Salah
satu pendiri dan ketua kehorrnatan Pusat Pengkajian Strategi Intemasional
(CSIS). Ia pembantu dekat Presiden Soeharto, dengan jabatan terakhir inspektur
jenderal pembangunan dan anggota DPR/MPR-RI. Ia dikenaI juga sebagai penghayat
alam kebudayaan tradisional Jawa. Lahir di Desa Carikan, Solo, 23 Desember 1919
dan meninggal di Jepang pada 12 Maret 1986. Pada masa penjajahan Jepang, Ia
aktif dalam Perang Asia Timur Raya dengan jabatan Fakudanco pada Keibodan, lalu
kepala keuangan pada Pekope (Penolong Korban Perang). Dalam perang kemerdekaan
ia menjadi anggota Resimen Infantri XVI di Solo, dan bergerilya bersama Gatot
Subroto.
Dari
ayahnya, dia mewarisi bakat berdagang. Dalam kariemya sebagai militer ia kerap
kali ditunjuk membawahkan bagian ekonomi dan keuangan. Dalam masa Orde Baru, ia
duduk sebagai asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, juga dalam bidang
ekonomi dan perdagangan. Ia dikenal ahli melakukan lobi, antara lain membuahkan
kerja sama pihak Jepang dalam penyediaan dana pembangunan Proyek Asahan di
Sumatra
Utara.Ia sejak muda berminat besar dan mendalami masalah spiritual yang bersumber pada penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga sering menjalani hidup mati-raga. Sering kali dirinya menyepi untuk merenung, berpuasa, dan berlaku tapa lainnya. Ia juga menjadi pelopor berlakunya Ketetapan MPR menyangkut Aliran Kepercayaan di Indonesia. Di samping itu dia juga memperhatikan dunia pendidikan, antara lain dengan mendirikan organisasi yang bergerak di bidang pembaharuan pendidikan Islam (GUPPI), sekaligus menjadi pembina utamanya. Bidang media massa pun tidak lepas dari perhatiannya. Harian Suara Karya dan Pelita pernah dibimbingnya.
Utara.Ia sejak muda berminat besar dan mendalami masalah spiritual yang bersumber pada penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga sering menjalani hidup mati-raga. Sering kali dirinya menyepi untuk merenung, berpuasa, dan berlaku tapa lainnya. Ia juga menjadi pelopor berlakunya Ketetapan MPR menyangkut Aliran Kepercayaan di Indonesia. Di samping itu dia juga memperhatikan dunia pendidikan, antara lain dengan mendirikan organisasi yang bergerak di bidang pembaharuan pendidikan Islam (GUPPI), sekaligus menjadi pembina utamanya. Bidang media massa pun tidak lepas dari perhatiannya. Harian Suara Karya dan Pelita pernah dibimbingnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Kritis Pulung dan Ageman
PANTAI
Parangkusumo, Parangtritis, Yogyakarta, malam Satu Suro. Pemimpin sanggar
spiritual Songgo Buwono, Lia Hermin Putri, 39 tahun, khusyuk bersemadi.
"Bunda Lia", demikian ia dipanggil, sedang menjalani ritual khusus
untuk Soeharto yang tergolek gering ratusan kilometer nun di sana, di Rumah
Sakit Pertamina, Jakarta. Malam
Satu Suro-alias 1 Muharam-yang jatuh pada Rabu malam hingga Kamis dini hari
pekan lalu dianggap istimewa oleh Bunda Lia bagi dikabulkannya doa. Dalam
hening, tiba-tiba tubuhnya menggeletar. Bunda berpeluh, padahal udara dingin
bagaikan sembilu. Menurut Bunda Lia, saat itulah pulung keprabon Soeharto
cabut. Pulung,
dalam kepercayaan Jawa, adalah cahaya langit yang jatuh ke pemimpin sebagai
wahyu. Pulung Soeharto tertanam di Cendana. Selama pulung tidak dicabut, kata
Bunda Lia, Soeharto tetap menderita dalam sakit panjang. Setelah
pulung jebol, Bunda Lia punya satu tugas lagi, yakni (nah!) mencopot ageman
atau ajimat Soeharto bernama Bathara Karang atau Selo Karang. Ajimat ini, kata
Bunda Lia, ada di dalam tubuh Soeharto. Wujudnya semacam benang mengular dari
ujung atas hingga paling bawah tubuh, bersimpul pada ubun-ubun, pusar, dan
jempol kaki. "Aji Bathara Karang tidak bisa lepas tanpa bantuan orang
lain," kata Bunda Lia, Kamis pekan lalu. Berbeda
dengan mencabut pulung, yang bisa dilakukan lewat meditasi jarak jauh, melepas
ageman perlu kontak fisik. Bunda Lia melakukannya pekan ini. Menurut Bunda Lia,
ada semacam kunci untuk bisa melepas ageman Soeharto. Jika lupa kunci,
dipastikan ajian tak akan lepas. Untuk
mencopot ageman Soeharto, kata Bunda Lia, perlu orang tertentu. Setidaknya yang
sealiran guru batin. Sesungguhnya, Soeharto punya kunci pembuka ageman. Melalui
suara batin, Bunda Lia juga mendengar Soeharto ingin membuang ageman miliknya.
Tapi, dalam keadaan uzur terbujur, ia tak berdaya. "Pak Harto
sengsara," kata sang Bunda. Dalam
semadi malam 1 Suro itu, Bunda Lia juga mendapat isyarat. Jika dalam sepuluh
hari-terhitung sejak 1 Suro hingga Sabtu pekan ini-kesehatan Soeharto pulih, ia
akan bertahan lebih lama. Sebaliknya, jika dalam rentang sepuluh hari itu
kesehatan Soeharto tetap buruk, isyarat tadi mengatakan dalam bulan Suro ini
pula ia berpulang. Bukan
cuma itu, pulung kepemimpinan yang selama ini bersarang di Cendana telah
kembali pada penguasaan alam. Pulung tersebut selanjutnya akan diberikan kepada
calon pemimpin bangsa yang memiliki sifat tutur (berkata bijak), uwur
(dermawan), dan sembur (pendoa). Bunda
Lia mengatakan ia sudi melakukan dua ritual itu karena tak tega pada kondisi
Soeharto saat ini. Apalagi ilmu batin Soeharto dan Bunda Lia berhulu pada guru
yang sama, yakni Romo Marto Pangarso. Bunda Lia adalah cicit Romo Marto. Ia
punya sanggar kebatinan di Dusun Manding, Jalan Parangtritis, Bantul,
Yogyakarta. Sedangkan
Soeharto adalah murid Romo Marto. Adalah (almarhum) Soedjono Hoemardani, mertua
Gubernur DKI Fauzi Bowo, yang mempertemukan Soeharto dengan Romo Marto di
padepokan dekat Sendang Titis di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kasihan,
Bantul, Yogyakarta. Romo
Marto membangun padepokan itu berdasarkan "bisikan langit" yang ia
terima pada 1940-an. Di padepokan itu, pada 1957, Romo Marto menahbiskan
Soeharto dan Soedjono Hoemardani menjalin saudara batin. Ihwal ini diungkapkan
ahli budaya Jawa dari Universitas Indonesia, Dr Budyapradipta. "Pak Djono
(Soedjono) pernah bercerita, Romo Marto membaptis Pak Harto menjadi Rama, Pak
Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, dan Bu Djono menjadi Kunti,"
kata Budyapradipta. Budyapradipta
pernah menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani. Hingga wafat pada 1986,
Soedjono menjadi anggota staf pribadi Soeharto untuk urusan dunia kebatinan.
Sedangkan Romo Marto meninggal pada November 1994, ketika Gunung Merapi
menyemburkan wedhus gembel (awan panas) yang menewaskan sejumlah orang di Dusun
Turgo, Sleman. Sumber
Tempo mengatakan Bunda Lia mendapat tugas khusus mencabut pulung dan ageman
Soeharto dari penghayat kebatinan Jawa yang sering berkumpul di rumah Soedjono
Hoemardani di Menteng, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Dalam
perkara mistik ini, tidak ada permintaan langsung dari anak-anak Soeharto.
Kelompok penghayat ini tidak pula berinisiatif bicara kebatinan kepada
anak-anak Soeharto. "Takut dibilang jualan mistik," kata sumber itu.
"Apalagi sekarang banyak proposal klenik masuk Cendana." Kosmologi
Jawa percaya kepergian sosok besar ke alam baka selalu ditandai tengara alam.
Bunda Lia melihat, isyarat alam itu sudah ada, yakni lereng Gunung Lawu di
kawasan Tawangmangu longsor dan banjir akibat meluapnya Bengawan Solo.
Dua
pekan lalu, ketika Soeharto kritis, sebatang pohon berusia ratusan tahun di
tepi Sendang Beji, dekat Parangtritis, Yogyakarta, tumbang seakarnya. Buat
Bunda Lia, ini juga isyarat. Sebab, Soeharto percaya kebatinan Jawa yang
bersumber dari penguasa Laut Selatan. Perspektif
spiritual di seputar sakitnya Soeharto juga datang dari penghayat kebatinan
Jawa di Solo, Jawa Tengah. Menurut dia, sejak Kamis hingga Sabtu pekan lalu
adalah masa kritis Soeharto jika ditinjau dari perhitungan kalender Jawa. Soeharto
lahir pada 8 Juni 1921. Dalam kalender Jawa, hari kelahiran Soeharto adalah
Kamis Pahing. Kamis 1 Suro pekan lalu juga jatuh pada pasaran Pahing. Itu
persis sebelas windu, atau 88 tahun, umur Soeharto. Orang Jawa menyebut, selama
tiga hari, terhitung sejak hari pas tiba usia sebelas windu, adalah hari puput
kringkel (tanggal lalu memeluk tanah). Kebatinan
Jawa percaya, jika ada orang yang sakit keras tapi mampu melewati hari puput
kringkel, ia akan bertahan hidup untuk beberapa bulan atau tahun ke depan. Jika
orang tadi meninggal pas hari Sabtu, dalam kepercayaan Jawa, itu akan disertai
anggota keluarga, sanak kerabat, atau teman dekatnya. Penghayat
kepercayaan Jawa, Permadi-anggota DPR dari PDI Perjuangan-punya versi sendiri.
Soeharto, kata dia, menderita luka batin amat pedih karena berdosa kepada
Soekarno. Ini mirip bisikan batin yang diterima penghayat kejawen, Marwoto. Ia
anak Marsoedi, Komandan Sub Wehrkreise (SWK) 101 Serangan Umum 1 Maret 1949,
karib Soeharto. Ia
mendapat bisikan batin ketika berziarah ke makam Bung Karno, November lalu.
"Soeharto bisa berpulang tenang jika meminta maaf kepada Pak Karno,"
kata Marwoto. Ada
metode lain mencabut pusaka Soeharto agar lempeng jalan menuju Tuhan. Pemimpin
Pondok Pesantren Giri, Pleret, Bantul, Kiai Nasruddin Ansory, mengatakan, untuk
melepas jimat itu, cukup mengundang 40 orang berhati bersih. Mereka bersuci
lalu melafalkan Quran surat Ar-Ra'du. "Surat ini untuk menyatukan kehendak
Allah dengan takdir," katanya. Cuma, sang Kiai menambahkan, anak-anak
Soeharto belum ikhlas melepas ayah mereka. Sunudyantoro,
Lucia Idayanie (Yogyakarta), Imron Rosyid (Solo)