Kisah azis, pembrontakan itu (Andi Azis)


Tempo 11 Februari 1984. Si pemberontak telah tiada. Senin, 30 Januari lalu, Andi Abdul Azis meninggal dunia di Rumah Sakit Husada, Jakarta, dalam usia 61 tahun setelah dirawat 23 hari karena serangan jantung.
Menuruti permintaannya, ia dimakamkan di kampung halamannya, Mallawe Baru, 100 km utara Ujungpandang. Dalam sejarah Indonesia, “Pristiwa Andi Azis” tercatat sebagai salah satu letusan perlawanan terhadap terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Ada yang menyebutnya “Peristiwa 5 April 1950″, tapi Andi Azis sendiri menyebutnya “Gerakan Rabu Pagi”. Peristiwanya memang terjadi Rabu pagi 5 April 1950. Subuh itu Kapten Andi Azis memimpin pasukannya menyerang tangsi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Klapperlaan (Jalan Monginsidi) dan menangkap para perwira dan melucuti senjata mereka. Padahal, sepekan sebelumnya, Letnan KNIL Azis beserta kompinya bergabung dalam APRIS. Bahkan hari itu pangkatnya dinaikkan menjadi kapten. Hari itu pasukan Andi Azis menguasai seluruh kota Ujungpandang (waktu itu Makassar). Pagi itu juga, lewat Radio Makassar, Azis mengumumkan tindakan pasukannya yang dimaksudkan untuk mempertahankan NIT (Negara Indonesia Timur). Ia dan pasukannya bertindak bukan sebagai KNIL, tapi APRIS. Tujuan gerakannya agar pasukan APRIS dikirim kembali ke Jawa. Hari itu, di luar pelabuhan Makassar memang berlabuh kapal Waikelo dan Bontekoe – milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), kini Pelni – mengangkut sekitar seribu pasukan APRIS di bawah pimpinan Mayor H.V. Worang. Mereka tidak bisa mendarat karena dihalangi pasukan Andi Azis. Namun, di balik gerakan Azis, ada alasan lain yang lebih dalam. Selama Maret 1950, di Sulawesi Selatan berkali-kali berlangsung demonstrasi rakyat, menuntut pembubaran NIT, dan agar bergabung dengan Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta. Keadaan ini rupanya mencemaskan kaum federalis di NIT yang dipimpin Jaksa Agung Soumokil. Peranan Soumokil sebagai dalang pemberontakan Andi Azis terungkap dalam pengadilan Azis. “Gerakan Rabu Pagi” diputuskan pada 4 April. Malam itu Azis diundang menghadiri pertemuan di rumah Soumokil bersama beberapa opsir lain. Di situ diputuskan: kedatangan Batalyon Worang harus dicegah. Pukul 23.00 presiden NIT Sukawati datang dan menasihati hadirin agar tidak sampai terjadi “hal-hal yan tidak diinginkan . ” Menurut Azisse telah Sukawati pulang, Soumokil berkata, “hantam saja.” Azis mengertikannya sebagai perintah mengangkat senjata. Ia kemudian setuju diangkat sebagai pemimpin gerakan. “Saya menerima penunjukan itu dengan maksud untuk mencegah pendaratan Worang demi keselamatan rakyat, dan agar supaya tidak ada korban yang lebih banyak,” kata Azis dalam sidang pengadilan . Tapi Azis dikecewakan. Gerakannya tak memperoleh dukungan rakyat. Bahkan pemerintah NIT sendiri lewat PM Diapari menyesalkannya, serta menyatakan peristiwa itu “tak dikehendaki pemerintah NIT.” Pemerintah RIS lewat PM Hatta kemudian memberi ultimatum kepada Azis untuk datang ke Jakarta guna mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam tempo 4 x 24 Jam. Tatkala batas waktu dilewati, dan Azis belum juga pergi ke Jakarta, Presiden Soekarno pada 13 April malam mengucapkan pidato radio. “Tempo itu telah lampau. Dan sekarang, sebagai presiden RIS dan pangadilan tertinggi APRIS, saya menyatakan bahwa dia adalah pemberontak terhadap kekuasaan pemerintah RIS,” kata Presiden Soekarno. Baru esok harinya, 14 April, Azis pergi ke Jakarta. Di lapangan terbang Kemayoran ia ditahan CPM. “Padahal, waktu itu saya hanya membawakan dua setel pakaian, karena saya pikir ia akan segera pulang,” kata Ny. Jabida Azis, istri Almarhum, Senin lalu. Tiga tahun kemudian, 25 Maret 1953, ia diajukan ke Pengadilan Tentara. Andi Azis mengaku bersalah dan bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya. Diakuinya juga bahwa ia “sama sekali buta politik.” Andi Azis dijatuhi hukuman penjara 14 tahun potong tahanan. Ia kemudian memperoleh grasi dan pada 31 Agustus 1956 dibcbaskan. Mertuanya, Nadjamuddin Baso, kemudian meminta partnernya di PT Samudera Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo, untuk menerima Azis. Di perusahaan pelayaran ini, Azis bekerja sampai akhir hayatnya. Bekas panglima Teritorium Indonesia Timur, Kolonel Alex Kawilarang, menganggap Andi Azis korban. “Ia korban hasutan segelintir orang,” katanya. Peristiwa Andi Azis, menurut Kawilarang, merupakan awal pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) yang dipimpin Soumokil. Pada 22 April, Soumokil diskors. Ia lari ke Ambon dan memproklamasikan RMS. Andi Azis memang tidak mengenal benar situasi Indonesia. Sejak umur 12 tahun, ia dikirim ke Negeri Belanda. Waktu Belanda diduduki Jerman, ia ikut gerakan bawah tanah. Kemudian ia mendapat latihan militer di Inggris, konon bersama antara lain Husein (Raja Yordania) dan Moshe Dayan (bekas menteri pertahanan Israel. Tahun 1944, ia ikut dalam pertempuran memperebutkan Kota Arnhem di Negeri Belanda. Baru pada awal 1946 ia kembali ke Makassar. Enam bulan kemudian, ia mengikuti pendidikan instruktur para komando di Bandung. Menjelang pengakuan kedaulatan akhir 1949, ia ditempatkan sebagai letnan KNIL di Makassar.