Tempo
05 Februari 1977. SIAPA tak kenal Kasimo? Politikus kawakan, bekas ketua Partai
Katolik dan salah seorang tokoh Liga Demokrasi itu, usianya kini mendekati 77
tahun. Cukup uzur memang. Tapi ketawanya yang lebar, khas dan tulus, masih saja
menghiasi wajahnya.
Melihat
kepincangan-kepincangan misalnya, ia tak mengeluh. Bukan karena sudah puas
diri, tapi “kesadaranlah yang menuntun untuk menerima segala apa yang terjadi”,
katanya. Menikmati masa tuanya, ia sekarang merasa cukup bahagia. Dengan 6 anak
— seorang meninggal – berikut 7 cucu, ia habiskan waktu sehari-harinya dengan
membaca. Juga mendengarkan gending-gending Jawa. Kadang-kadang pagi hari jalan
kaki mengitari kawasan Menteng, tempat ia bermukim. “Tapi sejak dulu saya tak
biasa olahraga, kecuali sekedar jalan kaki”, katanya. Dan sekarang, karena
merasa fisiknya sudah lemah, ia tak lagi nonton wayang kulit yang juga termasuk
kegemarannya. “Paling-paling nonton wayang orang di TIM. Itu pun tidak sering”.
Kompi Mantrijero Sebagai pensiunan Kasimo tak begitu terlantar. “Total
jenderal, setiap bulan saya menerima sekitar Rp 60.000″, ia tersenyum lebar.
Uang sejumlah itu ia dapatkan dari berbagai sumber: pensiun sebagai pegawai
negeri Departemen Pertanian, pensiun-pensiun Menteri, anggota DPR dan anggota
DPA. Selain itu masih ada lagi tambahan dari beberapa perusahaan swasta tempat
ia duduk sebagai komisaris. Sudah setua itu, ternyata ia tak merasa kehilangan
‘keberadaannya’ di tengah masyarakat. Tak menyebut secara jelas bahwa apa yang
ia cita-citakan belum terlaksana dengan sempurna, ia menilai untuk tingkat
sekarang kemajuan bangsa memang sudah ada. Yang belum tercapai adalah keadilan
sosial, “sebagai salah satu usaha mengisi kemerdekaan yang harus dipenuhi”.
“Coba lihat. Setiap malam TVRI menampilkan Pancasila. Di situ kan jelas bahwa
salah satu silanya adalah Keadilan Sosial. Maka sepantasnya sila itu
benar-benar diterapkan”, katanya. Itulah sebabnya secara serius ia pun
menanggapi anjuran Presiden untuk “hidup sederhana”. Tapi untuk terlaksananya
anjuran itu, kata Kasimo, diperlukan suri tauladan. “Sayang, para penganjur
‘hidup sederhana’ kurang memberi teladan, hingga anjurannya kurang mantap”.
Namun terhadap generasi muda sekarang, ia menaruh kepercayaan besar, sementara
ia pun menyadari bahwa setiap generasi tentupunya ciri masing-masing. “Tak
sedikit kaum muda sekarang yang punya cita-cita luhur”, ujarnya. Adapun
terhadap sikap pragmatis dan moderat yang khas angkatan muda kini, ia tak lupa
memberi peringatan” asal hal itu jangan sampai mengorbankan prinsip”. Lebih
dari itu, orang tua itu wanti-wanti berpesan agar anak-anak muda menghayati
hidup sederhana dan jujur. “Itu modal besar bagi perjuangan bangsa untuk
mengisi kemerdekaan”. Kasimo lahir di Yogyakarta 15 April 1900. Sejak dulu,
putera prajurit kompi Mantrijero dari Kraton Kesultanan Ngayogyakarto
Hadiningrat ini memang sudah terbiasa hidup sederhana. Ia anak kedua dari 11 bersaudara.
Salah seorang saudaranya, Kasijo, masih menjabat Direktur SMA De Britto Yogya.
Orangtuanya, Rono Sentiko, menghidupi keluarganya dari sawah seluas 8 bau. Itu
pun didapat sebagai imbalan dari Kraton. Dan sehari-hari pak Rono menjahit
untuk menarnbah penghasilan. Ibunya, anak bekel Glagah Mujamuju, rupanya juga
bukan orang yang suka berpangku tangan. Ia ikut mengatasi kekurangan dengan
membuka perusahaan batik kecil-kecilan. Buruhnya hanya beberapa orang. Kasimo,
juga saudara-saudaranya yang lain ikut membantu usaha ini. “Sepulang sekolah
saya biasa mengikis lilin dalam proses pembantikan”, katanya mengenang masa
kanak-kanaknya. Adu Kecik Umur 8 tahun ia baru masuk sekolah. Lantaran bukan
dari keluarga amtenar, Kasimo hanya bisa masuk sekolah dasar Boemipoetera II di
Gading yang hanya 4 tahun (Boemipoetera I sampai 5 tahun). Sesuai dengan status
dan kemampuan orang tua, Kasimo cuma kebagian pendidikan terendah. Untung, ia
bermodal kemauan keras. “Ibu yang biasa kerja keras, telah mendorong saya bekerja
keras pula”, katanya. Dan hal ini benar-benar memberi hikmah yang tak sedikit
di kemudian hari. Hampir selesai SD, ia mendapat tawaran belajar dari Pastor
van Lith di Kweekschool (Sekolah Guru) Muntilan. Setiap akhir tahun pastor ini
biasa mendatangi sekolah-sekolah pribumi, mencari calon-calon siswa Sekolah
Guru yang dipimpinnya. Dan guru Kasimo, pak Sastroprawiro, mencalonkan tokoh
kita ini untuk pendidikan di Muntilan itu. Inilah langkah pertama yang akan
membawa perubahan dalam kehidupan Kasimo di kemudian hari. Kasimo benar anak
kampung. Tapi ia lain dari teman-teman sebayanya. Barangkali karena sibuk
membantu orang tua, ia tak sempat bermain di luar rumah. Ia pun tak suka
berkelahi. Di masa kecilnya dulu, perkelahian antar kampung sering terjadi. “Jagoannya
adalah anak-anak Karangkajen”, tuturnya. Masa kanak-kanaknya, sesungguhnya ia
lalui biasa saja. Kalau lagi tak ada pekerjaan, ia cuma main adu kecik (biji
buah sawo). “Tapi saya tak pernah bertaruh”. Orang tuanya penganut agama Islam,
meski lebih berat pada Kejawen. Pada bulan Puasa Kasimo juga ikut berpuasa dan
sembahyang tarawih. Namun untuk berebut memukul bedug — seperti yang dilakukan
teman-temannya, yang biasa beraknir dengan perkelahian — ia hampir tak pernah.
Kalau ikut sembahyang, ia tak lebih dari hanya ikut-ikutan – sebab pendidikan
agama Islam hampir tak pernah ia terima. “Saya memang sembahyang, tapi tak bisa
mengikuti bacaannya”, katanya. Orang tua Kasimo sampai akhir hayatnya tetap
dengan Kejawennya, tapi semua saudaranya – kecuali kakaknya tertua – memeluk
Katolik. Di Kweekschool Muntilan dia menemukan lingkungan yang sama sekali
lain. “Di sini anak-anak agak alim”, katanya. “Pembicaraan yang keporno-pornoan
sudah tidak terdengar lagi”. Dan rasa kagumnya tak tersembunyikan lagi, terutama
melihat para siswa Sekolah Guru yang begitu disiplin. Di sekolah ini pulalah ia
berkenalan dengan Soegijopranoto – yang kemudian hari menjadi Monsigneur — yang
waktu itu duduk di kelas IV. Selama setengah tahun pertama Kasimo mulai
berkenalan dengan agama Katolik. Baru Pakai Sepatu Meski tak ada anjuran, ia
selalu mengikuti upacara agama. Secara teratur ia pun mempelajari agama dari
Pastor van Drees. Dan tepat setengah tahun berikutnya ia dibaptis dengan nama
Ignatius Josephus. Maka sahlah ia sebagai umat Katolik, dan di kemudian hari
menjadi salah seorang tokoh cukup berpengaruh dan dihormati. Selesai di
Muntilan, tahun 1918 ia mendapat tugas belajar 3 tahun di Sekolah Pertanian
Bogor. Di sinilah ia berkenalan dengan pergerakan kebangsaan, Jong Java. Bankan
tahun 1920 menjadi ketua Jong Java cabang Bogor. “Dan sejak tahun itu saya baru
mengenakan sepatu”, katanya tersenyum. Selesai sekolah di Bogor, langsung
bekerja di Perkebunan Karet Merbuh, dekat Semarang. Tapi baru 6 bulan sudah
konflik dengan Sinder Kepala, seorang Belanda totok. Sebabnya sederhana saja.
Pada suatu hari seorang buruh dipecat. Oleh Kasimo, si buruh dipekerjakan
kembali di bawah pimpinannya. Hal itu tentu saja bikin tak senang sang Sinder
yang kemudian melaporkannya Lepada Administratur Perkebunan. Tanpa selidik,
Administratur pun memanggil Kasimo. “Saya dimaki-maki, diumpat . selgai anak
monyet”, kata Kasimo. Dan hari itu juga Kasimo dipersilakan meninggalkan
perkebunan. “Ini sungguh menyakitkan”, kata Kasimo. “Kok saya diusir begitu saja
oleh orang Belanda yang asing itu dari bumi saya sendiri. Ini kan buminya orang
Jawa”. Begitu pikirannya waktu itu. Kasus ini mempersubur rasa bencinya
terhadap Belanda. Dan akhirnya mendorongnya turut serta dalam kegiatan politik
melawan penjajah. Dari Merbuh Kasimo pindah ke Tegalgondo, mengajar pada
Sekolah Pertanian Rendah di sana, sampai 10 tahun. Di masa itulah ia ikut serta
mendirikan Pukemvalan Poelitik Katolik Djawi bersama 40 orang bekas siswa
Kweekschool Muntilan. Sejarah berdirinya PPKD tak bisa dilepaskan dari usaha
umat Katolik pribumi dalam menentukan sikap terhadap kaum kolonialis. Dulu
banyak orang Katolik menjadi anggota Boedi Oetomo. Semula mereka “krasan”,
sebab BO bersikap netral terhadap semua agama. Tapi ini tak berlangsung lama. Tahun
1917-1918, mereka keluar dari BO. Tentang hal ini, Kasimo yan tahun 1924
menjadi ketua PP KD menulis dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia: “Meskipun
kita dengan partai-partai nasional itu mempunyai kepentingan-kepentingan
nasional bersama, namun di sana kita merasa kekurangan satu hal yang sangat
penting, yaitu perhatian terhadap soal agama Katolik di bidang politik. Memang
sewajarnya, bahwa suatu partai netral tidak dapat memperhatikan
kepentingan-kepentingan agama, dan berdasarkan azas netralnya malahan tak boleh
berbuat demikian. Lain dari pada itu, meskipun tujuan-tujuan nasional golongan
Katolik bangsa kita sama dengan tujuan-tujuan partai netral, namun penentuan
memilih syarat-syarat untuk mencapai tujuan tersebut dapat berlainan sama
sekali, karena azas dan keyakinan berlainan”. Setelah itu, orang-orang Jawa
Katolik masuk Indische Katholieke Partij (IKP). Di sini berkumpullah Jawa dan
Belanda Katolik. Tapi masuknya Jawa-Jawa Katolik di sini juga tak bertahan
lama. Semangat nasionalis lantaran pengaruh selebaran van Lith banyak membuka
mata dan hati Katolik-Katolik pribumi. Salah sebuah tulisan van Lith antara
lain: “Setiap orang tahu, kami para misionaris ingin bertindak sebagai
penengah. Tetapi setiap orang tahu juga, bahwa seandainya terjadi perpecahan
meskipun hal itu tak kami harapkan sedangkan kami terpaksa memilih – kami akan
berdiri di pihak golongan pribumi”. Sikap Ndoro Itulah sebabnya Kasimo ingin
mengreksi, seolah ada konflik antara dia dengan PrKD ketika menanda-tangani
“Petisi Soetardjo” (TEMPO, 1 Januari 1977). “Waktu itu PPKD sudah keluar dari
IKP. Resminya keluar sejak 22 Pebruari 1925″, ia menjelaskan. Mengalami
masa-masa pergerakan kebangsaan cukup banyak pahit getir perjuangan ia terima.
“Ketika masih sama-sama dalam BO, kami dicurigai sebagai pro-Belanda. Padahal
kerjasama kan sulit dilakukan kalau ada kecurigaan”, katanya. Namun ia
mengakuibahwa kesadaran politik nasionalnya tumbuh justru dari orang Belanda,
yaitu ketika Pastor van Lith menerbitkan brosur tahun 1922. Tapi juga lantaran
rasa kurang enak terhadap cara-cara Belanda memerintah. Di masa
kanak-kanakannya dulu ia sering ke rumah kakeknya di Glagah. Di sana ia
menyaksikan para sinder Belanda totok atau Indo yang over acting. “Pengetahuan
mereka sebenamya tak seberapa. Tapi sikapnya macam ndoro saja”, ujar Kasimo.
Maka kegiatan van Lith yang pantang menyerah membela kepentingan pribumi, telah
mempertebal rasa percaya pada diri sendiri. Tahun 1930, PPKD berubah nama
menjadi Persatoean Poelitik Katolik Indonesia — sesuai dengan perkembangan
agama Katolik yang waktu itu sudah menyebar ke seluruh Nusantara (Tahun 1915,
30 juta jiwa dari penduduk pulau Jawa, 2.425 di antaranya beragama Katolik).
Sejak 1931, PPKI menduduki satu korsi di Volksraad (Dewan Rakyat), terpisah
dari IKP. Dan sampai Jepang masuk (1942), wakil PPKI adalah Kasimo. Salah atu
pidato Kasimo (dalam bahasa Belanda) depan sidang Dewan Rakyat 19 Juli 1932
antara lain berbunyi: “Bersama ini saya menyatakan bahwa suku-suku bangsa
Indonesia yang berkumpul di bawah kekuasaan Negara Belanda menurut kodrat punya
hak untuk memupuk dan membina existensinya sebagai bangsa sendiri. Dan
karenanya mereka punya hak berusaha ke arah penataan negara sendiri sebagai
sarana guna menyelenggarakan kesejahteraan rakyat sesuai dengan kepentingan
nasional, jadi sesempurna mungkin. Ini mengandung arti, bahwa adalah menjadi
tugas Kerajaan Belanda yang sebagai negara berkebudayaan, terpanggil untuk
membantu rakyat seluruhnya. Dan sebagai negara penjajah, khusus tertunjuk
memimpin serta menyelesaikan pendidikan bangsa Indonesia dan selanjutnya sesuai
dengan tingkat kemanfaatannya bagi kesejahteraan rakyat, memberikan wewenang
kepada bangsa Indonesia untuk mengurus dan akhirnya memerintah negara sendiri”.
Pernyataan Kasimo yang jelas-tegas itu rupanya mengundang IKP mengeluarkan
manifes yang antara lain menyebutkan bahwa “memerintah negara sendiri tidaklah
sama artinya dengan ‘kemerdekaan’ bangsa”. Reaksi Kiri Sejarah hidup Kasimo
memang tak bisa lepas dari kebangkitan politik kaum Katolik Indonesia.
Sepanjang hidupnya ia memegang peran penting dalam menentukan corak
pemerintahan dengan asprasi yang ia bawakan. Apa yang di ungkapkan oleh bekas
tokoh partai Masyumi dan bekas Menlu, Mr. Moh. Roem, tentang Kasimo,
mencerminkan sikap Kasimo yang bersih dan jelas. Roem mengungkapkannya dalam
acara merayakan “Ulangtahun ke-75 Besar” dari Kasimo tahun lalu di Aula Unika
Atmajaya. Begini. Tahun 1947, Belanda tak mematuhi gencatan senjata dan menolak
pengunduran diri dari daerah-daerah yang didudukinya. Sikap AS di Dewan
Keamanan PBB tanggal 9 Oktober pun sangat mengecewakan fihak Indonesia. AS
justru mendukung Belanda. Kenyataan ini tentu saja mengundang reaksi keras
orang-orang kiri di Indonesla dengan melontarkan kata-kata seperti: imperialis,
kolonialis dan sebagainya. “Tapi tak demikian halnya dengan Kasimo”, tutur Roem
malam itu. “Dia menggunakan caranya sendiri yang menyentuh hati”. Dalam sidang
DPR 1 Nopember 1947, Kasimo yang waktu itu Wakil Menteri Kemakmuran dan ketua
Partai Katolik mengemukakan: “Rakyat Indonesia tidak mengerti mengapa
negara-negara besar tertentu begitu menyolok berfihak kepada Belanda dan
menolak mengakui hak kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri bagi bangsa
Indonesia. Padahal mereka sendiri ikut menanda-tangani Piagam PBB yang mengakui
adanya hak-hak itu bagi semua bangsa”. Menurut kesaksian Roem, pernyataan
Kasimo yang sederhana itu justru besar pengaruhnya dalam merubah sikap AS. Bisa
difaham kalau pada malam peringatan ulang-tahunnya itu ia mendapat penghormatan
dan pujian dari sesama rekannya. Tokoh yang tak kenal kompromi ini malam itu
masih sempat duduk berdampingan (untuk terakhir kali) dengan almarhum
Soetardjo, pencetus “Petisi Soetardjo” yang terkenal itu. “Kasimo adalah tokoh
sederhana dan jujur”, ucap drs. Frans Seda malam itu, yang mewakili umat
Katolik. “Jujur dalam arti mengatakan ‘ya’ secara terus-terang pada apa yang
disetujuinya dan mengatakan ‘tidak’ terhadap apa yang ditolaknya”. Sikap itu
ditunjukkannya tahun 1959 ketika parpol-parpol dipanggil Presiden Soekarno ke
Istana untuk membicarakan Demokrasi Terpimpin, sekaligus pembentukan Kabinet
Kali Empat. Walaupun suasana waktu itu sungguh sulit, tapi toh ada 2 orang yang
berani menyatakan ‘tidak’. Pertama Moh. Natsir dari Masyumi yang merumuskan
penolakannya dalam sebuah pidato. Kedua Kasimo yang hanya mengemukakan dengan 2
kata: “tidak setuju”. Dan dia pun mendahului penolakannya dengan…. senyum
lebar. Menghadapi PKI sekitar tahun 1950-1959, ia cukup akrab dengan
tokoh-tokoh Masyumi dan PSI. “Kita ketika itu tertarik pada perjuangan melawan
komunis yang kami anggap merupakan bahaya paling besar”, katanya. Kemudian
ketika menghadapi Konsepsi Presiden Soekarno (1959) yang lebih banyak memberi
angin kepada PKI. Juga dalam hal program beberapa kabinet, baik Masyumi maupun
Partai Katolik sama-sama memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan pendidikan.
Kasimo menjabat Menteri Perekonomian pada Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
12 Agustus 1955 – 25 Maret 1956. Percaya pada diri sendiri, dalam setiap
kerjasama Kasimo tak pernah ragu dan saling curiga. Itulah sebabnya ia pun
akrab dengan beberapa tokoh Masyumi tadi, seperti Natsir, Roem dan Prawoto
Mangkusasmito. Isteri Prawoto bahkan masih sepupu nyonya Kasimo. Mengenai ide
negara Islam yang sekitar tahun 50-an santer dalam sidang konstituante, Kasimo
menanggapinya biasa-biasa saja. “Bagaimana pun Islam toh percaya pada
Ketuhanan. Kalaupun mereka berjuang untuk negara Islam, itu adalah keyakinan
mereka. Berjuang atas nama keyakinan sangat saya hormati”, kata Kasimo pekan
lalu, di rumahnya yang sederhana kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO. Kerjasama
antar partai seperti itu dibuktikan lagi ketika Soekarno memaksakan
konsepsinya, lalu membubarkan Parlemen hasil Pemilu 1955. Beberapa partai
menentangnya: Masyumi, Partai Katolik, PSI, NU, IPKI. Bersama Prawoto, Roem,
Subadio Sastrosatomo KHM Dahlan, HJC Princen, Kasimo membentuk Liga Demokrasi
(24 Maret 1960) yang bertujuan menegakkan demokrasi di Indonesia. Meski umurnya
tak begitu lama karena kemudian dibubarkan Soekarno, namun menurut Kasimo
peristiwa itu telah sempat mempererat hubungan teman-teman seide. Akibat
dibubarkannya Liga Demokrasi — kemudian Soekarno membentuk DPR-GR — secara
perlahan-lahan Kasimo pun mulai meninggalkan gelanggang percaturan politik.
Beberapa teman separtai berpendapat, sebaiknya Kasimo tak lagi menduduki
jabatan ketua umum dan untuk sementara lebih baik tidak tampil ke muka. Sebagai
gantinya dipilih drs. Frans Seda, tokoh muda. Maka Kasimo pun hanya duduk
sebagai anggota DPA, jabatan yang dipegangnya sejak Agustus 1959. Gending Di
Gereja Sebagai tokoh awam (bukan ulama) Katolik, Kasimo tak sedikit berperan
mewarnai wajah perkembangan agama Katolik di Indonesia. Ia menyetujui pendapat
Mgr. Soegijopranoto, “agar dalam praktek melaksanakan aturan agama, ada
adaptasi atau penyesuaian sikap”. Artinya, “tanpa mengurangi esensi agama,
tidak salah kalau dilakukan penyesuaian dengan adat-istiadat setempat”, tambah
Kasimo. Tapi sebagai orang Jawa, Kasimo tak banyak tahu tentang Kebatinan atau
Kejawen, dan karenanya tidak dapat berkomentar. Yang pasti, menurut Kasimo,
pengaruh Jawa mulai terasa dalam upacaraupacara sembahyangan di gereja-gereja
Katolik. Di sebuah gereja Sala misalnya, gending-gending Jawa telah
menggantikan suara orgel yang Barat itu. Dan setelah berjuang bertahun-tahun,
kini Kasimo menyayangkan arus pertentangan antar agama yang semakin terasa.
“Dan itu terjadi di tengah gencarnya kampanye kerukunan agama. Tapi itu juga
akibat sikap beberapa oknum yang ovet actzng”, katanya. Ia menunjuk kasus di
Serang. DPRD Kabupaten Serang, katanya, telah melarang dilakukannya upacara
keagamaan di luar tempat ibadah. “Aturan seperti itu berbeda sekali dengan
jaman dulu”, katanya. “Saya sendiri kurang mengerti mengapa bisa terjadi
begitu. Kalau itu dikeluarkan oleh rakyat yang tak mengerti, apa boleh buat”,
tambahnya. Di Cilegon, Serang, karena belum ada gereja, umat Katolik di sana
menggunakan gedung sekolah sebagai tempat beribadat. Dan inilah yang dilarang.
Kasimo lalu membandingkan kehidupan rukun di masa-masa lalu. Di Serang, ketika
Hussein Djajadiningrat menjadi tokoh PSII, Pangeran itu telah mencalonkan
Pastor van Lith sebagai wakil dalam Dewan Rakyat. Tak heran kalau keadaan
sekarang ini merisaukan Kasimo. Itulah sebabnya, sekarang ia menganjurkan agar setiap
orang dari berbagai agama lebih banyak saling bergaul. “Dengan begitu kerukunan
agama bisa tercapai”, katanya. Selain kecurigaan bisa hilang sendirinya,
dianjurkannya pula agar mempelajari ajaran agama lain, hingga bisa memahami
keyakinan orang lain. “Petugas pemerintah pun hendaknya bersikap adil dalam
melihat persoalan agama”, tambahnya. Satu hal yang tampaknya belum banyak
diketahui ialah, bahwa dalam sikap politiknya Kasimo selalu berpegang pada
dasar-dasar Ensiklik Paus Leo XIII. Yaitu Reirum Novarum (kemudian diperbaharui
dalam Ensiklik Paus Pius XI, Quadragessimo Anno) yang menekankan keadilan
sosial. Dengan dasar inilah Partai Katolik menempatkan diri dalam “aliran
solidarisme” menentang liberalisme, komunisme, kapitalisme. “Kekuasaan di tangan
satu kelas (komunisme) atau kekuasaan yang dibayar oleh uang kaum majikan
(kapitalisme), juga liberalisme, kita tentang”, ujar Kasimo. Tentang Pemilu
yang akan datang, sesepuh Partai Demokrasi Indonesia ini tak banyak bicara. Ia
cuma berharap “agar Pemilu berlangsung secara bebas, rahasia, dan adil”.