Tempo
16 Agustus 1975. Ia melaporkan tentang
rapat itu kepada Codanco A. Latief I Hendraningrat yang kebetulan sedang dinas
piket. Tujuan melapor, karena hendak meminjam fasilitas PETA.
Singgih
tidak mengungkapkan keperluannya yang sebenarnya dan hanya mengatakan ‘ untuk
keperluan rapat-rapat pemuda” meskipun kelak Singgih melaporkan juga kepada
Latief apa yang sebenarnya ia lakukan. Bagaimanapun, A. Latief memenuhi
permintaan Singgih, termasuk meminjam sedan yang biasa dipakai Daidanco Kasman
Singodimedjo yang waktu itu kebetulan pergi ke Bandung (lihat: Di Mana Kuda
Saya…. ?). Mencabut Pisau Apa sebab pada mulanya Singgih tidak berterus-terang
kepada Latief yang lebih tinggi pangkatnya, agaknya bisa dinilai dari
terdapatnya semacam “jurang” di dalam PETA antara atasan dan bawahan waktu itu.
Mereka yang berpangkat dari Syodanco–seperti Singgih – ke bawah hidup dalam
asrama, sementara yang berpangkat dari Cudanco – seperti Latief misalnya – ke
atas mendapat perumahan di luar. Bagi bawahan yang tinggal di asrama, mereka
yang tinggal di luar itu dicurigai “dekat dengan Jepang”. Tidak mengherankan
bahwa penculikan itu kemudian justru dilakukan oleh pada “PETA asrama” ang
pangkatnya hanya Syodanco karena mereka inilah yang lebih dekat dengan golongan
Pemuda. Seakan-akan memang sudah terdapat hubungan rahasia sebelumnya, Syodanco
Hamdani dan Sampun di bagian persenjataan segera mengeluarkan senjata-senjata
yang diminta Singgih setelah mendapat izin dari Cudanco Latief. Singgih
kemudian bahkan mengajak Sampun sebagai sopir–ke Menteng 31 dan juga Syodanco
Sutrisno yang dikenal sebagai penembak mahir. Di Menteng 31 Singgih minta
beberapa pemuda menemaninya mengambil Hatta dan Sukarno. Mula-mula ikut
Sukarni, Jusuf Kunto dan dr. Muwardi yang mengantarkan Chairul Saleh ke rumah
Danu Asmoro di jalan Pekalongan untuk meminjam mobil. Dari Sini, dua buah
mobil, satu milik PETA dikemudikan Sampun dan satu milik Danu dikemudikan
sendiri, menuju rumah Hatta di Jalan Diponegoro sekarang. Hari sudah liwat
tengah malam ketika Singgih, Sukarni dan Wikana masuk dan membangunkan Bung
Hatta. “Saya minta Bung Hatta bersedia ikut dengan saya”, kata Singgih seperti
yang diceritakannya kembali kepada TEMPO di rumahnya dua pekan lalu. Ternyata
Bung Hatta akhirnya tidak menolak dengan syarat: “Asal Bung Karno juga ikut”.
Dari sini mereka menuju ke rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. “Jam 3 pagi
aku masih bangun”, Bung Karno mengisahkan kejadian di rumahnya fajar itu dalam
Biografinya. “Aku tidak bisa tidur dan duduk di kamar makan seorang diri makan
sahur Keadaan dalam rumah sunyi sepi. Semua orang tidur. Kamar makan kami
langsung menghadap ke pekarangan dan pintunya terbuka sedikit. Terdengarlah
sayup suara mendesir dari balik semak-semak dan serombongan pemuda berpakaian
seram masuk dengan diam-diam. Sukarni pakai pistol dan sebilah pisau panjang.
Dengan lagak petualang dia mencabut pisaunya dan membelebab. “Berpakaianlah
Bung… Sudah tiba saatnya”. Di sini Singgih menuju pavilyun dan menelepon
Hamdani di naidan Jaga monyet: “Tolong sediakan dua power dengan sopir dan 2
bundan (prajurit) pengawal bersenjata. Tempatkan di antara rumah Bupati
Jatinegara dan penjara Cipinang”. Kemudian Singgih menelepon pula Daidanco
Soerjodipoetro di Purwakarta. “Saya sedang latihan perang-perangan dan akan
menuju Rengasdengklok”, kata Singgih dalam telepon. Rengasdengklok waktu itu
adalah PETA wilayah Purwakarta. Kemudian Singgih menghubungi PETA
Rengasdengklok. Tapi Syudanco Oemar Bachsan yang selama ini sering berhubungan
dengannya (bahkan kontak ke seluruh Jateng dan Jatim) kebetulan sedang ke
Purwakarta bersama Cudanco Subeno. Singgih hanya bisa berhubungan dengan
Syodanco Affan yang belum begitu ia kenal. Tapi terpaksa Singgih berbicara
juga: “Harap siap-siap, kami segera datang. Penting”. Dan akhirnya Singgih juga
menelepon Cudanco Latief agar diizinkan ke luar kota. Pindah Ke Power Sesuai
dengan rencana, akhirnya Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta dilarikan ke arah
Cipinang di mana dua power PETA yang dipesan Singgih sudah menunggu. Semua
pindah ke power, sementara kedua sedan diperintahkan kembali. Bung Karno dan
Bung Hatta diminta mengenakan seragam PETA begitu juga Sukarni. Seperti apa
yang dituturkan Singgih kepada Tempo: Sampun pegang kemudi di kanan, sementara
Singgih sendiri di samping sopir. Di kaki Singgih sekotak granat dan beras. Ia
lebih banyak berdiri karena mobil power itu tak beratap. Di samping Singgih dan
sopir, penumpang mobil itu Ibu Fatmawati dengan memangku Guntur yang baru
berusia 8 1/2 bulan, Bung Karno, Bung Hatta, Sukarni, dr. Soetjipto dan dua
orang budanco bersenjata. Yang lainnya di mobil power kedua yang mengiring di
belakang. Sebelum matahari terbit tanggal 16 Agustus pagi rombongan telah
berhenti di depan rumah dinas Cudanco Subeno di Rengasdengklok. Seorang yang
lagi dinas piket diminta membangunkan syodanco Affan. Affan yang ke luar hanya
dengan sarung, terkejut melihat Bung Karno dan Bung Hatta yang berseragam PETA.
Sementara itu para “pengawal” disepakati untuk segera kembali ke Jakarta. Jusuf
Kunto harus menghubungi Menteng 31, melaporkan rombongan telah tiba di tempat
aman sementara dr. Soetjipto diminta Singgih menghubungi Cudanco Latief
menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di mana anak-buahnya terlibat.
Sekitar jam 8 pagi, rombongan diminta menunggu di ruang kerja Subeno. Ada
kejadian penting di sini, jika betul apa yang diceritakan baik oleh Singgih
maupun Affan kepada TEMPO . Di ruang itu ada sebuah meja panjang dengan 5 kursi.
Bung Karno duduk di ujung. Di depannya sebelah kanan duduk Singgih dan Sukarni,
di sebelah kiri lah kiri Hatta dan Fatmawati yang memangku Guntur. Di dekat
pintu berdiri Affan dengan memegang sepucuk karaben. Waktu itu Guntur menangis
dan kian keras. Akhirnya Fatmawati berdiri membawa Guntur ke luar yang kemudian
diikuti Hatta. Pada saat Bung Karno sendirian itulah Sukarni menggunakan
kesempatan meminta Bung Karno sekali lagi untuk bersedia segera mengumumkan
kemerdekaan Indonesia. Konon Bung Karno untuk beberapa lama tak membuka suara.
Suasana hening malahan agak tegang, sebab Singgih tiba-tiba meletakkan tangan
kanan ke gagang pistolnya. Melihat gelagat itu Affan mengokang karaben di
tangannya–entah dengan maksud apa. Perawakan Affan agak pendek tapi kekar dan
hitam dengan kumis tebal. Dan Singgih berkata: “Pak rakyat dan pemuda sudah tak
sabar lagi. Kalau tidak akan terjadi pertumpahan darah sebelum tengah hari”.
Menurut cerita Singgih, setelah hampir seperempat jam dalam keadaan begitu,
akhirnya lung Karno berkata:”Baiklah Singgih. Ya”. Singgih kontan berdiri,
menjabat tangan Bung Karno dengan berkata: “Terimakasih pak”. Kemudian pamitan
pada Sukarni dan Affan sambil berpesan kepada yang terakhir: “Tunggu di sini
dan jaga keamanan”. Sekitar jam setengah sepuluh, Singgih meninggatkan
Rengasdengklok dan tiba kembali di Jakarta menjelang tengah hari. Ia langsung
menemui Chairul Saleh, Wikana, Surahman dll di Menteng 31. “Saya hanya bisa
membujuk Bung Karno sampai pada kesediaannya saja” kata Singgih kepada para
pemuda itu. “Bung Karno bersedia memproklamasikan kemerdekaan besok. Segera
saya akan kirim penjemputan” . Setelah Singgih meninggalkan Rengasdengklok,
Affan mengusahakan memindahkan Bung Karno dan keluarga serta Bung Hatta ke
rumah Djiauw Kie Siong yang sudah dikosongkan, beherapa ratus meter dari sana.
(lihat: rubrik Tamu Kita hal.54). “Setelah itu saya menelepon ke Purwakarta
minta Subeno dan Oemar Bachsan segera pulang”, cerita Affan. “Saya menelepon
dalam bahasa Jawa untuk menghindari sensor Jepang” . De Facto Pada hari itu
juga di Rengasdengklok sendiri terjadi suatu pergolakan tersendiri – yang
agaknya tak diketahui oleh “tamu-tamu” dari Jakarta yang tinggal dalam rumah
saja. Yaitu Barisan Pelopor yang dipimpin Masrin dan Achmad Cinoen bekerja sama
dengan PETA melucuti orang-orang Jepang yang ada di sana dan menawan mereka.
Mereka menaikkan bendera merah-putih di halaman kantor Kewedanaan dan asrama
PETA – sehingga secara de facto sejak hari itu Rengasdengklok sendiri sudah
tidak berada di bawah kontrol Jepang lagi. Pada siang itu juga, penjaga di
menara pengawas melihat mobil berbendera kuning datang menuju Rengasdengklok.
Ternyata di dalamnya adalah Sutardjo, Sucokan alias Residen Jakarta yang
katanya datang ke sana untuk memeriksa persediaan beras. Oleh PETA ia ditawan.
“Bendera kuning itu kan artinya jenderal”, kata Affan. “Kami curiga, ia masuk
ke sana sengaja dikirim Jepang”. Oemar Bachsan dan Subeno datang hari itu juga
dari Purwakarta dan tiba di Rengasdengklok hampir bersamaan dengan datangnya
Mr. Soebardjo dari Jakarta untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Subeno
dan Oemar Bachsan yang rupanya sudah tahu apa yang terjadi di daerahnya itu
mencoba menghalangi maksud Soebardjo itu meskipun keduanya akhirnya mengalah,
rapi dengan syarat bahwa betul Sukarno-Hatta akan mengumumkan kemerdekaan
Indonesia besok. “Kalau Bung Karno dan Bung Hatta diserahkan kembali kepada
Jepang, pak Bardjo akan saya uber”, ancam Subeno. Dan bagaimana dengan syodanco
Singgih? Sore itu juga di Jakarta ia menerima panggilan tertulis dari Markas
Besar PETA Jawa Barat di Bandung. Isinya: kenaikan pangkat. “Ini sebenarnya
ketololan saya,” tuturnya dengan tertawa di rumahnya di Jalan Brawijaya
Kebayoran Baru. Toh ia berangkat juga bersama Sambas Atmadinata. Dan paginya tanggal
17 Agustus 1945, sementara Bung Karno membaca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
ia dilantik menjadi Cudanco di jalan Nias Bandung. “Memang ironis”, katanya
mengingat kejadian itu. Tapi hari itu juga ia dan Sambas melarikan diri dari MB
PETA ke rumah seorang di Bandung Utara, orang yang kemudian menjadi mertua
Sambas. Singgih si penculik itu. kembali ke Jakarta tanggal 19 sore. Ia
menemukan PETA hanya tinggal nama saja.