Dengan Percikan Api


02 Maret 1974. EKOR huru-hara 15 Januari rupanya tidak pendek. Berbagai desas-desus dan bentuk-bentuk perang urat syaraf lainnya terlempar ke sana-sini “yang tujuannya mengalihkan opini masyarakat”.
Misalnya disebutkan seakan-akan pemerintah telah bertindak sewenang-wenang tanpa mengindahkan hukum. Dan banyak lagi. Tetapi untuk memben-dung semua kabar angin inilah Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo pekan lampau secara pasti menyatakan semua itu sebagai “tidak benar”. Sudomo menunjuk Ketetapan MPR nomor X tahun 1973 pasal 2 sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk menye-lesaikan semua persoalan yang berhubungan dengan kerusuhan 15 Januari itu. Dengan pijakan itu pulalah menurut Sudomo, ke-778 orang yang ditahan — dari jumlah seluruhnya 8 orang — telah dibebaskan. Sisanya yang 42 orang lagi itu masih terus dalam pengusutan karena urusan mereka dapat digolongkan tindak pidana subversi. Tanpa menyebut-nyebut nama, Kepala Staf Kopkamtib itu mengakui bahwa di antara 42 orang tadi terdapat 4 orang anggota DPR/MPR dan beberapa orang perwira ABRI. Tetapi bahkan penahanan ke 42 orang itu juga mempunyai dasar hukum kuat, yaitu UU nomor 11 Pnps 1959 pasal 7. Bunyinya kurang-lebih: dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan lain bagi penahanan sementara, Jaksa Agung berwewenang untuk menahan orang yang dituduh melakukan subversi selama-lamanya 1 tahun. Ekstrim lainnya. Berbicara di hadapan pers, Laksamana Sudomo menguraikan segala seluk-beluk latarbelakang sebelum maupun sesudah huru-hara yang “merupakan lembaran hitam dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia”. Disebutkan pula bahwa pada 15 dan 16 Januari penahanan telah dilakukan terhadap 472 orang. Jumlah ini terdiri dari 14 orang mahasiswa, 250 buruh, 2 pedagang, 83 pelajar, 41 pemuda, 2 tukang beca, 1 penganggur dan 26 orang gelandangan. Hampir separohnya lagi, yaitu sebanyak 330 orang ditahan sesudah hari-hari yang kacau itu. Laksamana Sudomo sendiri mengakui sepintas lalu kejadian tersebut seperti berdiri sendiri dengan dipelopori para mahasiswa untuk menyatakan ketidak-senangan mereka terhadap ekspansi dan dominasi ekonomi Jepang melalui kunjungan PM Tanaka. Namun, menurut Kepala Staf Kopkamtib” berdasarkan fakta-fakta waktu, proloog dan fakta yang telah dapat kita ungkapkan sebagai hasil sementara, menunjukkan bahwa peristiwa itu tidak merupakan kegiatan tersendiri tetapi merupakan bagian yang integral dari suatu konsepsi dan rencana yang dipersiapkan jauh sebelumnya”. Apakah artinya ini? Tak lain adalah “usaha untuk menumbangkan pemerintah yang sah pada tingkat pertama dan merubah dan menggantikan UUD 45 dan Pancasila pada tingkat yang terakhir”. Adalah jelas, kala Sudomo, demonstrasi terhadap Tanaka merupakan sekedar percikan api untuk meledakkan kondisi revolusioner yang telah disiapkan jauh sebelumnya. Hampir tak beda dengan itu, berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, adanya konsepsi yang menganut faham sosialis yang untuk mencapai-nya dipergunakan cara-cara radikal bertujuan menggantikan Orba. “Dengan demikian? ucap Sudomo, “adalah jelas yang kita hadapi adalah tindak pidana subversi”. Lebih dari itu, “dari sudut pengusutan dapat diungkapkan adanya 3 kelompok yang mengambil bagian dalam peristiwa itu”. Yaitu, kelompok pertama berupa konseptor atau pencetus idea terdiri dari kalangan intelektuil sebagai otaknya. Kelompok kedua penggerak dengan mempergunakan sekelompok kecil mahasiswa yang ekstrinn Akhirnya kelompok ketiga: para pelaksana atau massa yang terdiri dari berbagai golongan, yaitu mahasiswa, buruh, pelajar, pemuda, pedagang bahkan penganggur dan gelandangan. Laksamana Sudomo mengungkapkan sistim pematangan keadaan yang mereka ciptakan, yaitu dengan melancarkan issue-issue yang apriori oposisi serta negatif terhadap pemerintah terutama dalam bidang ekonomi, sosial dan khususnya menyangkut pembangunan nasional. Selanjutnya ditingkatkan menjadi issue politik dengan sasaran Aspri, Kopkamtib, Dwi Fungsi ABRI dan DPR sehingga akhirnya menuju penumbangan pemerintah yang sah, Pimpinan Nasional dan Pancasila serta UUD 45. Mengambil hasil pemeriksaan pula, bahkan Sudomo menyebut adanya gerakan ekstrim lainnya dengan sasaran atau konsepsi yang berbeda. Golongan ini, menurut Laksamana itu, termasuk Orla yang mencoba memanfaatkan dan menunggangi peristiwa tadi. “Otaknya adalah oknum ekstrim partai terlarang yang tidak mau melembaga walaupun oleh pemerintah telah disediakan wadah –seperti Golkar Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia”, kata Sudomo pula, sambil menambahkan bahwa oknum-oknum tadi bergerak di bawah tanah dengan menggunakan organisasi tanpa bentuk dan menempuh jalan radikalisme, kekerasan dan inkonstitusionil.
Dimulai: “spion melayu” dimulai: “spion melayu”

 Tempo 30 November 1974
KALAU tersebut istilah “spion Melayu”, tak berarti peradilan Hariman yang memasuki sidang ke-50 itu tidak sungguh-sungguh. Sebutan itu malah jadi kunci bagi bagian pleidoi 150 halaman itu untuk mengatakan bahwa ada empat hal yang dipertaruhkan dalam kasus Ketua DMUI ini. Sebab, demikian Tasrif yang pada gilirannya membacakan pleidoi itu, “spion-spion Melayu” ini telah membikin kepercayaan antar mahasiswa dalam bahaya. Menurut Tasrif, yang membacakan bagian penutup dari lima bagian pembelaan itu, dari pemeriksaan terlihat ada beberapa mahasiswa yang memberi kesaksian seolah-olah terdakwa Hariman menghasut. Bukankah, demikian pembela, kata-kata terdakwa diucapkan ketika mahasiswa sedang makan-makan, bersenda gurau, berkelakar dan sebagainya. “Kami terus terang merasa risi, apabila omong-omong senda gurau antar-mahasiswa sampai-sampai secara serius dijadikan kesaksian dalam perkara ini, sekalipun kesaksian-kesaksian itu telah disangkal secara tegas kebenarannya oleh saksi-saksi lainnya”, sebutnya. Menteri Mochtar Lebih luas lagi hal itu akan berakibat bahwa para dosen dan gurubesar dalam memberi kuliah diliputi rasa khawatir. Sampai sini hadirin tertegun. Tasrif berhenti membaca. Hari makin beranjak sore. Baru beberapa detik kemudian advokat ini melanjutkan pembacaannya, itupun dengan tersendat-sendat bagai orang yang merasa terharu. Dan terdakwa Hariman pun rupanya tak bisa menahan air matanya jatuh. Tasrif kemudian melanjutkan kekhawatiran regu pembela bahwa mahasiswa kapan-kapan akan melaporkan pula isi kuliah terlepas dari konteks dengan tujuan untuk mendiskreditkan pengajar mereka. Ia mengambil contoh pengalaman. Menteri Mochtar Kusumaatmadja, yang pernah mengalami korban “spion Melayu” di tengah kampus di zaman orde lama. Ada tiga lagi tantangan atau taruhan dari perkara yang menarik perhatian khalayak ini. Yakni: generasi muda Indonesia sedang diadili, kebebasan mimbar sedang diuji dan tantangan bagi pengadilan di zaman orde baru. Yakin bahwa baik tuduhan primer apalagi subsider tidak terbukti, tak lain diharapkan regu pembela yang empat orang itu agar terdakwa dibebaskan dari tuduhan (vrijspraak), setidak-tidaknya dinyatakan dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging). Bercanda Pembelaan yang dibacakan dari jam 9 dan berakhir jam 17.17 (dengan istirahat 1 jam) dibagi dalam lima bagian. Pertama, pembahasan umum tentang aspirasi generasi muda. Kedua, pembahasan tentang tuduhan. Ketiga, pembahasan rekwisitur dan kelima penutup. Hitung-hitung ada 17 kelompok perbuatan tertuduh yang dilakukan mulai tanggal 24 Oktober 1973 sampai 15 Januari 1974. Oleh jaksa semuanya dimaktubkan dalam tuduhan primer. Kini giliran pembela mengulas dan menyimpulkan fakta-fakta itu, sebagai berikut: * 1. Dari semua kesaksian Ketua-Ketua DM, tidak satupun menyebutkan tertuduh pernah melakukan kegiatan menyebar-luaskan materi Petisi 24 Oktober sebagai satu program perjuangan. * 2. Akan ucapan tertuduh,”pemerintah semakin menyimpang dari tujuan semula”, dan “perlu adanya perubahan struktur pemerintahan, karena tak menghasilkan kemajuan”, pada pertemuan 8 DM di Unpad Bandng, 10 Nopember, menurut pembela tidak terbukti dalam persidangan. * 3. Dalam pertemuan BPH terbatas DM-UI, 24 Nopember, menurut jaksa tertuduh mengucapkan: “Setuju enggak kita ganti Suharto dengan Sumitro?” Menurut pembela tak seorangpun memberi kesaksian semacam itu. Hanya Leo Tomasoa saja yang memberi keterangan itu, tetapi harus dinilai dulu kesaksiannya, karena orang ini pernah dua kali hendak berkelahi dengan tertuduh. * 4. Ucapan-ucapan tertuduh dalam ririungan di ITB 8 Desember tidak terbukti. Juga acara ini bukan forum penyebar-luasan petisi. * 5. Ketika DM IAIN menjelaskan maksud gerakan mahasiswa, jaksa menuduh tertuduh mengucapkan, “mengapa bukan Suharto?” dalam hubungan dengan kalimat “melenyapkan ketimpangan yang ada di negara ini”, oleh DM IAIN. Tak ada kesaksian yang menyatakan maksud tertuduh seperti itu. * 6. “Mau revolusl lebih dari di Muangthai…” menurut jaksa, ucapan tertuduh ini disaksikan oleh tiga saksi. Tapi dalam sidang hanya didukung oleh seorang saksi saja. Kata pembela, ini bukanlah kesaksian. * 7. Kesaksian Arifin Simanjuntak akan ucapan tertuduh”, kita bunuh saja Presiden.. ” harus dianggap bukan kesaksian. Karena saksi yang pernah dipecat oleh tertuduh, pasti tidak bersahabat, tidak objektif. * 8. Hanya Arifin Simanjuntak saja yang menganggap bahwa tertuduh ingin Ali Sadikin menggantikan Suharto sebagai soal serius. Yang lain, juga Ali Sadikin sendiri menganggap hal itu sekedar bercanda. * 9. Juga hanya Arifin saja yang mendengar tertuduh mengucapkan kata-kata: Suharto bego, ngaco, soal ASPRI, jenderal mistik dan sebagainya. Tuduhan ini kabur, tak jelas kapan dan di mana diucapkan. * 10. Apel Kebulatan Tekad, 18 Desember, yang menyerang eksistensi Kopkamtih dan Aspri, tak ada hubungannya dengan petisi. * 11. “Bapak main golf, ibu ngobjek”, menurut kesaksian bukan ucapan tertuduh, tetapi dari Djarot Santoso. * 12. Dalam malam tirakatan jaksa menuduh, Hariman mengajak rakyat menyerang kebijaksanaan pemerintah. Tak ada saksi mendukung fakta ini, kecuali Djarot. Rangkaian kegiatan yang dikelompokkan perbuatan ke 13, 14, 15, 16 dan 17 berkisar pada gerakan 15 Januari dan sebelumnya: rapat DM dan penyambutan PM Tanaka. Menurut kesimpulan pembela, perbuatan-perbualan itu tidak terbukti selama persidangan.