Bung Karno Dan Generasi Saya


Tempo 30 Juni 1979. SEWAKTU saya sekitar tahun 1930-an masih duduk di bangku sekolah menengah kolonial di Surabaya, Bung Karno adalah pahlawan pujaan dalam hati generasi saya. Betapa tidak! Di tengah-tengah suasana kolonial dengan segala macam diskriminasinya, Bung Karno dengan PNI-nya dari Bandung telah membangkitkan semangat nasionalisme, patriotisme, kemerdekaan dan kerakyatan. Memang banyak pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional yang kita kagumi, seperti Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Soetomo, H. Agus Salim dan sebagainya. Tapi di antara mereka ada dua tokoh muda yang menonjol dalam pandangan kita, yaitu Bung Karno di Bandung, dan Bung Hatta di Negeri Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang pada waktu itu dengan tulisan dan pidato-pidatonya menanamkan keyakinan dalam hati-sanubari kita, bahwa Indonesia Merdeka dapat dicapai. Bahwa syarat mutlak adalah Persatuan Bangsa dari Sabang sampai Merauke dan bahwa Nasionalisme Indonesia adalah bagian integral dari kebangkitan seluruh Asia. Mereka berdua juga meramalkan bahwa Perang Pasipik akan pecah dan bahwa nanti datang kesempatan bagi kita merebut kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah syarat mutlak bagi rekonstruksi nasional. Bung Karno membekali kita dengan dua buku. Yang pertama adalah Indonesia Menggugat. Yaitu pidato pembelaannya di muka hakim kolonial Bandung, tanggal 2 Desember 1930. Yang kedua adalah Mencapai Indonesia Merdeka ditulis pada bulan Maret 1933, sesaat sebelum beliau dibuang ke Flores. Dari kedua buku itulah kita belajar ilmu perjuangan. Perjuangan kemerdekaan sebagai ilmu! Yang harus dikerjakan secara rasional-ilmiah, dengan pikiran dan perhitungan. Tetapi juga dengan semangat yang menyala-nyala. Berdiri Di Atas Pundak Tiga Guru Kita belajar menganalisa sistim kolonial, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Kita belajar menganalisa rakyat kita, juga dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Kita belajar hukum dialektika dengan segala kontradiksi dan antagonisme Nasionalisme melawan kolonialisme. Pada waktu Zaman Jepang kita lebih dewasa dalam ilmu perjuangan. Juga lebih berpengalaman. Dalam menilai sepakterjang Bung Karno selama pendudukan Jepang itu, kita seringkali diliputi keragu-raguan, malahan adakalanya kejengkelan. Taktik Bung Karno dan Bung Hatta kita anggap lebih banyak ikut “menyanyikan lagunya Jepang” daripada melawan. Tetapi akhirnya kita mengakui kebenaran taktik mereka berdua. Yaitu keharusan adanya revolutionaire geduld, kesabaran revolusioner. Mengetahui bagaimana bertahan dalam pukulan, dan bagaimana menunggu waktu untuk memukul kembali. Proklamasi Kemerdekaan dan Revolusi Nasional kita yang dicetuskan oleh Bung Karno dan Bung Hatta membenarkan taktik “kesabaran revolusioner” itu. Dalam alam kemerdekaan saya berkesempatan lebih banyak berkontak dengan Bung Karno. Juga berdialoog dan berdebat. Saya berkesimpulan, bahwa kalau Bung Karno sejak mudanya sudah berpandangan jauh ke depan, itu adalah karena dia “berdiri di atas pundak-pundaknya” tiga pejuang”guru”nya. Yaitu Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker alias Setiabudi. Ibarat itu saya ambil dari bukunya John Langdon Davies: Man and his Universe dari perpustakaan beliau pribadi, di mana dikatakan bahwa “if Newton could see farther ahead than the older generation, it was by standing on the shoulders of three giants, namely: Aristotle, Copernicus and Galileo.” Dengan ibarat itu, saya hanya ingin menyimpulkan bahwa pemikiran dan perjuangan Bung Karno adalah hasil pemanfaatan beliau dari pikiran dan perjuangan guru-gurunya. Tiga Sukarno Saya pun juga mendapat kesan, bahwa dalam diri pribadi Bung Karno, terdapat “tiga Sukarno”. Pertama: Sukarno sebagai ideoloog. Kedua: Sukarno sebagai politikus dan negarawan. Ketiga: Sukarno sebagai manusia. Sebagai ideoloog, Bung Karno sangat tajam dan tegas sekali. Pancasilanya adalah cerminan dari pemikiran filsafat yang matang, berlandasan kepribadian sendiri, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Bung Karno sebagai politikus dan negarawan sangat lihay. Beliau pintar memanipulasi kekuatan-kekuatan sosial-politik, mengadakan aliansi dan realiansi dalam menyusun barisan kekuatan antar-kawan, sambil mengacaukan barisan lawan. Tidak hanya di front dalam negeri, tapi juga di front luar negeri. Ini semua termasuk dalam taktik beliau. Taktik itu tidak tanpa risiko. Adakalanya Bung Karno sendiri terjepit oleh karenanya. Hanya kharismanya yang sering menolong Bung Karno meloncat dari jepitan-jepitan itu. Akhirnya Bung Karno sebagai manusia biasa. Dia dapat serius, tapi dapat juga santai. Dapat mencintai, tapi dapat juga membenci. Dapat hidup realistis, tapi juga dapat “mimpi” hal-hal yang di luar jangkauan. Tetapi selalu ramah tamah. Tidak pernah dengki. Beliau sendiri mengatakan kelahiran bintang Gemini. Malahan dobel. Yaitu 6 Juni. Tanggal 6 bulan 6. Saya sendiri tidak begitu percaya sepenuhnya kepada pengaruh perbintangan itu. Tetapi bahwa Bung Karno seringkali menunjukkan watak-watak yang kontroversial itu memang saya alami. Dia memiliki “charm” yang “disarming”. Dia terbuka untuk kritik obyektif sekalipun tidak jarang diterimanya dengan marah-marah. Menurut saya “tiga Sukarno” itulah terkait dalam diri Bung Karno. Ideoloog, Politikus-Negarawan, dan Manusia. Cita-citanya besar. Perjuangannya besar. Lawan-lawannya besar. Kawan-kawannya pun besar. Religiositasnya besar. Rasionalitasnya besar. Emosinya besar. Nafsunya besar. Ya libidonya juga besar. Dan seperti Oom Arnold Mononutu pernah menenteramkan saya: pada tiap orang besar seperti Bung Karno melekat pula “les defauts de ses qualites”, yaitu kekurangan-kekurangan yang besar. Juga kekeliruan dan kesalahan yang besar. Tapi penderitaannya pun dan jasa-jasa pun adalah besar. Dibolak-balik, Bung Karno adalah, di mata kawan dan lawan, baik di dalam maupun di luar negeri, seorang pejuang. Seorang “titan”, yang tidak kenal lelah. Yang tidak setengah-setengah. Setia kepada cita-citanya dan kepada prinsip politiknya. Dengan segala bahaya dan risikonya. Semua itu mempengaruhi dan telah menjadi pelajaran generasi sebaya saya. Ada yang dapat keliru, ada yang tidak. Semoga demikian juga bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.
Di Sini Proklamator Dimakamkan
TAK terasa terlalu panas siang itu, meski matahari kemarau hampir tepat di atas kepala. Di tangga teras makam Bung Karno dari batu pualam warna putih berkilat, Presiden Soeharto dan Nyonya Tien melepas sepatu. Dua tiga langkah lagi sampailah ke makam Proklamator yang lantainya juga dari batu pualam putih, berpagar kaca. Setelah berjongkok untuk berdoa, Presiden bangkit lalu menabur bunga. Ny. Tien sempat bersujud selama beberapa detik. Itu puncak acara peresmian pemugaran makam Bung Karno di Blitar, Kamis siang 21 Juni pekan lalu, tepat 9 tahun setelah Presiden pertama RI itu wafat. Makam itu tak bernisan hanya dibatasi semacam tanggul persegi empat memanjang. Di tengahnya ditaburi batu-batu kerikil. Beberapa senti di arah kepala diletakkan sebuah batu pualam warna hitam kebiru-biruan. Di situ tertulis huruf-hurur kuning keemasan: Di sini dimakamkan Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia. Lahir 6 Juni 1901, wafat 21 Juni 1970. Menapa bukan “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” sebagaimana diwasiatkan oleh almarhum? Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno, menjawab “Itu kehendak pemerintah.” Keluarga Bung Karno barangkali cukup puas dengan sebuah karangan bunga ukuran 3 x  m bertuliskan “Bung Karno Penyambung Lidah Bangsa Indonesia” yang dipajang di ruang tamu rumah Ibu Wardoyo, Jalan Sultan Agung, Blitar, sumbangan PT Gunung Agung dan Yayasan Jalan Terang. Dalam keadaan sudah amat uzur, siang itu Ibu Wardoyo hadir dalam peresmian dengan upacara kenegaraan itu. Bersama suaminya, ia dibimbing oleh Marsoesi, Ketua DPD PDI Jawa Timur. Dari keluarga Bung Karno di Blitar, hanya suami-isteri itu saja yang hadir di makam. Adapun keluarga Jakarta, meski mendapat undangan, tak seorang hadir. Bisa dimaklum, sebab seperti pernah dinyatakan oleh Guntur, mereka “tidak ikut-ikutan dengan pemugaran itu.” Meski begitu Guntur bukannya tak memanfaatkan keramaian malam menjelang peresmian di rumah Ibu Wardoyo. Ia mengirim surat minta diijinkan menjual buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno susunan Ny. Fatmawati. Adapun makam Bung Karno, diapit oleh makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan makam anaknya, kedua makam ini bernisan. Juga dari batu pualam. Ibundanya, Ida Aju Njoman Rai, di sebelah kiri (timur), sedang ayahandanya, R. Soekemi Sosrodihardjo, di sebelah kanan (barat). Ketiganya terletak dalam cungkup (peristirahatan bagi yang telah tiada). Dengan arsitektur Jawa gaya joglo, bangunan utama itu disebut Bangsal Agung Luasnya 376 m FD. Lantai dan batu nisan dari batu pualam asal Besole dan Panggul, Jawa Timur, kayu jati dari Bojonegoro yang diukir di Sala. Penopang atap dari konstruksi baja, atap dari lempengan sirap tembaga asal Bandung dan Yogya. Hanya bahan kaca setebal 2 Cm masih harus diimpor. “Tapi pemugaran ini secara kebetulan dikerjakan oleh putera Indonesia asli, pribumi,” kata Sudharmono. Puncak cungkupnya setinggi 17 meter, ditambah penangkal petir 1 meter. Bertingkat tiga, puncak itu lambang “ingat, percaya dan patuh kepada Tuhan.” Puncak teratas disebut mustoko (kepala). Seluruh kompleks makam memang sarat dengan perlambang. “Bentuk dan wujud makam ini sengaja dirancang sedemikian rupa, yang memuat lambang-lambang yang mempunyai arti atau nilai yang dalam bagi kehidupan manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Presiden Soeharto dalam pidato peresmiannya. Misalnya tiga tingkat kompleks makam: pelataran atau plaza, teras sekeliling makam dan lantai makam. KETIGANYA lambang kehidupan manusia. Yaitu alam purwa (dalam kandungan), alam madya (lahir dan hidup di dunia) dan alam wasana (sesudah meninggal). Menurut Sudharmono, Presiden pribadi dan Ny. Tien sejak semula menaruh perhatian khusus, mulai dari falsafah dan lambang-lambang sampai bagian-bagian yang terpermen. Luas kompleks makam seluruhnya 4.852 m FD, dengan biaya Rp 540 juta dari anggaran Presiden yang dikelola Sekretariat Negara. Selain cungkup, ada tiga bangunan pendukung yang terdiri sebuah mesjid, bangsal dan gapura agung. Sementara mesjid diberi nama “R. Soekemi Sosrodihardjo,” bangsal di seberangnya disebut “Ida Aju Njoman Rai.” Luas mesjid hampir 159 m FD, gentengnya dari Cirebon berlapis gla~zuur berkilat. Di bangsal, yang berfungsi sebagai paseban (ruang tunggu), dilengkapi ruang sesaji. Seluruh kompleks makam memang merupakan paduan dari seni bangunan bermotif Jawa, Bali dan Islam. Yang Islam misalnya pagar kompleks makam yang berbentuk lengkungan semacam kubah. Antara mesjid dan paseban, terhampar plaza seluas 625 m FD dari batu andesit asal Muntilan, Jawa Tengah. Di sini ditanam 2 pohon beringin dan sebuah tiang bendera. Bangunan pendukung lainnya ialah gapura agung. Menghadap ke selatan, gapura ini mirip gapura Waringin Lawang di Mojokerto yang diperkirakan peninggalan Mahapatih Majapahit Gajah Mada. Ada lagi bangunan lain sebagai pelengkap. Yaitu rumah juru kunci yang bersebelahan dengan tempat peristirahatan umum serta halaman parkir. Ketiganya berada di luar gapura agung. Adapun taman yang terbentang di sebelah utara (belakang) makam, tampak menghijau seperti rencana semula. Kompleks makam Bung Karno yang disebut Astono Mulyo ini terletak di desa Bendogerit kecamatan Kota Blitar, di tepi Jalan Jenderal Sungkono (d/h Jalan Slamet Riyadi). Jalan sepanjang 1km yang sudah diaspal itu tidak terlalu lebar. Dulunya jalanan kampung, kini sudah dibuatkan trottoir di kiri-kanannya, lengkap dengan 44 lampu mercury. Di seberang kompleks makam adalah kebun penduduk yang kurang terawat. Di sana-sini tampak rumpun bambu. Rumah penduduk umumnya berdinding gedeg. Bisa dimaklum bila para petugas begitu repot ketika ratusan ribu massa berjubel, berdesakan, di jalanan yang tidak terlalu lebar di depan kompleks makam itu. Sejak upacara peresmian dimulai jalan masuk ke makam sudah ditutup untuk umum. Tapi begitu rombongan Presiden meninggalkan kompleks makam, massa menyerbu masuk. DUA buah panser yang disediakan buat pengamanan selama Presiden meresmikan makam tak berdaya menghalau mereka. Apalagi para anggota Polri dan Hansip. Akhirnya didatangkan sepasukan pasukan Anti Huru-hara Yon 511 artileri Brawijaya. Memang tidak terjadi kekerasan. Pasukan itu hanya berjaga-jaga. Tapi seorang copet sempat tertangkap sementara ada pula yang luka parah kejatuhan tembok penduduk yang runtuh. Akhirnya massa bisa ditenangkan setelah diumumkan kesempatan berziarah masih ada selama tiga hari. Dan hari sudah berangsur sore. Sekitar jam 15.30, rombongan demi rombongan digiring masuk. Dibanding tahun lalu pada saat peletakan batu pertama, “demam Bung Karno” di hari peresmian kali ini tidak begitu terasa. Memang ada beberapa warung yang sengaja dibuka mendadak untuk menjual buku atau gambar-gambar Bung Karno, juga warung maka terutama sepanjang jalan menuju kompleks makam dan ke rumah Ibu Wardoyo. Apakah itu berarti penghormatan makin lama hanya soal mau keuntungan?
Bung karno lagi menilai bung karno, setelah blitar

Edi, 20 tahun, dari udik di Subang, mengenal Bung Karno hanya dari cerita orang-orang tua. Juga Jaka Budi, 17 tahun, murid SMA di Jakarta dan anak seorang panglima Kodam, hanya tahu Bung Karno dari teman-temannya, yang ikut grup musik Swara Mahardhika pimpinan Guruh Sukarno. Bila Edi menyangka Bung Karno adalah “orang sakti yang ‘punya banyak jimat”, Jaka menganggap Bung Karno, ‘yah, bagaimana, ya, lumayan, deh.’ Itu pendapat anak muda sekarang. Tapi baik kita dengarkan pendapat orang-orang yang mengenal Almarhum, sebagai berikut: SAJUTI MELIK Sajuti Melik, kini anggota DPR fraksi Karya Pembangunan, menjelang 70 tahun umurnya. Di pertengahan 60-an ia dikenal sebagai penulis risalah panjang “Belajar Memahami Sukarnoisme”, suatu tafsiran tentang ajaran Bung Karno. Pada saat itu, fikiran Bung Karno dalam pidato Manifesto Politik dan lain-lain praktis merupakan semacam “Kitab Suci” bagi seluruh kekuatan olitik yang ada. Siapa yang dianggap menyeleweng kena “ganyang.” Namun penafsiran tentang ajaran itu menimbulkan bentrokan, terutama antara yang pro-komunis dengan yang bukan. Sajuti termasuk yang terakhir. Tapi tulisannya yang disiarkan oleh lebih 50 koran non-komunis, kemudian ternyata dinyatakan “terlarang”. Koran-koran itu kena tindak. Sajuti, yang dalam umur 18 tahun sudah dibuang pemerintah Belanda ke Digul dan “dibesarkan dalam paham Marxisme”, tetap menolak penafsiran Marxis atas ideide Bung Karno. Ia dikucilkan, hingga meletusnya peristiwa G-30-S. Suasana politik berbalik sama sekali setelah Orde Baru lahir 1966. “Sesudah Bung Karno jatuh, orang yang tadinya menyembah-nyembah lantas memaki-maki. Saya sendiri tetap menghargai. Padahal dulu waktu ia masih berkuasa sayalah yang berani menentang konsep Nasakom (persatuan Nasionalis, golongan Agama dan Komunis). Saya katakan Nasakom itu tidak betul, yang betul adalah Nasasos — “sos” dalam arti “sosialis”, yaitu sosialis yang menghargai nasionalisme dan agama. Komunis tidak menghargai agama. Tak mungkin bersatu. Bung Karno terjebak dalam perangkap strategi PKI. Terjebak karena dia tidak tahu. Waktu itu Bung Karno melihat kekuatan yang nyata ada dua, PKI dan ABRI Supaya selamat, keduanya dirangkul. Tidak tahunya, PKI dan ABRI bentrok. Dan kalau keduanya bentrok, yang di atas itu jatuh. Siapapun yang menang. Seandainya PKI menang, Bung Karno juga akan jatuh. Bung Karno menganggap PKI bisa menurut. Tapi tidak bisa. Kelemahan Bung Karno adalah ia suka disanjung. Dan PKI pintar menyanjungnya. Tapi saya tetap menghargainya. Bung Karno juga yang membawa kita kembali ke UUD ’45. MARIA ULFAH SUBADIO Maria Ulfah Subadio, kini 67 tahun, pernah menjadi Menteri Sosial di tahun-tahun awal usia Republik. Ia tokoh Kowani (Kongres Wanita Indonesia). Suami Maria Ulfah adalah Subadio Sastrosatomo, pemimpin PSI yang dipenjarakan Bung Karno. Mereka menikah waktu Subadio dalam status tahanan. “Saya amat kagum kepada Bung Karno semasih jadi mahasiswa di Negeri Belanda. Saya membeli dan membaca karangannya, Indonesia Klaagt Aan atau Indonesia Menggugat. Sebagai aktivis dan seorang pemujanya, saya bungkus baik-baik-buku itu ketika kembali ke Indonesia, dan berhasil lolos dari pemeriksaan. Waktu itu buku itu terlarang di Indonesia. Di zaman Jepang baru saya berhasil bertemu dengan Bung Karno. Pertama kali di gedung pertemuan, sekarang gedung Departemen Penerangan Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Kedua kalinya ketika bersama beberapa tokoh wanita saya diundang Ibu Inggit (isteri Bung Karno waktu itu) ke rumah kediamannya yaitu Jalan Pegangsaan Timur atau Jalan Proklamasi sekarang. Waktu itu belum zaman merdeka. Ibu Inggit baru pulang bersama Bung Karno naik becak. Bung Karno lalu ikut duduk bersama kami. Ah, di situlah terjadi suatu hal yang tak terduga-duga. Ibu Inggit menceritakan riwayatnya dan minta diri karena mau kembali ke kampungnya. Kami pun jadi mengerti ia tak mau dimadu. Mendengar cerita Ibu Inggit, kami pun tak kuasa bicara sepatah pun kecuali menangis semuanya. Tapi Bung Karno tampak tenang saja, sembari sekali-sekali membetulkan duduknya. Kekaguman saya memang sedikit berkurang setelah terjadinya peristiwa itu. Tapi kemudian saya bisa mengerti. Alasan Bung Karno mengawini Fatmawati karena dari Ibu Inggit ia tak bisa punya anak. Saya pun jadi teman baik, juga dengan Fatmawati. Tapi kemudian kekaguman saya mulai luntur, ketika Bung Karno berniat kawin lagi dengan Hartini. Apalagi alasannya? Bukankah dia sudah punya isteri yang cantik dan anak-anak yang lengkap? Nah, ketika ia toh melaksanakan niatnya untuk kawin lagi, saya tak lagi mengaguminya. Dan mulai ragu akan dirinya sebagai pemimpin yang perlu memberi contoh kepada rakyatnya. Ya, dia memang orang besar, tapi anggapan saya terhadap almarhum sebenarnya zakelijk saja. Artinya, tak merasa kehilangan seorang pemimpin. JENDERAL (Pens.) NASUTION Tentang A.H. Nasution tidak banyak diperlukan perkenalan kembali. Ia pernah bekerja dengan Bung Karno sebagai perwira tinggi ABRI yang memegang kunci penting di pemerintahan — tapi penuh dengan pasang surut. Di bawah ini kutipan dari Nasution: “Memanglah selama bertugas dulu ada kalanya saya dalam keadaan akur dan tak akur dengan Bung Karno. Di masa saya pelajar di Bandung, saya telah edarkan dua bukunya terkenal di asrama. Seorang teman yang tertangkap basah membacanya ditindak oleh direktur. Sebagai pemuda saya pernah tinggal satu straat (jalan) dengan beliau di Bengkulu dan selalu kagum mendengarkan uraian beliau. Tapi di akhir masa Jepang, ketika saya sebagai salah seorang pimpinan pemuda dan Barisan Pelopor di Bandung, kami agak kecewa, mengapa beliau masih rajin berbicara Asia Timur Raya sebagai keharusan geopolitis bagi kita. Padahal sikap fasisme militer Jepang sudah tegas, Pemuda telah berkali-kali bentrok dengan Jepang. “Di masa revolusi fisik, . . . walaupun kami kecewa, beliau tak ikut bergerilya dalam Clash II (1948), namun saya yakin Sukarno-Hatta tak bisa diganti. Tanggal 1 Agustus 1948 Pak Dirman yang saya dampingi, di depan Presiden tetap menolak politik pemerintah, sehingga kami pamit dengan sama bercucuran air mata, karena Bung Karno-lah yang menyatakan akan berhenti. Pak Dirman sendiri sebenarnya sudah meneken permintaan berhenti. Saya ajukaan bahwa persatuan pimpinan nasional dengan pimpinan ABRI lebih penting dari soal politik pemerintah. Syukur Panglima Besar (Sudirman) setuju, surat tak diteruskan. Tanggal 1 Oktober 1965 (beberapa jam setelah beberapa jenderal TNI-AD diculik oleh pasukan Gestapu), Jend. Harto, sesuai dengan standing order Angkatan Darat otomatis harus menjadi Pd. Panglima Angkatan Darat. Tapi dari (tempat perlindungannya di) Halim, Presiden Sukarno mengumumkan, bahwa Presiden langsung memegang komando AD. Jend. Pranoto jadi caretaker. Dengan proses tadi terasa sejak 1952 Bung Karno ingin langsung memimpin ABRI . . . Dari pengalaman saya dengan kepemimpinan beliau, terbuktilah kebenaran ajaran agama, bahwa prinsip-prinsip yang diyakinilah yang mustinya memimpin kita. Pribadi pemimpin kita ikuti selama ia committed (bersetia) kepada prinsip itu. Bagaimana pun, Bung Karno adalah pemimpin yang besar. Beliau sudah masuk dalam penjara unuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya sadar akan perjuangan kemerdekaan. Walaupun saya pribadi telah jadi sasaran beliau terus menerus sejak mulai kampanye Nasakom, namun saya tetap sadari jasa beliau untuk kemerdekaan dan identitas nasional adalah besar.” SITOR SITUMORANG Penyair ini, 55 tahun, dulu tokoh organisasi kebudayaan Partai Nasional. Ia sejak Demokrasi Terpimpin bermula sampai menjelang meletusnya peristiwa G-30-S, sangat menonjol di kalangan atas politik. Ia ikut memimpin kampanye menyerang para seniman penandatangan Manifes Kebudayaan yang dicetuskan di tahun 1963 — misalnya H.B. Jassin, Zaini, Rendra, Taufiq Ismail. Manifes itu kemudian dinyatakan “terlarang” oleh Bung Karno dan para penandatangannya tersingkir dari kancah kebudayaan. Sitor sendiri kemudian tersingkir, dalam tahanan, sejak awal Orde Baru sampai ia dibebaskan kembali hampir empat tahun yang lalu. “Bung Karno adalah seniman. Ia mempunyai rasa seni dan indah sendiri. Tapi tak berarti ia tak menyukai rasa indah orang lain. Ia sangat toleran dalam hal ini. Saya pernah diperkenalkan kepada Presiden Nasser dari Mesir, “Ini penyair kenamaan Indonesia, tapi saya tak suka sajak-sajaknya.” . . . Saya yakin, beliau tak pernah suka membaca karya sastra. Kalau karya seni lainnya, lukis, patung, film, sandiwara, musik, dia senang dan bisa menikmati. Saya sangat kagum pada pemikiran Bung Karno mengenai masalah kebudayaan. Ia orang Jawa yang mengerti kebudayaan Jawa. Tapi ia bisa mencerminkan rasa nasionalnya dan suku lain tidak merasa tersinggung . . . Jangan diartikan, nasionalisme Bung Karno sekedar mengusap-usap arca atau memuja masa lampau. (Sebagai pemimpin) Bung Karno terlalu mendasarkan diri pada gerak spontan. Ini didasarkan latar belakangnya sendiri. Ia dilahirkan sebagai tokoh secara spontan, tanpa melalui kaderisasi formil dalam organisasi. Maka Bung Karno kurang membenahi organisasi dan terlalu yakin akan munculnya tokoh secara spontan seperti dirinya. Ia kurang memikirkan organisasi, itulah kelemahannya. Tapi sebagai ideolog dan pemikir beliau belum tersusul oleh orang lain. HERAWATY DIAH Tokoh wartawan wanita yang kini aktif di bidang usaha ini — juga isteri B.M. Diah, pemilik harian Merdeka — tak begitu siap untuk mengingat-ingat catatannya tentang Bung Karno dalam satu wawancara singkat. “Yang saya ingat sewaktu jadi redaktur Merdeka sekitar tahun 50-an, dia begitu berperhatian kepada orang banyak, terutama wartawan. Dalam perjalanan di dalam negeri, dia menyuruh kami makan di ujung meja dekat gubernur, sehingga wartawan dapat mendengar langsung apa yang dikatakan oleh pemimpin republik. Dan ia selalu ingat nama orang. Di masa akhirnya ia tak mau mendengarkan nasehat baik dari kawan-kawannya, dan seakan-akan menggali kuburannya sendiri. Ketika di masa belakangan saya melihat ketimpangannya, saya pernah bertanya kepada Abdul Kadir Pringgodigdo, teman lamanya. Pak Pringgo menjawab: “Kalau Bung Karno kini senang akan foya-foya, terlalu sering ke luar negeri, itu karena di masa mudanya dia tak merasakan hal itu. Ketika tualah semua itu dikejarnya.” Teman-temannya selalu memberikan “maaf” kalau Bung Karno berbuat yang berlebihan. Dia memang selalu penuh atensi dan gallant kepada wanita. Biarpun dengan wanita yang sudah tua. HARRY TJAN SILALAHI Anggota Dewan Pertimbangan Agung termuda ini, 45 tahun, di masa muda adalah tokoh terkemuka organisasi mahasiswa Katolik PMKRI. Di tahun 1965-1966 ia tak lagi tokoh mahasiswa, sudah sarjana hukum dari UI dan orang penting dalam Partai Katolik, tapi ia dekat dengan anak-anak muda yang waktu itu aktif menghadapi Orde Lama — dan kian lama kian terus terang menentang Presiden Sukarno. Bersama Almarhum Subchan, tokoh NU, Harry aktif memimpin komando “pengganyangan Gestapu.” Harry sendiri merasa bahwa Bung Karno tak mengenalnya. “Bung Karno adalah putera dari jamannya. Ia telah menjawab panggilan jamannya dengan gemilang dan baik. Tapi, seperti tokoh lainnya, setelah jamannya berubah, tentu saja peranannya juga bergeser. Seorang yang besar ahli melukis tapi lantas disuruh membuat patung ya mungkin tidak bisa — padahal waktu itu yang laku adalah patung. Demikianlah ibaratnya Bung Karno. Di samping itu, umur Bung Karno (menjelang 1965) juga sudah tua, dan semakin kurang dinamis. Dalam karya besarnya persatuan bangsa, ia ternyata tak bisa menghilangkan unsur-unsur yang bisa menyeleweng, meskipun sudah diberitahu. Menurut saya, setelah terjadinya Gestapu, kita semua telah berusaha meyakinkan Bung Karno untuk membubarkan PKI, menghukum para pelaku Gestapu dan dalang-dalangnya. Tapi nampaknya Bung Karno malu mundur — maklum “penyakit” orang tua. GANIS HARSONO Bekas diplomat terkemuka yang kini berumur 57 tahun ini, pernah jadi deputi Menteri Luar Negeri, sekarang mungkin akan lebih dikenal melalui bukunya yang terbit di Australia, Recollections of an Indonesia Diploma, kenangan seorang diplomat Indonesia dari masa politik luar negeri yang aktif ke segenap penjuru dunia di bawah Bung Karno dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Ganis menyertai perjalanan Bung Karno di AS dan Uni Soviet, dan menjadi “penghubung” Presiden dengan pers dunia. “Saya punya pendapat bahwa seorang pemimpin dapat produktif hanya dalam masa satu windu, delapan tahun. Bung Karno juga demikian. Ia benar-benar mulai memimpin 1957, dan setelah delapan tahun ia “meninggal” — dalam tanda kutip. Selama delapan tahun itu ia berhasil mengajak teman-temannya untuk membereskan banyak hal. Setelah itu, ia harus menyiapkan penggantinya. Siapa penggantinya? Nonsens bila orang mengatakan itu Aidit, atau Subandrio, atau Ruslan Abdulgani. Orang tidak akan memilih satu orang. Dia akan memilih satu kekuatan yang ampuh, dan itu ABRI. Kini saya bisa katakan (peresmian makam) Blitar merupakan tonggak sejarah baru. Tidak buat rakyat. Tapi bagi yang sedang menjalankan pemerintahan. Dengan adanya Blitar, segala ruwet renteng itu hilang. Tak perlu lagi menyebut-nyebut Orla, Orba. Kalau ada orang yang membandingkan Orba dengan Orla, berpendapat Orla jelek Orba bagus, orang itu harus ditest kesungguhannya. MOH. ROEM Tokoh diplomat Indonesia di masa perundingan dengan Belanda ini, yang juga tokoh partai Masjumi yang kemudian dinyatakan “terlarang” oleh Bung Karno, kini 71 tahun. Di tahun 1960-an bersama beberapa orang lain, antara lain wartawan Mochtar Lubis, dipenjarakan pemerintah Sukarno. Roem sendiri menyatakan bukan orang yang termasuk kalangan intim dengan Bung Karno. “Ia intim dengan guru saya, Haji Agus Salim,” kata Roem. Saya memang dipenjarakan oleh Bung Karno, tapi semua orang menyatakan saya tak benci Sukarno, seperti Syahrir juga — yang meninggal dalam tahanan Sukarno –tak membenci Bung Karno. Saya pikir-pikir memang tak ada gunanya. Cuma membawa penyakit saja. Ada cerita dalam penjara. Subadio Sastrosatomo yang juga dipenjara tiap malam menuruti pesan ibunya jangan tidur sebelum jam 12, karena harus berdoa sedikit di luar kamar. Doanya: “Mudah-mudahan Tuhan mengampuni dosa Sukarno” Karena ibunya tahu, nanti anaknya bisa benci sama Sukarno. Dan saya bagaimana? Saya memang tidak senang dipenjarakan. Sukarno memenjarakan orang tak bersalah itu haram. Tapi saya tidak memintakan ampun kepada Tuhan. Barangkali memang lebih baik sebagai orang Islam saya memintakan ampun, tetapi saya tidak sebegitu baiknya. Lagipula saya berpikir mengapa mintakan doa pengampunan bagi orang yang tidak merasa bersalah. Bung Karno memang kurang senang kepada Masjumi dan pemimpinnya, sebab kami tak mau mengakui demokrasi terpimpin. Bung Karno menghubungkan kami dengan pemberontakan PRRI. Padahal sebagai partai Masjumi menganggap PRRI tak sesuai dengan UUD. Tapi Bung Karno sendiri, dengan mengangkat diri sendiri sebagai formatir kabinet waktu itu, juga tak sesuai dengan UUD. Bagaimana menyelesaikannya? Damai. Tapi Bung Karno yang menjadi diktatur membubarkan ini dan itu. Kini penilaian saya terhadap Bung Karno tetap, tak perlu saya ubah. Waktu Bung Karno dipuja-puja orang, saya tahu dia orang besar. Tapi saya tak pernah ikut-ikut, seperti juga saya tak perlu ikut menginjak-injak dia dulu. SOEDJATMOKO Soedjatmoko, 55 tahun, bekas Dubes Indonesia di AS dan budayawan terkenal, berbicara tentang Bung Karno: “Bung Karno menganjurkan saya untuk masuk politik, setelah 1945. Tapi ada dua hal yang dia pesan. Pertama, katanya, “Kamu jangan masuk PSI.” Waktu itu saya belum PSI, dan baru masuk PSI menjelang pemilu pertama 1955. Kedua, dia katakan, “Kamu mesti kawin.” Saya katakan kepadanya saya waktu itu tidak sedang jatuh cinta. Dia berkata: “Kamu janji pada saya bahwa kamu akan terima pilihan saya untukmu.” Saya tertawa dan menjawab “Bung, kita ‘kan berjuang untuk menegakkan kemerdekaan, dan bukan untuk menyerahkannya kembali — kepada Bung.” Bung Karno menjawab “Ah, kamu . .” Dia marah kepada saya di tahun 1958. Ketika itu dia minta saya ikut masuk dalam kabinet. Saya memang menolak. Saya baru bertemu kembali dengan beliau setelah 11 Maret 1966. Ketika itu saya baru kembali dari sidang umum di PBB, sebagai wakil ketua delegasi Indonesia. Roeslan Abdulgani ketuanya. Saya waktu itu melapor kepada Bung Karno karena dia masih menjabat sebagai presiden. Ia menanyakan secara mendalam, apa sebenarnya yang sedang terjadi di RRC dengan pecahnya “revolusi kebudayaan” (sekitar 1966). Siapa yang akan tampil sebagai pemenang? Dia berkata: “Kalau Mao yang menang, itu berarti revolusi-revolusi besar di dunia masih belum habis.” Jawaban saya: Mao kira-kira akan menang, tapi kekuatannya mulai rapuh. Waktu itu Bung Karno tampak prihatin sekali tentang yang terjadi di RRC — dan juga di Indonesia. Sukarno adalah seorang romantikus tapi juga seorang visioner yang besar. Dalam pandangan dunianya dia tak salah. Saya kira malah banyak benarnya. Cuma terlalu pagi untuk bisa dijadikan landasan, hingga akibatnya Indonesia jadi terisolir. Banyak kejadian di dunia kini misalnya sudah terbayang dalam pandangannya dulu. Tapi garis pertumbuhan suatu bangsa tak hanya ditentukan oleh seorang semata, betapa besarnya pun orang itu. KARNA RADJASA Hubungan dengan Bung Karno secara langsung terjadi setelah ia berusia sekitar 15 tahun. Ketika Ali Sastroamidjojo (ayahnya) menjadi Menteri PPK ia sering mengantar ibunya ke istana, bertemu ibu Fat. “Waktu itu Bung Karno masih di Yogyakarta, dan kami diajak makan bersama. Saya masih ingat, nasinya jagung.” Hubungan yang dimulai sejak masa kanak-kanaknya kemudian berkembang sampai ia dewasa. Sepulang dari AS pada 1955, Karna sering bertemu dengan Bung Karno, terutama pada 1960, ketika Bung Karno selalu menghindari untuk bicara politik dengan Ali Sastroamidjojo. “Rupanya. Bung Karno menghendaki agar Pak Ali selalu membenarkan gagasannya. Ini yang tidak bisa diterima Pak Ali,” kata Karna. Peranan sebagai “perantara” itu kemudian berlanjut, ketika Karna Radjasa kadang diminta untuk bicara soal partai dengan Bung Karno. “Terutama pada 1963-1964 waktu saya menjadi salah satu pimpinan DPP PNI,” katanya. Tapi ia berkesan Bung Karno itu menaruh rasa hormat kepada ayahnya. “Barangkali itu disebabkan Pak Ali punya dukungan kuat di kalangan muda partai,” tambahnya. Karna berpendapat dalam kehidupan sehari-hari Bung Karno itu tidak hipokrit. “Ia polos, blak-blakan, jujur,” katanya. “Tapi dalam politik mengapa ia tak berterus terang dengan orang-orang yang dekat atau kawannya?” tanyanya. “Ini yang sampai sekarang saya tidak mengerti.”