Antara pemuda dan proklamator …


Tempo 16 Agustus 1975. RUPANYA tidak semua tokoh-okoh Indonesia di Jakarta mengetahui bahwa tangal 14 Agustus 1945 Jepang sudah minta berdamai dengan Sekutu.
Juga tidak Sukarno dan Hatta. Mungkin itulah sebabnya, ketika Sutan Syahrir yang rupanya telah mendengar hal itu liwat monitor gelap siaran radio luar-negeri – jam 2 siang keesokan harinya mendatangi Bung Hatta di rumahnya menceritakan apa yang telah didengarnya, Bung Hatta terperanjat. Syahrir mengatakan kepada Bung Hatta agar pengumuman kemerdekaan Indonesia selekasnya dilakukan. “Saya setuju dengan pendapat Syahrir”, tulis Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamsi, tapi “saya sangsi apakah pernyataan itu dapat dilakukan Sukarno pribadi sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat”. Karena itu bagaimanapun Bung Hatta mengusulkan agar mereka berdua menemui Bung Karno untuk menanyakan pendapatnya. Dan ternyata, di rumahnya di Pegangsaan Timur 56, Sukarno menyatakan kepada Syahrir — seperti yang diceritakan Hatta–: “Saya tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah hak dan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya menjadi ketuanya”. Rengasdengklok Petang itu kembali Hatta didatangi utusan Pemuda terdiri dari Subadio Sastrosatomo dan Subianto Djojohadikoesoemo dengan maksud yang sama dengan maksud Syahrir. Tapi sikap Hatta tak berubah seperti siang tadi. Malamnya Chairul Saleh mengumpulkan rekan-rekannya di Institut Eickman Pegangsaan Barat dan menghasilkan keputusan: Mendatangi Bung Karno agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai yang diceritakan Bung Karno dalam buku Biografinya yang ditulis Cindy Adams, kedatangan pemuda itu menimbulkan pertengkaran hebat dengan Bung Karno yang menolak kehendak fihak Pemuda. “Saya menghadapi pemuda di satu fihak, para pemimpin yang tua di fihak lain, pemimpin agama di lain fihak lagi. Hatta menarik saya ke satu jurusan. Syahrir menarik saya ke jurusan lain lagi. Tapi saya harus mengikuti hati nurani saya”. Meninggalkan rumah Bung Karno tanpa hasil, pada larut malam itu juga para pemuda itu berkumpul kembali di gedung jalan Menteng Raya 31. Pertemuan itu akhirnya menelorkan keputusan: “Menculik” Bung Karno dan Bung Hatta ke suatu tempat yang jauh dari “pengaruh Jepang” sebagai usaha menekan keduanya agar mau mengumumkan kemerdekaan Indonesia segera. Dalam usaha ini agaknya tersirat niat untuk memaksa Sukarno-Hatta dengan kekerasan. Dalam rapat ini juga hadir seorang PETA Jakarta yang rupanya selama ini telah mempunyai hubungan mendalam dengan dan telah dipercayai golongan Pemuda yaitu Syoodanco Singgih. Hubungan Singgih itu agaknya tak banyak diketahui oleh atasannya sendiri seperti Coodanco Latief Hendraningrat misalnya, seperti yang terkesan dari cerita Latief sendiri (lihat: Hari-Hari Sekitar Proklamasi). “Sorenya memang ada kurir pemuda menemui saya yaitu Surahman dan Suroto Kunto dan malamnya jam 10 saya ditelepon di asrama Jaga monyet untuk datang ke pertemuan di Menteng 31″, cerita Singgih di rumahnya dua minggu lalu kepada TEMPO . “Saya berangkat ke sana dengan meminjam sepeda Syoodanco Mufreini Mukmin”, cerita Singgih pula. Rapat di Menteng 31 malam itu akhirnya memutuskan menunjuk Singgih untuk melaksanakan rencana”penculikan” Sukarno-Hatta, tentu saja setelah mendengar kesanggupan yang ditunjuk. Ke mana Sukarno-Hatta akan dibawa, agaknya untuk sementara tetap hanya berada di kepala Singgih. “Sukarni sendiri” — yang ikut ke Rengasdengklok — “waktu itu tidak tahu Rengasdengklok “, kata Singgih. Tapi dari proses penculikan itu bisa dibaca sekarang, bahwa fikiran untuk “mengamankan Sukarno-Hatta” agaknya bukanlah baru tiba-tiba muncul dalam rapat malam itu. Nampaknya hal itu sudah dimasukkan sebagai alternalif dalam rencana-rencana yang telah dibuat sebelumnya – entah di mana dan oleh siapa. Dari buku Biografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams, tergambar bahwa Bung Karno sendiri tidak bisa melepaskan kecurigaannya bahwa di belakang rencana ini adalah Sutan Syahrir. Syahrir walau siapapun, yang jelas “penculikan Sukarno-Hatta” memang berhasil dilakukan Singgih – dengan bantuan sejumlah Pemuda yang memang dimintanya membantu – pada fajar hari tanggal 16 Agustus 1945. Tapi mengapa Singgih memilih Rengasdengklok? Jawabnya: “Saya kenal lika-liku daerah itu. Saya sudah lama menjalin kontak karena anak-anak PETA di sana adalah bekas siswa-siswa yang ia latih. Letak tempat itu strategis: di tepi Citarum sehingga mudah melarikan diri setiap saat. Dan cuma ada satu jalan untuk masuk ke sana yang mudah pula diawasi”. Singgih juga kenal baik dengan Subeno, Daidanco Rengasdengklok, sudah sejak sama-sama masih di Jakarta.