Tempo
02 Oktober 1976. INI mungkin hanya bisa terjadi di Indonesia. Adalah seorang
laki-laki yang tampaknya yakin benar bahwa ia akan tak lama lagi jadi Presiden
— menggantikan Jenderal Soeharto:
Namanya
Sawito, 44 tahun, tinggalnya di jalan Tampomas 8, Bogor. Sawito asal desa Sanan
Wetan, Blitar, salah satu dari putera Pak Kartowibowo, pengajar sekolah guru di
kota itu. Sekitar tahun 1950-an, ia masuk fakultas pertanian di Bogor. Ia
lulus, dengan gelar insinyur. Kemudian ia jadi pegawai Departemen Pertanian.
Tapi sejak 1968, Sawito tak diberi jabatan atau pekerjaan, “karena adanya
keragu-raguan mengenai dirinya”, begitu keterangan dari Departemen tadi.
Keragu-raguan apa, tak jelas. Sebuah sumber mengatakan bahwa pegawai yang mendiami
daerah klas satu di Bogor itu — di rumah dinas yang kemudian dibelinya —
terlibat “korupsi”. Tapi sumber lain juga mengatakan bahwa ia dituduh termasuk
orang PNI yang sangat “Sukarnois” dan pendukung grup “Ali-Surachman”, yang
setelah Gestapu dibersihkan dari pelbagai jabatan. Sawito, yang tak punya anak
dan hanya punya sepasang anjing (salah satu bernama “Dulfi”, singkatan dari
“Idul Fitri”), termasuk keluarga jauh almarhum Bung Karno. Semenjak ia
dinon-aktifkan, ia memasuki secara aktif “dunia kebatinan” — yang rupanya bisa
menampung rasa “terbuang” seorang seperti Sawito. Ayah Sawito, Pak Kartowibowo,
memang gemar mendalami khasanah sastra Jawa dan konon juga suka nyepi. Syahdan,
ada pula seorang lain. Ia adalah Sudjono, sarjana hukum lulusan Leiden, kini
berumur 72 tahun. Ia pernah jadi dutabesar RI di Tokio di tahun 1950-an, lalu
di Brazil selama 4 tahun dan kemudian di Swedia. 1963, ia pensiun. Hingga kini
tinggal di daerah Ciawi, di luar kota Bogor, bertanam cengkeh dan tinggal di
atas bukit. Sejak ia pensiun, kata seorang anggota keluarganya, ia tertarik
pada kebatinan. Ia sering menyendiri, naik gunung dan bersemedi. Di awal 70-an,
ia menyusun suatu risalah — yang pernah dicobanya untuk diterbitkan tapi
ditolak oleh seorang penerbit terkemuka. Isi risalah itu agak aneh: diceritakan
bagaimana dunia halus telah memutuskan bahwa pemerintahan yang sekarang akan
diganti. Beberapa rombongan delegasi perkumpulan kebatinan pun naik ke puncak
gunung Tidar — di luar kota Magelang — untuk mendengarkan wangsit (petunjuk)
dari Yang Maha Kuasa. Mr. Sudjono dan Sawito, yang telah diangkatnya jadi anak,
ada di antara delegasi-delegasi itu — yang konon tanpa berembug lebih dulu
telah sama-sama mendapatkan isyarat batin bahwa malam itu di bukit Tidar akan
turun wangsit tentang siapa yang bakal jadi pemimpin Indonesia. Maka kata yang
empunya cerita, wangsit itu pun datang: Sawito-lah orangnya. Menurut kisah yang
dikutip harian Pelita, petunjuk itu datang dalam bentuk “suatu sinar (yang)
berputar, turun dari langit lalu jatuh ke tangan Sawito”. Ketika Sawito membuka
tangannya, “terlihat sebuah batu bergambar Jesus, sementara di baliknya tampak
gambar Sawilo sendiri”. Nah, sejak itulah ke beberapa orang sejak dua tiga
tahun yang lalu Sawito memperkenalkan diri, atau diperkenalkan oleh teman-teman
sekelompok-kebatinannya, sebagai penerima wahyu yang akan jadi Presiden
Republik Indonesia. Beberapa orang, termasuk Wakil Ketua DPR Domo Pranoto yang
sudah mendengar perkara “wahyu” Sawito, menganggapnya “sinting”. Baik keluarga
maupun sementara tetangganya di Bogor tidak menyangka begitu. Beberapa rekannya
hanya geli, dan secara bergurau menyebutnya sebagai sang “Ca-Pres” (Calon
Presiden). Tapi Sawito rupanya tak bergurau. Bagaikan Machbeth dalam lakon
Shakespeare, yang makin hari makin percaya ramalan bahwa ia akan jadi penguasa
tertinggi, Sawito pun mengambil langkah-langkah. Jelas bahwa ia tak puas dengan
keadaan sosial-politik sekarang, di bawah Presiden Soeharto, dan orang-orang
yang ditemuinya pun rupanya termasuk yang tak puas. Suatu ketika di pertengahan
1976, ia pun mnyusun sebuah naskah yang berjudul “Menuju Keselamatan”.
Kalimatnya panjang-panjang, dan seperti dinilai Kardinal Darmoyuwono — salah
seorang tokoh yang kemudian dimintainya tandatangan — “berlebih-lebihan”.
Bagian ke-4 dari tulisannya misalnya berbunyi: pembangunan kini “ternyata
menelorkan pula kemerosotan budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan menjurus ke
lembah kenistaan yang parah”. Meski pun begitu, sebenarnya isi naskah “Menuju
Keselamatan” tidaklah lebih tajam ketimbang misalnya pernyataan PMKRI beberapa
waktu yang lalu. Namun mungkin saking kaburnya apalagi ditik rapat, dan dengan
cara-cara Sawito (lihat box) naskah itu tak terlalu sukar mendapat tandatangan
dari tokoh-tokoh lanjut usia. Tapi di samping naskah itu, Sawito juga menulis
naskah lain . Naskah ke-II ini berjudul “Pernyataan”, diteken juga oleh Bung
Hatta dan drs. Singgih, seorang yang pernah disebut sebagai pemuda yang
menculik Bung Karno dan Bung Hatta supaya memproklamasikan kemerdekaan Agustus
1945 duiu. Isinya: ikrar bersama untuk menggunakan “Menuju Keselamatan” sebagai
dasar pengetrapan dan pengamalan Pancasila. Di samping itu, ada pula naskah
lain berjudul “Pernyataan Pemberian Maaf. Bagi Almarhum Bung Karno” — juga
diteken oleh Sawito dan Bung Hatta. Tapi yang serem adalah naskah yang berjudul
“Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna”, yang menilai Presiden Soeharto gagal dan
meminta atau mendesak Presiden untuk menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada
Bung Hatta. Mungkin serangkaian dengan itu, Sawito juga menyusun “Surat
Pelimpahan” — konsep “timbang terima” tugas dan kewenangan Presiden/Mandataris
MPR dari Presiden Soeharto kepada Dr. Moh. Hatta. Dalam angan-angannya, menurut
sebuah sumber, beberapa bulan setelah Bung Hatta jadi Presiden, Sawito-lah yang
rupanya akan kemudian muncul. Tapi apa yang kemudian dibuat Sawito dengan
naskah-naskah itu belum jelas benar. Ada yang mengatakan bahwa ia pernah
mencoba mengirimkannya kepada Presiden lewat Menteri Mintareja — yang dikenal
seorang teman se-orhiba Sawito. Yang jelas, pemerintah kemudian menemukan
seluruh naskah. “Pemerintah tidak menerima secara resmi dokumen itu dan
Pemerinah mengetahui pula bahwa dokumen tersebut telah disebarkan secara
terbatas kepada orang-orang tertentu” begitu diumumkan Menteri Soedharmono
pekan lalu. Dan menganggap hal ini sebagai petunjuk nyata tentang adanya
“sekelompok orang-orang yang telah melakukan kegiatan gelap (ilegal) untuk
mengadakan penggantian Kepala Negara secara inkonstitusionil”, pemerintah pun bertindak.
Sawito, Mr. Soedjono, drs Singgih ditahan. Bersama itu juga Karnaradjasa,
putera almarhum tokoh PNI Ali Sastroamidjojo, bekas tokoh I KN. Mengapa
Karnaradjasa ikut ditahan, belum diketahui, Rupanya ada dugaan — seperti
biasanya — bahwa di sini ada terlibat kekuatan-kekuatan politik yang tak puas,
khususnya dari bekas-bekas PNI. Namun untunglah: lebaran yang dua hari
sebeLumnya didahului hujan lebat di Jakarta, ternyata aman. Kantor-kantor
berita asing yang tergopoh-gopoh mencari sesuatu yang tegang di Jakarta
ternyata hanya bingung. “Ini rupanya usaha mengambil alih kekuasaan secara
spirituil”, begitu salah satu komentar. Seorang pejabat penting punya penilaian
lain: “Secara rasionil ini perkara Sawito memang terlihat aneh dan mungkin
lucu, tapi secara irasionil serius”
02
Oktober 1976
“The
Orhiba Connection”
BUNG
Hatta tidak telili? Itulah pertanyaan yang cukup tersebar setelah diumumkannya
“perkara Sawito” pekan lalu. Dari pengumuman pemerintah itu bisa diketahui:
bila para tokoh terkemuka lain cuma teken di atas satu naskah pernyataan, maka
Bung Hatta bertandatangan pada tiga naskah. Memang, ia tak ada meneken dua
naskah yang paling “serem”, yaitu yang menilai kepemimpinan Presiden Soeharto
sebagai “gagal”, dan yang berisi konsep “pelimpahan” kekuasaan dari Soeharto
pada dirinya. Tapi mengapa Bung Hatta mau begitu saja diajak oleh Sawito untuk
membubuhkan persetujuannya atas beberapa naskah? Dan mengapa setelah
naskah-naskah itu ketahuan pemerintah, Bung Hatta lalu menyatakan bahwa
pembubuhan tandatangan itu dilakukannya tanpa “membaca dengan teliti” kata-kata
yang tertulis — padahal Bung Hatta tersohor sangat teliti? Segalanya mungkin
rupanya. Dalam usianya yang sudah 74, proklamator ini telah uzur. Sebuah sumber
mengatakan bahwa ia kini harus memakai kaca pembesar untuk membaca. Untuk
menjaga kesehatan ia sejak lama ikut latihan “orhiba” (olahraga hidup baru) —
semacam senam yang juga berdasarkan “olah batin”. Dalam latihan orhiba itulah
ia berkenalan dengan Sawito, suami dari anak angkat Said Soekanto, “bapak
orhiba” yang dulu Kepala Polisi Negara. Hatta kemudian jadi dekat dengan orang
ini. Ada sebuah potret ia berdua dengan Sawito, yang ditandatanganinya, dengan
kata-kata kira-kira “tua & muda berjuang bersama”. “Kalau Bung Hatta sudah
percaya kepada seseorang”, kata seorang yang cukup mengenalnya, “ia bisa
percaya betul — sampai ia dikecewakan orang itu”. Kitab Injil Apakah kini ia
merasa dikecewakan olell Sawito, tak jelas. Sawito nampaknya sering berbicara
dengannya tentang suasana sosial-politik kini, yang bagi kedua orang itu
mengandung kepincangan-kepincangan. Dalam suatu pertemuan yang dihadiri banyak
orang malah Sawito pernah menganjurkan Bung Hatta untuk membikin beres keadaan.
Sang proklamator cuma tersenyum. Agaknya ia sendiri tahu bahwa hal itu tak
mungkin dilakukannya, dalam kondisi usianya kini — dan Hatta bukanlah jenis pak
tua yang suka berkomplot. Bisa dipastikan bahwa ia tak tahu Sawito menyusun
konsep “pelimpanan” kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada dirinya. Atau
mungkin ia tak menganggap “angan-angan” Sawito serius Ketika ditanya seorang
sahabatnya hari lebaran yang lalu, apakah memang ia menyatakan seperti yang
diumumkan pemerintah — bahwa ia tak membaca dengan teliti naskah pernyataan
Sawito — Bung Hatta mengiyakan. “Kurang-lebih memang begitulah”, katanya.
Betapapun, karena dekatnya dengan Bung llatta, maka Sawito diterima oleh tokoh
sekaliber Kardinal Darmojuwona. Kardinal bahkan bertemu dengan Sawito 3 Juli di
tempat peristirahatan Bung Hatta di Mega Mendung. Waktu itu Sawito menyodorkan
naskah “menuju keselamatan”. Kardinal hanya membacanya selintas. Tiga hari
kemudian, Sawito menyusul — kabarnya sambil membawa kitab Injil, dengan
permintaan kiiab suci itu ditandatangani Kardinal. Sawito juga minta agar
naskah ‘Menuju Keselamatan’ diteken. Menurut Kardinal, Sawito menyatakan bahwa
tandatangan itu akan digunakan sebagai “kenangan pribadi”. Jelas, Kardinal
merasa terperdaya. Begitu pula Simatupang. 31 Juli Ketua DGI dan bekas Kepala
Staf Angkatan Perang ini didatangi Sawito yang diantar oleh seorang kenalan
lamanya, dr. Gunawan, kolonel pensiunan yang lebih terkenal sebagai dokter
singkong anti-kanker. Sebab kenalan lama itulah, tamu yang datang tanpa janji
lebih dulu itu diterima Simatupang selama 10 – 15 menit. Sawito menyatakan
keprihatinannya mengenai keadaan negara dan bangsa — dan pandangannya tentang
itu telah dituliskannya. Buah pikirannya itu telah dapat “penilaian positif’
dari Bung Hatta. Menurut Simatupang sendiri, dalam buah pikiran Sawito itu
sebetulnya “tidak ada usul usul kongkrit”. Tapi ia ikut membubuhkan
tandatangan. “Saya kira ini usaha orang-orang muda yang mau menganalisa
masyarakat, tapi masih perlu minta persetujuan kita orang tua-tua”, cerita
Simatupang kepada TEMPO. Dalam naskah Sawito sudah ada tandatangan Bung Hatta
dan Kardinal Darmojuwono. Simatupang kemudian melupakan kejadian itu dan juga
nama Sawito, sampai kemudian datang Jenderal Panggabean ke rumahnya
membicarakan naskah itu. Pribadi Dari Simatupang, Sawito rupanya pergi ke
Hamka, 6 Agustus. “Ia meminta saya membaca karangannya”, tutur Hamka kepada
TEMPO. “Saya lalu membaca dengan teliti cuma dua pasal, yang isinya supaya kita
memadukan diri dengan alam”. Hamka berkesimpulan tamunya ini “orang kebatinan”.
Tapi ia tak banyak pikir ketika itu, apalagi sudah ada tandatangan Hatta,
Kardinal dan Simatupang. Apakah pernyataan itu akan disiarkan kepada umum?,–
tanya Hamka kepada Sawito. Jawab Sawito, hanya untuk dokumentasi pribadi saja.
Sudah jelas Hamka merasa dikecohkan benar dan merasa tak adil bila namanya
dikaitkan dengan usaha mengganti Presiden Soeharto secara inkoustitusionil.
Khotbahnya di hari Lebaran di Mesjid Al-Azhar menjelaskan persoalan ini,
semacam permintaan maaf dan ucapan terimakasih kepada pemerintah. Yang kabarnya
juga kecewa adalah Said Soekanto. Orang yang telah dianggap sebagai anak
sendiri itu tak disangkanya membawa-bawa namanya ke suatu hal yang berbahaya
Tempo
09 Oktober 1976
Sawito
Yang Saya Kenal
1
Pebruari 1957 saya diangkat Menteri Pertanian sebagai pegawai baru, ditempatkan
pada Balai Penyelidikan Karet Rakyat (BPKR) di Bogor, yang waktu itu di bawah
Jawatan Karet Rakyat Pusat (dahulu DKR) di Jakarta. Saya sendiri baru lulus
Fakultas Pertanian Bogor. Pengangkatan itu merupakan karir saya yang pertama
sebagai Sarjana Pertanian. Oleh saudara E. Reksowinoto, Kepala BPKR saya
diperkenalkan dengan para pegawai Balai itu yang sebagian besar terdiri dari
para Penyuluh Pertanian keluaran SPMA. Di antara mereka ada seorang yang
menarik perhatian saya: Sawito Kartowibowo. Kepada Kepala Balai saya tanyakan,
siapa dia dan apa tugasnya. Waktu itu Sawito sedang disekolahkan lagi oleh
Jawatan, mengikuti kursus Akademi Pertanian yang diselenggarakan oleh yang
sekarang disebut LP3 di Bogor. Sebentar lagi ia akan lulus dan diaktifkan kembali.
Itulah dasar pendidikan Sawito sampai detik ini. Ia pun bukan tamatan Akademi
Departemen Pertanian di Ciawi yang memiliki silabus dan kurikulum lebih lengkap
dan teratur, walau efek sipilnya sama. Ia bahkan juga tidak bertitel BSc secara
resmi, karena titel tersebut belum mendapat pengakuan Departemen P dan K.
Menginjakkan kaki di bangku Fakultas mana pun, juga tilak pernah. Namun ia
sejak pagi-pagi benar, memang memiliki keberanian yang “mengagumkan” untuk
mengaku-aku-sebagai insinyur pertanian. Sampai-sampai Sekneg sendiri mengatakan
kepada pers, bahwa Sawito bergelar insinyur peftanian. Seni Bergaul Mengapa
pada perkenalan pertama Sawito sudah menonjol dalam penglihatan saya? Karena
orangnya peramah dan sikapnya bersahabat. Umurnya waktu itu sekitar 24 tahun
suaranya keras dan lantang. Walaupun baru kenal, namun sikapnya seakan-akan
sudah kenal saya bertahun-tahun. Ia memang memiliki seni bergaul. Ia sama
sekali tidak punya rasa rendah diri. Bahkan sebaliknya. Dengan penuh kebanggaan
ia menyebut satu persatu teman-teman saya para insinyur pertanian, yang
jumlahnya kala itu masih bisa dihitung. Dan ia katakan, bahwa mereka itu adalah
kawan karibnya. Bogor memang kota kecil. Bisa saja teman-teman saya itu
kawan-kawan karibnya. Dalam pergaulan selanjutnya baru saya ketahui, bahwa
Sawito seorang pembual. Setiap orang kenamaan atau pejabat-pejabat penting,
lebih-lebih yang disebut tokoh Nasional, selaku diakunya sebagai kawan karib
yang sudah ia kenal bertahun-tahun. Pada waktu saya masuk bekerja itu, suasana
di Balai sedang diliputi keprihatinan. Dari E. Reksowinoto saya dengar, bahwa
sejak akhir 1956, Kepala Jawatan Karet Rakyat Pusat lama R. Soeparman, telah
pensiun. Sedang Menteri Pertanian menentukan gantinya Mohammad Said, bekas
Inspektur/Kepala DKR Sumatera Barat. Orang-orang dari Balai khususnya kurang
menyetujui. Maka diajukanlah mosi kepada Menteri untuk membatalkan pengangkatan
itu. Dan pelopor mosi itu tak lain adalah Sawito Kartowibowo. Dialah, walaupun
status tugas belajar, giat berkasak-kusuk menghubungi Sarekat Sekerja Jawatan
Karet Rakyat (SSDKR) di daerah-daeran Karet Rakyat seluruh Indonesia untuk
menentang pengangkatan itu.”Rupa-rupanya Menteri akan meneruskan niatnya”,
sambung E.Reksowinoto, “maka konsekwensinya, kami semua yang ikut bertanda-tangan
mungkin harus meletakkan jabatan”. Sedih juga saya mendengar peristiwa itu.
Namun syukurlah,. Menteri tidak bertindak gegabah. Mohammad Said tetap diangkat
sebagai Kepala Pusat DKR (sekarang setaraf Dirjen). sedang mosi dianggap tidak
pernah ada. Para penanda-tangan pun dimaafkan. Namun pada suatu hari saya
dipanggil menghadap oleh Kepala Pusat di Jakarta. Sebagai pegawai baru yang
tidak ikut-ikutan soal mosi, tapi juga sebagai satu-satunya insinyur pertanian
yang bekerja di lingkungan DKR waktu itu, Kepala Jawatan menasihati, agar saya
tidak memihak, tetapi tetap memegang teguh obyektivitas sebagai sarjana. Hanya
pada akhir pembicaraan, Mohammad Said berkata: “Berhati-hatilah terhadap
Sawito. Hij is een gevaarjke kerel (Ia adalah orang yang berbahaya). Kalau
nanti anda mendapat kesulitan-kesulitan, jangan segan-segan datanglah langsung
kepada saya”. Dalam bulan-bulan pertama kami bekerja sama, tidak tampak ada
apa-apa, sehingga saya nyaris menyangsikan kebenaran peringatan Kepala DKR itu.
Sawito tetap ramah dan bersahabat. Di Balai ia memang orang ketiga, sesudah E.
Reksowinoto dan saya. Dalam banyak ha ia berunding dulu dengan saya kalau
hendak menjalankan suatu penelitian. Kami pun sering melakukan perjalanan dinas
bersama. Kemudian ia juga memperlihatkan hasil karyanya selama ini. Sedikit
demi sedikit saya mulai mengenal Sawito. Ia memiliki kepribadian yang kuat,
bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh siapa pun. Kedua sifatnya, peramah dan
berkepribadian kuat, sebenarnya dua sifat yang baik. Namun sayang, landasannya
kurang baik. Yaitu Sang Akunya atau Egonya, terlalu besar. Ia selalu berusaha
mencari popularitas. Ia senang dipuji dan dipuja, sehingga sikapnya condong ke
arah overacting berlebih-lebihan. Dalam bidang ilmu, ia tidak dapat dikatakan
pandai, tapi otaknya cukup cerdas. Orangnya juga enerjik, penuh vitalitas.
Namun sayang sekali lagi, kecerdasannya sering dipergunakan untuk pemuasan Sang
Akunya, sehingga sering condong ke arah kelihaian dan kelicikan. Di daerah ia
mengaku-aku sebagai insinyur pertanian, kendati pun jumlah insinyur waktu itu
masih sangat sedikit. Kepada para pejabat tak segan-segan ia mengatakan, bahwa
ia masih kerabat dekat dengan Bung Karno yang waktu itu sedang jaya-jayanya.
Pada setiap pertemuan yang dihadiri oleh para pembesar, baik sipil maupun
militer, dengan berani ia tak pernah meliwatkan kesempatan mendekati mereka.
Dalam bahasa Jawa sikap seperti itu bisa disebut keladuk wani kurang deduga
(terlalu berani sehingga kurang memperhatikan sopan santun). Perkenalan yang
sepintas dengan para pembesar itu sering ia pakai untuk menggertak orang lain.
Wawasan Politiknya Wawasan politiknya kurang jelas bagi saya. Di kota kecil
seperti Bogor, aktivitas politiknya tak tampak secara menonjol. Semula saya
duga ia seorang nasionalis. Tapi bagaimana spektrumnya dan sampai di mana
kemurnian faham nasionalismenya, masih merupakan pertanyaan: apakah fahamnya
tidak dicampuri dengan terlalu banyak pamrih, atau dedikasinya itu bukan demi
ambisi pribadinya. Sikapnya sejak dulu memang tidak lumrah, tidak wajar. Tapi
saya yakin, semua itu ia lakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran. Pernah ia
berkata kepada saya: “Menjadi Menteri atau bahkan menjadi Presiden itu
sebenarnya tidak sukar. Setiap orang bisa saja, asal ia sungguh-sungguh mau dan
berusaha untuk itu. Tak perlu harus orang pandai, asal tidak terlalu bodoh, ia
bisa jadi Menteri atau Presiden”. Sayang, untuk mencapai tujuan itu caranya
sering negatif. Pada dasarnya ia kurang senang punya atasan. Kekurangan dan
kelemahan atasan selalu ia kutak-kutik. Hal ini juga mulai terasa oleh saya. Ia
membuat saya tidak krasan bekerja di situ. Lebih-lebih setelah terdengar
berita, bahwa Kepala Balai — yang juga tak luput dari kutikannya — akan
dipindahkan ke Jawatan Pertanian Pusat sebelum dipensiun. Keadaan ini bagi saya
menjadi memuncak. Dasar saya seorang wanita — dan niat saya bekerja itu pun
tidak untuk mencari setori — saya langsung menghadap Menteri Pertanian minta
agar dipindahkan ke tempat lain. Terjadilah, E. Reksowinoto dan saya pada saat
hampir bersamaan, dipindahkan dari Balai. Namun Menteri bukannya mengangkat
Sawito sebagai Kepala, melainkan orang lain, yaitu ir. Iman Rahardjo yang baru
saja masuk DKR. Kepala yang baru ini kemudian juga tak luput dari rongrongan
Sawito. Ia jadi sakit-sakitan, paru-parunya terserang, hingga perlu cuti
berbulan-bulan. Tak lama kemudian Menteri membubarkan BPKR, tugasnya sangat
dipersempit dan diganti nama dengan Dana Tanaman Keras (DATAK). Dan Sawitolah
yang diangkat sebagai Kepala. Bagi Sawito, sebutan Kepala kurang gagah. Ia
menyebut diri: Direktur. Tak lama, DATAK ini pun dibubarkan, entah apa
sebabnya. Sedang Sawito dibiarkan menganggur tak diberi tempat atau pekerjaan.
Sebabnya apa, tentu Menteri Pertanian yang sekarang lebih tahu. Bukan Karena Sinting
Mendengar siaran TV Rabu 22 September 1976 itu, saya terkejut sebentar. Tapi
tidak heran. Terkejut, karena sudah sekian jauh itu Sawito bergerak dan
setinggi itu sasarannya. Tidak heran, karena saya kenal sifat dan tabiatnya.
Mengenal Sawito, saya kurang yakin apa yang dikatakan oleh pak Domo Pranoto,
bahwa Sawito orang aneh dan agak sinting. Juga suara-suara yang santer bahwa ia
penganut kebatinan dan mendapat wargsit jadi pemimpin. Saya condong
berpendapat, Sawito berbuat begitu dengan penuh kesengajaan dan kesadaran. Bisa
saja ia sekarang aktif dalam kebatinan, tapi ini bukan karena kecewa. Sebab ia
memang tidak pernah menonjol dalam karier politik. Saya rasa hal itu hanya
sebagai taktik dan siasat saja. Sawito memahami benar kultur Indonesia dan menggunakan
dunia ide dan suasana yang dianggap relevan untuk itu. Bagi saya, Sawito pasti
tahu, betapa rakyat Indonesia masih suka percaya kepada hal yang aneh-aneh,
yang samar-samar, yang gaib-gaib, yang wangsit-wangsit, yang klenik-klenik.
Dengan jalan kebatinan itu ia harapkan simpati rakyat yang masih kurang tahu
dengan pasti, apa sebenarnya yang disebut percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kebanyakan orang masih mengira yang aneh-aneh, yang gaib-gaib, yang weruh
sadurunge winarah (tahu sebelum diberi tahu) itulah yang berasal dari Tuhan
Yang Sejati. Dan Sawito mempergunakan kultur ini. Kalau 20 tahun yang lampau,
sasarannya adalah Kepala Jawatan, maka waktu yang 20 tahun ini baginya cukup
matang untuk sekarang mendongkel Kepala Negara. Itulah sebabnya saya tidak
merasa heran. Strategi hidupnya, jauh-jauh hari sudah ia letakkan. Ambisinya
besar, targetnya pasti, paling sedikit jadi Menteri. Syukur bisa jadi orang
pertama dalam Republik ini. Sedangkan caranya mencapai target hanya bergantung
pada situasi dan kondisi — dan segala cara baginya halal. Kasus Sawito membuat
kita prihatin. Tapi segi positifnya selalu bisa kita ambil sebagai pengalaman.
Kasus ini dicetuskan dalam situasi dan kondisi yang relevan untuk itu. Ini
terbukti dari, maaf, terkecohnya pemuka-pemuka dan tokoh-tokoh yang dihormati
oleh Bangsa dan Negara. Kalau kita semua, baik Pemerintah maupun Rakyat
Indonesia sudi mawas diri, hal-hal yang membahayakan nasional akan terhindar.
Tempo
23 Oktober 1976
Kasus
sawito: kekacauan macam apa ?
MENGAGETKAN
sekali Pengumuman Pemerintah 22 September 1976 tentang beberapa dokumen yang
berisi penilaian atas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dianggap telah gagal
dan keadaan dewasa ini di Indonesia. Terlalu cepat bila Sawito menginginkan
Soeharto meletakkan jabatan yang bukan pada waktunya. Apakah ia berhak untuk
hal semacam itu? Kekacauan macam apa yang diinginkan Sawito? Sampai di mana ia
menyiapkan taktik dan strateginya? Bisa jadi ia merasa optimis berhasil, karena
melihat orang-orang yang menandatangani naskah itu, yang hanya menolak cara
penyampaiannya yang tidak konstitusionil. Apakah DPR sudah tidak dipercaya
lagi? Semuanya akan tahu siapa sebenarnya yang diinginkan oleh rakyat setelah
PEMILU nanti. Tentang dokumen itu, apakah tidak terlalu mudah menilai isi
dokumen “Menuju Keselamatan” sebagai “suatu penilaian yang sangat negatif”
terhadap keadaan dewasa ini? Padahal masyarakat sudah lebih maju, misalnya
dalam hal pengetahuan politik, ketatanegaraan, sarana komunikasi yang mudah,
pendalaman terhadap agama dan lain-lain. Tapi apapun penilaian dokumen itu dan
bagaimana pun isinya, asal bukan fitnah dan tidak bertujuan buruk, apalagi bila
disertai kenyataan dan fakta benar dengan latar belakang yang bermanfaat,
sebaiknya ditanggapi dan difikirkan Kita lihat isi dokumen “Pernyataan”. Kalau
memang benar dewasa ini terdapat keresahan masyarakat yang menjurus kepada
perpecahan dan keretakan kesatuan bangsa apakah ini suatu penilaian yang
negatif? Dan kemudian mereka berikrar (?) menggunakan dokumen “Menuju Keselamatan”
sebagai dasar penerapan dan pengamalan Panca Sila mencapai masyarakat adil dan
makmur. Apakah maksud ini terlalu buruk? Kalau memang ini bertujuan untuk
menimbulkan hal yang buruk, mengadu domba, mengacau, tindaklah! Tapi jangan
memandang siapa ‘dia’ dan jangan menggunakan hukum yang tidak ada. Kesimpulan
sementara Pemerintah setelah meneliti dokumen-dokumen itu memang benar.
Pemerintah menyangsikan kesadaran dan kesetujuan tokoh-tokoh masyarakat atas
naskah itu. Apakah mereka benar-benar menyetujui dan mengetahui tujuan jahat
yang terkandung di belakang fikiran pembuatan dokumen-dokumen itu? Bila melihat
ringkasan surat mereka, saya berkesimpulan: mereka hanya mengetahui maksud dan
tujuan baiknya saja. Mereka tidak mengetahui bahwa tandatangannya digunakan
untuk maksud jahat. Kita lihat ringkasan surat Hatta. Beliau berani
menandatangani naskah itu setelah dijelaskan dalam rangka menegakkan Panca
Sila. Berarti penilaian Hatta sendiri Panca Sila itu sedang tidak tegak. Tapi
ada keanehan pada kalimat lainnya: Hatta sadar, bahkan bukan saja isinya tidak
sesuai dengan penilaian beliau terhadap kenyataan yang ada, tapi juga tidak
konstitusionil. Kalimat-kalimat mana yang ditakutkan Hatta sehingga ia menjadi
tidak jujur? Bagaimana penilaian Hatta waktu itu tentang “kenyataan yang ada”,
yang akhirnya dia sendiri mau menandatangani naskah itu? Mungkin ini mustahil
bagi Hatta memberikan tanda tangan tanpa meneliti isi dan tujuannya lebih jauh,
apalagi ini bukan untuk hal remeh (dalam rangka menegakkan Panca Sila). Semoga
tidak begitu dalam tandatangan teks proklamasi kemerdekaan RI. Lalu bagian mana
yang Kardinal Darmojuwono anggap terlalu keras? Memang lunak kadang lebih baik,
tapi apakah tidak lebih baik dipentingkan dulu kebenaran atau ketidakbenaran
masalahnya. Kardinal menganggap ada bagian yang tidak tepat dan
berlebih-lebihan, padahal kedua bagian yang sifatnya demikian itu tidak baik
(salah). Tapi beliau membubuhkan juga tandatangannya, dengan pertimbangan
“sudah ada punya pak Hatta”. Tidak begitu jauh halnya dengan Hamka yang
profesor itu. Beliau tidak mengkomersilkan tandatangannya, cukup dengan
basa-basi lalu dia membubuhkan pula tandatangannya. Akhirnya mereka, bersama
dengan TB Simatupang dan R. Said Soekanto Tjokrodiatmojo hanya dapat mengatakan
tentang perasaan dibohongi dan ketidak telitiannya. Betulkah? Mengapa dan apa
sebenarnya yang diinginkan oleh fihak-fihak tertentu dengan peristiwa ini?
USMAN EFFENDY Jl. Penggalang 14, Jakarta Timur.