Tempo
12 November 1977. TITIEK Puspa adalah sejenis industri. Selasa pekan lalu ia
merayakan ulangtahunnya dengan sebuah pesta sekitar Rp 1,5 juta di- Hotel
Indonesia Sheraton, Jakarta.
Sampai
tengah malam. Paginya ia menerima wartawan untuk wawancara. Begitu selesai, ia
ke airport untuk naik pesawat ke Surabaya. Sambil menunggu pesawat ia masih
harus memberikan wawancara lain. Di Surabaya ia mengadakan pertunjukan untuk
amal. Dari Surabaya ia terbang ke Medan untuk sebuah show dana lagi. Juga malam
berikutnya. Dan Senin minggu ini, setelah sehari istirahat di Jakarta, ia ke
Surabaya sekali lagi. Kali ini rencanaya buat di sana sebulan. Ia harus
menyelesaikan film Inem seri ke-II dengan sutradara Nyak Abbas Akub. Dalam
proses itu ia mungkin bergerak untuk menyusun sebuah lagu. Siapa tahu. Lagu
ciptaannya kini telah lebih dari 300 buah. Tak ayal lagi dialah komponis wanita
Indanesia yang paling banyak tercatat karyanya sepanjang sejarah – mungkin
sejak sebelum zaman Majapahit. Bahkan mungkin ia penggubah lagu paling
produktif melebihi siapapun selama sederet dasawarsa ini. Yang jelas, di
hari-hari ini, para penyanyi bagaikan antri menunggu lagu dari Titiek – suatu
hal yang tak dialami komponis lain. Malam itu, di Ramayana Room Hotel
Indonesia, ia mengenakan gaun tipis merah jambu, dengan rambut dililitkan ke
atas. Sahabatnya, para bintang panggung dan film dan penyanyi, yang tiba
bagaikan silih berganti, memberinya ciuman. Sebuah band dari hotel mengantarkan
tamu (antara lain Ali Sadikin dan nyonya) menghampiri hidangan yang untuk tiap
orang dihitung Rp 4.700 itu. Sesudah itumereka duduk. untuk meng ikut,i acara
kocak buat Titiek. Menjelang jam 22.00, didampingi anaknya Petty (17 tahun) dan
Ella (15 tahun, Titiek Puspa memotong kue. “Terima kasih teman-teman . Usia
saya sudah-40 tahun. Usia yang sudah semakin tua. Setua ini pula, teman-teman,
saya berbahagia. Tapi jangan tingalkan saya ya…. Suaranya yang tersohor itu,
alto, husky, memberat-mendayu dan dengan main-main di sana-sini, terdengar di
pengeras suara. Siapa bisa meninggalkan Titiek, setidaknya sekarang? Tak banyak
wanita – apalagi bintan — yang berani merayakan ulang-tahunnya yang ke 40
dengan begitu penuh gebyar. Tak banyak wanita yang pada moment itu begitu yakin
bahwa ia tak akan dilupakan orang. Lima tahun yang lalu ia pernah berfikir
bahwa ia akan berhenti menyanyi setelah 40 tahun. Tapi hari itu Titiek Puspa
nampak belum pada titiknya. Dengan tinggi 167, berat lebih kurang 59 kilo, ia —
yang dipanggil “Tante” oleh para penyanyi mutakhir — masih sexy, senang,
sukses, sibuk. “Ia masih jam 12.00 siang,” komentar sutradara Nyak Abbas Akub,
“belum surut ke sore.” Sudarwati, anak mantri kepala kesehatan yang baru
berumur 3 takun, terkena tipus dan kemudian malaria. Ayahnya, Toegeno
Poespowidjojo, seperti banyak orang Jawa lain, mencoba menyelamatkan anak ftu
dengan mengganti namanya. Si bocah jadi Soemarti. Tapi tahun-tahun tetap suram
bagi keluarga priyay kecil itu. Di masa pendudukan Jepang, di tahun 1944, di
kota Semarang yang panas itu, si Soemarti – sambil bersekolah di sekolah dasar
kelas dua – berjualan air teh dan peyek. Setelah beberapa kali berpindah ke
pelbagai kota di Jawa Tengah’, keluarga Toegeno akhirnya menetap di Temanggung
sampai Soemarti kelas V sekolah dasar. Baru pertengahan tahun 1948 Marti
diindekoskan di Magelang. Dari Temanggung, orang tuanya tiap bulan cuma bisa
mengirim uang pas-pasan. Untuk baju, Marni biasa punya akal: bajunya yang usang
dirombak, modelnya ia disain lagi di kertas koran, lalu diselesaikannya jahitan
dengan tangan. Makanan pun sangat terbatas. Pagi, siang dan malam hanya nasi gudeg
dengan secuil tahu atau ibu tempat numpang itu memasak yang lain, itu berarti
pesta. Suatu hari Marni melihat ibu itu menggoreng sesuatu yang terlihat enak:
mungkin tempe, mungkin hati. Lapar, ia sambar. Ternyata yang dikunyahnya trasi
goreng. Ia selalu membawa gula enau yang seperti kue merah ke sekolah. Gula
Jawa itu biasanya ia barter dengan singkong rebus bekal teman-temannya. Suatu
ketika sepotong gula jawa tertinggal di laci kelas. Paginya semut membanjiri
ruangan. Soemarti disetrap guru, ia harus berdiri di luar kelas. Tapi cerita di
sini tak berarti cuma sedih. Anak gadis itu nakal, hampir seperti anak lelaki.
Ia tomboi yang bisa urakan. Soemarti suka mengejar kereta api yang tengah
berjalan. Atau nongkrong di dahan pohon, nyanyi. Atau waktu disetrap guru di
luar kelas – pergi ke warung pak penjaga sekolah. Kalau punya uang, ia disetrap
sambil jajan pecel. Komponis Titiek bagi para penyanyi lain, bagaikan seorang
penjahit tenar. Mereka pada datang ke rumahnya, kadang seperti hampir berebut,
minta dibikinkan lagu. Menurut cerita penyanyi Nona Anna Ade Manuhutu, Titiek
punya stok lagu yang disimpan dalam sebuah buku khusus. Penyanyi yang datang ke
rumahnya tinggal pilih mau lagu yang mana. Selain si penyanyi boleh
membolak-balik buku ciptaannya, Titiek juga sedia menerima pesanan. Kalau
sedang mujur, si pemesan bisa menunggu hanya dua sampai tiga hari saja.
Kemudian dia sudah bisa menerima barang yang diinginkan. Titiek sendiri tahu
betul nampaknya, lagu apayang pas untuk penyanyi mana. Lagu Bing – yang
ditulisnya dengan mata basah di atas kantong tempat muntah di pesawat terbang
ke Bangka, beberapa jam setelah Bing Slamet meninggal – tidak diberikannya
kepada penyanyi Eddy Silitonga. “Karakter Eddy tidak sarna dengan karakter lagu
itu,” kata Titiek. Lagu itu pun keluar lewat bibir Grace Simon. Mus Mualim,
suarni dan pendamping musiknya dalam penciptaan, mengatakan bahwa pengenalan
Titiek terhadap karakter dan warna suara penyanyi yang berbedabeda sangat baik.
“Kalau yang pesan Hetty, pasti yang keluar not-not dan warna untuk Hetty,”
katanya. Menurut Hetty Koes Endang sendiri, sampai sekarang “Tante Titiek”
sudah dua kali khusus mencipta untuk dia: Kepergiannya dan Tamatnya Sandiwara,
yang direkam lewat Musika Studio. Pemenang Festival Lagu pop ’77 ini menyatakan
banwa Kepergiannya selesai semingu sebelum festival, sengaja di buatkan Titiek
atas permintaannya. Namun tidak selalu memang bahwa Titiek sendiri yang
mehentukan siapa penyanyi buat lagunya. Ade Man ltu misal’nya, menongkrongi
Sendiri Lagi. Tapi transaksi antara penyanyi yang direkam oleh perusahaan
seperti Remaco memang lazimnya ditentukan perusahaan itu. Remaco ternyata
kemudian menyerahkan lagu itu ke Trio Bimbo, yang juga memintanya. Dan Sendiri
Lagi pun dinyanyikan suara berat Acil, dengan sedikit variasi gaya mandolin
Napolitan pada musik. Remaco menyerahkannya pada Birnbo karena harg jual Bimbo
lebih tinggi. Tapi Ade Manuhutu sendiri, meski mungkin rada kecewa, sadar betul
soal kecocokan dirinya buat lagu-lagu Titiek. “Tante Titiek selalu tahu warna
penyani. Misalnya lagu Jatuh Cinta. Mana kena itu pada saya? Bisa berantakan
kalau saya yang nyanyi,” kata Ade jujur. Ciptaan Titiek yang, dinyanyikannya
adalah Masa Remaja. Mungkin karena ada keluguan dalam suara Ade, mungkin,
karena pra-kematangan teknik yang tak cukup lincah untuk bermain-main dalam
diri Manuhutu, Jatuh Cinta pun jatuh ke Eddy Silitonga. Dengan enak. LAGU itu
pertama kali diperkenalkan Titiek sendiri via acara musiknya di TVRI sekitir 5
bulan yang lalu, dengan iringan gitar Ireng Maulana. Tapi seperti dikatakan
Ferry Iroth dari Remaco, “jeleknya bukan main”. Agaknya karena gitar Ireng
untuk itu rada “onder” sedang Titiek sendiri – seperti yang tak jarang terjadi
– agak “over” bertingkal dalam diksi dan ritme. Lewat Eddy Silitonga, Jatuh
Cinta jadi hit yang hot. Ia bukan saja merupakan selingan yang hangat dari
koleksi Eddy yang agak jadi monoton oleh loloran sedih. Dengan bekal suara Eddy
yang sebenarnya bening, lagu yang kaya akan variasi dan hidup warna lucunya itu
menonjol ke puncak. Jatuh Cinta mungkin ciptaan Titiek terbaik, dan terlaris.
Berapa anda dapat untuk sebuah lagu, mbak Titiek? “Penghargaan produser rekaman
sekarang ini,” jawabnya setengah berteka-teki, “baru seperempat dari honor
normal.” Para penyanyi yang pernah mendapatkan lagunya mengancar-ancari. Harga
karya Titiek untuk sekali masuk studio rekaman bergerak antara Rp 200 – 300
ribu. Besar atau kecil adalah nisbi. Sebagai bintang film Titiek kini mungkin
bisa mencapai lebih 5 x dari jumlah itu buat satu film. Tapi pengarang lagu
Widuri, misalnya, Adriadi yang baru muncul, hanya dapat Rp 25.000. “Nasib
pengarang lagu memang jelek,” kata Mus Mualim. Soemarti, punya seorang sahabat,
Rahayu namanya. Si Yayuk kini jadi isteri seorang pegawai tinggi Dep.
Perhubungan, di Jakarta. Di Semarang – kira-kira seperempat abad yang lalu –
Marti dan Yayuk bersekolah bersama di sebuah SMP di bagian timur kota. Mereka
naik sepeda bersama, ribut di kelas berama dan bisik-bisik bersama. Suatu hari
ibu Yayuk mendapati ada yang aneh pada kaki Soemarti. Kaki itu menggembung, dan
bila dipijit meninggalkan bekas yang dalam Kesimpulannya: Marti kena beri-beri.
Ibu itu pun membawa sahabat anaknya ke dokter. Tiap kali Marti datang ke rumah
diberinya kacang ijo rebus. Mungkin karena skala prioritas Marti dalam
pembelanjaan/agak lain. Gadis yang dalam usianya kini gemar berpuasa ini waktu
itu juga lebih suka pada pakaian. “Kalau terima uang kiriman, ” kata salah
seorang kakaknya mengingat masa lalu itu, “ia lebih suka membeli bahan baju.
Dia lebih baik nggak makan dari pada nggak punya pakaian.” Sudah mulai genit,
barangkali. Lulus dari SMP di tahun 1954, Marti dan Yayuk memasuki Sekolah Guru
Taman Kanak-Kanak (SGTK) di Lempongsari, Semarang. Agak berandal juga
“Kaladalam ulangan Inggeris kami nggak bisa menjawab’ cerita Yayuk kemudian,
“gurunya kami lempari surat – diajak nonton film.” Si guru terkadang mau.
Titiek Puspa – peraaya atau tidak — adalah komponis do-re-mi. Proses
penciptaanya bisa cepat dan tiba-tiba. Lagu Bing selesai di dalam pesawat
Bouroq 15 menit. Anaknya, Petty, bercerita tentang bagaimana ibunya mengarang
lagu: “Dari WC mama kadang berteriak — minta pulpen dan kertas.” Kadang, waktu
menghadapi tamu, Titiek minta permisi sebentar: dalam kepalanya berkecarnuk
sebuah bahan nyanyian, dan ia perlu cepat-cepat mencoretkannya ke kertas. Di
kertas yang tersedia itu ia guratkan fragmen lagu yang menghinggapinya, dalam
bentuk not angka. Ia rupanya tidak sip dengan not balok. Dan not angka itu,
dalam bentuknya yang petama, juga tanpa tanda-tanda lengkap. Biasanya ia
menyusun lagunya dalam keadaan rumah hening Hampir sebagian besar dituliskannya
pada dua buku besar – ukuran kwarto, asli tertulis pulpen hitam.Sebagian lagi
tersel ar pada sobekan-sobekan ketas. Pada kejadian yang tak terlalu luar
biasa, penulisan liriknya diselesaikannya antara 3 yang pernah dialaminya,
selesai ia menutup sebuah pertunjukan di sebuah kota di Sulawesi di awal Juli
1976. Seorang wanita lacur tengah malam mendatangi tempat Titiek dan rombongan
menginap. Di dalam kamar, empat mata, mereka berbicara. Wanita itu menumpahkan
segala kegetirannya. Ia bercerita tentang keinginannya untuk hidup seperti
wanita lain. Ia bercerita juga tentang kemustahilannya yntuk mendapatkan cinta
dari laki-laki (“kalau toh ada yang mencintai, ternyata mereka sudah
beristeri,” kata Titiek mengungkapkan kembali). Ia juga berkisah tentang
bagaimana ia, untuk mengalamatkan hidup, harus berbuat melebihi kemampuan.
Pendeknya, sebuah thema penderitaan, yang agaknya umum terdapat dalam dunia
lampu merah. “Wanita itu nangis di pangkuan saya,” tutur Titiek. “Tak tahan
saya mendengar kisahnya. Dan di kamar itu kami bertangisan sampai pagi.” Kepada
wanita itu pulalah sebuah lagunya iapersembahkan. Lagu itu, selesai 1 Juli
1977, berjudul Kupu-Kupu Malam. Ketika masuk rekaman yang dinyanyikannya
sendiri, judulnya diganti jadi Dia Ingin Hidup. Dan Titiek memakai nama samaran
Harius. Ada yang benci dirinya Ada yang butuh dirinya. Ada yang berlutut
menyintanya Ada pula yang kejam menyiksa dirinya * Ini hidup wanita si Kupu
Kupu Malam Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga Bibir senyum kata halus merayu
memanja Kepada setiap mereka yang datang * Dosakah yang dia kerjakan Sucikah
mereka yang datang Kadang dia tersenyum dalam tangis Kadang dia menangis di
dalam senyuman * Tiga dari empat bait syair itu tak akan membikin kita
tercengang. Seperti kebanyakan lirik nyanyian populer Indonesia, di sana tak
cukup “imager” yang orisinil, tak ada daya buat menimbulkan lukisan yang hidup
dan segar. Tapi Kupu-Kupu Malam toh menarik. Berbeda dari lagu Titiek yang
lain, ambillah Cinta yang meluap deraskan “perasaan” dengan banir kata-kata
hebat, KupuKupu Malam pemiliki kesederhanaan dan kontrol. Namun lebih dari itu
adalah isinya, dan cara Titieh menyampaikan isi itu sendiri: ada simpati, yang
nampaknya tidak dibikin-bikin. Ada semacam pertanyaan yah menggugat – tapi
dalam lagu itu disuarakan tanpa lengkung atau lengkihg suara. Cukup degan nada
yang hanyamengulangi baris bait petama: “Dosakah yang dia kerjakan ? ” Mungkin
tanpa disadarinya sendiri, Titiek telah masuk ke dalam sesuatu yang
kontroversial – seperti Rendra dalam Nyanyian Angsa: sebuah pembelaan bagi
pelacur, yang oleh moral umum dikutuk . Maka Wienaktoe, pengamat musik yang
cukup terkenal itu, memberikan pujian: “Titiek makin mantap.” Ia khusus
menyebut bahwa dengan Kupu-Kupu Malam, Titiek tak cuma berkisar pada perkara
cinta melulu, tapi juga “kehidupan sosial di sekelilingnya.” Untuk yang
“tidak-cinta melulu” Wienaktoe menyebut pula operette Idul Fitri Titiek.
Sebenarnya sejak dulu komponis yang berpendidikan Sekolah Guru Taman
Kanak-Kanak ini memang tak cuma menggeletar dengan cinta doang. Ada sebuah
album Titiek, diiringi kelompok band Puspasari. Piringan hitam itu berisi 10
lagu. Tapi yang menonjol dari kumpulan belasan tahun yang silam itu adalah
Minah Gadis Dusun dan Pantang Mundur. Namun keduanya dibuat dalam masa
“semangat Revolusi”, tatkala lagu cinta dengan lenguhan nafas bak dalam Sinyo
Dendy pasti bakal kena pelotot PKI, PNI, NU dan segenap anggota Front Nasional.
Maka maklumlah, jika ada yang kurang “tulen” di dalam Pantang Mundur, betapapun
merdunya. Mungkin yang “sosial” dalam Kupu Kupu Malam lebih terasa wajar:
compassion seorang wanita kepada wanita lain yang penderitaannya tak bisa
dikisahkannya kepada seorang lelaki. NAMUN pada dasarnya, Titiek Puspa adalah
penghibur, bukan komentator sosial. Ia biasa mendukung apa yang sudah disenangi
umum. Begitulah, hari-hari ini, setelah Benyamin S., setelah penyanyi dang dut
Latief, Titiek Puspa juga sedang menyelesaikan pesanan lagu tentang pungli.
Katanya: “Liriknya akan saya bikin tidak terlalu keras. Saya harus hati-hati
dong.” Kakak Soemarti, Gatot Sumarno, berbicara tentang adiknya: “Dia suka
bersiul. Siulannya kayak siulan anak lelaki dewasa. Pokoknya di rumah siulannya
maut.” Ternyata sebelum lulus dari SMP cewek yang suka bersiul dan siulannya
maut ini jadi juara pertarna nyanyi se-Semarang. Lagu yang dibawakannya:
Bakhtera Laju, yang pelan dan – mungkin cocok buat dia — memberi peluang untuk
mendayu-dayu. Marti cuma diiringi piano, bas betot dan sebuah drum. Cuping
hidungnya mulai berkembang bangga setelah itu. Dan tiba-tiba, gadis yang suka
main drama dalam peran laki-laki ini, berubah nama jadi Titiek Puspa. Usul
datang dari si Yayuk. “Namamu jelek, ganti saa dengan Titit. ” Waktu itu mereka
belum tahu “titit” bisa berarti lain di Jakarta – tapi alhamdullah tidak jadi
dipakai huruf “t” terakhir itu di sana. Malah yang hampir jadi Titit segera
jadi Titiek. Ditambah Puspa, ringkasan nama keluarga Poespowidjojo. Hampir
setahun kemudian, Septern-. ber 1954, Titiek Puspa jadi juara ke-II Bintang
Radio jenis hiburan tingkat daerah RRI Semarang. Mau jadi Penyanyi terus?
Kakaknya yang perempuan, Toeti, tak senang. Bapaknya takut kalau Soemarti, eh,
Titiek, jadi penyanyi betul. “Kalau kamu jadi penyanyi muka bapak mau ditaroh
di mana?” begitu cerita Titiek Puspa tentang reaksi bapaknya, di zaman ketika
penyanyi dianggap berada di luar garis keterhormatan. Tapi Gatot Soemarno, kini
44 tahun dan bekerja di sebuah PT di Jalan Batuceper, Jakarta, punya pikirnya
praktis. Ia dukung niat adiknya, “daripada ia lari kepada hal-hal yang tidak
baik.” Tapi di malam ulangtahun ke 40 Titiek itu, Yang gemerlap dan penuh lagu
serta ketawa, Gatot berkata: “Yah, saya nggak tahu kalau dia mau jadi begini. ”
Ia menatap berkeliling. Di tahun 1961 seorang pengawa rekaman Bali Record
berkata kepad Titiek Puspa: “Kalau nyanyi jangan pakai kembang-kembar segala
–lurus saja seperti penyanyi hiburan itu.” Titiek” terus saja pakai
kembang-kembang dan lagu Batak yang dinyanyikannya, Indada Siruiton, juga lagu
Mochtar Embut Esok Malam mau Kujelang dan Di Sudut Bibirmu, dengan cepat jadi
laku. Ada suatu dorongan untuk tidak lurus-saja pada cara nyanyi Titiek, yang
juga tercermin dalam lagunya. Ia memberi liuk yang berani pada lagu yang secara
sopan diucapkan penyanyi lain. Orang lain mendesir, Titiek mendesau. Orang lain
menggunakan bunyi “r” tanpa etek, Titiek mendobel bunyi itu jadi “rrr”. Sayang,
hawa panas yang terasa dari ekspresi lagu-lagu Titiek, seperti hawa rokok yang
terus-menerus diisapnya bila mencipta, bisa berlebihan. Lagu Tangis dan Cinta
yang dinyanyikan’ Eddy Silitonga Insya Allah akan menolong remaja dari gigitan
“ccinnttaa”. Tapi Eddy Silitonga terlanjur terdengar seperti anak tiri dalam film
Indonesia . . . Betapapun, Titiek membuktikan bahwa pada dasarnya tak banyak
yang berubah dalam sentimentalitas unsur yang melariskan lagu-lagu Indonesia
sejak sejumlah tahun ini. Sentimentalitas umum itu berada di semua umur.
Mungkin akarnya bisa dicari pada nyanyian rakyat Pasundan Dandarggula dan
Maskumambang di Jawa, atau kesayuan bunyi saluang di Minangkabau atau kepada
lagu rakyat Batak. Mungkin dari sini bisa ketahuan bahwa roc, Country music,
hanya melintas sementara. Mungkin warna dasar musik kita kini dan kelak lebih
dekat ke chansons Perancis daripada ke swing Amerika. Tapi itu tentu baru
dugaan. Komponis, penyanyi dan publik Indo nosia masih terus mencoba pelbagai
variasi. Titiek Puspa adalah tauladan yang jelas. Ia, di tahun 1957 pernah membawakan
lagu lagu Melayu bersama O.M. Bukit Siguntang. Tapi di tahun yang sarna ia
merekam Papaya Cha Cha di’ Lokananta. Di hari kemudiannya ia bisa menciptakan
nyanyian gaya dangdut Hidupku Untuk Cinta — yang populer sampai ke
tempat-tempat pelacuran. Tapi ia juga menulis operette dan mencoba itu dalam
film Bawang Merah. Hasilnya agak terlalu Barat bagi kuping Indonesia. Di
samping itu, ia mencoba melintasi batas umur. Titiek belum perlah men cipta
untuk Duo Kribo Ahmad Albal dan Ucok, – yang “keras”?, kata orang — tapi ia
menyaikan lagu untuk grup penyanyi cewek remaja Arya Yunior. Judulnya Ciuman
Pertama. Menurut Anny Arifin, 18 tahun, dari grup itu, mereka memang yang pesan
kepada Titiek. A. Riyanto, pencipta dan pemain terkemuka dari Favourite Group, memuji
lagu itu. “Syairnya ringan, bebas dan berani mengutarakan segalanya?” katana.
Bahkan lanjut pencipta yang berumur 34 dan agak pemalu itu Ciuman Pertama
“lincah, dan agak nakal “mungkin pencerminan pribadi Titiek. “Malahan bila
dibandingkan dengan pencipta generasi yang lebih muda, Titiek lebih berani,”
kata Ryanto. Itu tak berarti bahwa Titiek, yang juga mencipta lagu buat
anak-anak Adi Bing Slamet, Santi Sardi din Debby (binti Oma Irama), akan
berhasil jadi pencipta untuk remaja di masa-masa mendatang. Titiek, tentu saja,
bukan tanpa kegagalan. Bintang Radio berpendar-pendar di tahun 50-an. Gelar itu
diincar oleh tiap calon penyanyi. Titiek Puspa dari Semarang tak pernah
mencapainya. Ia datang ke Jakarta di tahun 1954, untuk seleksi nasional. Tapi
yang diperolehnya hanya tanda tangan Bing Slamet dan perkenalan dengan Syaiful
Bachri almarhum. Mulai tahun 1958 ia masih tetap mondar-mandir Semarang –
Jakarta. Tapi di RRI Jakarta ia bertemu dengan Zainal Ardi, kepala seksi
siaran. Mereka menikah setahun kemudian. Suami isteri baru ini menetap di rumah
keluarga Titiek di Jl. Raden Saleh. Di tahun 1960 lahir Petty Tanjungsari. Dua
tahun kemudian Ella Puspasari. Beberapa saat setelah melahirkan anaknya yang
pertama, ia mencoba mengikat kontrak sebagai penyanvi kelab malam Hotel Des
Indes yang kini sudah dihancurkan itu dan jadi Duta Merlin. Tapi baru beberapa
malam, Titiek berhenti. “Saya tak mau,” kata Titiek kemudian, “sebab tiap habis
nyanyi selalu didekati oom-oom, saya jadi risi. “Di belakang panggung Titiek
menangis. TANGIS Titiek masih panjang. Zainal, suaminya, berangkat ke Jerman
Barat untuk belajar di tahun 1964. Titiek kemudim main dalam film, membintangi
Minah Gadis Dusun – dari lagunya sendiri – di bawah sutradara Waldi. Filmnya
yang lain di bawah Usmar Ismail adalah Di Bawah Cahaya Gemerlapan. Dan di
antara gemerlapan itu pula Titiek harus menghadapi krisis tergawat dalam
hidupnya Glamor, gebyar dan gemerlap menarik banyak orang ke dunia uang dan
kekuasaan. Dan Titiek pun dihubung-hubungkan dengan Direktur Bank Sehtral Jusuf
Muda Dalam. Pergolakan terjadi di tahun 1965 – 1966. JMD jatuh, ia dijadikan
salah saru target kemarahan orang yang selama itu tertekan politik dan ekonomi.
“Rasanya dulu sedih sekali,” Titiek kini mengenang semua itu. “Saya harus
menghadapinya sendirian, sementara suami di luar negeri”. Pulangnya sang suami
toh akhirnya tak menyelesaikan kesatuan rumah tangga. 1968, Zainal Ardi dan
Titiek Puspa bercerai. Hubungan mereka kemudian masih tetap baik. Ketika
ulangtahun yang ke 40 itu bapak si Petty dan si Ella ikut datang. Tapi sejarah
rumah tangga Titiek baru bisa berangkat lagi setelah 1970: ia menikah dengan
Mus Mualim. Musikus ini waktu itu juga sudah menduda, dengan anak tiga. Mus,
seumur, memang bukan orang baru dalam kehidupan Titiek. Sejak tahun 1963 Mus
Mualim-lah yang mengajarnya dalam komposisi – dengan suaranya yang pelan,
tubuhnya yang jangkung besar dan kecakapan musiknya yang dikaguni Titiek.
Setelah mereka menikah, dan Mus menambahkan anaknya Noi ke dalam keluarga baru itu,
Mus tetap sebagai pendamping kerjanya. Rumah di Jalan Sukabumi itu terasa
sempit sekarang dengan 12 nyawa di dalamnya. Di depannya ada sebuah Mercy,
sebuah Corolla dan sebuah Fiat. Tapi rumah itu rasanya selalu terbuka, santai
tapi ramah.