Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17
Oktober 1952 (1)
In
Historia, Politik on October 17, 2011 at 3:44 PM
JENDERAL
Abdul Harris Nasution adalah tokoh penting di kalangan militer yang telah
menghidangkan dukungan terkuat –suatu peran yang kerap dinilai secara dubious–
yang pernah diterima Soekarno dari kalangan militer sepanjang sejarah Indonesia
merdeka. Ini terjadi saat Nasution mendukung Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan Soekarno terlebih dulu melalui
suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku taktis. Dari lawan menjadi
kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak tahun 1966, saat Nasution
berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’ bagi proses mengakhiri
kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan menghamparkan karpet merah
kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal Soeharto. Jenderal Nasution
adalah tokoh yang tercatat amat banyak ‘meminjam’ dan mengoptimalkan simbol
maupun pemikiran Jenderal Soedirman, meskipun tak bisa dikatakan bahwa ia
sepenuhnya memiliki sikap dan jalan pikiran yang sama dengan sang jenderal
besar.
JENDERAL NASUTION-PRESIDEN
SOEHARTO-JENDERAL SOEHARTO. 'Tetapi hubungan antara Jenderal Nasution dengan
Soekarno terlebih dulu melalui suatu perjalanan panjang yang penuh lekuk-liku
taktis. Dari lawan menjadi kawan, untuk akhirnya kembali menjadi lawan sejak
tahun 1966, saat Nasution berperan besar membentangkan jalan ‘konstitusional’
bagi proses mengakhiri kekuasaan Soekarno dan pada waktu bersamaan
menghamparkan karpet merah kekuasaan selama 32 tahun ke depan bagi Jenderal
Soeharto". (Dok. Foto Setneg).
---------------------
Surut
tujuh tahun ke belakang dari 1959. Pada tahun 1952 semakin mencuat perbedaan
pandangan antara tentara (terutama Angkatan Darat) yang dipimpin oleh KSAD
Kolonel Abdul Harris Nasution
dan Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang di satu pihak dengan Soekarno dan politisi sipil pada pihak yang lain. Tentara menganggap ada upaya-upaya politis dari pihak partai-partai untuk menguasai dan mengekang tentara serta menempatkan tentara sekedar sebagai alat (politik) sipil. Banyak politisi sipil yang kala itu tak henti-hentinya melontarkan kecaman ke tubuh Angkatan Perang, khususnya terhadap Angkatan Darat. Kecaman-kecaman itu dianggap tentara tak terlepas dari hasrat dan kepentingan para politisi sipil untuk mendominasi kekuasaan negara, padahal di mata para perwira militer itu, partai-partai dan politisi sipil tak cukup punya kontribusi berharga dalam perjuangan mati-hidup merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
dan Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor Tahi Bonar Simatupang di satu pihak dengan Soekarno dan politisi sipil pada pihak yang lain. Tentara menganggap ada upaya-upaya politis dari pihak partai-partai untuk menguasai dan mengekang tentara serta menempatkan tentara sekedar sebagai alat (politik) sipil. Banyak politisi sipil yang kala itu tak henti-hentinya melontarkan kecaman ke tubuh Angkatan Perang, khususnya terhadap Angkatan Darat. Kecaman-kecaman itu dianggap tentara tak terlepas dari hasrat dan kepentingan para politisi sipil untuk mendominasi kekuasaan negara, padahal di mata para perwira militer itu, partai-partai dan politisi sipil tak cukup punya kontribusi berharga dalam perjuangan mati-hidup merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Tentara
merasa punya peran dan posisi historis yang lebih kuat dalam perjuangan menuju
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu. Pada sisi yang lain,
partai-partai yang ada kala itu relatif tidak punya pengalaman dan kesempatan
selama penjajahan Belanda untuk memperoleh kematangan melalui sejarah
perjuangan dan proses konsolidasi yang cukup. Kemudian, pada masa kemerdekaan
partai-partai tak pernah membuktikan kemampuannya untuk memerintah sendiri. Bahkan,
dengan berkoalisi sekalipun tak pernah ada partai-partai yang pernah
membuktikan diri berhasil memerintah secara langgeng. Proses perpecahan terus
menerus melanda internal partai yang ada. Partai Sosialis pecah menjadi PKI dan
PSI. Partai Masjumi lama juga sempat mengalami keretakan, antara lain dengan
pemisahan diri NU. Hal yang sama dengan PNI, yang secara berkala dirundung
perselisihan intenal. Koalisi PSI-Masjumi-PNI yang selama waktu yang cukup lama
mampu memberikan kepemimpinan politik yang relatif stabil, pada suatu ketika
akhirnya pecah juga, diantaranya karena adanya perbedaan persepsi mengenai
dasar-dasar negara. Bahkan dwitunggal Soekarno-Hatta yang menjadi salah satu
harapan utama kepemimpinan politik dan negara kemudian juga retak –sebelum pada
akhirnya bubar– dan mulai juga menjalar ke dalam tubuh Angkatan Perang. Suatu
situasi yang banyak dimanfaatkan PKI sebagai benefit politik. Harus diakui PKI
berhasil menjadi satu diantara sedikit partai yang berhasil mengkonsolidasi
organisasinya dengan baik dan mempunyai strategi jangka panjang yang jelas
karena terencana baik.
Namun
pada sisi lain, dalam realitas objektif kala itu memang Angkatan Perang sejak
beberapa lama juga sedang dirundung berbagai masalah internal, termasuk
penataan ulang tubuh militer, tak terkecuali masalah penempatan eks KNIL
(Koninklijk Nederland-Indisch Leger) sesuai perjanjian Konperensi Meja Bundar
(KMB). Bahkan internal AD, sejumlah perwira –Kolonel Bambang Supeno dan
kawan-kawan– pernah mengecam sejumlah kebijakan KSAD Kolonel Nasution. Mereka
meminta Presiden Soekarno mengganti KSAD Kolonel Nasution dan bersamaan dengan
itu, 13 Juli, menyurati KSAP dan Parlemen, menyampaikan ketidakpuasan mereka.
Permasalahan Angkatan Perang itu menjadi bahan pembahasan di parlemen, dan
parlemen melalui suatu proses perdebatan panjang menerima salah satu mosi
(Manai Sophian dan kawan-kawan) di antara beberapa mosi, mengenai Angkatan
Perang dan Kementerian Pertahanan, dan mengajukan usulan penyelesaian kepada
pemerintah.
Tentara
menganggap parlemen terlalu jauh mencampuri masalah internal militer dan
memperkuat dugaan mereka tentang konspirasi untuk memojokkan dan menjadikan
militer sekedar alat sipil. Militer mengungkit betapa tidak relevannya parlemen
mencampuri masalah internal Angkatan Perang, apalagi menurut mereka dalam
parlemen itu tercampur baur unsur-unsur yang tidak punya andil dalam perjuangan
kemerdekaan dan sebagian lagi merupakan perpanjangan dari mereka yang dianggap
federalis yang memecah negara kesatuan Republik Indonesia.
Para
pimpinan militer sampai pada kesimpulan bahwa harus ada sesuatu yang dilakukan
untuk menghentikan manuver para politisi sipil tersebut –yang miskin konsep
namun banyak kemauan. Militer menghendaki pembubaran parlemen. Ini suatu sikap
politik. Dengan menampilkan sikap politik seperti ini, dan bergerak untuk
memperjuangkannya, tentara telah memasuki wilayah pergulatan politik dan
kekuasaan. Kelak dengan keterlibatan dalam politik seperti itu, yang senantiasa
dianggap sebagai hak sejarah terkait dengan riwayat perjuangan dan kelahiran
Angkatan Bersenjata dari rakyat pada masa revolusi fisik mempertahankan
kemerdekaan, tentara pada akhirnya semakin nyata mewujud sebagai ‘politician in
uniform’. Dalam dimensi militer, 17 Oktober 1952 pasukan-pasukan tentara
mengepung Istana Merdeka dan mengarahkan moncong meriam ke istana. Tentara
sekaligus juga tampil dengan dimensi politik tatkala menggerakkan
kelompok-kelompok dalam masyarakat melakukan demonstrasi menuntut pembubaran
parlemen.
KSAP
TB Simatupang bersama pimpinan-pimpinan AD menemui Soekarno di istana dan
mengajukan permintaan agar Soekarno membubarkan parlemen. Soekarno menolak.
Kendati moncong meriam sudah diarahkan ke istana, para pimpinan militer ini
tampaknya ragu untuk menekan Soekarno lebih keras –padahal Soekarno sendiri
kala itu sudah pula hampir tiba pada batas penghabisan keberaniannya. Namun
menurut Simatupang, waktu itu para pimpinan militer dihadapkan pada dua
alternatif, atau menerobos terus dan mengambil alih pimpinan negara seperti yang
dituduhkan para politisi sipil pada waktu itu, atau menahan diri dan memilih
untuk menaruh harapan pada suatu pemilihan umum yang akan melahirkan suatu
stabilitas yang kokoh-kuat dasarnya.
Para
pemimpin militer memilih jalan terakhir tersebut. Mereka mundur, tapi sadar
atau tidak, sekaligus mencipta satu titik balik. Sejumlah perwira militer di
beberapa daerah melakukan pengambilalihan komando teritorium dari tangan
panglima-panglima yang pada Peristiwa 17 Oktober 1952 mendukung pernyataan
Pimpinan Angkatan Perang dan Angkatan Darat.
Setelah peristiwa tanggal 17, selama berhari-hari Kolonel Nasution
diperiksa Kejaksaan Agung. Dengan terjadinya pergolakan di beberapa teritorium,
KSAD Kolonel AH Nasution menyatakan diri bertanggungjawab sepenuhnya dan mengajukan
pengunduran diri. Dengan serta merta Presiden Soekarno menerima pengunduran
diri tersebut. Nasution meletakkan jabatan sebagai KSAD, dan berada di luar
kepemimpinan Angkatan Darat selama beberapa tahun.
Dalam
masa ‘istirahat’ tanpa jabatan militer –bahkan juga di posisi di luar itu,
karena tempatnya di lembaga non militer tidak dijalaninya– yang berlangsung
kurang lebih 4 tahun itu, Abdul Haris Nasution menggunakan waktunya untuk
menyusun banyak tulisan dan konsep, meskipun belum sempurna benar, mengenai
peranan militer sebagai kekuatan pertahanan maupun sebagai kekuatan sosial
politik. Kelak pemikiran-pemikiran yang dituangkan Abdul Harris Nasution dalam
kumpulan tulisan itu menjadi cikal bakal dan landasan bagi konsep Dwifungsi
ABRI yang dilaksanakan secara konkret. Bersamaan dengan tersisihnya Nasution
itu, KSAP Tahi Bonar Simatupang juga mengundurkan diri, dan itulah pula
sebenarnya akhir dari karir militernya, meskipun secara formal baru pada tahun
1959 ia meninggalkan dinas aktif militernya. Sebagai KSAD baru diangkat Kolonel
Bambang Sugeng. Tak ada pengganti untuk Simatupang, karena jabatan KSAP untuk
selanjutnya ditiadakan. Tapi Simatupang –bersama dengan konsep dan buah pikiran
Nasution– melalui penyampaian uraian dan tulisan-tulisannya ikut mewariskan
pemikiran yang memberi ilham bagi konsep Dwifungsi ABRI dikemudian hari.
Jenderal AH Nasution dan Peristiwa 17
Oktober 1952 (2)
In
Historia, Politik on October 20, 2011 at 4:54 PM
DALAM
uraian TB Simatupang –saat memberi ceramah di depan Group Diskusi UI, Agustus
1973– disampaikan bahwa kedudukan Angkatan Perang yang agak berdiri sendiri
sebetulnya telah merupakan kenyataan sebelum Republik Indonesia ada.
Unsur-unsur yang kemudian menjadi pendiri dan pimpinan Angkatan Perang adalah
orang-orang yang mengambil peran mendorong agar kemerdekaan segera
diproklamasikan. Menurutnya, setelah Angkatan Perang dibentuk secara resmi,
selama tahun-tahun perjuangan eksistensi dan pengembangan dirinya, Angkatan
Perang itu tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. “Angkatan Perang
tidak menganggap dirinya pertama-tama sebagai alat teknis di tangan Pemerintah,
melainkan sebagai pendukung dan pembela kemerdekaan dan dasar-dasar negara”.
Sejarah juga memang mencatat fakta bahwa ketika Presiden Soekarno dan sejumlah
anggota kabinet dan pemimpin pemerintahan yang lain ditawan Belanda setelah
serangan militer bulan Desember 1948, secara de facto Angkatan Perang mengambil
peran meneruskan perjuangan melalui perang gerilya melawan tentara Belanda
seraya mengambil fungsi-fungsi sebagai pimpinan aparat pemerintahan hingga
tingkat desa dalam rangka menjaga kedaulatan negara dan eksistensi teritorial
pemerintahan negara.
ABDUL HARRIS NASUTION. "Dalam masa
jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam
beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya
peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta..... Rakyat Indonesia dianggap pandai
bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung dalam puluhan partai
besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk berkoalisi".
Pergolakan
internal AD pasca Peristiwa 17 Oktober 1952 ternyata tak selesai begitu saja.
Dalam masa kepemimpinan Kolonel Bambang Soegeng, gejolak perpecahan internal
terus berlangsung hingga bulan pertama, bahkan sebenarnya sampai pertengahan
tahun 1955. Para perwira militer ini mengadakan Rapat Collegiaal (Raco) pada 21
hingga 25 Februari di Yogyakarta. Rapat ini menghasilkan ‘Piagam Keutuhan
Angkatan Darat Republik Indonesia’. 29 perwira senior dan berpengaruh dalam
Angkatan Darat ikut menandatangani piagam tersebut. Dengan piagam tersebut,
secara internal dianggap pertentangan di tubuh Angkatan Darat berkaitan dengan
Peristiwa 17 Oktober 1952 telah selesai. Namun perbedaan pendapat antara para
perwira itu dengan pemerintah tidak serta merta ikut berakhir, sehingga tak
tercapai kesepakatan tentang penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952. Merasa
terjepit, KSAD Jenderal Mayor Bambang Soegeng memilih untuk mengundurkan diri
dan menyerahkan kepemimpinan Angkatan Darat kepada Wakil KSAD Kolonel Zulkifli
Lubis. Kolonel bermarga Lubis ini masih terbilang sepupu Kolonel Nasution,
namun kerapkali bersilang jalan dalam beberapa peristiwa karena berbeda
pendapat dan sikap.
Pemerintah
mengisi kekosongan jabatan KSAD itu dengan mengangkat Kolonel Bambang Utojo
pada 27 Juni 1955, yang tadinya adalah Panglima Tentara dan Teritorium
II/Sriwijaya. Namun ketika Kolonel Bambang Utojo dilantik oleh Presiden
Soekarno, tak seorangpun perwira teras dan pimpinan Angkatan Darat yang hadir,
mengikuti apa yang diinstruksikan Wakil KSAD Zulkifli Lubis, untuk menunjukkan
ketidaksetujuan mereka –yang tadinya tidak digubris oleh pemerintah. Zulkifli
Lubis sekaligus menolak melakukan serah terima jabatan KSAD dengan Bambang
Utojo yang telah berpangkat Jenderal Mayor. Peristiwa ini dikenal sebagai
Peristiwa 27 Juni, yang mengakibatkan jatuhnya pemerintahan sipil Kabinet
Ali-Wongso. Kabinet yang dipimpin oleh Mr Ali Sastroamidjojo dari PNI sebagai Perdana
Menteri dan Mr Wongsonegoro dari PIR (Persatuan Indonesia Raya) sebagai
wakilnya, kala itu belum genap berusia dua tahun sejak dibentuk 1 Agustus 1953.
Ali baru saja menjadi penyelenggara Konperensi Asia Afrika di Bandung pada
bulan April yang dianggap suatu keberhasilan internasional.
Masalah
penggantian pimpinan Angkatan Darat ini akhirnya diselesaikan oleh kabinet baru
–koalisi Masjumi dengan beberapa partai, dengan PNI sebagai partai oposisi–
yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap yang dilantik 12 Agustus 1955, hanya 38
hari sebelum Pemilihan Umum 1955 untuk DPR. Pada penyelesaian akhir,
berdasarkan musyawarah para perwira senior dan pimpinan Angkatan Darat,
diajukan enam calon KSAD, salah satunya adalah Kolonel Abdul Harris Nasution.
Kabinet memilih Nasution. Soekarno ‘terpaksa’ mengangkat kembali Nasution
sebagai KSAD dan melantiknya 7 Nopember 1955 dengan kenaikan pangkat dua
tingkat menjadi Jenderal Mayor. Pelantikan Nasution dengan demikian berlangsung
di antara dua hari pemungutan suara dalam Pemilihan Umum 1955 –yakni pemilihan
272 anggota DPR 29 September dan pemilihan 542 anggota Konstituante 15 Desember
1955. Anggota-anggota angkatan bersenjata turut serta dan memiliki hak suara
dalam pemilihan umum yang diikuti puluhan partai berskala nasional maupun
berskala lokal itu. Militer tidak ikut untuk dipilih, namun ada Partai IPKI
yang dibentuk Nasution dan kawan-kawan yang dianggap membawakan aspirasi
militer. IPKI dan kelompok sefraksinya di DPR hanya memperoleh 11 kursi (untuk
IPKI sendiri hanya 4 kursi), suatu posisi yang secara kuantitatif amat minor.
Sementara Fraksi Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia berada di DPR
dengan 2 kursi perwakilan.
Dalam
masa jabatan Nasution sebagai KSAD, terjadi sejumlah krisis politik yang dalam
beberapa peristiwa juga melibatkan tentara yang berujung pada terjadinya
peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemilihan Umum 1955 di satu pihak
memang menjadi contoh keberhasilan demokrasi, karena dilangsungkan dalam
suasana bebas. Namun jumlah peserta pemilihan umum yang terlalu banyak, agaknya
bagaimanapun pada sisi lain menjadi satu masalah tersendiri. Tapi bagaimanapun
itu berkaitan pula dengan tingkat kematangan dan kesiapan rakyat dari suatu
negara yang baru merdeka 8 tahun namun penuh pergolakan. Rakyat Indonesia
dianggap pandai bergotong-royong, namun para politisi sipil yang tergabung
dalam puluhan partai besar dan kecil ternyata tak punya kepandaian untuk
berkoalisi.
Meneruskan
pola jatuh bangun kabinet, sesudah pemilihan umum kebiasaan jatuh bangun juga
berlanjut. Tetapi sebagai proses politik, semua itu selalu ada penjelasannya,
dalam satu rangkaian pola sebab dan akibat, yang akarnya ada dalam budaya
bangsa. Pemilihan Umum 1955, tidak menghasilkan –dan memang takkan mungkin
dalam satu pola ideologis di negara yang plural seperti Indonesia– partai
pemenang yang mayoritas yang dapat memerintah sendirian dalam suatu stabilitas
politik. Kendati misalnya dikatakan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah
beragama Islam, mencapai 90 persen, nyatanya partai-partai Islam secara
bersama-sama bahkan tak mencapai separuh dari perolehan suara. Menempatkan
Islam sebagai ideologi tidak relevan, karena tak semua rakyat yang beragama
Islam menganggap agamanya sekaligus juga adalah ideologi politik dalam kehidupan
sehari-hari. Bahkan penggunaan agama sebagai ideologi politik untuk mengejar
kekuasaan duniawi, bagi sebagian pemuka umat dianggap sebagai degradasi
keluhuran Islam. Selain itu, pada pihak lain sebagian dari rakyat Indonesia
yang resmi memeluk agama Islam, sesuai penelitian Clifford Geertz, sesungguhnya
adalah kaum abangan. Pembagian masyarakat di pulau Jawa atas kaum santri di
satu pihak dan kaum abangan di pihak lain yang dilontarkan Clifford Geertz ini
paling banyak dirujuk dalam berbagai uraian sosiologis hingga kini. Penelitian
Geertz itu sendiri dilakukan di Pulau Jawa, tetapi dianggap berlaku untuk
Indonesia.
Sejarah
perkembangan Islam di Indonesia juga punya kenyataan dan catatan tersendiri,
tentang keanekaragaman persepsi, penafsiran dan realitas dalam masyarakat yang
berhubungan erat dengan kultur Hindu dan kultur animistis yang telah berakar
berabad-abad lamanya, sebelum Wali Songo menyebarluaskan Islam di Indonesia.
Masjumi sebagai partai modern berbasis Islam hanya memperoleh 60 kursi DPR dari
272 kursi yang ada. NU memperoleh 47 kursi, PSII (Partai Syarikat Islam
Indonesia) memperoleh 8 kursi dan Perti (Persatuan Tarbiyah Indonesia) 4 kursi.
Bersama Masjumi jumlahnya hanyalah 119 yang tidak mencapai separuh dari 272.
Sementara itu, harus pula dicatat fakta tentang rivalitas berkepanjangan yang
terjadi antara Masjumi dan NU dengan suatu latar belakang historis dan
perbedaan persepsi secara kualitatif di awal kelahiran mereka, termasuk dalam
menyikapi masalah kekuasaan. Dan karena itulah para politisi Islam ini tak
pernah padu dalam sepakterjang mereka sebagai satu kekuatan politik. Itulah
pula sebabnya sebagian dari politisi Islam ini dalam menjalani political game,
dalam perseteruannya dengan kekuatan politik lainnya kerapkali menggunakan faktor
emosional yang terkait dengan agama sebagai senjata politik, tatkala kehabisan
argumentasi rasional.
-Sumber:
Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta Pustaka, 2006.