06 Oktober 1984
Kisah-Kisah
Oktober, 1965
Jenderal Sugandhi, mantan Ajudan Bung Karno.
---------------------------------
Sembilan belas tahun telah berlalu sejak terjadinya malam yang menggetarkan itu. Malam yang kemudian mengubah Warna sejarah Indonesia. Malam yang rentetannya kemudian memporakporandakan dan mengubah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita. Malam, tatkala PKI (Partai Komunis Indonesia) untuk kesekian kalinya menusuk dan belakang. Telah banyak cerita sekitar apa yang terjadi pada 30 September malam dan 1 Oktober 196S itu. Toh masih banyak kisah yang tercecer, atau yang belum terungkap. Khususnya cerita dan kalangan biasa, yang ikut mengalami dan kemudian terseret dalam peristiqa itu. Berikut adalah beberapa di antara kisah itu. CATHERINE PANJAITAN, 37, putri sulung Pahlawan Revolusi Almarhum Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, kini
ibu rumah tangga. PADA 30 September 1965 itu, sepulang saya dari sekolah di SMA Tarakanita (kelas I), saya meminta izin Papi agar diperbolehkan mengikuti apel di Senayan, yang diwajibkan sekolah waktu itu. Tapi Papi melarang. "Pokoknya, kamu jangan pergi," ujarnya singkat. Sebagai remaja, saya sangat ingin keluar rumah. Karena itu, saya ngotot pergi. Mengenakan seragam putih, sepatu putih, rambut dikepang dua (ekor kuda), saya berangkat. Di Stadion Senayan, pidato dimulai pukul 17.00, tapi saya tidak mendengarkan, karena asyik bergurau dengan teman. Acara selesai sekitar pukul 20.00 tapi baru sekitar pukul 22.00 saya sampai ke rumah karena harus mengantar teman. Saya agak takut masuk rumah, karena diberitahu: sejak tadi saya ditunggu Papi. Tanpa makan malam, saya jinjing sepatu ke atas (rumah kami bertingkat), ke kamar saya, supaya Papi tidak tahu saya datang. Saya lihat lampu kamarnya masih menyala. Setelah berganti pakaian, saya tidur. Kira-kira pukul 04.30, 1 Oktober 1965, saya terbangun karena mendengar teriakan-teriakan disertai tembakan. Saya mengintip dari jendela. Saya lihat banyak orang yang berseragam tentara, beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan. Saya berlari keluar kamar. Ternyata, Papi sudah bangun. Ia menggendong adik, anak seorang saudara yang baru datang dari Sumatera. Kami semua berkumpul di ruang tengah lantai atas. Papi mondar-mandir, dari balkon ke kamarnya. Ia mencoba mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek. Saya bertanya pada Papi. "Pa, ada apa?". Tapi ia tak menjawab. Tembakan terus terdengar, sekarang di lantai bawah. Barang-barang hancur, televisi, koleksi kristal Ibu, bahkan meja pun terbalik. "Tiarap," Papi memberi komando. Lalu saya disuruh menelepon Samosir, salah seorang asisten Jenderal S. Parman. Cepat saya hubungi dia, minta bantuan, kami dikepung, banyak tentara. Setelah itu saya telepon pacar sahabat saya, namanya Bambang. Saya minta bantuan. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus. Di lantai bawah, tembakan masih terdengar, tapi tak ada yang nyasar ke atas. Lalu terdengar teriakan Albert, sepupu saya, "Tulang (Paman), jangan menyerah. Jangan menyerah, Tulaang !". Albert dan Victor (ipar Papi) memang tidur di lantai bawah. Dua pembantu kami terdengar ditanyai "Mana ndoro-mu ?". Saya mendengar pertanyaan itu jelas sekali, diulang-ulang. Baru setelah diancam akan dibunuh, mereka memberitahu. Lalu teriakan beralih ke atas. "Menyerah saja, menyerah". Secara spontan, saya bertanya "Siapa yang suruh?". Dari bawah dijawab "Paduka yang mulia". Namun, para tentara yang di bawah tidak berani naik ke atas. Kemudian Papi masuk kamar, berganti pakaian. Ibu menangis. Tanpa banyak kata Papi turun, dengan pakaian dinas lengkap. Kaus kaki hitam telah dlpakai, tapi sepatunya dijinjing. Ibu, saya, Salomo - adik saya - terpaku melihat kepergiannya. Ketika Papi menuruni tangga, sampai di belokan, saya mengejarnya, ingin mengikutinya. Namun, Papi cepat berkata, "Jangan turun. Semua tinggal di atas." Saya terdiam. Saya dan Salomo kemudian berlari ke balkon, ingin mengikuti perkembangan. Saya melihat, dan mendengar, salah seorang dari lima orang yang berseragam hijau dan bertopi baja berseru "Siap. Beri hormat". Tapi Papi cuma mengambil topinya, lalu mengapitnya di ketiak kiri. Tentara itu kemudian memukul Papi dengan gagang senapan. Papi tersungkur. Dan cepat sekali dor, dor, dua kali tembakan meletus. Darah menyembur dari kepala Papi. Saya dan Salomo tertegun. Hampir bersamaan, saya dan Salomo memburu ke luar, ke bawah. Di pintu kami berebutan keluar. Sampai di luar, jenazah Papi sudah tidak ada. Tinggal genangan darah yang bercampur cairan putih, mungkin otak Papi. Berbagai perasaan tak menentu berkecamuk, waswas, takut, bingung, tegang, bercampur-aduk. Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papa ..., Papa ...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada. Lalu saya tepuk dada saya, saya gedor. Ada semacam perasaan bersalah, mengapa saya tak bisa membela Papi. Tapi saya sadar bahwa Papi telah terbunuh. Dan itulah cara penghormatan saya yang terakhir. Salomo, yang memburu sampai ke pintu gerbang, hanya bisa menyaksikan kepergian truk yang membawa jenazah Papi. Ia menemukan sejumput rambut Papi, yang tertinggal, mungkin akibat diseret (rambut ini di kemudian hari disusulkan dan dikebumikan di kubur Papi). Waktu kembali ke rumah, saya baru melihat bahwa Albert dan Victor juga terkapar bersimbah darah. Dengan masih mengenakan daster, dengan darah Papi berlepotan di muka dan di daster, saya sendiri mengemudikan mobil menuju rumah Pak Nasution di Jalan Teuku Umar. Ternyata, di sana juga ramai. "Pak Nasution diserbu dan diculik," kata seseorang. Saya lalu menuju ke rumah seorang saudara, di Jalan Cut Mutiah. Saya hanya bilang "Papa diculik". Lalu saya dipeluk. Dengan didampingi tiga orang saudara, saya kembali di rumah, di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru. Di rumah sudah agak banyak orang. Tiba di tangga ke atas, saya duduk, dan baru saya menangis sesenggukan. Ibu sering jatuh pingsan. Siuman sebentar, menangis, lalu pingsan lagi. Beberapa oran mencoba menghibur saya, "Tabah. Tabahkan hatimu. Papi baru dicari." Tentu saja saya tidak bisa menerima hiburan itu, sebab saya tahu, Papi ditembak di jidatnya, dan terkapar di tanah, dengan darah melimbah bercampur cairan putih dari kepalanya. "Papa mati ditembak kepalanya," ujar saya di sela tangis. NY. RATNA SARI DEWI SOEKARNO, 43 tahun. SEPERTI biasa, pada 30 September pagi sekitar pukul 5 Bapak bangun, lalu sembahyang, kadang kala minum kopi, untuk kemudian berangkat ke Istana. Seperti biasa-nya juga, saya lalu tidur kembali. Soalnya, selama Bapak tidur saya selalu menjaganya. Siang itu saya mempersiapkan diri untuk pengambilan film oleh sebuah perusahaan televisi Jepang. Saya tak ingat persis jamnya, mungkin sekitar pukul 3 dan 4 sore. Pengambilan film itu berlangsung sekitar satu jam. Setelah itu, Bapak ke Istana, untuk mempersiapkan diri memberi pidato pada kongres Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan. Saya sendiri mempersiapkan diri untuk hadir dalam resepsi yang diadakan dubes Italia. Sekitar pukul 21.00 saya pergi ke Nirwana Supper Club di Hotel Indonesia, memenuhi undangan makan malam dubes Iran dan istri. Waktu itu, hampir semua diplomat asing di Jakarta ada di sana. Sekitar pukul 23.30 seorang ajudan Bapak menemui saya untuk memberi tahu bahwa Bapak menunggu dalam kendaraan di bawah. Pada 1 Oktober pagi, setelah, sembahyang, Bapak berangkat ke Istana. Tidak benar bahwa pagi itu ada telepon yang memberitahu adanya kudeta. Setahu saya Bapak baru tahu apa yang terjadi sewaktu dalam perjalanan. Sekitar pukul 9 pagi saya mendapat telepon, bertubi-tubi, kebanyakan dari teman dekat. Ada yang bilang, Pak Leimena diserang di rumahnya. Juga Pak Nasution. Tentu saja, saya panik. Pikiran pertama yang terlintas pada saya ialah apakah Bapak selamat, dan di mana dia sekarang. Kecemasan saya tak berkurang banyak ketika Martono (sekarang menteri transmigrasi) datang menemui saya di Wisma Yaso sekltar pukul 13.00. Saya sudah kenal dekat dengan Pak Martono ketika dia menjadi atase kebudayaan di KBRI Tokyo pada 1959. Dari Pak Martono ini saya mendapat informasi tentang pembunuhan para Jenderal dan bahwa itu pasti perbuatan pihak komunis yang memberontak pada Bung Karno. Kecemasan saya mulai mereda ketika Kapten Suparto, salah satu ajudan Bapak, sore harinya datang membawa surat, dalam bahasa Inggris, untuk saya. Isinya, antara lain, "Saya berada di suatu tempat, dalam keadaan sehat. Ini disebabkan hal-hal dalam Angkatan Darat yang terjadi tadi malam. Anak-anak yang mengadakan 'revolusi' itu tidak menentang saya, tapi mereka bermaksud menyelamatkan saya. Jadi, janganlah cemas." Saya kemudian memaksa untuk menemui Bapak. Akhirnya, Suparto setuju untuk menyampaikan surat saya untuk Bapak, yang isinya ingin menemui Bapak. Baru sekitar pukul 19.00 Kapten Suparto yang mengendarai jip militer datang. Saat itulah untuk pertama kali saya mengenakan celana panjang. Soalnya, Bapak tak pernah mengizinkan saya memakainya. Kapten Suparto mengenakan pita putih di bahunya. Katanya, itu merupakan tanda pengenal karena situasi kacau, dan tak tahu siapa kawan, siapa lawan. Belakangan, baru saya ketahui, tempat yang dituju adalah Halim. Begitu jip berhenti, saya menghambur keluar mencari Bapak. Perkataan pertama yang dikatakan pada saya adalah, "Ini kemunduran 20 tahun. Saya harus menata kembali negara ini lagi." Dalam pertemuan malam itu dibicarakan kemunkinan Bapak untuk pindah ke Jawa Tengah. Saya bersikeras agar Bapak ke Istana Merdeka saja, karena Bapak harus menunjukkan bahwa dia selamat dan memegang kendali pemerintahan. Bapak menolak. Alasannya, para penasihat keamanannya menganggap bahwa Istana Merdeka terlalu berbahaya. Dari pembicaraan itu saya menarik kesimpulan bahwa Bapak menerima informasi satu pihak saja. Saya ingin menyampaikan informasi yang saya terima dari Pak Martono. Tapi karena terlalu bertentangan, saya tak berani. Saya kemudian mohon agar Bapak pergi ke tempat yang lebih dekat, ke Istana Bogor. Kemudian saya kembali ke Wisma Yaso sementara Bapak berangkat ke Bogor beberapa jam kemudian. Pada 2 Oktober, Pak Martono kembali berkunjung. Ia bercerita bahwa Jenderal Soeharto sudah mengambil alih keadaan dan mengamankannya. Saya mengirim surat untuk Bapak, dan sore harinya menerima balasan. Petang hari itu Bapak memberi pengumuman di RRI. Tatkala pemakaman jenazah para jenderal dilakukan dan Bapak tidak hadir, saya mengirim surat menyesalkan hal itu. Bapak hari itu juga membalas. Isinya antara lain menjelaskan bahwa ketidakhadiran Bapak karena pihak keamanan, juga Subandrio dan Leimena, tidak menyetujui. Menurut Bapak, mereka tidak yakin apa yang bisa terjadi dalam suatu upacara yang begitu emosional. BAMBANG WIJANARKO, 57, bekas ajudan Presiden Soekarno, kini ketua Perpani (Persatuan Panahan Seluruh Indonesia). PADA 30 September 1965 malam, sedatangnya Presiden Soekarno dari berpidato di Senayan, seperti biasa saya melapor tentang siapa yang akan menghadap besok paginya. Antara lain Menpangad Letjen A. Yani dan Pak Leimena. Acara Presiden kemudian acara pribadi, dan saya minta izin untuk pulang. Tanggal 1 Oktober, sesuai dengan rencana, pagi-pagi saya pergi ke lapangan Senayan untuk latihan upacara guna peringatan Hari ABRI 5 Oktober. Kalau tak salah, ada 6 batalyon yang mengikuti latihan. Saya jadi inspektur upacara, dengan pakaian lengkap kolonel angkatan laut. Di tengah latihan, setelah ada pasukan yang diambil Kostrad, saya baru berpikir adanya sesuatu yang tidak beres. Kembali ke istana, Presiden tidak ada, katanya ke Halim Perdanakusuma. Waktu itu saya bertemu dengan Kolonel Supardjo dari MBAD yang akan melapor soai penculikan beberapa jenderal. Baru saya mengerti duduk persoalannya, meski masih juga bingung. Siang itu juga saya ke Kostrad, lalu ke Halim. Sempat juga mampir ke rumah untuk berganti pakaian seragam hijau dan membawa pistol. Di Halim saya diperintahkan Presiden memanggil Jenderal Pranoto Reksosamodra. Selain Bung Karno sendiri, di Halim waktu itu ada juga Brigjen Sabur dan Pak Leimena. Waktu itu hari sudah hampir gelap. Di Kostrad saya menghadap Pangkostrad Mayjen Soeharto, dan menyampaikan perintah Presiden. Pak Harto menanyakan, "Mbang, Bapak ada di mana?" Saya jawab "Ada di Halim, Pak." Pak Harto kemudian berpesan. Pertama, segala perintah tentang Angkatan Darat dari Presiden harus disampaikan pada Pak Harto. Kedua, Jenderal Pranoto tidak bisa menghadap. Ketiga, agar saya mengusahakan supaya Bung Karno secepatnya meninggalkan Halim. Setiba kembali di Halim, melalui Pak Leimena, juga dalam rapat, saya mendesak agar Bung Karno segera meninggalkan Halim. Alasan yang saya kemukakan: paling lambat nanti malam atau besok, Halim asti diserang. Saya lalu memerintahkan agar kendaraan disiapkan. Waktu itu sekitar pukul 23.00. Saya, pengawal pribadi, dan Pak Leimena, ikut naik mobil yang sama dengan Presiden Soekarno. Omar Dhani terpaksa naik mobil lain. Dia mengira kami mau ke lapangan terbang. Tapi sesampai di simpang tiga, yang arah kanannya menuju lapanan terbang, sopir saya perintahkan untuk berjalan lurus ke depan. Waktu Bapak (Bung Karno) bertanya, "Mbang, kita mau ke mana?", saya diam saja. Sampai tiga kali Bapak bertanya. Baru setelah Pak Leimena menepuk pundak saya dari belakang, saya jelaskan bahwa kita sedang menuju ke Istana Bogor. "Kenapa Mbang?" Bapak bertanya. Ada tiga alasan yang saya ajukan. Pertama, menurut perhitungan taktis saya sebagai perwira, Halim tidak lama lagi pasti akan diserang. Waktu itu tidak saya katakan bahwa Pak Harto yang memerintahkan saya untuk segera mengusahakan Bapak pergi dari Halim. Kedua, saya katakan bahwa kalaupun meninggalkan Halim, untuk saat itu sebaiknya jangan menggunakan pesawat terbang. Sebab, di pesawat terbang nasib kita tergantung pada pilot. Kita bisa saja merencanakan ke mana akan pergi, tapi bisa saja dia membelokkan dan membawa ke mana saja dia mau. Pertimbangan ketiga, kalaupun pergi, jangan terlalu jauh meninggalkan Jakarta, agar dapat mengatasi keadaan secepat mungkin. Saya katakan, bahwa tugas saya adalah untuk mengamankan Presiden, dan bila Presiden selamat, adalah tugasnya untuk menyelamatkan negara. Bapak kemudian diam saja. Sekitar pukul 24.00 lewat sedikit, mobil kami memasuki gerbang utara Istana Bogor. Kami semua kini bisa bernapas lega. Di sana ada Ibu Hartini. Setelah Bapak masuk dan duduk, saya katakan, "Pak, tugas saya untuk mengamankan Bapak selesai, dan sekarang terserah Bapak." Lalu saya ke kantor saya, kantor ajudan di sebelah istana. Saya menelepon langsung ke Kostrad dan berbicara dengan Pak Harto. Saya katakan, "Pak, mission is accomplished. Bapak sudah meninggalkan Halim, dan sekarang ada di Istana Bogor". Letnan Kolonel Polisi (pur.) MANGIL MARTOWIDJOJO, 60, bekas komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Cakrabirawa. PADA 30 September 1965 malam, Bung Karno memberikan sambutan pada pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan. Bapak kelihatannya agak kecewa karena banyak kursi VIP yang kosong. Pada pukul 23.00 Bapak kembali ke Istana Merdeka, mengganti baju kepresidenan dengan baju lengan pendek warna putih dan celana abu-abu. Sekitar 20 menit kemudian, Bapak keluar Istana. Memakai mobil Chrysler nomor B 4747 warna hitam, tanpa memakai kopiah, Bapak menjemput Ibu Dewi yang sedang ada di Hotel Indonesia. Bapak tetap ada di mobil sementara Suparto menjemput Ibu Dewi. Dari Hotel Indonesia, Bapak langsung ke Wisma Yaso. Pada 1 Oktober pukul 05.15, saya menerima telepon dari salah seorang anggota DKP yang bertugas di Wisma Yaso. Isinya: hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer. Setengah jam kemudian saya sudah ada di Wisma Yaso. Di situ, pada pukul 06.00 saya mendengar bahwa rumah Jenderal Nasution dan Leimena ditembaki. Pada pukul 06.30 Bapak keluar, masih memakai baju lengan pendek dan tanpa kopiah. Bapak rupanya sudah dilapori terjadinya penembakan tersebut, hingga lalu memanggil saya dan meminta laporan yang jelas mengenai kejadian itu. Waktu saya jawab bahwa saya belum tahu, Bapak marah. Kemudian ia bertanya, "Menurut kamu sebaiknya bagaimana?" Saya jawab, "Sebaiknya Bapak di sini dulu, atau bisa juga Bapak ke Istana." Dengan konvoi, Bapak akhirnya berangkat ke Istana. Waktu sampai di Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Saya mencoba menghubungi mobil yang ditumpangi Bapak dengan handie talkie, tapi gagal karena alat itu tak berfungsi dengan baik. Sementara iring-iringan mobil dengan kecepatan sekitar 40 km per jam itu mendekati Istana, saya menyerukan untuk belok ke kiri, ke Jalan Kebon Sirih, tapi tak bisa didengar oleh ajudan di mobil Presiden. Saya semakin khawatir ketika iringan tak berbelok, sementara di kejauhan tampak tentara yang mengepung Istana. Dengan berteriak keras akhirnya saya berhasil juga membelokkan iringan ke Jalan Budi Kemuliaan. Di sini iringan sempat terhenti karena jalan macet. Kemudian ada hubungan radio dengan ajudan Kolonel Saelan yang menginstruksikan supaya iring-iringan menuju ke Grogol, ke tempat Ibu Harjati, istri Bapak yang lain. Rombongan tiba pada pukul 08.00. Sekitar pukul 09.00 datang Ajudan Komisaris Besar (Polisi) Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Kemudian dirundingkan untuk mencari tempat yang aman buat Bapak. Ada usul, misalnya, untuk membawa Bapak ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, seorang kenalan yang pernah menawarkan rumah itu kepada Cakrabirawa. Alternatif ini tak jadi digunakan, karena Kolonel Saelan menginstruksikan untuk membawa Bapak ke Halim. Instruksi ini diterima karena sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan, bahwa bila presiden dalam bahaya, ia bisa dilarikan ke asrama ABRI terdekat, ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma (di sana ada pesawat Jetstar yang siap terbang), ke Tanjung Priok (di sana tersedia dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II), atau ke Istana Bogor (di sana tersedia helikopter). Pada pukul 09.30 Bapak meninggalkan rumah Ibu Harjati. Mobil Chrysler diganti dengan mobil VW kodok biru. Isinya: Bapak, Brigjen Sunaryo, Ajudan Sudarso, dan Pengemudi Suparto. Tapi begitu melihat Pangau Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena, berdiri di depan markas Angkatan Udara di Halim, mobil berbalik arah, dan tak jadi menuju landasan. Ada pikiran untuk mencari rumah guna Bapak beristirahat. Lalu didapatkan rumah Komodor Susanto, pilot pesawat yang biasa dipakai Bapak bila keliling Indonesia. Selang beberapa waktu kemudian datang Brigjen Supardjo, yang dikawal Mayor Subambang dan Mayor Sutrisno. Tak lama kemudian dengan pesawat helikopter datang Brigjen Sabur. Bapak menginstruksikan untuk memanggil Pangal, Pangak, dan Pangdam V/Jaya. Selang beberapa lama datang ajudan Kolonel Bambang Wijanarko. Menjelang tengah hari, datang Pangal Laksamana Martadinata. Sebelumnya telah hadir Jaksa Agung Jenderal sutardhio dengan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Pada pukul 15.00 Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo datang, disusul oleh Pak Leimena. Lalu pada pukul 17.00 putra-putri Bapak - Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh - datang. Dengan helikopter mereka kemudian diterbangkan ke Bandung. Pada pukul 18.00 ada laporan dari Komodor Susanto bahwa ada konvoi militer menuju Halim, tapi dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU. Ibu Dewi kemudian datang pada pukul 20.00 lebih. Kolonel Saelan kemudian memerintahkan untuk mempersiapkan diri buat meninggalkan Halim. Agar tak mencolok, konvoi berjalan bertahap. Bapak menumpang mobil Prins, warna biru, B 3739 R. Di dalamnya ikut serta Pak Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai pakaian preman, tapl tiap orang membawa revolver. Dalam jip-jip mereka (ada delapan mobil dalam rombongan) total ada 18 senjata Thomson. Hampir mendekati tengah malam, kami sampai ke Istana Bogor. ROESLAN ABDULGANI, ketua BP-7. ADA 1 Oktober 1965 pagi, kebetulan saya ada wawancara dengan RRI, yang sudah direncanakan sebelumnya, untuk menyambut Hari Angkatan Perang. Waktu itu saya masih menjabat menteri koordinator hubungan rakyat merangkap menteri penerangan. Orang-orang yang mewawancarai saya datang terlalu pagi, sekitar pukul 06.30, padahal seharusnya mereka datang pukul 08.00. Mereka menceritakan bahwa malam sebelumnya ada kejadian (penculikan beberapa jenderal). Wawancara diteruskan. Kemudian ada siaran radio dari Untung yang mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi. Nama Bung Karno tidak disebut-sebut dalam susunan dewan itu. Karenanya, saya menarik konklusi: ada kup terhadap kekuasaan Presiden Soekarno. Gejala ke arah itu sudah lama tampak. Sejak 1963 PKI mengikuti kubu Peking. Sejak itu mereka mengintroduksikan pertentangan kelas, di kota, di desa, bahkan juga di kalangan angkatan bersenjata. PKI juga membuat rencana rahasia empat tahun: pada 1967 mereka mengharapkan menjadi mayoritas sehingga menjadi pemenang dalam pemilu yang akan datang. Tapi mereka tidak menunggu sampai 1967, karena para dokter RRC yang memeriksa kesehatan Presiden Soekarno membocorkan kepada orang-orang PKI bahwa Bung Karno sebentar lagi sudah tidak bisa bertahan. PKI takut, kalau kelak Bung Karno meninggal, mereka akan dipukul dulu oleh musuh-musuhnya. Sekitar pukul 13.00, datang Magenda anak buah Brigjen Sukendro. Dia melaporkan bahwa suasana sudah agak jelas. "Ada kup," katanya. Saya dianjurkannya pergi ke stasiun RRI di Cimanggis karena nama saya masuk "daftar kedua", daftar calon yang akan diculik PKI. Sore itu saya pergi ke Cimanggis, lalu dari sana menuju Bandung. Di Bandung saya bertemu dengan panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie. Adjie bilang, Bung Karno masih ada di Halim dan karena itu harus segera dikeluarkan dari sana. Begitu ada kabar Bung Karno sudah ada di Bogor, Adjie bilang lagi kepada saya, "Pak Ruslan, Bung Karno harus diyakinkan. Hanya Bapak yang bisa neyakinkan Bung Karno. Bikinlah surat." Saya semula menolak, karena sadar hubungan saya dengan Bung Karno sudah jelek. Tapi akhirnya saya buat juga surat tulisan tangan. Bunyinya: "Bung, saya datang pada kesimpulan bahwa Dewan Revolusi yang diumumkan Untung adalah kup. Sebabnya ialah karena tidak ada tempat untuk Presiden Soekarno. Karena itu, saya melepaskan ikatan saya dengan pemerintah yang sekarang dibentuk ini. Dengan perkataan lain, saya tidak lkut dalam pemerimtahan itu." Pada 2 Oktober itu juga Ibrahim Adjie meminta saya meninggalkan Bandung, karena RRI Cimanggis sangat tergantung pada instruksi-instruksi saya. RRI Jakarta sendiri, yang menyiarkan pengumuman Untung, telah dapat dikuasai Pak Harto. Seusai memberi instruksi kepada para pegawai RRI Cimanggis, saya pulang ke rumah, di Jalan Diponegoro. Pukul 13.00 datang Surachman, yang menyatakan bahwa atas nama PNI dia telah mengumumkan bahwa PNI mendukung terbentuknya Dewan Revolusi. Pimpinan PNI yang lain, misalnya Ketua Umum Ali Sastroamidjojo, waktu itu sedang berada di Beijing bersama sejumlah tokoh lain, termasuk Chaerul Saleh. Saya sempat adu mulut dengan keputusan nekat Surachman. Malamnya saya berjalan-jalan keluar, dan mampir di RRI. Saya langsung diminta di depan corong. Saya berbicara saja dl depan radio. Saya katakan, keadaan sudah aman, sudah dikuasai. Saya omong sedikit, bohong sedikit. Pada 4 Oktober, jenazah para jenderal yang diculik ditemukan. SUGANDHI KARTOSUBROTO, 61, ajudan Presiden Soekarno 1950-1960, kini ketua DPP Golkar. PADA tahun 1965 itu, PKI sudah merasa yakin akan menang, hingga di mana-mana mereka menyombongkan diri sebagai partai terbesar. Kebetulan, waktu itu di samping sebagai ketua MKGR (Musyawarah Kerja Gotong Royong), saya juga ketua umum Padi (Pengajian Dakwah Islam). Tiap awal bulan ada pengajian malam Jumat di rumah para panglima ABRI. Sebelum dakwah, saya selalu membuka dengan memperingatkan adanya "orang yang menyombongkan diri", dan mengingatkan hadirin agar tidak sampai "kemasukan setan". Bahkan, pada 30 September malam, malam Jumat, pada pengajian di rumah Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya R.E. Martadinata, saya berkata, "Mungkin besok akan terjadi sesuatu." Sebelumnya, pada 30 September pagi, saya ke Istana menemui Bung Karno di kamar tidurnya. Saya menanyakan apakah benar jenderal-jenderal akan ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat Dewan Jenderal. Menurut Bung Karno, mereka tidak mengerti soal revolusi. Jawab saya: Lho tidak mengerti bagaimana? Jenderal Yani 'kan tangan kanan Bung Karno, anak emas Bung Karno. Seharusnya Bung Karno menyelamatkan Yani. Kata Bung Karno, "Karena itu, saya mau panggil dia besok pagi. Mau saya tanya macam-macam." Waktu saya bilang bahwa PKI jahat, Bung Karno mengatakan, "Kamu jangan fobi lagi. Komunis ada di dunia ini tidak bisa dihilangkan begitu saja." Tatkala saya mengingatkannya tentang teror PKI, Bung Karno marah - sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya - dan menyuruh saya keluar. Pada 1 Oktober pagi, Ny. Suprapto dan Ny. S. Parman datang menemui saya, melaporkan bahwa suami mereka diculik dan ditembak Cakrabirawa. Saya memikirkan tindakan apa yang harus saya ambil. Saya memutuskan untuk menemui Pak Martadinata. Kepadanya saya ceritakan penculikan para jenderal itu. Dia kaget. Tapi dia bilang, kita semua taat pada Presiden. Presiden Soekarno pagi itu ternyata ada di Halim. Pak Martadinata, yang ingin tahu duduk persoalannya dari Presiden sendiri lalu berangkat ke Halim. Karena Jenderal Yani tidak ada, secara hirarkis yang memimpin Angkatan Darat adalah Pak Harto sebagai pangkostrad. Saya lalu pergi ke Kostrad. Antara pukul 9 dan 10 itu Kostrad masih sepi, tapi Pak Harto sudah ada. Beliau berjanji membantu. Pak Harto ternyata sudah tahu bahwa RRI sudah dikuasai Letkol Untung. Saya, yang waktu itu memimpin penerangan Hankam, lalu mengajak teman saya Brigjen Ibnu Subroto, kepala Dinas Penerngan Angkatan Darat, untuk menyerbu RRI, guna membungkam suara musuh. Tapi Pak Harto bilang, RRI bukan tempatnya. RRI hanya studionya. Pangkalan dan motornya di Cimanggis. Bersama dengan satu regu RPKAD kemudian (sore harinya) kami menyerbu RRI di Jalan Merdeka Barat. Lalu saya tempatkan Kolonel M.Y. Sofyan di sana untuk menjaga dan mengawasi. Setelah itu kami siarkan pidato Pak Harto yang pada pokoknya menjelaskan bahwa situasi keamanan telah pulih kembali. Lalu pada 6 Oktober 1965, saya berpidato untuk menjelaskan latar belakang kudeta PKI. Bahwa PKI sebelumnya bisa menang karena berkedok Pancasila. Sebetulnya, semua ucapan PKI bohong saja. SALIM SAID, 40, wartawan, sedang menyelesaikan program doktor di Amerika Serikat. PAGI 1 Oktober 1965 itu saya bangun agak kesiangan. Sebagai reporter kantor berita PAB (Pemberitaan Angkatan Bersenjata), malam sebelumnya saya harus bekerja hingga larut malam. Selain sebagai wartawan, waktu itu saya juga berstatus mahasiswa. Kebetulan sekali hari-hari itu sedang berlangsung masa perploncoan. Saya tiba di sekolah sekitar pukul sembilan pagi. Begitu tiba, saya langsung dikerubuti teman-teman. "Eh, babe-nya Rully diculik. Katanya, dia CIA," kata seorang di antaranya. Rully adalah putri Almarhum Jenderal Yani yang menjadi saah seorang teman sekolah saya. "Ada Dewan Jenderal yang mau kup," kata seorang lainnya. Dewan Jenderal? Tiba-tiba saya teringat briefing Brigjen R.H. Sugandhi - kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata dan pimpinan PAB - beberapa hari sebelumnya. "PKI sekarang sedang meniupkan isu bahwa ada Dewan Jenderal," begitu antara lain briefing tersebut. Tidak syak lagi PKI mesti berada di belakang penculikan ini. Itu keyakinan saya pagi itu. Inilah hari yang telah lama dinantikan: show down antara PKI dan Angkatan Darat yang sudah lama diramaikan. Saya tiba-tiba ketakutan, dan segera menuju ke rumah Brigjen Sugandhi yang memang tak jauh dari sekolah saya. Sugandhi kebetulan baru saja masuk setelah berkeliling menyaksikan ceceran darah di berbagai rumah jenderal yang diculik oleh pasukan bersenjata Gerakan Tiga Puluh September. "Ini jelas PKI, Pak," kata saya kepada atasan saya itu. "Ya, tidak salah lagi," kata Sugandhi. Tugas saya selanjutnya ialah menghubungi semua staf Brigjen Sugandhi. Semua bingung. Kantor secara darurat berpindah ke rumah Jenderal Sugandhi, dan beliau segera melakukan kontak. Sementara itu, saya teringat teman-teman yang biasa berkumpul di rumah Wiratmo Soekito, yang terletak tak jauh dari rumah Sugandhi. Di situ biasa berkumpul Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, serta teman-teman seniman dan budayawan yang waktu itu tidak bisa berbuat banyak karena teror PKI serta antek-anteknya. Pagi itu saya cuma ketemu Wiratmo. "Kita harus segera menyebarkan bahwa ini PKI," kata Wiratmo, yang segera pergi bersama dengan Gayus Siagian (almarhum). Dengan becak saya kembali ke sekolah. Teman-teman masih bingung. Dan saya mulai "berkampanye". "Saya sudah mengecek, ini memang PKI," kata saya dengan meyakinkan. "Kita harus siap-siap, sebab pasti akan ada pertumpahan darah," kata saya lagi. Setelah itu, kembali lagi ke rumah Sugandhi. Hari sudah tengah hari, dan di halaman sekolah saya berpapasan dengan Imam Walujo yang waktu itu adalah sekretaris Mr.Suyono Hadinoto. "Presiden Soekarno ada di Halim sekarang," kata Imam. Info itu ternyata berguna untuk saya sampaikan kepada atasan saya, yang sampai saat itu masih bingung mengenai di mana Presiden Soekarno berada. Tidak lama kemudian, kami semua pindah ke Kostrad. Kesibukan luar biasa sedang terjadi di sana. Suasana takut masih meliputi kami semua. Kolonel Komar, salah seorang asisten Brigjen Sugandhi, mengajak saya menengok rumahnya yang terletak di Menteng. Kami keluar dari Kostrad dengan jip militer. Di rumahnya, Kolonel Komar memberikan penjelasan kepada anak istrinya, serta membongkar gudang senjatanya. Orang rumah dipersenjatai, peluru dibagikan, cara menembak secara kilat diajarkan. Kolonel Komar tidak lupa pada saya. Untuk saya sebuah senapan panjang jenis jungle. Di halaman Kostrad, siang dan sore itu, saya mondar-mandir dengan senapan di pundak saya. Dan tentara-tentara itu ternyata tidak ambil pusing. Kesibukan berlangsun terus, dan anak buah Brigjen Sugandhi bekerja cepat menyiapkan pamflet untuk menjelaskan apa yang terjadi. "RRI harus segera kita rebut," kata Brigjen Sugandhi. Saya kebetulan pernah magang di RRI, dan tak diangkat jadi pegawai karena dituduh terlibat Manikebu. Karena merasa tahu RRI, saya lalu usul, "Darmosugondo harus kita cari, supaya kalau RRI sudah direbut, kita langsung suruh dia bicara." "Kau tahu rumahnya?" tanya Sugandhi. "Tahu, Pak," jawab saya. Kebetulan sekali beberapa hari sebelumnya saya diajak Wiratmo Soekito ke rumah Darmosugondo, reporter RRI terkemuka waktu itu. Ketika saya akan memasuki mobil Kolonel Djoko Basuki yang saya pakai dalam operasi "penculikan" Darmosugondo itu, seorang perwira memperhatikan bedil yang saya sandang. "Itu ditinggal saja dulu," katanya. Langsung saja saya serahkan senapan itu kepada Kolonel Komar kembali. Ketika saya kemudian kembali ke Kostrad, senjata saya diganti dengan pistol. Seumur hidup, baru saat itu saya sempat berkenalan dengan senjata. Darmosugondo ketakutan ketika melihat saya dengan pengawal. "Saya mau diapakan di Kostrad?" Dengan senyum saya menguraikan teori yang baru saja saya pelajari di akultas Psikologi, sekolah saya waktu itu. "Pak Darmo 'kan selalu didengar rakyat di radio bersama Bung Karno. Nah, kalau mendengar suara Pak Darmo rakyat sudah seperti merasa mendengar suara Bung Karno. Dalam keadaan Bung Karno entah aman entah tidak, Pak Darmo bisa menolong banyak" Dia kelihatan tenang berpakaian, dan lalu ikut saya. Hari sudah berangsur gelap ketika kami tiba di Kostrad. Beberapa saat kemudian untuk pertama kalinya saya lihat Kolonel Sarwo Eddie dengan pasukannya. Sebentar kemudian Jenderal Nasution tiba dari persembunyiannya. Suasana sibuk dan tegang, dan saya lihat Kolonel Tjokropranolo, dalam pakaian sipil, mondar-mandir. Lewat radio, laporan kemudian tiba bahwa RRI sudah diamankan oleh RPKAD. Kini tugas bagian penerangan untuk mengambil alat vital tersebut. Kolonel Sarwo Eddie melaporkan hal tersebut kepada Brigjen Sugandhi. Dan tiba-tiba yang terakhir ini berteriak, "Ayo, kita ke RRI, bitel-bitelan di sana." Masa itu lagu-lagu Beatles memang diharamkan oleh Presiden Soekarno. Truk berjalan lambat memotong Monas yang waktu itu masih penuh timbunan tanah yang menggunung. Duduk di samping sopir, dua brigjen, Sugandhi dan Ibnu Subroto (almarhum), kepala Penerangan Angkatan Darat waktu itu. Di kiri kanan truk, berjalan RPKAD yang tentu saja waspada dalam malam yang sudah gelap itu. Tidak ada kesukaran memasuki RRI. Dan karena sudah berhasil meyakinkan dua jenderal dalam rombongan, bahwa saya tahu RRI, lantas saja saya jadi penunjuk jalan. Kami langsung ke Studio V, dan pejabat-pejabat RRI rupa-rupanya sudah menunggu "penyerbuan" kami di sana. Brigjen Sugandhi memberikan penjelasan mengenai apa yang terjadi, dan mata saya mencari-cari orang-orang RRI yang dulu mendadak revolusioner dan getol mengganyang apa yang mereka sebut Manikebu. Ketika Brigjen Sugandhi masih memberikan penjelasan, saya yang berdiri berdampingan dengan Brigjen Ibnu Subroto membisikkan sesuatu ke telinga kepala Puspenad itu. "Pak, lagu Nasakom saya kira sebaiknya dilarang saja." Ibnu Subroto diam saja. Tapi begitu Sugandhi selesai bicara, Ibnu Subroto langsung menyambunnya, "Mulai sekarang lagu Nasakom tidak boleh lagi disiarkan." Mongkok hati saya mendengar perintah itu. Malam itu tidak ada kerja saya di RRI kecuali menelusuri lorong-lorong kantor yang dulu mengusir saya dan menghancurkan cita-cita saya untuk menggantikan Darmosugondo. Ia tidak juga dipersilakan muncul di depan corong malam itu. Entah mengapa. SYU'BAH ASA, 42, wartawan, pemeran tokoh Aidit dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. PENGUMUMAN kudeta dari Letkol Untung saya dengar di rumah indekosan Abaul Hafiz Rafie, pengarang cerpen majalah Sastra, di Yogya Selatan. Menyimak suara radio tetangga, saya bertanya: apa Dewan Jenderal? Dan di asrama saya, di Demangan Baru, Yogya Timur Laut, kami berkumpul mendengarkan siaran ulangan, sambil beberapa kali saya menoleh ke pintu - membayangkan beberapa sosok tubuh tiba-tiba akan muncul dari sana dan mengacungkan senjata otomatis. Suasana terasa lengang, dan sangat menekan. Itulah saat-saat gawat yang sesungguhnya. Sampai empat hari kemudian Yogya dikuasai pihak pemberontak dan Kapten Muljono, yang menyingkirkan Kolonel Katamso, berkali-kali mengumumkan lewat radio agar rakyat "tidak bertindak sendiri-sendiri". Sebelum itu, sudah sering terdengar "info" bahwa asrama-asrama pemuda Islam akan diganyang. Di dekat kediaman kami sendiri, asrama Tanjung Raya (anak-anak Padang) sudah diserbu, dan kalau tidak salah seorang meninggal - meski aksi itu, yang juga melibatkan para tukang becak, lebih berbau sukuisme. Itu adalah tahun-tahun yang penuh tindak kekerasan antar golongan: banyak pemuda yang tidak berani pulang ke rumah. Untuk saya pribadi, keadaan tak kurang runyam. Masih menjadi ketua Ikatan Sastrawan Muda Islam (ISMI), jabatan yang saya warisi dari Bastari Asnin, saya juga termasuk "Manikebuis" (penandatanganan Manifes Kebudayaan, yang diganyang PKI dan dilarang Bung Karno itu) untuk Yogya. Bagaimana saya - dan kami semua - bisa yakin nyawa kami aman, justru di bawah kekuasaan mutlak PKI? Bambu-bambu runcing kami bikin. Pak Nul, yang juga anak IAIN seperti saya, meningkatkan latihan bela diri dengan berbagai senjata tajam - untuk penghuni yang sekitar 60 orang itu. Di malam pertama kami tidak tidur di dalam, melainkan menyebar di antara rumpun-rumpun bunga, baik di pekarangan maupun luarnya, juga di atas menara air. Saya, yang tiba-tiba saja menjadi semacam Imam Jihad, dengan jaket berlapis-lapis (saya terkenal suka demam) dan sebilah pisau, memimpin salat hajat pada saat pergantian regu lepas tengah malam dan berkeliling menginspeksi. Saya sungguh tak paham bagaimana saya waktu itu bisa meloncat naik tembok asrama yang dua meter lebih, meniti tembok itu, dan muncul di hadapan kawan-kawan di menara. Berbaring di batu-batuan yang apik di pekarangan asrama, dalam bayangan pohon bunga, saya ingat saya memandang ke langit - dan berpikir bahwa mereka yang di luar Yogya berada dalam aman. Saya tidak tahu nasib kawan-kawan lain. Yang saya tahu, Mamang (Khaerul Umam, sutradara film itu) telah menggagalkan latihan dramanya tanggal 1 Oktober itu, menjelang pementasan Teater Mahasiswa Islam di Wates, sebelah barat Kota Yogya. Sedang Amak Baljun, aktor yang kini di Percetakan Temprint, juga Armansa (Abdul Rahman Saleh, pengacara yang pernah memimpin LBH Jakarta), yang berkumpul di rumah indekosan di Rotowijayan, mengunci semua pintu segera sesudah magrib - dan memperkuatnya dengan setumpuk meja di belakangnya. Mereka juga mendengar akan digorok. Apalagi semua penghuni di sana keturunan Arab. Lalu datanglah RPKAD dan Kolonel Sarwo Eddie. Lalu kekuasaan pun berpindah. Katamso dicari, dan jenazahnya ditemukan di sebuah sumur di Kentungan, jalan ke Kaliurang. Orang marah besar dan suasana yang menekan pun lepas. Lalu terjadilah demonstrasi besar itu, 6 Oktober. Demonstrasi menentang PKI yang belum kalah itu persis sedang bangkit kembali dari pinggir utara Alun-Alun Lor - ketika saya tiba. Saya segera bergerak di saf paling depan - sementara tentara berbaris rapi di trotoar, mulai dari Museum sampai ke perempatan Air Mancur di utara. Dengan meneriakkan takbir kami sampai ke gedung Chung Hua Tsung Hui (kemudian bernama Gedung Olah Raga). Di situ tegak papanpapan Perhimi, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia, yang akrab dengan PKI, dan Universitas Res Publica yang juga PKI. Papan itu harus diturunkan! Dan saya, di baris terdepan, maju sampai satu langkah di depan tentara-tentara itu. Saya ingat, baju saya ditarik seseorang dari belakang - dan dua lup senjata persis di depan hidung saya, salah satunya mengenai dada saya. Saya ingat. Saya tak tahu bagaimana, tapi saya menyingkirkan dua senjata itu dengan tangan - dan saya naik, mungkin juga didukung orang-orang. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Saya menarik-narik papan itu dengan tangan - dan lepas, entah bagaimana. Lalu saya melihat papan Perhimi yang biru itu berjalan di atas kepala orang-orang, terus, terus ke utara, sampal akhirnya lenyap - mungkin dihempaskan remuk di beton Air Mancur. Beberapa saat kemudian terdengar tembakan-tembakan. Di benteng Vredeburg, yang ditempati Yon BS 403, tampak beberapa tentara, jauh di atas. Kami terdesak. Kami bergerak ke selatan. Kemudian ke barat, menyusur Alun-Alun. Kepala demonstran ada di depan gerbang Masjid Besar. Di sana kami duduk. Di sana juga kami sembahyang, memakai debu untuk tayamum. Di sana terdapat podium. Ada banyak pidato atau sedikit, saya tak ingat lagi, tapi akhirnya orang mendorong saya naik ke podium. Saya memlmpin lagu Gugur Bunga, dan ribuan orang itu menyanyi - untuk adik-adik Aries dan Margono, anak-anak sekolah yang tertembak, untuk kawan-kawan lain yang juga mati atau terluka. Orang-orang menangis. Saya menangis.
---------------------------------
Sembilan belas tahun telah berlalu sejak terjadinya malam yang menggetarkan itu. Malam yang kemudian mengubah Warna sejarah Indonesia. Malam yang rentetannya kemudian memporakporandakan dan mengubah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita. Malam, tatkala PKI (Partai Komunis Indonesia) untuk kesekian kalinya menusuk dan belakang. Telah banyak cerita sekitar apa yang terjadi pada 30 September malam dan 1 Oktober 196S itu. Toh masih banyak kisah yang tercecer, atau yang belum terungkap. Khususnya cerita dan kalangan biasa, yang ikut mengalami dan kemudian terseret dalam peristiqa itu. Berikut adalah beberapa di antara kisah itu. CATHERINE PANJAITAN, 37, putri sulung Pahlawan Revolusi Almarhum Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, kini
ibu rumah tangga. PADA 30 September 1965 itu, sepulang saya dari sekolah di SMA Tarakanita (kelas I), saya meminta izin Papi agar diperbolehkan mengikuti apel di Senayan, yang diwajibkan sekolah waktu itu. Tapi Papi melarang. "Pokoknya, kamu jangan pergi," ujarnya singkat. Sebagai remaja, saya sangat ingin keluar rumah. Karena itu, saya ngotot pergi. Mengenakan seragam putih, sepatu putih, rambut dikepang dua (ekor kuda), saya berangkat. Di Stadion Senayan, pidato dimulai pukul 17.00, tapi saya tidak mendengarkan, karena asyik bergurau dengan teman. Acara selesai sekitar pukul 20.00 tapi baru sekitar pukul 22.00 saya sampai ke rumah karena harus mengantar teman. Saya agak takut masuk rumah, karena diberitahu: sejak tadi saya ditunggu Papi. Tanpa makan malam, saya jinjing sepatu ke atas (rumah kami bertingkat), ke kamar saya, supaya Papi tidak tahu saya datang. Saya lihat lampu kamarnya masih menyala. Setelah berganti pakaian, saya tidur. Kira-kira pukul 04.30, 1 Oktober 1965, saya terbangun karena mendengar teriakan-teriakan disertai tembakan. Saya mengintip dari jendela. Saya lihat banyak orang yang berseragam tentara, beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan. Saya berlari keluar kamar. Ternyata, Papi sudah bangun. Ia menggendong adik, anak seorang saudara yang baru datang dari Sumatera. Kami semua berkumpul di ruang tengah lantai atas. Papi mondar-mandir, dari balkon ke kamarnya. Ia mencoba mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek. Saya bertanya pada Papi. "Pa, ada apa?". Tapi ia tak menjawab. Tembakan terus terdengar, sekarang di lantai bawah. Barang-barang hancur, televisi, koleksi kristal Ibu, bahkan meja pun terbalik. "Tiarap," Papi memberi komando. Lalu saya disuruh menelepon Samosir, salah seorang asisten Jenderal S. Parman. Cepat saya hubungi dia, minta bantuan, kami dikepung, banyak tentara. Setelah itu saya telepon pacar sahabat saya, namanya Bambang. Saya minta bantuan. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus. Di lantai bawah, tembakan masih terdengar, tapi tak ada yang nyasar ke atas. Lalu terdengar teriakan Albert, sepupu saya, "Tulang (Paman), jangan menyerah. Jangan menyerah, Tulaang !". Albert dan Victor (ipar Papi) memang tidur di lantai bawah. Dua pembantu kami terdengar ditanyai "Mana ndoro-mu ?". Saya mendengar pertanyaan itu jelas sekali, diulang-ulang. Baru setelah diancam akan dibunuh, mereka memberitahu. Lalu teriakan beralih ke atas. "Menyerah saja, menyerah". Secara spontan, saya bertanya "Siapa yang suruh?". Dari bawah dijawab "Paduka yang mulia". Namun, para tentara yang di bawah tidak berani naik ke atas. Kemudian Papi masuk kamar, berganti pakaian. Ibu menangis. Tanpa banyak kata Papi turun, dengan pakaian dinas lengkap. Kaus kaki hitam telah dlpakai, tapi sepatunya dijinjing. Ibu, saya, Salomo - adik saya - terpaku melihat kepergiannya. Ketika Papi menuruni tangga, sampai di belokan, saya mengejarnya, ingin mengikutinya. Namun, Papi cepat berkata, "Jangan turun. Semua tinggal di atas." Saya terdiam. Saya dan Salomo kemudian berlari ke balkon, ingin mengikuti perkembangan. Saya melihat, dan mendengar, salah seorang dari lima orang yang berseragam hijau dan bertopi baja berseru "Siap. Beri hormat". Tapi Papi cuma mengambil topinya, lalu mengapitnya di ketiak kiri. Tentara itu kemudian memukul Papi dengan gagang senapan. Papi tersungkur. Dan cepat sekali dor, dor, dua kali tembakan meletus. Darah menyembur dari kepala Papi. Saya dan Salomo tertegun. Hampir bersamaan, saya dan Salomo memburu ke luar, ke bawah. Di pintu kami berebutan keluar. Sampai di luar, jenazah Papi sudah tidak ada. Tinggal genangan darah yang bercampur cairan putih, mungkin otak Papi. Berbagai perasaan tak menentu berkecamuk, waswas, takut, bingung, tegang, bercampur-aduk. Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papa ..., Papa ...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada. Lalu saya tepuk dada saya, saya gedor. Ada semacam perasaan bersalah, mengapa saya tak bisa membela Papi. Tapi saya sadar bahwa Papi telah terbunuh. Dan itulah cara penghormatan saya yang terakhir. Salomo, yang memburu sampai ke pintu gerbang, hanya bisa menyaksikan kepergian truk yang membawa jenazah Papi. Ia menemukan sejumput rambut Papi, yang tertinggal, mungkin akibat diseret (rambut ini di kemudian hari disusulkan dan dikebumikan di kubur Papi). Waktu kembali ke rumah, saya baru melihat bahwa Albert dan Victor juga terkapar bersimbah darah. Dengan masih mengenakan daster, dengan darah Papi berlepotan di muka dan di daster, saya sendiri mengemudikan mobil menuju rumah Pak Nasution di Jalan Teuku Umar. Ternyata, di sana juga ramai. "Pak Nasution diserbu dan diculik," kata seseorang. Saya lalu menuju ke rumah seorang saudara, di Jalan Cut Mutiah. Saya hanya bilang "Papa diculik". Lalu saya dipeluk. Dengan didampingi tiga orang saudara, saya kembali di rumah, di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru. Di rumah sudah agak banyak orang. Tiba di tangga ke atas, saya duduk, dan baru saya menangis sesenggukan. Ibu sering jatuh pingsan. Siuman sebentar, menangis, lalu pingsan lagi. Beberapa oran mencoba menghibur saya, "Tabah. Tabahkan hatimu. Papi baru dicari." Tentu saja saya tidak bisa menerima hiburan itu, sebab saya tahu, Papi ditembak di jidatnya, dan terkapar di tanah, dengan darah melimbah bercampur cairan putih dari kepalanya. "Papa mati ditembak kepalanya," ujar saya di sela tangis. NY. RATNA SARI DEWI SOEKARNO, 43 tahun. SEPERTI biasa, pada 30 September pagi sekitar pukul 5 Bapak bangun, lalu sembahyang, kadang kala minum kopi, untuk kemudian berangkat ke Istana. Seperti biasa-nya juga, saya lalu tidur kembali. Soalnya, selama Bapak tidur saya selalu menjaganya. Siang itu saya mempersiapkan diri untuk pengambilan film oleh sebuah perusahaan televisi Jepang. Saya tak ingat persis jamnya, mungkin sekitar pukul 3 dan 4 sore. Pengambilan film itu berlangsung sekitar satu jam. Setelah itu, Bapak ke Istana, untuk mempersiapkan diri memberi pidato pada kongres Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan. Saya sendiri mempersiapkan diri untuk hadir dalam resepsi yang diadakan dubes Italia. Sekitar pukul 21.00 saya pergi ke Nirwana Supper Club di Hotel Indonesia, memenuhi undangan makan malam dubes Iran dan istri. Waktu itu, hampir semua diplomat asing di Jakarta ada di sana. Sekitar pukul 23.30 seorang ajudan Bapak menemui saya untuk memberi tahu bahwa Bapak menunggu dalam kendaraan di bawah. Pada 1 Oktober pagi, setelah, sembahyang, Bapak berangkat ke Istana. Tidak benar bahwa pagi itu ada telepon yang memberitahu adanya kudeta. Setahu saya Bapak baru tahu apa yang terjadi sewaktu dalam perjalanan. Sekitar pukul 9 pagi saya mendapat telepon, bertubi-tubi, kebanyakan dari teman dekat. Ada yang bilang, Pak Leimena diserang di rumahnya. Juga Pak Nasution. Tentu saja, saya panik. Pikiran pertama yang terlintas pada saya ialah apakah Bapak selamat, dan di mana dia sekarang. Kecemasan saya tak berkurang banyak ketika Martono (sekarang menteri transmigrasi) datang menemui saya di Wisma Yaso sekltar pukul 13.00. Saya sudah kenal dekat dengan Pak Martono ketika dia menjadi atase kebudayaan di KBRI Tokyo pada 1959. Dari Pak Martono ini saya mendapat informasi tentang pembunuhan para Jenderal dan bahwa itu pasti perbuatan pihak komunis yang memberontak pada Bung Karno. Kecemasan saya mulai mereda ketika Kapten Suparto, salah satu ajudan Bapak, sore harinya datang membawa surat, dalam bahasa Inggris, untuk saya. Isinya, antara lain, "Saya berada di suatu tempat, dalam keadaan sehat. Ini disebabkan hal-hal dalam Angkatan Darat yang terjadi tadi malam. Anak-anak yang mengadakan 'revolusi' itu tidak menentang saya, tapi mereka bermaksud menyelamatkan saya. Jadi, janganlah cemas." Saya kemudian memaksa untuk menemui Bapak. Akhirnya, Suparto setuju untuk menyampaikan surat saya untuk Bapak, yang isinya ingin menemui Bapak. Baru sekitar pukul 19.00 Kapten Suparto yang mengendarai jip militer datang. Saat itulah untuk pertama kali saya mengenakan celana panjang. Soalnya, Bapak tak pernah mengizinkan saya memakainya. Kapten Suparto mengenakan pita putih di bahunya. Katanya, itu merupakan tanda pengenal karena situasi kacau, dan tak tahu siapa kawan, siapa lawan. Belakangan, baru saya ketahui, tempat yang dituju adalah Halim. Begitu jip berhenti, saya menghambur keluar mencari Bapak. Perkataan pertama yang dikatakan pada saya adalah, "Ini kemunduran 20 tahun. Saya harus menata kembali negara ini lagi." Dalam pertemuan malam itu dibicarakan kemunkinan Bapak untuk pindah ke Jawa Tengah. Saya bersikeras agar Bapak ke Istana Merdeka saja, karena Bapak harus menunjukkan bahwa dia selamat dan memegang kendali pemerintahan. Bapak menolak. Alasannya, para penasihat keamanannya menganggap bahwa Istana Merdeka terlalu berbahaya. Dari pembicaraan itu saya menarik kesimpulan bahwa Bapak menerima informasi satu pihak saja. Saya ingin menyampaikan informasi yang saya terima dari Pak Martono. Tapi karena terlalu bertentangan, saya tak berani. Saya kemudian mohon agar Bapak pergi ke tempat yang lebih dekat, ke Istana Bogor. Kemudian saya kembali ke Wisma Yaso sementara Bapak berangkat ke Bogor beberapa jam kemudian. Pada 2 Oktober, Pak Martono kembali berkunjung. Ia bercerita bahwa Jenderal Soeharto sudah mengambil alih keadaan dan mengamankannya. Saya mengirim surat untuk Bapak, dan sore harinya menerima balasan. Petang hari itu Bapak memberi pengumuman di RRI. Tatkala pemakaman jenazah para jenderal dilakukan dan Bapak tidak hadir, saya mengirim surat menyesalkan hal itu. Bapak hari itu juga membalas. Isinya antara lain menjelaskan bahwa ketidakhadiran Bapak karena pihak keamanan, juga Subandrio dan Leimena, tidak menyetujui. Menurut Bapak, mereka tidak yakin apa yang bisa terjadi dalam suatu upacara yang begitu emosional. BAMBANG WIJANARKO, 57, bekas ajudan Presiden Soekarno, kini ketua Perpani (Persatuan Panahan Seluruh Indonesia). PADA 30 September 1965 malam, sedatangnya Presiden Soekarno dari berpidato di Senayan, seperti biasa saya melapor tentang siapa yang akan menghadap besok paginya. Antara lain Menpangad Letjen A. Yani dan Pak Leimena. Acara Presiden kemudian acara pribadi, dan saya minta izin untuk pulang. Tanggal 1 Oktober, sesuai dengan rencana, pagi-pagi saya pergi ke lapangan Senayan untuk latihan upacara guna peringatan Hari ABRI 5 Oktober. Kalau tak salah, ada 6 batalyon yang mengikuti latihan. Saya jadi inspektur upacara, dengan pakaian lengkap kolonel angkatan laut. Di tengah latihan, setelah ada pasukan yang diambil Kostrad, saya baru berpikir adanya sesuatu yang tidak beres. Kembali ke istana, Presiden tidak ada, katanya ke Halim Perdanakusuma. Waktu itu saya bertemu dengan Kolonel Supardjo dari MBAD yang akan melapor soai penculikan beberapa jenderal. Baru saya mengerti duduk persoalannya, meski masih juga bingung. Siang itu juga saya ke Kostrad, lalu ke Halim. Sempat juga mampir ke rumah untuk berganti pakaian seragam hijau dan membawa pistol. Di Halim saya diperintahkan Presiden memanggil Jenderal Pranoto Reksosamodra. Selain Bung Karno sendiri, di Halim waktu itu ada juga Brigjen Sabur dan Pak Leimena. Waktu itu hari sudah hampir gelap. Di Kostrad saya menghadap Pangkostrad Mayjen Soeharto, dan menyampaikan perintah Presiden. Pak Harto menanyakan, "Mbang, Bapak ada di mana?" Saya jawab "Ada di Halim, Pak." Pak Harto kemudian berpesan. Pertama, segala perintah tentang Angkatan Darat dari Presiden harus disampaikan pada Pak Harto. Kedua, Jenderal Pranoto tidak bisa menghadap. Ketiga, agar saya mengusahakan supaya Bung Karno secepatnya meninggalkan Halim. Setiba kembali di Halim, melalui Pak Leimena, juga dalam rapat, saya mendesak agar Bung Karno segera meninggalkan Halim. Alasan yang saya kemukakan: paling lambat nanti malam atau besok, Halim asti diserang. Saya lalu memerintahkan agar kendaraan disiapkan. Waktu itu sekitar pukul 23.00. Saya, pengawal pribadi, dan Pak Leimena, ikut naik mobil yang sama dengan Presiden Soekarno. Omar Dhani terpaksa naik mobil lain. Dia mengira kami mau ke lapangan terbang. Tapi sesampai di simpang tiga, yang arah kanannya menuju lapanan terbang, sopir saya perintahkan untuk berjalan lurus ke depan. Waktu Bapak (Bung Karno) bertanya, "Mbang, kita mau ke mana?", saya diam saja. Sampai tiga kali Bapak bertanya. Baru setelah Pak Leimena menepuk pundak saya dari belakang, saya jelaskan bahwa kita sedang menuju ke Istana Bogor. "Kenapa Mbang?" Bapak bertanya. Ada tiga alasan yang saya ajukan. Pertama, menurut perhitungan taktis saya sebagai perwira, Halim tidak lama lagi pasti akan diserang. Waktu itu tidak saya katakan bahwa Pak Harto yang memerintahkan saya untuk segera mengusahakan Bapak pergi dari Halim. Kedua, saya katakan bahwa kalaupun meninggalkan Halim, untuk saat itu sebaiknya jangan menggunakan pesawat terbang. Sebab, di pesawat terbang nasib kita tergantung pada pilot. Kita bisa saja merencanakan ke mana akan pergi, tapi bisa saja dia membelokkan dan membawa ke mana saja dia mau. Pertimbangan ketiga, kalaupun pergi, jangan terlalu jauh meninggalkan Jakarta, agar dapat mengatasi keadaan secepat mungkin. Saya katakan, bahwa tugas saya adalah untuk mengamankan Presiden, dan bila Presiden selamat, adalah tugasnya untuk menyelamatkan negara. Bapak kemudian diam saja. Sekitar pukul 24.00 lewat sedikit, mobil kami memasuki gerbang utara Istana Bogor. Kami semua kini bisa bernapas lega. Di sana ada Ibu Hartini. Setelah Bapak masuk dan duduk, saya katakan, "Pak, tugas saya untuk mengamankan Bapak selesai, dan sekarang terserah Bapak." Lalu saya ke kantor saya, kantor ajudan di sebelah istana. Saya menelepon langsung ke Kostrad dan berbicara dengan Pak Harto. Saya katakan, "Pak, mission is accomplished. Bapak sudah meninggalkan Halim, dan sekarang ada di Istana Bogor". Letnan Kolonel Polisi (pur.) MANGIL MARTOWIDJOJO, 60, bekas komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Cakrabirawa. PADA 30 September 1965 malam, Bung Karno memberikan sambutan pada pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan. Bapak kelihatannya agak kecewa karena banyak kursi VIP yang kosong. Pada pukul 23.00 Bapak kembali ke Istana Merdeka, mengganti baju kepresidenan dengan baju lengan pendek warna putih dan celana abu-abu. Sekitar 20 menit kemudian, Bapak keluar Istana. Memakai mobil Chrysler nomor B 4747 warna hitam, tanpa memakai kopiah, Bapak menjemput Ibu Dewi yang sedang ada di Hotel Indonesia. Bapak tetap ada di mobil sementara Suparto menjemput Ibu Dewi. Dari Hotel Indonesia, Bapak langsung ke Wisma Yaso. Pada 1 Oktober pukul 05.15, saya menerima telepon dari salah seorang anggota DKP yang bertugas di Wisma Yaso. Isinya: hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer. Setengah jam kemudian saya sudah ada di Wisma Yaso. Di situ, pada pukul 06.00 saya mendengar bahwa rumah Jenderal Nasution dan Leimena ditembaki. Pada pukul 06.30 Bapak keluar, masih memakai baju lengan pendek dan tanpa kopiah. Bapak rupanya sudah dilapori terjadinya penembakan tersebut, hingga lalu memanggil saya dan meminta laporan yang jelas mengenai kejadian itu. Waktu saya jawab bahwa saya belum tahu, Bapak marah. Kemudian ia bertanya, "Menurut kamu sebaiknya bagaimana?" Saya jawab, "Sebaiknya Bapak di sini dulu, atau bisa juga Bapak ke Istana." Dengan konvoi, Bapak akhirnya berangkat ke Istana. Waktu sampai di Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Saya mencoba menghubungi mobil yang ditumpangi Bapak dengan handie talkie, tapi gagal karena alat itu tak berfungsi dengan baik. Sementara iring-iringan mobil dengan kecepatan sekitar 40 km per jam itu mendekati Istana, saya menyerukan untuk belok ke kiri, ke Jalan Kebon Sirih, tapi tak bisa didengar oleh ajudan di mobil Presiden. Saya semakin khawatir ketika iringan tak berbelok, sementara di kejauhan tampak tentara yang mengepung Istana. Dengan berteriak keras akhirnya saya berhasil juga membelokkan iringan ke Jalan Budi Kemuliaan. Di sini iringan sempat terhenti karena jalan macet. Kemudian ada hubungan radio dengan ajudan Kolonel Saelan yang menginstruksikan supaya iring-iringan menuju ke Grogol, ke tempat Ibu Harjati, istri Bapak yang lain. Rombongan tiba pada pukul 08.00. Sekitar pukul 09.00 datang Ajudan Komisaris Besar (Polisi) Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Kemudian dirundingkan untuk mencari tempat yang aman buat Bapak. Ada usul, misalnya, untuk membawa Bapak ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, seorang kenalan yang pernah menawarkan rumah itu kepada Cakrabirawa. Alternatif ini tak jadi digunakan, karena Kolonel Saelan menginstruksikan untuk membawa Bapak ke Halim. Instruksi ini diterima karena sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan, bahwa bila presiden dalam bahaya, ia bisa dilarikan ke asrama ABRI terdekat, ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma (di sana ada pesawat Jetstar yang siap terbang), ke Tanjung Priok (di sana tersedia dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II), atau ke Istana Bogor (di sana tersedia helikopter). Pada pukul 09.30 Bapak meninggalkan rumah Ibu Harjati. Mobil Chrysler diganti dengan mobil VW kodok biru. Isinya: Bapak, Brigjen Sunaryo, Ajudan Sudarso, dan Pengemudi Suparto. Tapi begitu melihat Pangau Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena, berdiri di depan markas Angkatan Udara di Halim, mobil berbalik arah, dan tak jadi menuju landasan. Ada pikiran untuk mencari rumah guna Bapak beristirahat. Lalu didapatkan rumah Komodor Susanto, pilot pesawat yang biasa dipakai Bapak bila keliling Indonesia. Selang beberapa waktu kemudian datang Brigjen Supardjo, yang dikawal Mayor Subambang dan Mayor Sutrisno. Tak lama kemudian dengan pesawat helikopter datang Brigjen Sabur. Bapak menginstruksikan untuk memanggil Pangal, Pangak, dan Pangdam V/Jaya. Selang beberapa lama datang ajudan Kolonel Bambang Wijanarko. Menjelang tengah hari, datang Pangal Laksamana Martadinata. Sebelumnya telah hadir Jaksa Agung Jenderal sutardhio dengan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Pada pukul 15.00 Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo datang, disusul oleh Pak Leimena. Lalu pada pukul 17.00 putra-putri Bapak - Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh - datang. Dengan helikopter mereka kemudian diterbangkan ke Bandung. Pada pukul 18.00 ada laporan dari Komodor Susanto bahwa ada konvoi militer menuju Halim, tapi dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU. Ibu Dewi kemudian datang pada pukul 20.00 lebih. Kolonel Saelan kemudian memerintahkan untuk mempersiapkan diri buat meninggalkan Halim. Agar tak mencolok, konvoi berjalan bertahap. Bapak menumpang mobil Prins, warna biru, B 3739 R. Di dalamnya ikut serta Pak Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai pakaian preman, tapl tiap orang membawa revolver. Dalam jip-jip mereka (ada delapan mobil dalam rombongan) total ada 18 senjata Thomson. Hampir mendekati tengah malam, kami sampai ke Istana Bogor. ROESLAN ABDULGANI, ketua BP-7. ADA 1 Oktober 1965 pagi, kebetulan saya ada wawancara dengan RRI, yang sudah direncanakan sebelumnya, untuk menyambut Hari Angkatan Perang. Waktu itu saya masih menjabat menteri koordinator hubungan rakyat merangkap menteri penerangan. Orang-orang yang mewawancarai saya datang terlalu pagi, sekitar pukul 06.30, padahal seharusnya mereka datang pukul 08.00. Mereka menceritakan bahwa malam sebelumnya ada kejadian (penculikan beberapa jenderal). Wawancara diteruskan. Kemudian ada siaran radio dari Untung yang mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi. Nama Bung Karno tidak disebut-sebut dalam susunan dewan itu. Karenanya, saya menarik konklusi: ada kup terhadap kekuasaan Presiden Soekarno. Gejala ke arah itu sudah lama tampak. Sejak 1963 PKI mengikuti kubu Peking. Sejak itu mereka mengintroduksikan pertentangan kelas, di kota, di desa, bahkan juga di kalangan angkatan bersenjata. PKI juga membuat rencana rahasia empat tahun: pada 1967 mereka mengharapkan menjadi mayoritas sehingga menjadi pemenang dalam pemilu yang akan datang. Tapi mereka tidak menunggu sampai 1967, karena para dokter RRC yang memeriksa kesehatan Presiden Soekarno membocorkan kepada orang-orang PKI bahwa Bung Karno sebentar lagi sudah tidak bisa bertahan. PKI takut, kalau kelak Bung Karno meninggal, mereka akan dipukul dulu oleh musuh-musuhnya. Sekitar pukul 13.00, datang Magenda anak buah Brigjen Sukendro. Dia melaporkan bahwa suasana sudah agak jelas. "Ada kup," katanya. Saya dianjurkannya pergi ke stasiun RRI di Cimanggis karena nama saya masuk "daftar kedua", daftar calon yang akan diculik PKI. Sore itu saya pergi ke Cimanggis, lalu dari sana menuju Bandung. Di Bandung saya bertemu dengan panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie. Adjie bilang, Bung Karno masih ada di Halim dan karena itu harus segera dikeluarkan dari sana. Begitu ada kabar Bung Karno sudah ada di Bogor, Adjie bilang lagi kepada saya, "Pak Ruslan, Bung Karno harus diyakinkan. Hanya Bapak yang bisa neyakinkan Bung Karno. Bikinlah surat." Saya semula menolak, karena sadar hubungan saya dengan Bung Karno sudah jelek. Tapi akhirnya saya buat juga surat tulisan tangan. Bunyinya: "Bung, saya datang pada kesimpulan bahwa Dewan Revolusi yang diumumkan Untung adalah kup. Sebabnya ialah karena tidak ada tempat untuk Presiden Soekarno. Karena itu, saya melepaskan ikatan saya dengan pemerintah yang sekarang dibentuk ini. Dengan perkataan lain, saya tidak lkut dalam pemerimtahan itu." Pada 2 Oktober itu juga Ibrahim Adjie meminta saya meninggalkan Bandung, karena RRI Cimanggis sangat tergantung pada instruksi-instruksi saya. RRI Jakarta sendiri, yang menyiarkan pengumuman Untung, telah dapat dikuasai Pak Harto. Seusai memberi instruksi kepada para pegawai RRI Cimanggis, saya pulang ke rumah, di Jalan Diponegoro. Pukul 13.00 datang Surachman, yang menyatakan bahwa atas nama PNI dia telah mengumumkan bahwa PNI mendukung terbentuknya Dewan Revolusi. Pimpinan PNI yang lain, misalnya Ketua Umum Ali Sastroamidjojo, waktu itu sedang berada di Beijing bersama sejumlah tokoh lain, termasuk Chaerul Saleh. Saya sempat adu mulut dengan keputusan nekat Surachman. Malamnya saya berjalan-jalan keluar, dan mampir di RRI. Saya langsung diminta di depan corong. Saya berbicara saja dl depan radio. Saya katakan, keadaan sudah aman, sudah dikuasai. Saya omong sedikit, bohong sedikit. Pada 4 Oktober, jenazah para jenderal yang diculik ditemukan. SUGANDHI KARTOSUBROTO, 61, ajudan Presiden Soekarno 1950-1960, kini ketua DPP Golkar. PADA tahun 1965 itu, PKI sudah merasa yakin akan menang, hingga di mana-mana mereka menyombongkan diri sebagai partai terbesar. Kebetulan, waktu itu di samping sebagai ketua MKGR (Musyawarah Kerja Gotong Royong), saya juga ketua umum Padi (Pengajian Dakwah Islam). Tiap awal bulan ada pengajian malam Jumat di rumah para panglima ABRI. Sebelum dakwah, saya selalu membuka dengan memperingatkan adanya "orang yang menyombongkan diri", dan mengingatkan hadirin agar tidak sampai "kemasukan setan". Bahkan, pada 30 September malam, malam Jumat, pada pengajian di rumah Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana Madya R.E. Martadinata, saya berkata, "Mungkin besok akan terjadi sesuatu." Sebelumnya, pada 30 September pagi, saya ke Istana menemui Bung Karno di kamar tidurnya. Saya menanyakan apakah benar jenderal-jenderal akan ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat Dewan Jenderal. Menurut Bung Karno, mereka tidak mengerti soal revolusi. Jawab saya: Lho tidak mengerti bagaimana? Jenderal Yani 'kan tangan kanan Bung Karno, anak emas Bung Karno. Seharusnya Bung Karno menyelamatkan Yani. Kata Bung Karno, "Karena itu, saya mau panggil dia besok pagi. Mau saya tanya macam-macam." Waktu saya bilang bahwa PKI jahat, Bung Karno mengatakan, "Kamu jangan fobi lagi. Komunis ada di dunia ini tidak bisa dihilangkan begitu saja." Tatkala saya mengingatkannya tentang teror PKI, Bung Karno marah - sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya - dan menyuruh saya keluar. Pada 1 Oktober pagi, Ny. Suprapto dan Ny. S. Parman datang menemui saya, melaporkan bahwa suami mereka diculik dan ditembak Cakrabirawa. Saya memikirkan tindakan apa yang harus saya ambil. Saya memutuskan untuk menemui Pak Martadinata. Kepadanya saya ceritakan penculikan para jenderal itu. Dia kaget. Tapi dia bilang, kita semua taat pada Presiden. Presiden Soekarno pagi itu ternyata ada di Halim. Pak Martadinata, yang ingin tahu duduk persoalannya dari Presiden sendiri lalu berangkat ke Halim. Karena Jenderal Yani tidak ada, secara hirarkis yang memimpin Angkatan Darat adalah Pak Harto sebagai pangkostrad. Saya lalu pergi ke Kostrad. Antara pukul 9 dan 10 itu Kostrad masih sepi, tapi Pak Harto sudah ada. Beliau berjanji membantu. Pak Harto ternyata sudah tahu bahwa RRI sudah dikuasai Letkol Untung. Saya, yang waktu itu memimpin penerangan Hankam, lalu mengajak teman saya Brigjen Ibnu Subroto, kepala Dinas Penerngan Angkatan Darat, untuk menyerbu RRI, guna membungkam suara musuh. Tapi Pak Harto bilang, RRI bukan tempatnya. RRI hanya studionya. Pangkalan dan motornya di Cimanggis. Bersama dengan satu regu RPKAD kemudian (sore harinya) kami menyerbu RRI di Jalan Merdeka Barat. Lalu saya tempatkan Kolonel M.Y. Sofyan di sana untuk menjaga dan mengawasi. Setelah itu kami siarkan pidato Pak Harto yang pada pokoknya menjelaskan bahwa situasi keamanan telah pulih kembali. Lalu pada 6 Oktober 1965, saya berpidato untuk menjelaskan latar belakang kudeta PKI. Bahwa PKI sebelumnya bisa menang karena berkedok Pancasila. Sebetulnya, semua ucapan PKI bohong saja. SALIM SAID, 40, wartawan, sedang menyelesaikan program doktor di Amerika Serikat. PAGI 1 Oktober 1965 itu saya bangun agak kesiangan. Sebagai reporter kantor berita PAB (Pemberitaan Angkatan Bersenjata), malam sebelumnya saya harus bekerja hingga larut malam. Selain sebagai wartawan, waktu itu saya juga berstatus mahasiswa. Kebetulan sekali hari-hari itu sedang berlangsung masa perploncoan. Saya tiba di sekolah sekitar pukul sembilan pagi. Begitu tiba, saya langsung dikerubuti teman-teman. "Eh, babe-nya Rully diculik. Katanya, dia CIA," kata seorang di antaranya. Rully adalah putri Almarhum Jenderal Yani yang menjadi saah seorang teman sekolah saya. "Ada Dewan Jenderal yang mau kup," kata seorang lainnya. Dewan Jenderal? Tiba-tiba saya teringat briefing Brigjen R.H. Sugandhi - kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata dan pimpinan PAB - beberapa hari sebelumnya. "PKI sekarang sedang meniupkan isu bahwa ada Dewan Jenderal," begitu antara lain briefing tersebut. Tidak syak lagi PKI mesti berada di belakang penculikan ini. Itu keyakinan saya pagi itu. Inilah hari yang telah lama dinantikan: show down antara PKI dan Angkatan Darat yang sudah lama diramaikan. Saya tiba-tiba ketakutan, dan segera menuju ke rumah Brigjen Sugandhi yang memang tak jauh dari sekolah saya. Sugandhi kebetulan baru saja masuk setelah berkeliling menyaksikan ceceran darah di berbagai rumah jenderal yang diculik oleh pasukan bersenjata Gerakan Tiga Puluh September. "Ini jelas PKI, Pak," kata saya kepada atasan saya itu. "Ya, tidak salah lagi," kata Sugandhi. Tugas saya selanjutnya ialah menghubungi semua staf Brigjen Sugandhi. Semua bingung. Kantor secara darurat berpindah ke rumah Jenderal Sugandhi, dan beliau segera melakukan kontak. Sementara itu, saya teringat teman-teman yang biasa berkumpul di rumah Wiratmo Soekito, yang terletak tak jauh dari rumah Sugandhi. Di situ biasa berkumpul Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, serta teman-teman seniman dan budayawan yang waktu itu tidak bisa berbuat banyak karena teror PKI serta antek-anteknya. Pagi itu saya cuma ketemu Wiratmo. "Kita harus segera menyebarkan bahwa ini PKI," kata Wiratmo, yang segera pergi bersama dengan Gayus Siagian (almarhum). Dengan becak saya kembali ke sekolah. Teman-teman masih bingung. Dan saya mulai "berkampanye". "Saya sudah mengecek, ini memang PKI," kata saya dengan meyakinkan. "Kita harus siap-siap, sebab pasti akan ada pertumpahan darah," kata saya lagi. Setelah itu, kembali lagi ke rumah Sugandhi. Hari sudah tengah hari, dan di halaman sekolah saya berpapasan dengan Imam Walujo yang waktu itu adalah sekretaris Mr.Suyono Hadinoto. "Presiden Soekarno ada di Halim sekarang," kata Imam. Info itu ternyata berguna untuk saya sampaikan kepada atasan saya, yang sampai saat itu masih bingung mengenai di mana Presiden Soekarno berada. Tidak lama kemudian, kami semua pindah ke Kostrad. Kesibukan luar biasa sedang terjadi di sana. Suasana takut masih meliputi kami semua. Kolonel Komar, salah seorang asisten Brigjen Sugandhi, mengajak saya menengok rumahnya yang terletak di Menteng. Kami keluar dari Kostrad dengan jip militer. Di rumahnya, Kolonel Komar memberikan penjelasan kepada anak istrinya, serta membongkar gudang senjatanya. Orang rumah dipersenjatai, peluru dibagikan, cara menembak secara kilat diajarkan. Kolonel Komar tidak lupa pada saya. Untuk saya sebuah senapan panjang jenis jungle. Di halaman Kostrad, siang dan sore itu, saya mondar-mandir dengan senapan di pundak saya. Dan tentara-tentara itu ternyata tidak ambil pusing. Kesibukan berlangsun terus, dan anak buah Brigjen Sugandhi bekerja cepat menyiapkan pamflet untuk menjelaskan apa yang terjadi. "RRI harus segera kita rebut," kata Brigjen Sugandhi. Saya kebetulan pernah magang di RRI, dan tak diangkat jadi pegawai karena dituduh terlibat Manikebu. Karena merasa tahu RRI, saya lalu usul, "Darmosugondo harus kita cari, supaya kalau RRI sudah direbut, kita langsung suruh dia bicara." "Kau tahu rumahnya?" tanya Sugandhi. "Tahu, Pak," jawab saya. Kebetulan sekali beberapa hari sebelumnya saya diajak Wiratmo Soekito ke rumah Darmosugondo, reporter RRI terkemuka waktu itu. Ketika saya akan memasuki mobil Kolonel Djoko Basuki yang saya pakai dalam operasi "penculikan" Darmosugondo itu, seorang perwira memperhatikan bedil yang saya sandang. "Itu ditinggal saja dulu," katanya. Langsung saja saya serahkan senapan itu kepada Kolonel Komar kembali. Ketika saya kemudian kembali ke Kostrad, senjata saya diganti dengan pistol. Seumur hidup, baru saat itu saya sempat berkenalan dengan senjata. Darmosugondo ketakutan ketika melihat saya dengan pengawal. "Saya mau diapakan di Kostrad?" Dengan senyum saya menguraikan teori yang baru saja saya pelajari di akultas Psikologi, sekolah saya waktu itu. "Pak Darmo 'kan selalu didengar rakyat di radio bersama Bung Karno. Nah, kalau mendengar suara Pak Darmo rakyat sudah seperti merasa mendengar suara Bung Karno. Dalam keadaan Bung Karno entah aman entah tidak, Pak Darmo bisa menolong banyak" Dia kelihatan tenang berpakaian, dan lalu ikut saya. Hari sudah berangsur gelap ketika kami tiba di Kostrad. Beberapa saat kemudian untuk pertama kalinya saya lihat Kolonel Sarwo Eddie dengan pasukannya. Sebentar kemudian Jenderal Nasution tiba dari persembunyiannya. Suasana sibuk dan tegang, dan saya lihat Kolonel Tjokropranolo, dalam pakaian sipil, mondar-mandir. Lewat radio, laporan kemudian tiba bahwa RRI sudah diamankan oleh RPKAD. Kini tugas bagian penerangan untuk mengambil alat vital tersebut. Kolonel Sarwo Eddie melaporkan hal tersebut kepada Brigjen Sugandhi. Dan tiba-tiba yang terakhir ini berteriak, "Ayo, kita ke RRI, bitel-bitelan di sana." Masa itu lagu-lagu Beatles memang diharamkan oleh Presiden Soekarno. Truk berjalan lambat memotong Monas yang waktu itu masih penuh timbunan tanah yang menggunung. Duduk di samping sopir, dua brigjen, Sugandhi dan Ibnu Subroto (almarhum), kepala Penerangan Angkatan Darat waktu itu. Di kiri kanan truk, berjalan RPKAD yang tentu saja waspada dalam malam yang sudah gelap itu. Tidak ada kesukaran memasuki RRI. Dan karena sudah berhasil meyakinkan dua jenderal dalam rombongan, bahwa saya tahu RRI, lantas saja saya jadi penunjuk jalan. Kami langsung ke Studio V, dan pejabat-pejabat RRI rupa-rupanya sudah menunggu "penyerbuan" kami di sana. Brigjen Sugandhi memberikan penjelasan mengenai apa yang terjadi, dan mata saya mencari-cari orang-orang RRI yang dulu mendadak revolusioner dan getol mengganyang apa yang mereka sebut Manikebu. Ketika Brigjen Sugandhi masih memberikan penjelasan, saya yang berdiri berdampingan dengan Brigjen Ibnu Subroto membisikkan sesuatu ke telinga kepala Puspenad itu. "Pak, lagu Nasakom saya kira sebaiknya dilarang saja." Ibnu Subroto diam saja. Tapi begitu Sugandhi selesai bicara, Ibnu Subroto langsung menyambunnya, "Mulai sekarang lagu Nasakom tidak boleh lagi disiarkan." Mongkok hati saya mendengar perintah itu. Malam itu tidak ada kerja saya di RRI kecuali menelusuri lorong-lorong kantor yang dulu mengusir saya dan menghancurkan cita-cita saya untuk menggantikan Darmosugondo. Ia tidak juga dipersilakan muncul di depan corong malam itu. Entah mengapa. SYU'BAH ASA, 42, wartawan, pemeran tokoh Aidit dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. PENGUMUMAN kudeta dari Letkol Untung saya dengar di rumah indekosan Abaul Hafiz Rafie, pengarang cerpen majalah Sastra, di Yogya Selatan. Menyimak suara radio tetangga, saya bertanya: apa Dewan Jenderal? Dan di asrama saya, di Demangan Baru, Yogya Timur Laut, kami berkumpul mendengarkan siaran ulangan, sambil beberapa kali saya menoleh ke pintu - membayangkan beberapa sosok tubuh tiba-tiba akan muncul dari sana dan mengacungkan senjata otomatis. Suasana terasa lengang, dan sangat menekan. Itulah saat-saat gawat yang sesungguhnya. Sampai empat hari kemudian Yogya dikuasai pihak pemberontak dan Kapten Muljono, yang menyingkirkan Kolonel Katamso, berkali-kali mengumumkan lewat radio agar rakyat "tidak bertindak sendiri-sendiri". Sebelum itu, sudah sering terdengar "info" bahwa asrama-asrama pemuda Islam akan diganyang. Di dekat kediaman kami sendiri, asrama Tanjung Raya (anak-anak Padang) sudah diserbu, dan kalau tidak salah seorang meninggal - meski aksi itu, yang juga melibatkan para tukang becak, lebih berbau sukuisme. Itu adalah tahun-tahun yang penuh tindak kekerasan antar golongan: banyak pemuda yang tidak berani pulang ke rumah. Untuk saya pribadi, keadaan tak kurang runyam. Masih menjadi ketua Ikatan Sastrawan Muda Islam (ISMI), jabatan yang saya warisi dari Bastari Asnin, saya juga termasuk "Manikebuis" (penandatanganan Manifes Kebudayaan, yang diganyang PKI dan dilarang Bung Karno itu) untuk Yogya. Bagaimana saya - dan kami semua - bisa yakin nyawa kami aman, justru di bawah kekuasaan mutlak PKI? Bambu-bambu runcing kami bikin. Pak Nul, yang juga anak IAIN seperti saya, meningkatkan latihan bela diri dengan berbagai senjata tajam - untuk penghuni yang sekitar 60 orang itu. Di malam pertama kami tidak tidur di dalam, melainkan menyebar di antara rumpun-rumpun bunga, baik di pekarangan maupun luarnya, juga di atas menara air. Saya, yang tiba-tiba saja menjadi semacam Imam Jihad, dengan jaket berlapis-lapis (saya terkenal suka demam) dan sebilah pisau, memimpin salat hajat pada saat pergantian regu lepas tengah malam dan berkeliling menginspeksi. Saya sungguh tak paham bagaimana saya waktu itu bisa meloncat naik tembok asrama yang dua meter lebih, meniti tembok itu, dan muncul di hadapan kawan-kawan di menara. Berbaring di batu-batuan yang apik di pekarangan asrama, dalam bayangan pohon bunga, saya ingat saya memandang ke langit - dan berpikir bahwa mereka yang di luar Yogya berada dalam aman. Saya tidak tahu nasib kawan-kawan lain. Yang saya tahu, Mamang (Khaerul Umam, sutradara film itu) telah menggagalkan latihan dramanya tanggal 1 Oktober itu, menjelang pementasan Teater Mahasiswa Islam di Wates, sebelah barat Kota Yogya. Sedang Amak Baljun, aktor yang kini di Percetakan Temprint, juga Armansa (Abdul Rahman Saleh, pengacara yang pernah memimpin LBH Jakarta), yang berkumpul di rumah indekosan di Rotowijayan, mengunci semua pintu segera sesudah magrib - dan memperkuatnya dengan setumpuk meja di belakangnya. Mereka juga mendengar akan digorok. Apalagi semua penghuni di sana keturunan Arab. Lalu datanglah RPKAD dan Kolonel Sarwo Eddie. Lalu kekuasaan pun berpindah. Katamso dicari, dan jenazahnya ditemukan di sebuah sumur di Kentungan, jalan ke Kaliurang. Orang marah besar dan suasana yang menekan pun lepas. Lalu terjadilah demonstrasi besar itu, 6 Oktober. Demonstrasi menentang PKI yang belum kalah itu persis sedang bangkit kembali dari pinggir utara Alun-Alun Lor - ketika saya tiba. Saya segera bergerak di saf paling depan - sementara tentara berbaris rapi di trotoar, mulai dari Museum sampai ke perempatan Air Mancur di utara. Dengan meneriakkan takbir kami sampai ke gedung Chung Hua Tsung Hui (kemudian bernama Gedung Olah Raga). Di situ tegak papanpapan Perhimi, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia, yang akrab dengan PKI, dan Universitas Res Publica yang juga PKI. Papan itu harus diturunkan! Dan saya, di baris terdepan, maju sampai satu langkah di depan tentara-tentara itu. Saya ingat, baju saya ditarik seseorang dari belakang - dan dua lup senjata persis di depan hidung saya, salah satunya mengenai dada saya. Saya ingat. Saya tak tahu bagaimana, tapi saya menyingkirkan dua senjata itu dengan tangan - dan saya naik, mungkin juga didukung orang-orang. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Saya menarik-narik papan itu dengan tangan - dan lepas, entah bagaimana. Lalu saya melihat papan Perhimi yang biru itu berjalan di atas kepala orang-orang, terus, terus ke utara, sampal akhirnya lenyap - mungkin dihempaskan remuk di beton Air Mancur. Beberapa saat kemudian terdengar tembakan-tembakan. Di benteng Vredeburg, yang ditempati Yon BS 403, tampak beberapa tentara, jauh di atas. Kami terdesak. Kami bergerak ke selatan. Kemudian ke barat, menyusur Alun-Alun. Kepala demonstran ada di depan gerbang Masjid Besar. Di sana kami duduk. Di sana juga kami sembahyang, memakai debu untuk tayamum. Di sana terdapat podium. Ada banyak pidato atau sedikit, saya tak ingat lagi, tapi akhirnya orang mendorong saya naik ke podium. Saya memlmpin lagu Gugur Bunga, dan ribuan orang itu menyanyi - untuk adik-adik Aries dan Margono, anak-anak sekolah yang tertembak, untuk kawan-kawan lain yang juga mati atau terluka. Orang-orang menangis. Saya menangis.