakan bahwa Jakarta dalam situasi yang dapat mengancam keselamatan negara dan bangsa. Dikhawatirkan adanya ekses-ekses yang dapat membawa pengaruh buruk bagi rakyat Indonesia. Maka dengan ini kami, Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung menyatakan kepada seluruh mahasiswa agar: 1. Tetap tenang dan waspada serta dapat menilai situasi secara akademis. 2. Tidak bertindak sendiri-sendiri dan terus mengikuti perkembangan keadaan melalui kampusnya masing-masing (DM-SM masing-masing). Seruan ini agar menjadi perhatian kita semua dengan mengingat kecintaan kepada Negara dan Bangsa”. Seruan itu ditandatangani oleh wakil 12 DM/SM se Bandung, yakni Muslim Tampubolon (DM-ITB), Hatta Albanik (DM Universitas Padjadjaran), Budiono (DM Universitas Parahyangan), Roy Pradana (DM Universitas Kristen Maranatha), Muddin Said (DM-IKIP), Eddy Suparminto (SM Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Pulung Peranginangin (SM Akademi Tekstil Berdikari), Rahman Abbas (SM Akademi Geologi dan Pertambangan), Rizal Asri (DM Institut Teknologi Tekstil), Dedeng Z (DM Universitas Islam Bandung), Y. Lase (SM Akper) dan Jance Andreas (SM National Hotel Institute).

Keesokan harinya, Badan Kerja Sama DM/SM se Bandung kembali mengeluarkan pernyataan.“Gerakan-gerakan mahasiswa yang berlangsung hingga saat ini masih berada dalam garis yang menampilkan aspirasi masyarakat luas”, demikian mereka nyatakan dengan tegas pada tanggal 16 Januari 1974. Dengan sikap kritis yang tetap jelas dan tegas terhadap kalangan kekuasaan, mereka menguraikan pokok masalah sejak awal. “Kondisi dan perkembangan hidup kemasyarakatan saat ini, menunjukkan perlunya perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh dari seluruh lapisan masyarakat untuk tetap tegaknya kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Betapa pun juga perkembangan kondisi dan situasi ini, bermula dari timbulnya keresahan-keresahan di dalam masyarakat yang juga melanda dan kemudian direfleksikan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Keresahan-keresahan timbul dalam masyarakat sebagai akibat menyoloknya kepincangan-kepincangan sosial, dalam wujud tertampilnya secara menyolok ketidakadilan sosial, pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak selaras dan kurang diorientasikan pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat luas, ketidakpastian hukum, mekanisme pemerintahan yang menyimpang dari UUD 1945, serta pejabat-pejabat yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat banyak”.

Merasa gerakan mahasiswa masih berada pada garis aspirasi masyarakat, BKS DM/SM se Bandung ini menyatakan lebih jauh bahwa perkembangan dari gerakan-gerakan mahasiswa hingga saat itu, 16 Januari 1974, menunjukkan semakin melebarnya partisipasi masyarakat luas, “Konsekwensi lanjut dari keadaan ini berkembang hingga sampai pada suatu titik yang memprihatinkan, sudah seharusnyalah ditanggapi dalam proporsinya yang wajar. Adalah merupakan kewajiban dari setiap lapisan masyarakat untuk dalam ikut sertanya, tetap berusaha membela panji-panji suci kemurnian gerakan mahasiswa yang diarahkan pada tujuan perjuangan kehidupan masyarakat banyak. Suatu tindakan yang mencoba memancing sikap keras mahasiswa, haruslah dinilai sebagai sikap yang sama sekali tidak bijaksana, apalagi jika hal itu dilakukan oleh pihak penguasa”.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (14)
In Historia, Politik on January 26, 2010 at 2:39 AM

“Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut”. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. “Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu”.

BERKAITAN dengan perkembangan dan situasi terakhir Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa se-Bandung merasa perlu menyampaikan kepada penguasa beberapa hal. Kesatu, usaha yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi yang berlangsung saat ini, seharusnyalah didasari akan penghayatan terhadap inti masalah sesungguhnya dan tidak semata-mata diarahkan pada usaha mengatasi reaksi yang timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan sosial yang ada. Kedua, usaha-usaha penanggulangan masalah, seharusnyalah dilakukan dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, yang telah dengan susah payah ditegakkan dengan darah dan air mata patriot, prajurit-prajurit bangsa dan rakyat Indonesia. Ketiga, dalam menilai dan mengambil sikap terhadap situasi dan kondisi yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan mahasiswa, hendaknya penguasa tidak terlampau prematur menjatuhkan vonis; sehingga berakibat semakin meluasnya kegoncangan dan ketidakpastian di dalam masyarakat.

Kepada masyarakat sementara itu, disampaikan hal-hal berikut. Kesatu, gerakan mahasiswa akan terus dilanjutkan, dan diarahkan pada usaha-usaha untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat yang lebih baik, keadilan yang lebih merata, di dalam negara Indonesia yang berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila. Kedua, gerakan-gerakan mahasiswa akan disesuaikan dengan langkah yang mencoba meletakkan unsur kepentingan dan keamanan masyarakat luas, sejauh hal tersebut dimungkinkan. Adalah merupakan kewajiban kita semua untuk membantu menciptakan situasi tersebut dan memberikan dukungan yang positif.

Lalu kepada mahasiswa diserukan: Kesatu, perjuangan dan gerakan yang kita lakukan, akan semakin berat sehingga dibutuhkan kekompakan serta penghayatan dan pandangan yang lebih luas untuk lebih mengarahkan langkah-langkah yang menampilkan aspirasi masyarakat. Kedua, menghindarkan usaha-usaha yang memungkinkan menodai nama baik mahasiswa, dengan jalan memperkuat tekad bersama untuk tetap menjaga dan membela panji-panji gerakan mahasiswa yang hanya berorientasikan kepada dinamika dari proses perubahan. Ketiga, “perkembangan situasi dewasa ini menunjukkan bahwa solidaritas sesama mahasiswa semakin ditingkatkan; dalam kaitan ini kami anjurkan untuk tetap siaga dan berada di kampus masing-masing”.

Pernyataan itu menambahkan bahwa merupakan keyakinan bersama mahasiswa, “bahwa setiap usaha perubahan ke arah perbaikan akan selalu menghadapi rintangan-rintangan dari pihak-pihak yang tidak menghendaki perubahan itu, karena merasa dirugikan oleh perubahan yang diingini oleh lapisan masyarakat luas. Dalam konstelasi masyarakat Indonesia saat ini, pihak-pihak yang dirugikan tersebut adalah benalu bangsa, penjual negara dan pengkhianat-pengkhianat bangsa”.

Pernyataan sikap Dewan Mahasiswa-Senat Mahasiswa se-Bandung itu ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan DM/SM, yakni Muslim Tampubolon (Institut Teknologi Bandung), Hatta Albanik (Universitas Padjajaran), Denny Kailimang (Universitas Parahyangan), Muddin Said (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Bandung), Djodi Hersusanto (Institut Teknologi Tekstil), Roy Pradana (Universitas Kristen Maranatha), A. Rahman Abbas (Akademi Geologi dan Pertambangan), Binsar Siregar (Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial), Dedeng Z. (Universitas Islam Bandung), Pulung Peranginangin (Akademi Tekstil Berdikari), A. Hamid Puaupa (Universitas Islam Nusantara) dan Tommy E. (Akademi Bahasa Asing).

Tingkat situasi pasca kerusuhan Jakarta tanggal 15 Januari 1974, dengan segera menempatkan posisi mahasiswa Jakarta pada titik yang disudutkan dan terpojok, terutama Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Bersama dengan beberapa eksponen non kampus, beberapa aktivis DM/SM Jakarta ditangkap dan dikelompokkan sebagai bagian dari suatu gerakan makar. Setelah peristiwa, Laksus Pangkopkamtibda Jaya memberlakukan maklumat 004/PK/1/74 15 Januari. Seluruh perguruan tinggi se Jakarta dan seluruh sekolah-sekolah diminta untuk ditutup sementara dan tidak melakukan kegiatan apa pun di lingkungan masing-masing. Tapi mulai hari Senin 21 Januari, sekolah-sekolah di Jakarta diizinkan untuk dibuka kembali, terkecuali Universitas dan Perguruan Tinggi serta 11 Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas (seperti antara lain STM Budi Utomo, STM Penerbangan, SMA VII Jalan Batu, Sekolah Menengah Pembangunan Rawamangun). Wapangkopkamtib Laksamana Soedomo memberi alasan, masih ditutupnya universitas dan 11 sekolah itu adalah untuk mencegah sekolah-sekolah itu digunakan sebagai konsentrasi, diskusi atau rapat-rapat gelap. “Anak-anak itu dihasut”, ujar Soedomo, “Hasutan bisa dilakukan oleh guru sendiri ataupun pihak-pihak luar yang masih sedang dicari”. Soedomo menunjuk salah satu unsur paling berbahaya, yaitu Kappi –suatu koordinasi aksi pelajar yang bertahan sejak perjuangan 1966. “Organisasi-organisasi seperti itu akan dibubarkan”.

Mereka yang ditahan pada kesempatan pertama adalah Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo (putera Bung Tomo), Purnama dan Salim Hutadjulu. Lalu seorang pengajar UI Drs Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawannya di DM-UI, diakui oleh Jenderal Soemitro sebagai perintahnya secara langsung, meskipun Laksamana Soedomo mengingatkan untuk jangan terburu-buru melakukan penangkapan. Ketika penangkapan terhadap Hariman dan kawan-kawan dilakukan 15 Januari malam, DM Universitas Padjadjaran melakukan pembelaan. “Hendaknya dipisahkan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan provokasi”, DM Unpad menegaskan.  Pemisahan itu “hanya bisa dilakukan melalui suatu pengadilan yang jujur”. Sehingga, jelas mana yang merupakan perbuatan mahasiswa dan mana yang bukan. Beberapa waktu sebelum 15 Januari, Hatta Albanik sempat mengingatkan kepada rekannya dari DM-UI Eko Djatmiko agar jangan tersusupi provokasi pihak luar mahasiswa. Dengan bercanda Eko menjawab “Kita sudah menyiapkan terong untuk mementung orang-orang seperti itu”. Hatta dan kawan-kawan lain dari Bandung menyimpulkan bahwa kawan-kawan dari Jakarta itu tidak siap. Sewaktu kampus UI dikepung tanggal 15 malam, adalah Eko yang menelpon menyampaikan SOS ke Bandung karena merasa terdesak oleh situasi. Eko dihubungkan dengan dua mahasiswa Bandung, Hertog dan Peter Nelwan yang sedang ada di Jakarta.

Selain aktivis kampus Jakarta, kemudian terdapat nama-nama lain yang ditangkap, yakni beberapa nama yang dikenal sebagai eks pergerakan 1966 seperti Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution SH dan aktivis HAM Princen. Terdapat juga nama beberapa aktivis non kampus seperti Imam Walujo, Jusuf AR, Yessy Moninca. Bersama mereka ditangkap pula tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan ex PSI seperti Prof Sarbini Somawinata, Soebadio Sastrosatomo dan Moerdianto. Pada waktu-waktu berikutnya, berturut ditangkap pula antara lain Sjahrir, Rahman Tolleng, Soemarno, Ramadi.

Belakangan dapat diketahui bahwa usulan atau saran penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap terlibat ini, tidak hanya datang dari satu ‘lijn’ dalam kekuasaan, tetapi berasal dari berbagai jurusan. Sehingga istilah yang paling tepat adalah ‘tangkap menangkap’. Pesanan penangkapan terhadap Rahman Tolleng misalnya datang dari arah berbeda dari yang lainnya. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro sendiri merasa tidak pernah menyuruh tangkap tokoh-tokoh ex PSI, dan menunjuk Ali Moertopo sebagai orang yang meminta penangkapan tersebut. Ali Moertopo dan kelompoknya memang sangat pro aktif mengusulkan penangkapan-penangkapan. Ia ini mengadakan rapat-rapat khusus kelompok Tanah Abang, dan dalam rapat-rapat itulah disusun daftar nama siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Rapat-rapat itu dihadiri oleh mereka yang dikategorikan tenaga inti Tanah Abang, termasuk dr Abdul Gafur. Tapi Dr Midian Sirait yang selama ini punya kedekatan secara langsung ‘tanpa perantara’ dengan Ali Moertopo tidak hadir dalam rapat-rapat tersebut setelah sejak bulan Desember 1973 memutuskan untuk mengurangi kontak karena adanya beberapa perbedaan pandangan dan tidak menyetujui beberapa tindakan Ali Moertopo. David Napitupulu, juga tak pernah mau menghadiri rapat-rapat penyusunan ‘daftar hitam’ itu.

Disamping penangkapan-penangkapan terhadap orang, salah satu sasaran tindakan segera pasca 15 Januari adalah perintah penutupan terhadap beberapa media pers. Tepat 16 Januari 1974 Departemen Penerangan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) Harian Nusantara yang terbit di Jakarta. Pencabutan SIT Harian Nusantara yang dipimpin TD Hafaz ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan peristiwa tanggal 15, melainkan akibat-akibat beberapa pemberitaannya sebelumnya. Pelarangan terbit yang dikaitkan langsung dengan Peristiwa 15-16 Januari 1974 justru paling pertama dikenakan kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung dan mulai berlaku 18 Januari 1974. Informasi akan adanya pembreidelan telah diketahui oleh para pengasuh mingguan tersebut pada tanggal 17 dinihari, namun mereka memutuskan untuk tetap menerbitkan edisinya yang terakhir yang bertanggal 20 Januari 1974 tetapi telah dicetak dan beredar pada dini hari Jumat 18 Januari dengan tiras yang beberapa kali lipat dari biasanya. Ini dimungkinkan karena percetakan Golden Web Bandung saat itu menggunakan mesin cetak offset rotary yang berkecepatan tinggi. Untuk wilayah Bandung dan sekitarnya saja beredar dan terjual habis dalam satu hari dengan jumlah yang tampaknya melampaui akumulasi tiras koran Bandung dan Jakarta yang beredar di Bandung pada Jumat itu. Semua hasil cetakan juga sempat terkirim sejak Jumat dinihari ke wilayah peredarannya di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, luar Jawa, Jakarta selain dari Jawa Barat sendiri. Beberapa permintaan tambahan dari para distributor pada Sabtu pagi tak mungkin dipenuhi lagi.

Cara penguasa menghentikan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah unik. Karena di Jawa Barat waktu itu tidak ada mekanisme Surat Ijin Cetak seperti halnya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya, maka Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat mengeluarkan terlebih dulu surat keputusan memberlakukan Surat Izin Cetak di wilayahnya. Lalu, menyatakan bahwa semua media massa cetak di wilayah itu mendapat SIC terkecuali Mingguan Mahasiswa Indonesia. Siaran pers Laksus Kopkamtibda Jawa Barat dengan jelas menyebutkan bahwa tindakan terhadap Mingguan Mahasiswa Indonesia ini berdasarkan perintah Pangkopkamtib. “Mingguan tersebut dalam penerbitannya yang terakhir masih terus melakukan penghasutan-penghasutan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum”. Dalam edisi terakhir itu, Mingguan itu menyajikan laporan hasil liputan para reporternya mengenai Peristiwa 15 dan 16 hingga 17 Januari, selain insiden di Halim Perdana Kusuma, sebagaimana adanya di lapangan. Termasuk mengenai adanya massa non mahasiswa yang memulai perusakan di Pecenongan dan Senen. Liputan itu dilengkapi dengan editorial yang berjudul “Di Balik Kerusuhan Jakarta”, tentang terciptanya situasi rawan akibat credibility gap dalam hal rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Credibility gap terjadi karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa apa yang diucapkan kalangan kekuasaan tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam pertemuan dengan pers yang diselenggarakan hari Sabtu 19 Januari, Panglima Siliwangi Brigjen Aang Kunaefi yang baru beberapa hari memangku jabatannya, menegaskan kembali bahwa tidak diberinya Surat Izin Cetak kepada Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah “karena sampai penerbitan terakhirnya selalu bersifat menghasut dan tidak bertanggung jawab”. Pembicara dalam pertemuan ini, praktis hanya tiga orang. Pertama adalah Panglima Siliwangi. Lalu, Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Barat Atang Ruswita yang sering dianggap lunak namun hari itu berbicara dengan teguh dan yang ketiga adalah Pemimpin Redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia Rum Aly. Ini terjadi karena agaknya hadirin lainnya –termasuk tokoh pers mahasiswa 1966 dan wartawan senior Alex Rumondor yang biasanya vokal– agaknya ‘tercekam’ situasi. Rum Aly menyanggah beberapa pernyataan sang Panglima. “Hendaknya Panglima menunjukkan dalam hal apa Mingguan Mahasiswa Indonesia menghasut dan tidak bertanggungjawab ?!”. Selama ini, “kami merasa masih punya tanggung jawab, baik kepada undang-undang, negara, kepada masyarakat dan kebenaran”. Panglima menimpali dengan keras, “saya juga masih punya tanggungjawab yang lebih tinggi, yakni kepada Tuhan”. Dijawab balik, “semua orang punya tanggungjawab kepada Tuhan-nya, bukan hanya Panglima. Tapi di dunia, kita punya tanggungjawab kepada masyarakat dalam posisi kita masing-masing”. Panglima akhirnya surut dan berjanji akan memberi penjelasan, “Baiklah, untuk itu kita akan mengadakan pertemuan khusus”. Usai pertemuan, seraya menepuk-nepuk bahu Rum Aly, Panglima Siliwangi itu memberi pernyataan “Sebenarnya kita sama, tapi ada perintah dari atas”. Ditanggapi Rum Aly dengan menarik bahu sambil berkata, “Kalau sama, bapak takkan bertindak seperti sekarang ini”. Sikap keras Rum Aly itu sempat membuat was-was beberapa wartawan muda lainnya yang bersimpati, jangan-jangan berakibat penahanan bagi yang bersangkutan.

Waktu itu, pernyataan Jenderal Aang Kunaefi sepertinya tak berarti apa-apa, kecuali semacam excuse dan persuasi setelah bertindak keras. Tetapi belakangan terungkap betapa sebenarnya Aang Kunaefi itu pada hari-hari berikutnya secara diam-diam telah berbuat banyak untuk mahasiswa Bandung. Ia misalnya pada hari-hari itu menolak permintaan Laksamana Soedomo untuk menangkap beberapa pimpinan Dewan Mahasiswa Bandung –antara lain Hatta Albanik, Paulus Tamzil, Komaruddin dan beberapa lainnya– dan menyatakan bahwa gerakan mahasiswa Bandung bersih dari niat makar. Padahal sebelumnya, 16 Januari 1974, atas inisiatif Marzuki Darusman, beberapa tokoh mahasiswa Bandung –Hatta Albanik, Paulus Tamzil dan Budiono Kusumohamidjojo– yang juga ditemani Pontas Pardede, telah dipertemukan dengan Soedomo untuk menjelaskan sikap dan sifat gerakan mahasiswa Bandung yang murni, dan Soedomo berlaku seakan-akan mengerti. Nyatanya, ia justru menelpon Aang Kunaefi untuk melakukan penangkapan-penangkapan.

Maka, menjadi menarik untuk mengikuti satu kisah di balik cerita dari pertemuan itu, karena terjadi dua peristiwa ‘kebetulan’. Sewaktu para mahasiswa tersebut berada di ruang kerja Laksamana Soedomo di markas Kopkamtib, tiba-tiba Jenderal Soemitro masuk ke ruang itu. Terlihat betapa Soemitro tertegun sejenak, sedikit ‘berubah’ wajahnya dan agak heran, saat melihat kehadiran tokoh-tokoh mahasiswa dari Bandung itu di ruang ‘orang kedua’ Kopkamtib tersebut. Soedomo segera ‘memperkenalkan’, “Ini anak-anak Bandung”. Soemitro hanya mengatakan, “Ya, ya..”. Tampaknya sang Jenderal segera mengenali Paulus Tamzil yang bertubuh besar tinggi, karena ketika mengadakan pertemuan dengan para mahasiswa Bandung beberapa bulan sebelumnya, Paulus lah yang tampil menanyakan kepadanya apakah ia berambisi menjadi Presiden. ‘Kebetulan’ yang kedua terjadi beberapa saat sesudahnya, ketika muncul pula Jenderal Ali Moertopo ke ruangan Soedomo. Berbeda dengan Soemitro, Ali Moertopo dengan gesit justru ‘mendahului’ Soedomo, dan berkata “Ini kawan-kawan dari Bandung….” seraya menunjuk ke arah para mahasiswa itu, seolah-olah memperkenalkan. Koinsidensi di ruang kerja Laksamana Soedomo itu pastilah menyebabkan kesimpulan tertentu dan tersendiri di benak ketiga perwira tinggi yang kebetulan ada dalam pijakan berbeda dalam peta dan positioning ‘kekuasaan aktual’ di pertengahan Januari 1974 itu.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (15)
In Historia, Politik on January 27, 2010 at 1:01 AM

“Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri”.

KORAN ibukota yang dibreidel di wilayah Laksus Pangkopkamtibda Jaya sejak 21 Januari adalah Harian Indonesia Raya yang dipimpin Mohtar Lubis, Harian Kami yang dipimpin Nono Anwar Makarim, lalu Harian Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang dan Mingguan Pemuda Indonesia. Keenamnya dicabut Surat Izin Cetak-nya. Dua hari kemudian, menyusul lagi Harian Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar –kendati Rosihan sudah menyempatkan diri meminta maaf kepada penguasa– dan Majalah Ekspres yang dipimpin Marzuki Arifin SE.

Pembreidelan terhadap ‘Ekspres’, yang diketahui sangat dekat dengan kelompok Ali Moertopo dan beritanya menghantam habis para mahasiswa dan peristiwa itu, memang sedikit mengherankan pada mulanya. Tapi belakangan diketahui bahwa ‘permintaan’ untuk menindak ‘Ekspres’ mau tidak mau harus dipenuhi karena majalah itu memuat foto-foto perusakan pada tanggal 15 Januari itu yang dijadikan salah satu ‘syarat’ pembreidelan. Sehari sebelumnya, rencana pembreidelan ‘Ekspres’ ini dengan alasan pemuatan foto perusakan disampaikan oleh Louis Taolin (Pemimpin redaksi Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Pusat yang tak terbit lagi) yang mempunyai akses ke kalangan intelejen, kepada Rahman Tolleng. Mereka ini lalu berinisiatif menghubungi Majalah Tempo yang dipimpin Gunawan Mohammad, agar mencoba menghindari nasib serupa dengan tidak memuat foto-foto perusakan yang bisa dijadikan alasan menindak. Para pengasuh ‘Tempo’ tanggap dan segera mencabut halaman-halaman yang memuat foto-foto seperti itu, padahal majalahnya sudah betul-betul siap cetak. Edisi ‘Tempo’ kali itu lalu terbit dengan lebih ramping karena ‘kehilangan’ beberapa halaman, namun akhirnya lolos dari pembreidelan. Menjadi kurus sejenak tapi tidak perlu kehilangan nyawa, sehingga dunia pers tidak harus kehilangan terlalu banyak media yang berharga dan masih idealis.

Belakangan, seluruh pencabutan SIC ini mendapat ‘hukuman final’ berupa vonnis mati yang tetap dengan adanya pencabutan Surat Izin Terbit yang dilakukan oleh Departemen Penerangan. Menurut Menteri Penerangan Mashuri SH “pencabutan SIT itu adalah dalam rangka membulatkan langkah-langkah penyelesaian penertiban surat-suratkabar dan majalah sebagai akibat Peristiwa 15 Januari 1974”. Keputusan Menteri Penerangan diambil setelah menunggu keputusan Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional.

Khusus bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah cukup ironis bahwa pencabutan SIT kebetulan dilakukan oleh Menteri Penerangan Mashuri, orang yang pada waktu menjadi Menteri PDK disupportnya habis-habisan menghadapi kasus korupsi CV Haruman pada saat tak ada media lain lagi mau melakukan supportasi. Tapi bagaimanapun posisi Mashuri bisa dipahami, karena pencabutan SIT adalah keputusan Kabinet serta Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional, dan terutama atas kehendak Presiden Soeharto sendiri. Alasan pencabutan SIT bagi Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah alasan-alasan yang berat-berat, seperti mencampuri politik tingkat tinggi, melakukan adu domba politik tingkat tinggi, menghina kepala negara dan ibu negara, penghasutan dan sebagainya yang berkelas subversi dan makar.

Bingkai skenario makar versi badan intelejen

Penggambaran peristiwa 15 Januari 1974 sebagai suatu gerakan makar  dapat ditemui dalam laporan Bakin. Tetapi sejalan dengan keyakinan dan pembelaan Brigjen Aang Kunaefi, dalam laporan Bakin itu memang dapat dikatakan tak ada bagian yang melibatkan mahasiswa Bandung dalam skenario makar. Hanya ada satu bagian yang menceritakan kegiatan Muslim Tampubolon Ketua Umum DM-ITB, bahwa “kepergian Ketua Dewan Mahasiswa ITB Muslim Tampubolon (HMI) ke Medan (17-24 Desember 1973) dengan maksud tidak lepas dari pada menciptakan situasi dengan cara mengajak dan menghasut mahasiswa di daerah-daerah untuk bergerak serentak”. Menurut keterangan Muslim sendiri, kunjungannya ke Medan itu lebih untuk urusan lain dan bukan dalam konotasi berat seperti yang dituduhkan dengan tujuan-tujuan akhir menggulingkan pemerintahan. Namun ada dugaan bahwa pihak mahasiswa yang sempat berhubungan dengannya  adalah mahasiswa-mahasiswa yang dikategorikan sebagai ‘garapan’ intel, dan melalui ‘channel’nya menyampaikan laporan pada Jakarta.

Mendapat tempat dan peranan dalam penggambaran pada laporan Bakin itu adalah bergerak dan bekerjanya jaringan-jaringan eks PSI dan Masjumi serta tokoh-tokoh HMI yang dikelompokkan sebagai Islam ekstrimis (seperti Ir Tawang Alun dan tokoh lain bernama Drs Kahar Badjuri). Eks PSI dilukiskan bertujuan menegakkan demokrasi liberal parlementer, sedang eks Masjumi bertujuan memberlakukan Piagam Jakarta, dan bersama-sama mendorong gerakan massa untuk mengganti pimpinan nasional dan pemerintah.

Laporan Bakin itu melukiskan pecahnya peristiwa kerusuhan menuju perusakan dengan bekerjanya kekuatan non kampus, bermula ketika pada pukul 09.00 Julius Usman yang menelpon isterinya, Ita, untuk menghubungi Frans Max pada pukul 10.00 agar yang disebut terakhir ini mempersiapkan gerakan massa STM dan gerakan turun ke jalan dengan aksi mengempeskan ban-ban. Lalu datang lagi pesan dari Louis Wangge melalui Ita juga, anak-anak Senen disiapkan dan agar Proyek Senen dibakar. Sementara itu, Peter Tarigan memimpin rapat di STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri I untuk mempersiapkan aksi pengempesan ban. Kelompok Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru juga sudah tahu dan bersiap-siap, begitu pula kelompok BPSK (Badan Perguruan Sekolah Kristen) yang punya channel dengan sekolah-sekolah Kristen. “Disamping itu mereka mendapat bantuan dari gang-gang, gang-gang sekitar Planet Senen dan Proyek Senen, Sartana yang berada di sekitar Tanah Abang dari Kebayoran gang Legos”.

Daerah gerakan, masih menurut laporan tersebut, meliputi daerah kota dari SMA II, Pusat Kegiatan Kappi dibawah pimpinan Jusuf AR dan ex Laskar. Berikutnya, Tanah Abang Jakarta pusat, pusat gerakan dari BPSK, Sartana, Kappi Gedung Kesenian Pasar Baru, SMA IV/VII dan SMEA di Jalan Batu yang kesemuanya tergabung dalam Kappi, dan STM Jaya ditambah Laskar Yon Haryono. Daerah gerakan Senen/Kramat membawahi daerah Planet Senen, STM Poncol anak buah Katje Sumual, anak daerah Apotik Farma Senen dan ‘tukang catut’ Kramat. Daerah Jatinegara membawahi Kappi Raja  (PII/HMI), sekolah-sekolah Kristen, ex Laskar Yon Sutoyo, SMP dan SMA Yayasan IKIP. Daerah Kebayoran membawahi Legos, anak-anak Blok M (di bawah Buce Rumaruri) dan ex Laskar Yon Pandjaitan. Daerah Jakarta Utara membawahi ex Laskar Yon Tendean di bawah Fahmi Idris, Kappi, PII, HMI dan pusatnya di SMA XXX.

Berbeda dengan laporan Mingguan Mahasiswa Indonesia, laporan Bakin menyebutkan bahwa sehabis apel di Universitas Trisakti demonstran sudah ditunggu oleh mobil-mobil baru pelat putih Mitshubishi Colt yang diatur oleh Fahmi Idris. Sebagian demonstran diangkut menuju Kota, sebagian masuk Jalan Nusantara ke Pecenongan –karena penggiringan oleh aparat keamanan sendiri yang menimbulkan tanda tanya. Pukul 12.00 hingga 18.00 terjadi aksi pengrusakan hebat. Dimulai dengan pengempesan ban-ban oleh pelajar SLP/SMA. Lalu terjadi pengrusakan dan pembakaran mobil-mobil dan motor-motor buatan Jepang. Pembakaran mobil dimulai di Mesjid Istiqlal dan menjalar ke jalan-jalan di ibukota seperti di Pecenongan, Gambir dan Senen. Show room PT Astra di Jalan H. Juanda dan Jalan Jenderal Sudirman dirusak dan dibakar beserta mobil-mobilnya. Kemudian ada pula pengrusakan toko-toko di Jalan Gajah Mada dan gedung-gedung steambath dan night club. Beberapa nama disebutkan sebagai pemimpin pengrusakan, antara lain Monang Siagian, Yessi Moninca, Pontas Siahaan, Purba, Jusuf AR, Marcus Mali, Asmara Nababan, Jusril dari kelompok Fahmi Idris, Reny Is dan Mudjiarto.

Selain versi Bakin itu, beberapa waktu setelah peristiwa 15 Januari 1974, beredar pula satu versi bahwa kelompok-kelompok yang dikerahkan oleh operator-operator Ali Moertopo juga ikut memulai kerusuhan dengan melakukan perusakan di wilayah-wilayah yang sama, terutama di sekitar Proyek Senen. Keterkaitan yang menyebut-nyebut nama Ali Moertopo ini sempat ada dalam laporan intelejen beberapa lembaga keamanan. Menurut laporan para reporter Mingguan Mahasiswa Indonesia, saat itu di jalanan tempat kerusuhan dan perusakan terdapat beraneka ragam tipe pelaku. Mulai dari yang tampak berciri pelajar sampai dengan yang bukan. Justru yang berciri mahasiswa boleh dikatakan tidak ada. Antara massa, satu sama lain jelas terlihat tidak selalu satu koordinasi atau komando. Apalagi di Proyek Senen dan sekitarnya, betul-betul sulit mengidentifikasi ciri dan kelompok.

Seperti halnya dengan mahasiswa Bandung, mahasiswa Jakarta juga pada siang hari 15 Januari 1974 usai apel di Trisakti –dan kemudian tanggal 16– mencoba mengadakan rapat-rapat membahas situasi. Di Universitas Indonesia, ada rapat DM-UI yang dihadiri antara lain Gurmilang Kartasasmita, John Pangemanan (dari STO), Karantiko, Jusril Amrul dan Hariman Siregar (pada tanggal 15 sebelum ditangkap), serta Jusuf AR. Mereka mengevaluasi kegiatan serta rencana selanjutnya. Mereka pun menyerukan agar mahasiswa dan pelajar tetap tenang dan waspada, tidak terpancing dan tidak sampai terintimidasi. Mereka menegaskan pula bahwa mahasiswa dan pelajar akan tetap berjuang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Siang tanggal 16 Januari itu masih sempat terkumpul kurang lebih 2000 mahasiswa yang kemudian menuju Blok P Kebayoran Baru untuk menghadiri pemakaman korban yang jatuh pada 15 Januari 1974.

Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Bandung, terlihat sudah bahwa gerakan mahasiswa Jakarta segera patah karena tekanan tuduhan makar. Dan pecahnya kerusuhan di Jakarta itu sendiri –siapa pun pelaku sebenarnya– sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan pemukul terhadap gerakan mahasiswa. Maklumat No.004/PK/I/1974 yang dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jaya sangat efektif dan tak sanggup dihindari. Maklumat itu menyatakan bahwa terhitung mulai tanggal 16 Januari 1974 semua sekolah/perguruan mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi/Universitas di wilayah hukum Jakarta, ditutup. Ditambah lagi adanya larangan berkumpul diluar rumah lebih dari lima orang antara matahari terbit hingga terbenam, yang pada malam harinya disambung dengan berlakunya jam malam. Tak ada peluang untuk koordinasi dan konsolidasi. Belum lagi, beberapa kalangan kekuasaan yang tadinya tampaknya masih cukup dekat dan bisa berkomunikasi dengan kalangan mahasiswa, mendadak berubah sikap dan penuh inisiatif menggiring mahasiswa menuju kepada kepatuhan. Hariman Siregar misalnya, menghadap Wakil Panglima Kopkamtib Laksamana Soedomo karena anjuran dan jaminan Ali Sadikin, dan kemudian berlanjut dengan penahanan. Setelah peristiwa tanggal 15, Ali Sadikin menjadi yang termasuk di antara yang berbicara keras terhadap pelajar dan mahasiswa.

Menjadi luka yang kedua, sebelum luka yang ketiga

BAGI mahasiswa Bandung, apa yang terjadi dan berlangsung sekitar tanggal 15 Januari 1974, hanyalah merupakan petunjuk kesekian betapa kalangan kekuasaan memang lebih mengutamakan kekuasaan bagi dirinya masing-masing daripada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Sehingga, Peristiwa 1974 dapat dicatat sebagai Luka Kedua dalam hubungan mahasiswa dengan kekuasaan. Pasca Pemilihan Umum 1971, semua unsur dalam kekuasaan melihat betapa besar kekuasaan yang telah mereka capai dan peroleh bersama-sama. Dan adalah sangat merangsang untuk berupaya agar berada pada pucuk kekuasaan.

Setidaknya ada beberapa kelompok dalam kekuasaan yang menghendaki posisi terbaik dalam squad kekuasaan itu. Soeharto sendiri, ada dalam posisi utama dan merasa memiliki keharusan untuk mempertahankan seluruh kekuasaan itu di tangannya. Soeharto pasti membaca dengan baik peta kelompok yang tercipta di sekitarnya dan memainkan peran mengelolanya serta memiliki rencananya sendiri. Di antara kelompok yang paling tangguh secara kualitatif, adalah kelompok Ali Moertopo yang mengendalikan beberapa kekuatan sospol, selain Golkar dan juga beberapa unsur partai di luar Golkar. Penguasaan mereka terhadap sektor-sektor ekonomi juga amat signifikan, ditambah pengaruh-pengaruh dalam batas tertentu di kalangan militer yang terikat dalam satu kepentingan ekonomis. Tetapi kelompok yang paling kuat dan berotot tentulah kelompok Jenderal Soemitro karena faktor posisi pengendalian komando-komando. Namun hubungan pribadinya yang kurang serasi dengan Jenderal Maraden Panggabean yang memegang jabatan Menteri Hankam Pangab, sedikit mengurangi keunggulannya.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi adalah rivalitas yang berlangsung di bawah permukaan berdasarkan rumpun divisi, yakni antara rumpun Diponegoro dan Brawijaya dengan Siliwangi sebagai faktor yang menciptakan balans. Tapi peranan Siliwangi telah agak lama merosot sejalan dengan berakhirnya pengaruh perwira-perwira idealis terkemuka di tubuhnya, tanpa suatu regenerasi kualitatif. Diantara kelompok Ali Moertopo dan kelompok Jenderal Soemitro, dalam pemerintahan Soeharto, terdapat kelompok teknokrat Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Kelompok yang sering diberi predikat Mafia Berkeley ini memiliki kecenderungan kedekatan yang memadai dengan kalangan perguruan tinggi –tetapi sekaligus juga dihubung-hubungkan dengan kelompok ex PSI yang satu dan lain hal sering dilekatkan dengan kaum intelektual. Dalam beberapa pengalaman empiris, terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar dalam pandangan-pandangan kelompok teknokrat ini dengan kelompok pemikir yang disusun oleh Ali Moertopo. Paling terasa adalah dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah. Dalam banyak hal, kelompok Jenderal Soemitro lebih banyak memilih pandangan sejajar dengan kelompok teknokrat, sehingga terutama pada tahun 1973 hingga awal 1974 kepada mereka dilekatkan teori konspirasi. Di luar kelompok-kelompok yang ‘berseteru’ itu terdapat beberapa kelompok lagi, tetapi tidak terlalu jelas perpihakan sebenarnya, kecuali bahwa umumnya mengikuti arah angin. Diantara mereka ini, misalnya para perwira yang telah melakukan praktek korup dan dagang yang tidak sehat. Pada setiap kelompok utama yang berseteru akan selalu bisa ditemukan tipe yang punya catatan berbau korup ini.

Kisah Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (16)
In Historia, Politik on January 29, 2010 at 3:50 AM

“Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan”. “Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaannya berlanjut”.

DENGAN terjadinya Peristiwa 15 Januari 1974, sengaja atau tidak Jenderal Soeharto menemukan satu momentum untuk ‘meringankan’ beban perseteruan dalam tubuh kekuasaan yang dipimpinnya. Mula-mula ia melakukan reorganisasi Kopkamtib dengan mengambil alih langsung jabatan Panglima Kopkamtib. Dengan demikian, Jenderal Soemitro tinggal menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI. Sementara itu, Laksamana Soedomo diangkat menjadi Kepala Staf Kopkamtib. Agaknya Presiden Soeharto tidak terlalu sulit memberhentikan Soemitro dari jabatan Panglima Kopkamtib –suatu jabatan yang menurut guyonan politik saat itu punya wewenang menangkap siapa saja kapan saja, termasuk Presiden Soeharto– karena pada tanggal 17 Januari pagi setelah PM Tanaka meninggalkan Istana dengan helikopter, Jenderal Soemitro menghadap dan menyatakan “Semua ini tanggung jawab saya. Karena itu izinkan saya mengundurkan diri”. Soemitro mengaku gagal mengatasi keadaan. Dan meskipun secara spontan saat itu Soeharto memberi jawaban bahwa mengundurkan diri tidak memecahkan masalah, dan menyebutkan bahwa yang salah bukan hanya Soemitro, toh beberapa hari kemudian Soeharto melepaskan jabatan Pangkopkamtib itu dari Soemitro.

Sepanjang yang dapat direka ulang dari peristiwa pagi itu, setelah Jenderal Soemitro meninggalkan Istana, Ali Moertopo yang juga berada di Istana waktu itu, di ruang belakang, menghadap Soeharto hanya dalam selang beberapa waktu. Ali Moertopo memberi beberapa pertimbangan berkaitan dengan jabatan Kopkamtib. Namun adalah ‘menarik’ bahwa pada sekitar waktu yang bersamaan dengan reorganisasi Kopkamtib, Presiden Soeharto juga memutuskan menghapuskan jabatan Aspri yang disandang Ali Moertopo dan beberapa lainnya. Ini adalah ‘deal’ Ali kepada Soeharto, bahwa jabatan Aspri bisa dihapus bersamaan penggantian Pangkopkamtib. Jabatan Kepala Bakin yang dipegang oleh Letjen Sutopo Juwono –yang dianggap orang dekat Jenderal Soemitro– dilepas dan diserahkan kepada Mayjen Yoga Soegama yang ditarik dari pos perwakilan di PBB. Sutopo diangkat menjadi Duta Besar RI di Belanda. Bagi Yoga, ini adalah kedua kalinya memimpin Bakin, karena sebelumnya jabatan itu pun pernah dipangkunya.

Adapun Jenderal Soemitro, beberapa waktu kemudian dipanggil dan dipersuasi Presiden untuk menjadi Duta Besar RI di Washington, tetapi ditolak oleh Soemitro. Soeharto membuka pembicaraan dengan terlebih dahulu membuka kembali laporan tentang Ramadi yang mengaitkan nama Soemitro. “Saya minta Mitro mengalah sementara”, ujar Soeharto sebagaimana dituturkan Soemitro sendiri, “Saya minta keikhlasan Mitro untuk sementara jadi Duta Besar di Washington”. Pada waktu-waktu berikutnya, secara sistimatis Soemitro yang kerap temperamental ‘dipancing’ emosinya. Dan melalui suatu pertemuan dengan Jenderal Maraden Panggabean yang membicarakan masalah-masalah privasinya yang sensitif –antara lain dengan penggunaan kata ‘kelainan’ terhadap perilaku tertentu  dalam kehidupan privasi sang jenderal– akhirnya Soemitro secara emosional memutuskan membuat surat singkat pengunduran diri dari jabatannya yang terakhir di kemiliteran, yakni Wakil Panglima ABRI. Garis karirnya pun praktis patah, berakhir dalam usianya yang relatif masih cukup muda.

Ali Moertopo sendiri, setelah peristiwa 15 Januari 1974, tampaknya tetap berkiprah dengan peranan-peranan memadai dalam kekuasaan. Secara pribadi ia memang memiliki tingkat kualitas tertentu yang prima. Namun seiring dengan berjalannya waktu, seakan-akan suatu proses dialektis, faktor-faktor baru juga muncul dalam tubuh kekuasaan di sekitar Soeharto, dan dalam kaitan ini nama Sudharmono SH patut untuk disebut. Dalam tubuh Golkar misalnya, selain jalur A, jalur B juga menjadi faktor. Dalam tubuh tentara, muncul pula perwira-perwira yang berkonotasi lebih Islami, yang dalam kancah politik dikenal sebagai proses ‘penghijauan’ di tubuh ABRI.

Presiden Soeharto juga menarik representasi tokoh dalam kabinet-kabinetnya dari berbagai sumber dan latar belakang. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dalam minor reshuffle untuk mengisi jabatan-jabatan kosong dalam kabinet, antara lain muncul Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja SH yang tadinya Rektor Universitas Padjadjaran, menjadi Menteri Kehakiman. Sementara itu, mantan Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) kabinet peralihan Soekarno 1964-1966 Dr Sjarif Thajeb ditarik dari pos Duta Besar di Washington dan dinaikkan kembali ke ‘panggung’ dalam negeri sebagai Menteri P&K –dan segera saja muncul dengan rumusan-rumusan pembinaan kampus yang esensinya penuh pembatasan kendati tidak diakui demikian. “Harus diingat”, ujarnya, “kegiatan mahasiswa itu banyak sekali, bukan hanya bidang politik saja”. Dengan sedikit naif ia bertanya-tanya tentang ‘keberadaan’ KAMI –yang ikut dibentuknya pada tahun 1966– seraya menyesalkan kenapa wadah itu tidak dipertahankan agar bisa berperanan positif sesuai keadaan saat itu.
Ali Moertopo dalam pada itu baru masuk pada Kabinet berikutnya, sebagai Menteri Penerangan. Namun akumulasi tokoh-tokoh baru yang direkrut dari waktu ke waktu oleh Presiden Soeharto sedikit banyaknya lebih memperkecil rentang pengaruh Ali Moertopo, begitu juga yang lainnya di sekitar Soeharto, sehingga tak ada kekuatan yang betul-betul dominan lagi di sisi Soeharto. Jenderal Soeharto sungguh semakin efektif dalam menata kekuasaan. Tapi sepanjang Ali Moertopo hidup, tak ada yang bisa betul-betul menepikan peranannya –yang luar biasa dan amat fenomenal– secara signifikan. Hanya jantungnya yang pada akhirnya lebih cepat ‘kalah dan menyerah’ sesuai kehendakNya.

Gerakan-gerakan mahasiswa 1970 hingga akhir 1973 dan awal 1974, meskipun berada dalam suatu ruang dan waktu yang sama dengan perseteruan dalam tubuh kekuasaan, pada hakekatnya adalah suatu gerakan berdiri sendiri. Lahir dari suatu idealisme dan sikap kritis, meskipun juga tidak selalu sepenuhnya bersih dari perorangan-perorangan yang terimbas oleh kepentingan-kepentingan sendiri. Setiap kelompok kekuasaan yang berseteru, selalu mencoba menempatkan atau menggunakan perorangan-perorangan untuk menjalankan kepentingannya sendiri dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Di Jakarta dan beberapa kota lainnya, dunia mahasiswa kerap lebih rentan, terutama karena masih cukup kuatnya dominasi dan pengaruh organisasi-organisasi ekstra kampus dalam tubuh student government-nya, sehingga agak lebih mudah disusupi. Maka akhir dari gerakan mahasiswa Jakarta saat itu pun lebih ‘tragis’. Dalam hal ini, kampus-kampus Bandung menunjukkan perbedaan secara kualitatif.

Mahasiswa Bandung yang berhasil menjalankan konsep back to campus dan menegakkan proses demokratis yang kuat dalam pembentukan student government mereka –terutama di kampus-kampus utama dan besar– berhasil membendung politisasi ke dalam kampus tanpa menutup pintu bagi keinginan mengembangkan pikiran dan hak politik. Sebagai hasil akhirnya mereka memperoleh suatu kemampuan melakukan gerakan kritis yang berwawasan politik luas yang tepat untuk kepentingan masyarakat dalam menghadapi hasrat dan subjektivitas kekuasaan yang tidak wajar. Dalam menjalankan gerakan kritis bersama, bisa saja dikenali adanya perorangan yang terkait dengan organisasi ekstra tertentu, organisasi politik tertentu, kelompok kekuasaan tertentu, bahkan satu-dua orang yang diidentifikasi terkait dengan kalangan intelijen sekalipun, tapi tidak pernah ditemukan suatu keputusan bersama yang terkontaminasi karenanya. Tradisi berpikir secara akademis membuat mereka tiba pada keputusan-keputusan yang logis dan relevan terhadap apa yang mereka ingin capai. Dengan demikian, output keputusan mereka tentang rencana-rencana dan tujuan-tujuan, senantiasa berada dalam batasan gerakan kritis yang lebih murni. Itulah pula sebabnya mereka menjadi sangat peka terhadap situasi pada awal 1974 dan tiba pada keputusan untuk tidak turut ke Jakarta menyambut Tanaka dan tidak turut pada gerakan-gerakan lainnya di Jakarta dan memilih bentuk-bentuk gerakan mereka sendiri di Bandung. Mahasiswa Jakarta melakukan hal berbeda, atau setidak-tidaknya tidak bisa menghindarkan diri dari gerakan-gerakan yang ternyata kemudian diletakkan dalam satu bingkai skenario yang pada akhirnya merugikan gerakan mahasiswa secara keseluruhan –meskipun ini masih bisa diperdebatkan lebih jauh.

Professor Kusnadi Hardjasumantri almarhum, mantan Rektor Universitas Gajah Mada, kurang lebih pernah mengatakan andaikata mahasiswa Jakarta –Hariman Siregar dan kawan-kawan– lebih membatasi diri dengan gerakan kritis murni dan tidak terlalu jauh ‘membiarkan’ diri masuk ke dalam pertarungan internal kekuasaan yang terjadi, sehingga terperangkap ke dalam bingkai makar, Soeharto akan jatuh dengan sendirinya. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1973, sebenarnya dukungan terhadap Jenderal Soeharto sedang berada pada titik terendah di tubuh ABRI dan pada waktu yang sama mulai kehilangan dukungan kaum teknokrat dalam pemerintahan. Padahal gerakan-gerakan kritis mahasiswa yang terukur dalam situasi hampir zero seperti itu sebenarnya bisa berfungsi sebagai katalisator kuat menuju kejatuhan Soeharto.

Dengan apa yang terjadi di Jakarta, dimana gerakan mahasiswa ‘berhasil’ diletakkan posisinya ke dalam bingkai skenario makar, faktanya gerakan kritis mahasiswa Jakarta pun ibarat satu garis patah, berakhir dan terhenti. Bahkan gerakan mahasiswa di kota lain pun terimbas dan seolah terhenti sejenak. Jenderal Soeharto selamat, kekuasaanya berlanjut. Semenetara itu, para mahasiswa mendadak menemukan diri mereka dalam posisi mencengangkan sebagai pencetus kerusuhan sosial dan bahkan turut serta sebagai pelaku makar dalam opini yang berhasil diciptakan by design oleh salah satu faksi dalam pertarungan internal. Jenderal Soeharto yang sebenarnya sudah berada dalam posisi pelik, diuntungkan dan mendapat kesempatan melakukan konsolidasi. Setelah Peristiwa 15 Januari 1974, penguasa menjadi lebih keras dan mendapat ‘alasan’ melakukan rangkaian tindakan supresi ke kampus-kampus perguruan tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Sementara itu pers kritis pun sudah dilenyapkan setelah peristiwa.

Gerakan mahasiswa Bandung, bagaimanapun ikut terpengaruh. Tak ada tokoh mahasiswa dari kampus Bandung yang dikenakan tahanan. Hanya memang beberapa dari mereka mengalami pemeriksaan-pemeriksaan dan klarifikasi baik di Laksusda –di POM ABRI yang dipimpin Kolonel Samallo– maupun instansi lainnya. Salah satu rangkaian pemeriksaan untuk dimintai keterangan adalah yang dilakukan di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat hingga beberapa waktu kemudian setelah Peristiwa 15 Januari di Jakarta. Tetapi pertanyaan-pertanyaan, seperti misalnya yang dialami Denny Kailimang dari DM Universitas Parahyangan yang diperiksa bersama Budiono Kusumohamidjojo, lebih banyak diarahkan kepada beberapa tokoh senior yang ikut ditangkap di Jakarta. Paling banyak yang coba dikorek adalah mengenai Rahman Tolleng dan Adnan Buyung Nasution, yang ditangkap di Jakarta dan agaknya dipersiapkan untuk jadi tertuduh. Antara lain ditanyakan apakah peranan mereka ada dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa Bandung, apa ucapan-ucapan yang pernah mereka lontarkan dan sebagainya. Umumnya, dijawab secara samar dan tidak memuaskan pemeriksa, karena para mahasiswa pun telah menganalisa apa tujuan pemeriksaan. Sepertinya penyelidikan dan penyidikan terhadap mahasiswa Bandung seluruhnya terbentur. Para penyelidik dan penyidik hanya mampu memperoleh data-data sebatas ‘bukti-bukti’ intelejen namun itu bukan ‘bukti-bukti’ hukum yang cukup.

Namun, apapun yang terjadi, student government yang ada di kampus-kampus Bandung tak terputus –dan memang tidak ada alasan kuat bagi penguasa untuk begitu saja menghentikannya. Larangan kegiatan politik di kampus-kampus yang dikeluarkan Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Pimpinan Kopkamtib di Jakarta, memang meredakan sejenak kegiatan dan menghalangi gerakan kritis mahasiswa Bandung. Dalam larangan itu dirumuskan kegiatan-kegiatan yang tak diperbolehkan, seperti demonstrasi, pawai alegoris, apel, rapat, rapat umum, pernyataan lisan atau tulisan, seminar, diskusi, kuliah, kuliah umum dan sebagainya.

Menanggapi aneka pembatasan sebagaimana yang dicantumkan dalam radiogram Laksus Pangkopkamtibda Jawa Barat yang meneruskan perintah Kopkamtib, beberapa Dewan Mahasiswa –di antaranya DM Universitas Padjadjaran– malah sekalian meminta Pimpinan-pimpinan Perguruan Tinggi untuk menutup Lembaga-lembaga Perguruan Tinggi, “sampai dicabutnya kembali seluruh keputusan-keputusan yang bertentangan dengan azas kehidupan Demokrasi Perguruan Tinggi seperti tercermin dalam Surat Telegram Laksusda Jabar”. Lalu, menginstruksikan seluruh mahasiswa untuk menghentikan seluruh kegiatan-kegiatan akademis, sampai ada pengumuman kembali. Nyatanya, larangan penguasa itu hanya memiliki daya laku yang ringkas. Dan para mahasiswa tetap melakukan apa yang mereka rasa perlu dilakukan, meskipun dengan berbagai cara dan improvisasi baru. Student government di kampus-kampus Bandung pun tetap berjalan.

Maka pada saat-saat berikutnya tetap ada sesuatu yang terestafetkan. Tradisi perlawanan kritis mahasiswa Bandung memang tak berakhir di tahun 1974. Babak-babak baru muncul, hingga saatnya terjadi Peristiwa 1978, tatkala tentara menduduki kampus-kampus Bandung dan akhirnya tercatat sebagai Luka Ketiga dalam hubungan mahasiswa dan kekuasaan.

-Diolah dari Rum Aly, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter – Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Penerbit Buku Kompas, 2004.