Sejarah Maluku hingga RMS Chapter-1
Posted
on October 7 2010
by
Harry Kawilarang/IM
Foto Eksekusi Hukuman Mati Dr Soumokil
Pimpinan RMS tahun 1960-an
koranbaru.com
-------------------------
Ambon
sejak awal kolonialisme Belanda telah mengalami masa penjajahan penuh
penderitaan dan kekejaman yang berkepanjangan, terutama ketika Belanda
menerapkan “de kruideniers politiek,” (politik rempah-rempah) di abad ke-17.
Semata-mata untuk menguasai rempah-rempah yang sangat potensial yang menjadi
primadona ekonomi bagi negara-negara Atlantik Utara.Mengikut
lembaran bangsa-bangsa di Asia-Pasifik, Ambon dan kepulauan Maluku menjadi awal
dari mata rantai perdagangan dunia sejak masa silam. Dengan rempah-rempah
sebagai komoditi
ekonomi utama, turut pula mewarnai sejarah dunia.
ekonomi utama, turut pula mewarnai sejarah dunia.
Seperti
dikemukakan pada lembaran-lembaran sebelumnya, rempah-rempah Maluku sudah
dikenal sejak jaman Romawi yang dibawa oleh pedagang-pedagang China yang
bermula dengan menggunakan jung-jung China melayari dari kepulauan Maluku
hingga daratan Cina dan bersama pedagang-pedagang India melintasi Asia
Tengah-Asia Barat hingga berakhir di Beirut, Libanon. Dari
negeri budaya Phoenix ini di sebar oleh pedagang-pedagang Arab di seputar
Mediterania, dan bagi Eropa berpusat di Florence dan Genoa untuk kemudian
disalurkan ke seluruh benua Eropa. Kegunaan rempah-rempah, terutama cengkih
misalnya dari Ternate ataupun biji pala dari kepulauan Banda tak hanya
digunakan untuk penyedap makanan, tetapi juga untuk ramuan pengobatan hingga
memiliki penggemar dari Timur-Tengah, Mediterania hingga Eropa, dan termasuk sebagai komoditi potensial di
berbagai bursa pasar di kawasan-kawasan itu. Potensi
ekonomi yang dimiliki kepulauan Maluku turut mewarnai konflik di daratan
Tiongkok dengan pergolakan di Tiongkok Barat yang di dominasi oleh pemeluk
Islam dengan membendung penetrasi Mandarin dari Tiongkok Utara yang ingin
menyatukan Tiongkok sebagai kesatuan. Berlanjut dengan masyarakat China Barat
melakukan diaspora, sambil memperkenalkan Islam, menyelusuri Asia Tengah, China
Tenggara hingga Champa di Indo-Cina Utara, dan dari sana menuju kepulauan
Filipina, Maluku Utara, Banda dan Ambon .Dikepulauan
ini mereka menguasai sentra-sentra ekonomi di berbagai kepulauan Maluku
penghasil rempah-rempah dan membentuk mata-rantai perdagangan di Jawa hingga Malaka
sambil mengembangkan agama Islam pada penduduk setempat. Dari tempat-tempat ini
pula mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Arab. Selain
itu, Ambon dan Maluku turut menginspirasi terjadinya pengembangan pencarian
benua-benua baru dengan migrasi orang-orang Eropa sebagai dampak dari kaum
ulama yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaan dengan memberlakukan sistem
pemerintahan theokrasi, hingga menimbulkan berbagai pergolakan sosial. Pengenalan
kepulauan Maluku di Eropa di mulai sejak kesultanan Otoman menguasai
Konstantinopel (kemudian di ubah menjadi Istambul), memaksa negeri-negeri Eropa
mencari jalan menuju Maluku. Dengan
menggunakan jalur lintas niaga laut hasil rintisan pelaut-pelaut Arab yang
mahir dengan ilmu falak, para musafir Portugis dan Spanyol, Belanda dan Inggris
berhasil mendarat di kepulauan Maluku –Seram, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
Pada
tiap pulau yang mereka datangi, mereka membangun benteng-benteng dengan maksud
untuk melindungi loji-loji niaga sebagai pusat jual-beli rempah-rempah dari
penduduk setempat.
Misalnya
benteng Duurstede di Saparua, benteng Hoorn di Pelau, benteng Zeelandia di
Haruku, benteng Beverwijk di Hila, benteng Rotterdam di Lariki, benteng
Wantrouw di Manipa dan benteng Overbrug di Luhu. (GWWC Baron van Hoevell: Ambon
en meer bepaaldelijk de Oeliasers, 1875).
Dr Christiaan Robert Steven Soumokil.
BANJARMASINPOST.CO.
-----------------------
Sebelumnya
pihak Portugis sudah membangun benteng Victoria pada 1527. Tetapi pada 23
Februari 1605 benteng ini direbut oleh kekuatan satu eskader Belanda pimpinan
Laksamana Steven van der Hagen. Sebenarnya Ambon tidak langsung di duduki oleh
Portugis ketika mulai mengenal Maluku pada 1512. Kedatangan mereka yang pertama
di Hitu ketika disambut ramah oleh penduduk setempat. Baru pada 1525 pihak
Portugis mendirikan kantor perwakilan dagang di Ambon . Sebelum kedatangan para
musafir Eropa ke Maluku, sudah ada hubungan perdagangan antara Maluku dengan
Tuban dan Pati di pantai utara Jawa yang sempat menjadi pusat perdagangan
rempah-rempah dan ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Arab yang juga
mengembangkan agama Islam di Jawa hingga Hitu. Sejak abad ke-17 Maluku ramai di
kunjungi para ulama Arab dari Jawa. Bahkan Sultan Ternate pernah berkunjung ke
Tuban dan Pati serta pernah memasuki pesantren untuk mendalami Islam di Jawa.
Sejak itupun terjalin hubungan niaga dengan Kesultanan Tuban. Ambon
sebelumnya sudah menjalin dengan dunia luar di masa silam. Kepulauan Maluku
sudah menjadi bagian dari lintasan niaga dunia melalui Jawa, Malaka, Tiongkok,
India dan Persia dengan kapal-kapal niaga mereka setiap tahun berlayar hingga
Ternate, Tidore dan Banda. Dari
cerita legenda lama penduduk Ihamahu di Sapurua bahwa mereka turunan dari pelaut-pelaut
Kalinga ( India ) yang terpaksa menetap karena kapal mereka tenggelam.
Raja
dari Nusaniwe di Letimor menurut tulisan Valentijn berasal dari Jawa. Di Hitu
terdapat sebuah perkampungan bernama Massapait yang berasal dari Majapahit.
Hitu memiliki penulisan sejarah berkat jasa Imam Ridjali, penulis yang giat
dengan penulisannya pada kurun 1640-1650. Valentijn
menggunakan buku Ridjali, “Hikajat Tanah Hitu” sebagai sumber penulisan bukunya
tentang Maluku. Ridjali pada bukunya mengungkapkan bahwa kepulauan Hitu di huni
oleh kelompok-kelompok masyarakat dari Tanuno (Seram-Barat, Gilolo ( Halmahera
), Tuban (Jawa) dan Goram, sebuah pulau di Seram Timur. Begitu juga pulau Bacan
yang kaya dengan kesuburan tanaman cenkih dan berdekatan dengan Ternate yang juga
menjadi daya tarik migrasi penduduk pulau-pulau disekitarnya. Sejak
penyatuan Portugis dengan Spanyol pada 1580, ternyata telah melemahkan
posisinya terhadap daerah-daerah fazalnya di kepulauan Maluku. Sementara
Belanda setelah meraih kemenangan dari perjuangan kemerdekaan melalui perang 80
tahun dari kolonialisme Spanyol di akhir abad ke-16 telah menjadi kekuatan baru
di Eropa. Sebagai hasilnya, posisi
Portugis tergusur oleh Belanda sejak abad ke-17, dengan menguasai Ambon pada
1605. Sejak itupun Belanda mengubah benteng Victoria berubah menjadi “Kasteel
Victoria ” dan menjadi pusat administrasi pemerintahan untuk wilayah Maluku
guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh Maluku. Sejak itupuna
Maluku berada dibawah cengkeraman Belanda untuk menguasai komoditi
rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en
Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956). Ambon
sebelumnya sudah menjalin dengan dunia luar di masa silam. Kepulauan Maluku
sudah menjadi bagian dari lintasan niaga dunia melalui Jawa, Malaka, Cina,
India dan Persia dengan kapal-kapal niaga mereka setiap tahun berlayar hingga
Ternate, Tidore dan Banda. Dari
cerita legenda lama penduduk Ihamahu di Sapurua bahwa mereka turunan dari
pelaut-pelaut Kalinga ( India ) yang terpaksa menetap karena kapal mereka
tenggelam. Raja
dari Nusaniwe di Letimor menurut tulisan Valentijn berasal dari Jawa. Di Hitu
terdapat sebuah perkampungan bernama Massapait yang berasal dari Majapahit.
Hitu memiliki penulisan sejarah berkat jasa Imam Ridjali, penulis yang giat
dengan penulisannya pada kurun 1640-1650.
Valentijn
menggunakan buku Ridjali, “Hikajat Tanah Hitu” sebagai sumber penulisan bukunya
tentang Maluku. Ridjali pada bukunya mengungkapkan bahwa kepulauan Hitu di huni
oleh kelompok-kelompok masyarakat dari Tanuno (Seram-Barat, Gilolo ( Halmahera
), Tuban (Jawa) dan Goram, sebuah pulau di Seram Timur. Begitu juga pulau Bacan
yang kaya dengan kesuburan tanaman cenkih dan berdekatan dengan Ternate yang
juga menjadi daya tarik migrasi penduduk pulau-pulau disekitarnya. Sejak
penyatuan Portugis dengan Spanyol pada 1580, ternyata telah melemahkan
posisinya terhadap daerah-daerah fazalnya di kepulauan Maluku. Sementara
Belanda setelah meraih kemenangan dari perjuangan kemerdekaan melalui perang 80
tahun dari kolonialisme Spanyol di akhir abad ke-16 telah menjadi kekuatan baru
di Eropa. Sebagai hasilnya, posisi
Portugis tergusur oleh Belanda sejak abad ke-17, dengan menguasai Ambon pada
1605. Sejak itupun Belanda mengubah benteng Victoria berubah menjadi “Kasteel
Victoria ” dan menjadi pusat administrasi pemerintahan untuk wilayah Maluku
guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh Maluku. Sejak itupuna
Maluku berada dibawah cengkeraman Belanda untuk menguasai komoditi
rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en
Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956). Keuning
menulis: “Dengan 5 kapal perang, di dukung 26 perahu kora-kora dengan kekuatan
900 serdadu dan matros Belanda dan 2000 orang Ambon dari Leitimor dan Uliase,
di bawah pimpinan Gubernur Ambon, Herman van Speult dan wakilnya, Jan van
Gorcum pada 14 Mei 1625 menyerbu Hoamoal di Seran. Serangan dadakan ini tidak
siap diahdapi penduduk. Sekalipun berusaha melawan, tetapi tidak berdaya
menghadapi kekuatan penyerang yang dengan kejam dan ganas membantai dengan
tembakan dan memancung leher. Selain itu menebang semua tanaman kelapa, cengkih
dan semua pohon sagu yang terdapat di pulau itu. Semua perahu perahu penduduk
yang berada di pesisir pantai dan tepi sungai dihancurkan. Aksi pembantaian
yang dilakukan terhadap pulau-pulau lainnya selama 6 minggu telah membawa
penderitaan bagi penduduk. Sekitar 65.000 pohon cengkih ditebang dan di rusak
oleh aksi penyerangan ekspedisi Belanda ini. Sejak itupun kebencian terhadap
Kompeni di kalangan penduduk sangat besar.” Walau
sering melakukan ekspedisi kekejaman, tetapi perlawanan rakyat Maluku tetap
berkobar terhadap Belanda. Seperti yang terjadi di Kahiali pada 1634 ataupun di
Tuluapessi pada 1646. Pihak Belanda menindak tidak saja terhadap pribumi,
tetapi juga dengan pesaing-pesaing dagangnya. Misalnya membantai orang-orang
Inggris di Ambon. Peristiwa ini terjadi pada 2 Februari 1623, seorang Letnan
Inggris kedapatan oleh seorang serdadu Jepang yang sedang bertugas, memasuki
benteng Victoria dan berada di tempat yang tidak boleh di masuki oleh orang
asing. Iapun di tangkap oleh serdadu Jepang yang bekerja untuk tentara Belanda.
(Waktu itu pihak Belanda banyak menggunakan legiun asing, termasuk orang-orang
Jepang sebagai tentara sewaan). Kepada atasannya, tentara Belanda, serdadu
Jepang ini mengatakan ia sudah sering melihat letnan Inggris ini bergentayangan
di benteng pada malam hari, dan menyelusup pada saat terjadi penggantian
garnisun jaga. Esok harinya Gubernur Herman van Speult langsung mengintorigasi
perwira Inggris ini. Sebelumnya, ia di siksa berat dahulu hingga mengaku
melakukan pekerjaan mata-mata atas instruksi atasan. Pengakuan
ini menjadi pegangan van Speult sebagai bukti untuk mengatakan keyakinannya
bahwa: Inggris secara rahasia melakukan persaingan curang dan pada suatu
kesempatan yang baik bersama penduduk-penduduk pribumi mengusir Belanda. Untuk
itu beberapa orang Jepang, yang juga mengaku setelah disiksa berat bahwa
Inggris merencanakan penyerbuan terhadap benteng Belanda. Dengan
dukungan Dewan, Van Speult menangkap semua orang Inggris. Selama beberapa hari
mereka ini disiksa, dimana dua tahanan Inggris karena tidak tahan oleh siksaan
meninggal. Mata-mata Inggris itu, Gabriel Towerson, mengakui bahwa ia datang ke
Ambon dengan kapal Inggris sambil menunggu hingga benteng Belanda diserbu.Adanya
usaha itu, maka pada 6 Maret 1623, Gubernur Van Speult dengan dukungan Dewan
kota memvonis hukuman mati terhadap 10 orang Inggris, 10 orang Jepang dan
seorang Portugis dan di eksekusi pada hari itu juga. Dua orang Inggris
dibiarkan hidup, karena harus mengurus dan bebenah semua perlatan kantor niaga
Inggris di Ambon untuk dibawa ke Batavia oleh kedua orang itu.
Begitu
tiba di Batavia , salah seorang berhasil melarikan ketika dalam perjalanan
menuju kantor niaga Inggris.
Peristiwa
ini terungkap di London dan pemerintah Inggris langsung mengirim surat protes
kepada pemerintah Belanda terhadap warganya di Ambon oleh Gubernur van Speult
yang di kenal dengan “Ambonse Moord” (Pembantaian Ambon) yang memperburuk
hubungan Belanda dengan Inggris cukup lama. Bahkan masyarakat Inggris juga
membenci orang-orang Belanda seperti terungkap oleh penyair kenamaan John
Dryden, yang pada 1673 dalam syairnya dengan sedih menulis: “Amboyna, or the
Cruelties of the Dutch to the English of the Dutch to the English Merchant.”
Begitu pula pada 1712 di London muncul tulisan History of the Barbarous
Cruelties and Massacres, Committed by the Dutch in the East Indies , (W P
Coolhaas: Aantekeningen en opmerkingen over den soogenaamden Ambonschen Moord,
1942).
Setelah
dilakukan penyelidikan 40 tahun kemudian, ternyata tuduhan penyelundupan oleh
penduduk Hoamoal tidak berdasar dan tidak melanggar aturan hingga penduduk
menderita.
Setelah
itu Gubernur Ambon, Arnold de Vlaming van Oudshoorn melakukan pemindahan
pendudukan dengan mengosongkan pulau Hoamoal. Dalam tulisannya, Keuning
mengungkapkan mengenai proses pemindahan oleh De Vlaming van Oudshoorn:
“Seluruh penduduk di Hoamoal harus di kosongkan, kendati pulau yang subur ini
padat penduduk yang berjumlah sekitar 12.000 jiwa. Masyarakat Islam diangkut
dan dipindahkan ke pulau Hitu, dan mereka kehilangan Orang kaya-kaya (pemuka)
yang dibawa ke benteng untuk di jadikan sandera. Orang-orang biasa dibagi-bagi
dan menghuni kampung-kampung yang terdapat di Hitu, dan keluarga-keluarga di
pisahkan. Misalnya ayah dan anak, atau adik kakak, tidak boleh hidup bersama
dan saling hidup terpisah. Sementara raja-raja dari Hitu, yang berusaha
membendung invasi pendatang secara terpaksa dari Hoamoal, karena merasa terancam,
tak dapat berbuat apa-apa karena ancaman dari Belanda. Para wanita merasa lebih
baik di tinggalkan suami-suami mereka daripada berpisah dengan anak-anak.
Gubernur de Vlaming benar-benar kejam, karena siapapun yang melanggar aturan
menurut kehendaknya langsung di bunuh. Apa lagi ia di dukung baik oleh
pemerintah VOC di Batavia maupun oleh Dewan Kota di Ambon. Belanda dengan
semaunya menyiksa dan membunuh penduduk yang menjadi budak, rumah-rumah mereka
di jarah… Penduduk
pemeluk Kristen dan pemeluk berhala di Hoamoal juga menerima nasib yang sama:
mereka di paksa harus pindah ke Leitimor. Pemindahan ini terjadi pada 6 Maret
1656. Yang tragis, 5 perahu yang membawa mereka tenggelam akibat cuaca buruk.
Nasib serupa harus pula dialami penduduk pulau-pulau Boano, Kelang dan Amblau
yang juga harus di pindahkan. Penduduk-penduduk ini dikonsentrasikan di pulau
Manipa, sementara suami-suami mereka dan laki-laki lajang di angkut ke Ambon .
Ribuan penduduk pemeluk Islam di Ihamau, Saparua bersama penduduk Madjira
ramai-ramai di pindahkan ke Seram. Mereka sama sekali tidak diperkenankan
kembali.
Pada
1657 banyak orang kaya-kaya yang oleh gubernur De Vlaming yang mulanya berada
di benteng –berjumlah 282 orang- di angkut ke Batavia . Sejak itupun pulau
Hoamoal benar-benar di kosongkan. Perkampungan- perkampungan disana di bumi
hanguskan, pohon-pohon cengkih dikuliti dan dibakar. Perkebunan pohon-pohon
sagu dihancurkan. Pokoknya pulau itu di jadikan rata tanah. Dari kesemuanya itu
hanya daerah-daerah Ambon dan Uliase yang menjadi pusat produksi penanaman
cengkih. Begitu pula pertanian cengkih di Ternate, Halmahera dan Bacan dan
pulau-pulau lainnya disekitar Maluku Utara di batasi tetapi diawasi ketat.
Sultan Mandarsjah khusus datang ke Batavia dengan beaya sendiri di bawa oleh
VOC.
Ia
hanya memperoleh 12.000 Florin setahun sebagai imbalan, tetapi semua
pohon-pohon cengkih di wilayah kesultanan dihancurkan. Operasi Hongi-tochten
berlangsung tahunan diluar Ambon dan Uliase. Walau begitu di beberapa pulau
yang di izinkan menanam ribuan pohon-pohon cengkih tetapi langsung untuk pihak
VOC.”
Aksi
Perlawanan Thomas Matulessy
Terdapat
disuatu tempat di bagian kota Ambon yang menjadi saksi kekejaman Belanda selama
berkuasa. Letaknya di antara darah benteng dengan desa Amahusu. Ditempat itu
terdapat sebuah batu yang pada 1818 pahlawan nasional Ambon, Thomas Matulessy
atau yang lebih dikenal dengan gelar Pattimura (Panglima) di gantung oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Setelah itu jenasahnya di masukkan kedalam
kerangkeng untuk kemudian di buang kelaut di pantai Batucapeu. Hukuman terhadap
Thomas Matulessy merupakan hukuman pertama yang dilakukan oleh pemerintah
Hindia-Belanda, dalam usaha Matulessy memperjuangkan kemerdekaan Maluku dengan
aksi perlawanan terhadap Belanda setelah Belanda kembali menguasai Indonesia
setelah Perang Napoleon di Eropa berakhir. Perang
Napoleon berakhir ketika Napoleon Bonaparte, pelaku utama prahara di Eropa
sejak 1793 hingga 1815 dibuang ke pulau Sint Helena. Sejak itupun wilayah
Indonesia yang sempat dikuasai oleh Inggris yang direbut dari kaum Republik
Belanda yang pro Prancis setelah merebut Jawa pada 1810 dikembalikan kepada
Belanda. Walau begitu, pihak Belanda belum dapat menguasai kepulauan Maluku
sepenuhnya ketika berusaha menerapkan politik monopoli kembali. Lagi pula masa
Inggris berkuasa, praktek “hongi-tochten” langsung dihapuskan, karena Inggris
sempat mengalami trauma dan menjadi korban “pembantaian Ambon” oleh Belanda dua
abad lalu. Walau jajahan Belanda di Asia-Tenggara sudah di kembalikan, tetapi
Belanda belum lagi dapat menguasai Maluku sepenuhnya. Dan penduduk Maluku waktu
itu mulai bangkit untuk tidak ingin di jajah oleh Belanda yang kejam. Peristiwanya
bermula ketika seorang anak muda Belanda mendarat di Saparua dari Batavia ,
setelah di tunjuk menjadi residen oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dengan
pembawaan sikap angkuh untuk mengembalikan politik monopoli rempah hingga Van
den Berg sama sekali tidak di senangi penduduk. Thomas Matulessy yang asal
Honimoa dan telah menjadi penduduk Saparua berhasil mengumpulkan penduduk
barisan sakit hati dan mendendam oleh kekejaman Hongi Tochten Belanda, mulai
bangkit dan dengan cepat menduduki benteng Duurstede dan membunuh semua
orang-orang Belanda disitu termasuk Residen van den Bergh. Hanya anaknya yang
masih kecil bersama pengasuhnya tidak di bunuh.
Pasukan
pertama yang ingin membantu Belanda dan ketika mendarat di Saparua, berhasil di
lumpuhkan. Untuk itu pemerintah do Batavia langsung mengirim pasukan dalam
jumlah cukup besar melakukan ekspedisi ke Maluku, dan mengalahkan kekuatan para
pejuang kemerdekaan Maluku di Saparua serta menangkap Thomas Matulessy dan
dibawa ke Ambon untuk di adili dan di vonis hukuman mati. Sebelum di eksekusi,
oleh pemuda-pemuda ia di beri gelar “Pattimura” yang berarti melanjutkan
perjuangan kemerdekaan Ambon . (JBJ van Doren: Thomas Matualesia, het hoofd der
opstandelingen op het eilan Honimoa, na de overname van het Bestuur der
Molluken door den Landvoogd Jacobus Middelkoop in 1817 (1857), in P H van der
Kemp: Nadere mededeelingen over den opstand van Saparua,” in BKI, 79 (1923).
Aksi
perlawanan oleh Thomas Matulessy yang kemudian disebut sebagai “Pattimura”
merupakan perlawanan gigih yang menonjol di Maluku menghadapi kolonialisme
Belanda.
Selanjutnya
sejak abad ke-19 hingga 20 Ambon dinyatakan setia kepada kerajaan Oranje, yang
mulanya sukar dipercaya, karena masyarakat Maluku sangat menderita oleh
kekejaman Belanda dengan operasi “Hongi-tochten” demi kepentingan politik
monopoli rempah-rempah. Yang terakhir ini baru mulai dihapus secara respektif
pada 1864 dan 1873, ketika di Negeri Belanda mulai dilakukan perombakan
terhadap politik perdagangan bagi pembangunan yang selama ini telah merusak
citra Belanda hingga pemerintah di kecam oleh publik.
Pengembangan
Kristen di Maluku
Pengembangan
agama Kristen Protestan di Maluku baru mulai dikembangkan pada abad ke-19
melalui hasil rintisan Pendeta Joseph Kam, yang dimulai dengan setengah dari
jumlah penduduk kota Ambon memeluk agama Kristen, sementara yang lainnya tetap
menganut agama Islam. (I H Enkelaar: Joseph Kam: Apostel der Molkukken, 1963). Misionaris
Amerika, Frank L Cooley dalam disertasinya, Altar and Throne in Central
Moluccan Societies menilai bahwa pengertian Kristen yang di ajarkan di Maluku
tidak dilakukan secara mendalam, dan lebih mengarah berkiblat pada sistem
Kristen Eropa Barat. Penerapan kristiani di Ambon di kembangkan dengan
menggunakan bahasa Melayu (baca Indonesia ).Biasanya,
para pendeta yang memimpin kebaktian di gereja di lingkungan Gereja Protestan
Maluku (GPM), yang merupakan organisasi kegerejaan tertua di Ambon , dengan
menggunakan bahasa Belanda melulu menerapkan secara seremonial. Pengembangan
agama Kristen di Maluku tumbuh pesat dan turut meningkatkan pembawaan sikap
Kristiani, hingga ikut menenangkan keadaan masyarakat yang dilakukan oleh
guru-guru agama, untuk menjadi guru ataupun berprofesi menjadi pegawai di
pemerintahan, sementara yang lainnya memasuki dinas militer KNIL. Sejak itupun
serdadu asal Ambon di nilai paling setia dibawah panji kerajaan Oranje.
Pengenalan
Militer
Pengenalan
militerisme di Ambon baru mulai terjadi pada 1840. Melalui surat keputusan
Kerajaan Belanda pada 12 Juni 1840 terbentuk suatu formasi kesatuan Ambon yang
terdiri dari 763 personal. Dalam ultimo pada tahun itu juga terdapat 1030
prajurit Ambon, pada 1850 sebesar 800 dan pada 1850 dengan 790 personal.
Formasi kesatuan militer Ambon pada 1852 berjumlah 1744, suatu kenaikan 30%.
Perekrutan
pada 1855 mencapai 1118 dan ditambah lagi di tahun itu dengan 350 personal.
Sementara pada 1864 menjadi 872 personal.Dalam
tingkat penghasilan, jumlah perolehan premi yang diraih prajurit yang berdinas
6 tahun sebesar 60 gulden, sedangkan yang berdinas 2 tahun memperoleh 40
gulden. Walau begitu penggunaan Maluku sebagai prajurit tak dapat bertahan.Pada
1860-67 hanya mencapai 300, dan 1868-73 menurun lagi pada 280 saja. Namun di
lain pihak terjadi kenaikan premi menjadi 100 gulden bagi yang berdinas hingga
6 tahun, bahkan pada 1875 meningkat hingga 200 gulden bagi yang berdinas 6
tahun dan 120 gulden yang berdinas 4 tahun. Sehubungan dengan keluarnya surat
keputusan pemerintah tahun 1873 (SK 5 September no.24) dan 1875 (SK 13 April
no.30) dilakukan perekrutan oleh residen-residen Ternate, Manado dan Maluku.
Perolehan premi dinaikkan masing-masing: 50 gulden untuk dinas 2 tahun, 150
gulden untuk 4 tahun dan 240 gulden untuk 6 tahun. Bagi yang di kontrak hingga
25 tahun memperoleh premi 300 gulden untuk sersan, 240 gulden untuk kopral dan
200 gulden untuk fusilier (prajurit bersenapan). Disamping itu juga mendapatkan
50 gulden bagi mereka yang berprestasi di lapangan. Adanya pendapatan ini
hingga menyengangkan bagi pribumi memasuki dinas militer, bukan saja bagi
orang-orang Malaku, tetapi juga ethnis-ethnis lainnya.Untuk
peningkatan karier di bidang militer, orang-orang Maluku baru mendapat kesempatan memasuki sekolah pendidikan militer baru
terjadi pada 1915. Waktu itu pendidikan untuk meraih pangkat Letnan II. Pada
1916 boleh mengikuti KMA (Koninkijke Militaire Academie) sekolah Kadet bagi
pemuda-pemuda Maluku. (Ecyclopaedie van Nederlandsch Indie (1917).
Keterampilan
perang Kapitan Jonker
Nama
Kapitan Jonker asal Ambon juga dikenal pada sejarah kolonial Belanda. Putera
dari Sangaji Kuasa dari Manipa yang letaknya antara pulau Seram dan Buru di
lahirkan pada 1630. Ia menemani ayahnya ketika orang kaya-kaya Manipa ini
menjadi sandera Belanda di Ambon. Pada 1656 ia menjadi pelayan Gubernur Ambon,
Arnold De Vlamingh van Oudshoorn yang menyenanginya karena keberanian yang
sering diperlihatkannya hingga memberi nama bagi putra pribumi asal Manipa ini
menjadi Jonker.
Pada
14 Agustus 1656, setelah bergabung dengan pasukan De Vlaming van Oudshoorn tiba
di Batavia . Ia sangat menonjol karena keterampilannya dalam perkelahian hingga
ia menjadi pengawal keamanan bagi Gubernur-Jendral Rijcklof van Goens dan turut
bersamanya ke Hindia Muka ( India ) dan Ceylon (kini Srilanka). Dalam suatu
pertempuran di Jafnapatam, tangan kirinya kena tembakan dan hancur. Sejak
itupun ia hanya bertangan satu. Walau begitu ia tetap di ikut sertakan dalam
berbagai peperangan. Karena kemahiran dan keberaniannya di medan perang hingga
ia memperoleh pangkat Kapten, tetapi sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan
Kapitan Jonker yang angker.Pada
1659, Jonker kembali ke Batavia , dan pada 1 Januari 1665, ia diangkat sebagai
pimpinan orang-orang Ambon di Batavia. Pada 1666 di bawah pimpinan Verspeet en
Poolman ia di ikut sertakan dalam perang di pantai Barat, dan pada tahun itu
oleh Cornelis Speelman ia diikut sertakan berperang di Makassar, Ternate, Banda
dan Ambon . Dari hasil keterampilan peperangan yang dilakukannya hingga oleh
Speelman ketika berada di Batavia pada 1672, Kapitan Jonker memperoleh akte
kenaikan gaji bintang jasa dan surat penghargaan yang di tulis di atas kulit
binatang dan tutupi dengan kotak berlapis emas.Pada
1679, ia bersama kesatuannya dilibatkan dalam peperangan di pimpin Kapten
Couper di Jawa Timur.Setelah
itu bersama kesatuannya asal Ambon ditugaskan menjadi pengawal Susuhunan dari
Mataram setelah berhasil melumpuhkan kekuatan Trunojoyo yang ingin menyerang
Mataram. Sebagai jasanya, ia memperoleh rantai emas bernilai 300 ringgit. Pada
1681, ia mendampingi Kapten F Tang dalam ekspedisi militer di Palembang dan
Jambi. Berlanjut ketika mengalahkan kekuatan Sultan Abu’lFatah dalam perang
Banten 1682-83.Namanya
mulai tenggelam dan dilupakan ketika pelindungnya, Cornelis Speelaman
meninggal. Kapten Jonker tewas ketika di Batavia dalam suatu konflik agama
antara Kristen dan Islam pada 1689. (Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, II,
1918).
Ambon
pada 1930’an
Ambon
pada waktu itu kurang disentuh oleh sentimen nasionalisme Indonesia .
Pemuda-pemuda pelajar Ambon yang beripkiran maju umumnya berada diperantauan
terutama di Jawa dan bergaul dengan rekan-rekan pelajar dari berbagai ethnis di
berbagai sekolah dan perguruan-perguruan tinggi di kota-kota besar di Jawa dan
Sumatra . Di
Jawa –dan bukan di Ambon – didirikan berbagai kumpulan atau perhimpunan Maluku.
Misalnya, pada 1909, dr W K Tehupeori mendirikan Ambonsch Studie-fonds untuk
pelajar-pelajar Ambon di Batavia. Organisasi
politik pertama untuk masyarakat Maluku di Jawa, Jong Ambon pada 1918 oleh L
Tamaela. Kemudian muncul organisasi politik Maluku kedua, Sarekat Ambon pada 9
Mei 1920 oleh John Patty. Di antara kaum nasionalis, asal Maluku, selain John A
Patty, juga Mr. Johannes Latuharhary, Oom Piet de Queljoe, dokter Tom
Pattiradjawane, Sam Malessy dan Urbanus Pupella.
Walau
begitu sebagian besar dari masyarakat Ambon , terutama setelah pasca perang
dunia kedua masih terlihat loyal terhadap Belanda dengan ucapan: “door de
eeuwen trouw aan het Huis van Oranje.” (Selama-lamanya setia kepada Kerajaan
Oranye). Ini
terlihat ketika pada masa pendudukan Jepang, sebagian besar dari
prajurit-prajurit KNIL asal Ambon tetap setia kepada Belanda hingga memenuhi
kamp-kamp tawanan. Padahal di Ambon pada masa pendudukan, berbagai kepulauan di
Maluku di jarah habis-habisan oleh tentara Jepang. Ambon juga harus menderita
pada Perang Dunia II, karena kota ini menjadi korban dari aksi pemboman
bertubi-tubi oleh pembom-pembom Sekutu selama Perang Pasifik. Begitu
pula ketika pasukan akan mendarat pada 1945, kota Ambon di hujani pemboman
bertubi-tubi hingga sebagian besar dari kota rata tanah. (Ernst Utrecht: Ambon,
Kolonisatie, Dekolonisatie en Neo-kolonisatie, 1971).
Latar
Belakang berdirinya RMS
Ir
J A Manusama dalam bukunya Om Recht en Vrijheid (Memperjuangkan Kemerdekaan)
menulis: “Ketika terjadi kapitulasi oleh Jepang pada 15 Agustus 1945,
kebangkitan kemerdekaan hampir di seluruh Indonesia tumbuh… sementara
masyarakat Maluku Selatan bersikap apatis dan tidak perduli satu dengan yang
lainnya. Hal ini dapat terjadi karena selama ini masyarakat disini terkucil dan
tidak pernah tersentuh oleh pengenalan nasionalisme dengan kaum nasionalis dari
Maluku yang berada di Jawa yang tak pernah berhubungan sejak sebelum Perang
Dunia II. Kendati
ketika proklamasi Republik Indonesia tercetus, disambut sangat entusias oleh
kaum nasionalis asal Ambon seperti Mr Latuharhary, Oom Piet de Queljoe dan Sam
Malessy. Tetapi sebagian besar dari militer KNIL asal Ambon yang umumnya
menjadi tahanan masa pendudukan Jepang di Jawa bersikap sama dengan masyarakat
di Maluku Selatan. Sementara pemuda-pemuda asal Maluku di Jawa –Herman Pieters,
Domingus Nanlohy, Leo Lopulisa, Gerrit Latumahina, Gerrit Siwabessy dan banyak
lainnya- dengan spontaan ikut masuk dalam barisan perjuangan kemerdekaan
Indonesia, dan juga memasuki TKR. Begitu pula dua perwira eks KNIL seperti
Julius Tahja dan J Muskita bergabung dengan Republik. Bahkan mereka juga
membentuk kesatuan asal Maluku dan turut berperan dalam TNI. Sementara sebagian
lainnya juga menjadi pasukan pengawal Presiden. Ketika
pasukan Sekutu mendarat di Ambon dan mengambil kekuasaan dari Jepang, penduduk
Ambon yang sebagian besar buta politik, menyambut pasukan Sekutu dan kembalinya
kolonialisme Belanda. Dengan cepat Belanda menguasai dan mengendalikan
pemerintahan, dan membentuk sistem pemerintahan federal yang merupakan yang
pertama diterapkan di Indonesia. Bersama dengan beberapa kumpulan pulau-pulau
lainnya terbentuk kelompok Maluku Selatan. Kemudian berkembang dengan pengadaan
status otonomi dengan dibentuknya lembaga Zuis-Molukken Raad (ZMR) (Dewan
Maluku Selatan). Pada bulan April 1946 untuk pertama kalinya dilakukan
pertemuan ZMR. Dewan ini terdiri dari 28 pilihan dan 7 anggota yang ditunjuk.
Juga terdapat dari penduduk yang ikut mendukung proklamasi kemerdekaan
Indonesia 1945 duduk sebagai anggota dewan. Termasuk
pula pemuka Republik, seperti Urbanus Pupella. Salah seorang Republik, dokter J
B Sitanala, pemberantas penyakit lepra dan dikenal di dunia internasional juga
berada di Ambon. Pada
masa pendudukan Jepang, ia berada di Jawa, tetapi pada 1946 ia kembali ke Ambon
. ZMR di pimpin oleh residen Belanda, P M Vissers. Pada 24 Desember 1946, pada
konferensi akbar di Denpasar, Bali terbentuk Negara Indonesia Timur. Pada 11
Maret 1947, ZMR memutuskan untuk menjadi bagian dari NIT. Tetapi putusan itu
ternyata tidak mendapat dukungan sepenuhnya, hingga pada 1950, waktu RMS di
dirikan baru diputuskan untuk menjadi bagian dari NIT. Para
pendiri RMS yang terakhir ini pada awal 1950 tak ingin bergabung dengan
Indonesia Timur yang diperkirakan akan bergabung dalam negara kesatuan RI
Proklamasi 1945. Hingga
awal 1950 di Ambon terdapat 3 partai politik. Yang pertama adalah Partai
Indonesia Merdeka (PIM) oleh Urbanus Pupella. Partai ini bertujuan untuk
menggabungkan Ambon dalam kesatuan Republik Indonesia . Yang kedua adalah
Gabungan Sembilan Serangkai (GSS), yang kepemimpinan dan kepengurusannya
terdiri dari pemimpin-pemimpin kampung-kampung ataupun raja-raja yang berhaluan
konservatif dan pendukung-pendukung nya adalah para ambtenaar atau
pegawai-pegawai administrasi pemerintah yang tidak ingin menggabungkan diri
dalam kesatuan Republik Indonesia . Partai yang ketiga adalah Gerakan Democrat
Maluku Selatan (GDMS) pimpinan J A Manusama, yang kemudian menjadi Presiden
RMS. Partai ini juga ingin berdiri sendiri dan terpisah dari kesatuan RI. Orang-orang
Ambon umumnya sangat lugu dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Hal ini
tergambar pada pandangan Ernst Utrecht dalam bukunya, berpendapat: “Berbicara
mengenai dunia politik, pada umumnya masih asing bagi masyarakat Maluku dan
belum membudaya. Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri, keluarganya atau
teman-temannya terancam, dan bersikap spontan tanpa memahami permasalahannya
dahulu dalam mengambil keputusan. Sikap dan pembawaan ini hingga ia mudah
menjadi korban politik praktis. Padahal mereka sangat setia dan dalam
unsur-unsur keagamaan, rajin kerja di kantor, dan pembawaannya dalam pergaulan
sangat ceria dengan siapapun yang disenanginya.” Ketika
pada 1945, Belanda kembali menguasai Ambon, langsung dibangun dengan
pembangunan rumah-rumah, pertokoan dan gedung-gedung perkantoran hingga Ambon
ini mulai berbentuk sebagai kota . Kota yang sempat botak, karena pada masa
peperangan pohon-pohon kenari di tebang untuk digunakan sebagai kayu baker.
Sebagai hasilnya, menjelang penyerahan kedaulatan kehidupan Ambon sudah menjadi
lebih baik, dan kota Ambon mulai menjadi indah dan kehidupan menjadi tenang,
karena kegiatan ekonomi sudah membaik. Bahkan lebih baik di banding dengan
kota-kota besar di Indonesia , terutama Jawa dan Sumatra yang hancur sebagai
akibat dari revolusi. Sementara Ambon tidak pernah mengalami revolusi sosial
ataupun revolusi fisik setelah pasca Perang Dunia II.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Sejarah Maluku hingga RMS Chapter-2
Posted
on October 12 2010
by
Harry Kawilarang/IM
Krisis
Politik
Tetapi
keadaan berubah sejak awal 1950 dengan munculnya krisis politik di Ambon .
Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak
ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia .
Pada 19 Januari 1950 tiba anggota-anggota militer Paratroep asal Ambon pulang
kampung dan mendarat di Ambon . Sebelumnya pasukan-pasukan ini ketika berada di
Makassar sudah terkontaminasi oleh Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS
yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan
hijau asal Ambon ini. Kegiatan
provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel
Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi
penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut
Kapten Andi Azis melakukan aksi pemerontakan di Makassar. Ambon
menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang
sebagaian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM
dari Pupella yang saling berlawanan. Konflik di Ambon pun tidak terhindar
ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM
yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan
khusus ini. Pemerintah Ambon ketika itu berubah menjadi negara Polisi yang juga
berpihak pada kelompok anti-Republik. Dalam peristiwa berdarah ini menimbulkan
19 orang korban. Konflik kemudian menyebar dimana-mana tanpa bisa dicegah. Pada
12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10
orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada
17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi
anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan.
Yang
tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM
setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi.
(Teu Lususina, Ambon )
RMS
di dirikan
Di
Ambon mulai muncul desas-desus bahwa wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai
oleh pasukan Jawa (baca APRIS), dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan
menyerbu Ambon pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan,
terutama di kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian
pada 5 April muncul berita yang sangat menyenang pemimpin-pemimpin
anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki kota
Makassar . Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang Kapten Bugis muda,
bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah menduduki kota Makassar dalam usaha
untuk mempertahankan kota ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang. Aksi pemberontakan
Andi Azis di Makassar di ikuti dengan seksama dan penuh kecemasan oleh kalangan
anti-Republik di Ambon . Situasi Ambon menjadi tak menentu ketika mengetahui
Andi Azis sudah ditangkap dan Makassar sudah aman dari pemeberontakan setelah
Kolonel Alex Kawilarang di angkat menjadi Panglima territorial Indonesia Timur.Pada
18 April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat direktur urusan
sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai rapat umum di Ambon untuk
menenangkan keadaan. Pada 21 April terdengar kabar bahwa Andi Azis dengan resmi
menjadi tahanan. Sebelumnya ia datang ke Jakarta yang katanya di janjikan akan
dibebaskan bila melapor kepada pemerintah.
Penahanan
Andi Azis membuat para pemimpin RMS melakukan pertemuan khusus membahas situasi
dan keadaan di Indonesia Timur. Dari pertemuan itu muncul ide pemisahan diri
dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan Mayor Sapulete
bersama Ir Manusama memprakarsai pertemuan dengan wakil-wakil militer, polisi
dan sipil untuk melakukan persiapan dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku
Selatan terlepas dari Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi
Republik Maluku Selatan. Pada esok harinya, konsep ini diajukan untuk mendapat
persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di gedung pemerintah di
Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung, yang secara aklamasi
disetujui.
Konsep
proklamasi itu kemudian di bacakan pada 25 April 1950 dan di tandatangani oleh
J H Manuhutu dan A Wairizal.
Teks
proklamasi RMS berbunyi:
Proklamasi
Kemerdekaan
Maluku Selatan
Memenuhi
kemauan jang sungguh, tuntuan dan desakan rakjat Maluku Selatan, Maka dengan
ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, defakto dejure, Yang berbentuk
Republik, lepas dari dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara
Indonesia Timur dan RIS, beralasan NIT sudah tidak sanggup mempertahankan
Kedudukannya sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar
Jang
masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan
Tertanggal 11 Maret 1947, sedang RIS sudah bertindak bertentangan dengan
Keputusan2 KMB dan Undang2 Dasarnya sendiri.
Ambon,
25 April 1950 – Pemerintah Maluku-Selatan,
J
H Manuhutu
A
Wairizal
Pada
26 April terbentuk pemerintahan RMS dengan susunan: J H Manuhutu sebagai
Presiden; A Wairizal (Pimpinan Dewan Rakyat dan pimpinan departemen); Mr
Soumokil (Luar Negeri); D J Gasperz (Dalam Negeri); J Toule (Kehakiman); J B
Pattiradjawane (Keuangan); SJH Norimarna (ekonomi); H F Pieter (lalu-lintas dan
Pengairan), P W Lokollo (sandang-pangan) ; A Nanlohy (pertahanan) ; Ir J A
Manusama (Pendidikan) dr Th Pattiradjawane (Kesehatan); dan Z Pesuwarissa
(Penerangan) .
Pada
2 Mei 1950, di atas gedung pemerintah, berkibar bendera nasional RMS empat
warna, biru-putih, hijau dan merah dari hasil kesepakatan pemuka-pemuka desa
(raja-raja).
Angkatan
Perang RMS dibentuk
Pada
9 Mei di Ambon oleh tentara-tentara eks KNIL dengan menggunakan cara tentara
Belanda mendirikan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS). Kekuatan
ini di topang oleh barisan sukarela yang umumnya terdiri dari anak-anak muda
usia 16 tahun keatas yang militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni
1950 pucuk pimpinan APRMS dibentuk yang terdiri dari Sersan Mayor Samson
sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai Kepala Staf APRMS.
Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-Mayor Kastanja dan Sersan Mayor
Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua
yang kemudian mendapat pangkat dari Kolonel hingga Mayor.
Pulau
Seram juga mendapat tempat sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk
satuan kekuatan militer dengan sebutan Tentara Panah terdiri dari sekitar 10.000 orang.
Ketika
RMS diproklamirkan, beberapa minggu kemudian, diantara serdadu-serdadu KNIL
asal Maluku memasuki APRMS dan jumlahnya berkisar 4.000 personal dan
melikuidasi dari garnisun di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Mereka
menyatakan solider dengan RMS dan menolak di pindahkan ke APRIS, untuk itu
menuntut di demobilisasi dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di
wilayah RMS ataupun di Papua.
Tuntutan
mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak mau lagi direpotkan setelah
peristiwa pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh kalangan militer KNIL
asal Ambon di Makassar. Untuk itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di
Makassar di evakuasi ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah
garnisun, masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang .
Merekapun
mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama APRIS membebaskan
Maluku dari RMS.
Yang
menolak, hingga pada kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan
mengatasi mereka yang membangkang.
Untuk
mengatasi keadaan, pihak militer Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan
Rakyat Maluku, hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke
Negeri Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.
Ketika
pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, yang
sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL diberhentikan. Walau begitu ke-4000
pasukan pembangkang yang pro RMS berada di bawah tanggung jawab militer
Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah
Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada pilihan, yakni
mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan beaya satu juta gulden untuk setiap
kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui
RMS menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak
dibenarkan dikembalikan ke Ambon .
Sebagai
hasilnya pada bulan Maret/April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan
ke Negeri Belanda terdiri dari: 6 pendeta militer; 3 perwira ajudan; 35
sersan-mayor; 372 sersan dan fourier; 821 kopral dan 2341 serdadu. Secara
keseluruhan bersama isteri-isteri dan anak-anak berjumlah 12.500 orang.
Pada
8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di Luar Negeri.
Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J P Nikijuluw sebagai
pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P W Lokollo sebagai Wakilnya
dibantu Komisaris pemerintah, I A Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri
Belanda.
Pada
16 Oktober 1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi kuasa
sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu laporan dari pihak UNCI
mengenai “Masalah RMS” yang katanya akan di kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan
sebelumnya pada 4 September 1950, dalam sidang Parlemen RMS di Ambon ditetapkan
pada pasal I UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku Selatan adalah Negara sah, yang
bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.” (Bung Penonton: De
Zuid Molluksi Republiek, 1977). Departemen
Luar Negeri RMS di Ambon mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan: RMS
sedang berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan Australia
untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan dan keamanan bersama di
Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu,
RMS berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat
strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan kekuatan
armada-armada laut mereka.” Pernyataan
ini mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan
pengkhianatan terhadap rakyat Maluku. Pada
15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam darurat, Staat van
Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Tetapi
pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS membentuk Dewan Parlemen
Sementara. Dewan ini terdiri dari 75 anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala
desa dan 15 orang-orang yang dikenal masyarakat. W A Lokollo di tunjuk menjadi
ketua menggantikan S Tjokro dari PIM. Selanjutnya
RMS menjadi negara Polisi di pimpin oleh Komisaris H J Malaiholo yang tak lama
kemudian meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus
yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan Konstitusi yang
mulai aktif pada 4 September 1950. Beberapa
tahun kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan
militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa untuk
menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan,
ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan dibentuknya RMS oleh
kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst Utrecht).
Reka-yasa
Soumokil yang gagal
Ternyata
pengadaan RMS di reka-yasa oleh Mr Christiaan Soumokil yang sering bersikap
eksentrik dan bahkan juga tidak senang pada Negara Indonesia Timur, dan lebih
berpihak pada kembalinya kolonialisme Belanda. Lagi
pula pembentukan RMS sama sekali bukan aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan.
Sementara dibawah prakarsa PIM, pada umumnya para pimpinan politik,
kepala-kepala desa, pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat
untuk menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk pada 27
Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada hari yang sama.
Untuk
meraih ambisinya, Soumokil melakukan kegiatan kampanye, dan pertama-tama
berkunjung ke Kupang di Timor dan kemudian ke Manado untuk mempengaruhi
masyarakat di sana . Tetapi tujuannya sama sekali tidak berhasil hingga ia
mendarat di Ambon pada 14 Desember. Kesemuanya dengan menggunakan fasilitas
Belanda yang diberikan oleh Kolonel Schotborg untuk mempengaruhi agar Indonesia
Timur tidak bergabung dengan Republik. Setelah
berada di Ambon , Soumokil giat melakukan penyusunan rencana mempertahankan RMS
dari penyerbuan pasukan APRIS. Sehari setelah cetusan proklamasi, pihak RMS
melakukan perekrutan pada pemuda-pemuda sebagai sukarelawan mempertahankan RMS
dari APRIS. Selain Ambon, juga berusaha menarik simpati di berbagai kepulauan.
Tetapi kampanye RMS tidak mendapat sambutan dari penduduk di Buru , Aru, Banda,
Kei dan Tanimbar. Sementara
dukungan terbanyak diperoleh dari penduduk kota Ambon, Seram dan beberapa pulau
lainnya sekitar Ambon , dan juga pulau-pulau seputar Maluku Tengah. Cetusan
proklamasi RMS kurang mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar-pelajar
dan kalangan ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena
memahami pandangan-pandangan nasionalisme. Pendukung RMS umumnya terdapat
dikalangan militer KNIL asal Ambon. Umumnya
militer pro RMS yang terkena demobilisasi menolak untuk masuk sipil di Jawa.
Banyak diantara mereka ini, mau tidak mau, dipaksa oleh Belanda dan di angkut
ke Negeri Belanda. Begitu hebatnya provokasi Soumokil hingga memerlukan waktu
cukup lama untuk meredakan keadaan.
Misi
Perdamaian Leimena yang gagal
Waktu
itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel Alex Kawilarang
sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan organisasi militer untuk
ekspedisi, juga giat menghadapi pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi
asal Maluku di Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk
pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi militer eks
KNIL di Sulawesi Selatan, pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian ke Maluku
pimpinan dr Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan
gembong-gembong RMS. Menteri
Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir
Putuhena, dan Menteri Penerangan Federal, Peloepessy. Pada
1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI rombongan misi perdamaian
ini berangkat ke Ambon . Kepergian mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan
mengirim kawat ke Jakarta , bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui
komisi internasional. Balasan
kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan kapal Hang Tuah sudah terlihat
berlabuh di Teluk Ambon. RMS mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke
kapal. Pada
6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi Leimena sebga(i
berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah diberitakan mengenai
“Misi-Ambon” pimpinan Dr Leimena, yang pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba
di Makassar . Pada
Jum’at pagi Dr Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang Tuah” yang
membawa rombongan misi hanya berada kurang dari satu jam di Teluk Ambon, dan
berlabuh dekat mercu suar. Syahbandar
pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat dari pimpinan
“Pemerintah Maluku Selatan’ yang diminta agar misi ini langsung menjawab.
Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi damai dapat menjawab surat itu,
syahbandar itu langsung di panggil oleh orang-orang di darat untuk kembali ke
darat. Pada
surat itu pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu,
menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulata, yang tidak mungkin dapat
dilakukan oleh misi RIS. Leimena
sangat kecewa dengan sikap ‘saudara-saudara Ambon ’ ini, dan mengatakan:
“Padahal misi ini adalah antara sesame “Putra Bangsa” untuk sama-sama berembuk
dan mengatasi permasalahan secara damai.” Waktu
syahbandar kembali ke darat, terlihat jelas dari korvet, pejabat itu dipukuli
sampai babak belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.” Peristiwa
perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati Leimena dan kawan-kawan
sesama asal Ambon . Karena yang dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta
politik yang membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku. Walau
begitu, Dr. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan meminta kapal “Hang
Tuah” berlayar ke Saparua dengan maksud untuk menemui Manus Pattiradjawane,
pimpinan setempat. Tetapi disana juga pihak penguasa RMS di Saparua melarang
kapal merapat. Padahal Pattiradjawane adalah saudara ipar dari Gubernur Maluku,
Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga tidak meluluhkan kekerasan sikap
RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.
Blunder
dari Radio RRI Jakarta
Masih
lagi di coba untuk melakukan pendekatan dengan pengadaan misi damai kedua.
Tetapi ini pun gagal sebelum di mulai. Hal
ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta yang kurang di awasi. Waktu
itu diumumkan tentang percobaan pengiriman misi perdamaian kedua. Tetapi
sang penyiar mengakhiri siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman” jika misi
kedua ini tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan
“ancaman” pada siaran itu secara psikologis merupakan kesalahan besar. Karena
ketika itu TNI sama sekali belum punya persiapan untuk mendarat. Dan,
benar saja, beberapa hari kemudian, Radio “RMS” mengumumkan, mereka tidak
gentar sekalipun 150.000 tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima
TT-IT sedang sibuk menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang perlu
di seluruh pulau Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara), pulau-pulau
Nusatenggara dari Bali sampai Timur. Juga di Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku
Selatan. Di tempat-tempat ini keadaan aman, kecuali di kota Makassar .
Sesudah
peristiwa pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.
Selama
pasukan KNIL asal Ambon masih bersenjata dan memperlihatkan sikap provokatif,
Komandan Sektor Makassar, Letkol Soeharto harus siaga 24 jam sehari dengan
sebagian dari pasukannya terhadap suatu serangan mendadak. Untuk menyelesaikan
masalah RMS, perlu di datangkan pasukan baru dari Jawa, dan di kirim batalyon
Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex Kawilarang: Untuk Sang Merah
Putih, 1988).
Blokade
Laut APRIS dan kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL
Manusama
pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan bahwa kegagalan misi
perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana pemerintah Jakarta melakukan aksi
blokade laut terhadap RMS. Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda,
hingga pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk
mengorganisir proses evakuasi.
Pada
8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh Van Hoogstraten
dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan
melakukan evakuasi terhadap militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda.
Pihak RMS membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara
Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan
dari Ambon menuju Jakarta . Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan
dengan evakuasi, tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari
Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang merupakan
instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di Jakarta, memerintahkan
semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk tangsi-tangsi militer. Mereka
yang melanggar akan menerima sangsi akan di peact dan semua hak-haknya di
cabut, demikian Kantor Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan
Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara KNIL
asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari mereka ini langsung
mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri menjadi tentara RMS.
APRIS
Mulai Memerangi RMS
Setelah
memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kawilarang mulai menggerakan
kekuatan APRIS menuju perairan Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran
pertama adalah pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik
demikian, pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi.
Waktu
itu pasukan penyerbu TT-TI belum lagi memiliki LCM (Landing Craft Medium) dan
LCVP (Landing Craft Vehicles dan Personnel). Kedua landing craft ini cocok
untuk mendarat jika ada perlawanan. APRIS waktu itu hanya punyak LCI (Landing
Craft Infantry) yang tak dapat begitu mendekati pantai seperti LCVP dan LCM. Lagi
pula, jika LCI sudah kandas dekat pantai, tentara hanya bisa mendarat seorang
demi seorang lewat dua jembatan sempit sebelah kiri dan kanan dari bagian muka
LCI. Dalam
bukunya, Kawilarang mengatakan: “Sebelum mendarat di Pulau Buru dan Seram kami
perlu mengadakan latihan pendaratan dengan LCI di suatu pulau dekat Makassar .
Latihan ini antara lain diadakan dengan dua kompani dari Bataltyon Suradji yang
direncanakan akan mendarat dulu di Buru. Waktu LCI kandas dan kami turun, air
laut sampai dada saya. Kapten Leo Lopulisa dan Mayor laut Alex Langkay malahan
masuk laut yang lebih dalam lagi. Belum lagi prajurit-prajurit dari Batalyon
Suradji. Waktu sedang melangkah ke darat, saya dengar seorang prajurit sambil
batuk berteriak pada temannya, “Lho, air laut asin.” Jangan heran, mereka
datang dari Solo, belum pernah masuk laut. Tetapi saya juga berpikir, pasukan
pendaratan ini belum benar-benar merupakan seaborne forces.” Sesudah
empat hari berlayar dari Makassar, pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru
pertengahan Juli 1950. Ombak tinggi sekali dan hampir seluruh seaborne force,
yaitu Batalyon Pelupessy dan dua kompani Batalyon Soeradji, mabuk laut. Maklum
hanya dengan dua LCI dan satu LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka
rendez-vous (berkumpul) dengan kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei
pimpinan Mayor Mengko dari Manado .Esok
harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira lima kilometer
sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul pendaratan Batalyon
Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata pasukan ini mendapat hadangan dan
menderita korban. Selain
itu hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama empat hari
muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom” makan, berupa biscuit laut untuk dua
hari, basah dan tak bisa dimakan. Kawilarang
putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih segar dan sehat karena diangkut
dengan kapal besar Waikelo, untuk menyerbu Namlea. Hal ini terjadi di pagi
hari, pada hari ketiga. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai korban
pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang ditinggalkan di
markas RMS antara lain berupa beberapa brengun. Pasukan penyerbu sangat
hati-hati mendekati markas dan gudang RMS itu. Ternyata tidak ada booby trap. Keesokan
hari tiba dengan kapal korvet, Letkol Slamet Rijadi, Komandan Pasukan Maluku.
Iapun gembira karena bertemu dengan Mayor Soeradji, bekas bawahannya. Disamping
itu, datang juga Kapten M Jusuf yang akan menjadi ajudan Panglima Kawilarang.
Kemudian di rencanakan untuk menduduki Piru dahulu oleh Batalyon 3 Mei. Kota
Piru di dekati dari dua jurusan. Waktu sore hari tiba di sana , pasukan RMS
sudah mengosongkannya. Sebelumnya dikirimkan tiga orang tentara eks RMS yang di
tawan ke sana untuk meyakinkan pasukan RMS supaya bergabung dengan APRIS atau
menyerah. Ternyata waktu Piru di duduki, ketiga orang itu sudah di tembak mati
oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy. Salah seorang yang dibunuh malahan
Lestiluhu, komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS di Namlea.
Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di Batalyon 3 Mei, dimansa
satu peleton juga terdiri atas bekas anggota Baret Hijau dan Baret Merah. Dua
hari kemudian pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira tiga kilometer sebelah
utara Amahai, dengan dua kompani dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi
selalu berada di depan. Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam, Amahai pun di
duduki. Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan pasukan Maluku, sementara kepala
staf Mayor Herman Pieters mengkonsolidasi pasukannya. Juga dikepulauan Banda
dan bagian selatan Pulau Seram sudah di kuasai pasukan APRIS. Batalyon Abdullah
sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan
Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur dalam salah
satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan
sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai.
Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji.
Pertempuran
empat hari di Makassar (5-9 Agustus) sempat memperlambat operasi militer APRIS
ke Ambon selama sekitar satu bulan, sementara pasukan tambahan dari Jawa sudah
berdatangan. Rencana penyerbuan selanjutnya adalah mendaratkan pasukan di
Hitulama-Hitumesing , di utara pulau Ambon, dan pasukan lain di Tulehu dibagian
timur dan sesudah dua pasukan bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara
dan ada lagi pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat
pulau Ambon .
Yang
akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan Mayor Jusmin dengan di
pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei pimpinan Mayor Mengko akan mendarat
di Tuleho. Dalam
pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan Tuleho
dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa, Joost Muskita dan
Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu. Untuk pendaratan itu, APRIS sudah
terima 10 LCM. Enam LCM akan digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk
Hitu. Alex
Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press Photo Service
(Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS melalui lensa foto sangat
bermanfaat mengisi lembaran sejarah. Sejak
pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon ia selalu
ikut meliput dan mendokumentasi secara visual. Dari
hasil karya foto, wartawan foto perang ini pada 17 Agustus 195, ia dianugerahi
bintang oleh Pemerintah Republik Indonesia.
---------------------------------------------------------------------------------
Sejarah Maluku hingga RMS,bagian 3
Posted
on October 21 2010
by
Harry Kawilarang/IM
Pendaratan
APRIS di Ambon
Pada
28 September 1950 pendaratan berlangsung di Tulehu dan Hitu di pantai utara.
Invasi APRIS berkekuatan 6½ batalyon infantry dengan menggunakan kapal-kapal
amfibi LCM yang di dukung oleh tembakan-tembakan dari 4 kapal korvet dan dua
pembom B-25. Pada
pendaratan itu terjadi peristiwa tragis. Menurut pasukan cadangan yang menonton
dari atas kapal Waikelo, melihat ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3
Mei dari LCM sesudah kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka
lupakan. Kolonel
Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan, saya bersama pasukan maju ke
Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu kami berkelompok di Tulehu dan terus
maju menuju Ambon . Tetapi baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami
sudah mendapat perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei”
gugur. Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk,
Soekirmo is geraakt” (Liha,t Soekirmo kena). … Soekirmo, ajudan Slamet Rijadi
itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak menderita apa-apa. Sambil memegang
lengan yang tergantung dengan tangan lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun kaget
melihatnya bercampur bangga atas kekuatannya. Baru pada jam 3 sore pasukan maju
lagi, tetapi delapan kilometer kemudian, di suatu tempat, dengan hutan lebat
sebelah kanan kami, terjadi lagi pertempuran. Sedang hari sudah mulai
menggelap. Lalu kami tidur di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam keadaan
basah kuyup, karena hujan lebat mengguyur kami. Saya melihat Slamet Rijadi,
ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya kedinginan. … Sementara
itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia
gugur sebelum mendarat. Masih di atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka,
ia kena tembakan di perutnya. … Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke
kapal rumah sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru
menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto menghembuskan
nafasnya terakhir.”
Penyerbuan
ke Ambon berlanjut. Gerakan pasukan Mayor Jusmin, dibantu pasukan Mayor Soerjo
Soebandrio, terhenti dekat Telaga Kodok, karena ada perlawanan hebat dari RMS.
Gerakan dari Tulehu diteruskan, tetapi juga sangat lamban, karena terus menerus
di perlamban oleh sniperfire RMS, dan di daerah itu sulit sekali untuk
melambung.
Sesudah
beberapa hari baru pasukan APRIS tiba di Suli.
Pihak
pertahanan RMS di Ambon ketika itu berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap,
menghadapi pasukan penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban
di pihak pasukan pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini
berpindah tangan untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga
pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober 1950 untuk
kemudian dikuasai oleh APRIS. Perlawanan
gerilyawan RMS turut memperlambat gerakan pasukan APRIS memasuki Ambon . Letkol
Slamet Rijadi sempat kecolongan, ketika di pagi hari, ia mengemudikan jeep dari
Tulehu menuju Suli. Seorang
anggota RMS mencoba menghentikan jeep-nya sambil menembak dari samping. Nasib
baik bagi Slamet Rijadi, karena saat ditembak, dengan gerakan refleks ia
memutar badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung
lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep, melompat
keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang menghadang dan menembaknya
dengan sigap sudah lari menghilang masuk hutan. Di
awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui Makassar , yakni
pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas Kustarjo. Untuk itu rencana penyerbuan
kota Ambon disusun. Pasukan Poniman akan mendarat di selatan kota Ambon
sementara pasukan Lukas Kustarjo di sebelah utara. Sesudah itu Batalyon 3 Mei
akan menduduki daerah pegunungan tenggara kota Ambon . Sementara itu pasukan
Mayor Jusmin dan Mayor Soerjo Soebandrio menyerang dari Telaga Kodok menuju ke
jurusan Paso dan sebagian ke lapangan terbang. Detasemen Kapten Faah akan
mendarat di pantai selatan Teluk Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso
dan dari Waitatiri maju pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang,
Kapten Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten Muskita
ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri. Kolonel Kawilarang akan
berangkat dengan kapal dari Tulehu, bersama dengan pasukan akan mendarat dekat
kota Ambon. Mayor Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara
Letkol Daan akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan
APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut Rais,
“Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang bertugas
melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah Mayor Alex
Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI dengan pilot Mayor
Noordraven dan Letnan Ismail. Pada 2 November, sehari sebelum berangkat dari
Tulehu, Kawilarang bertemu dengan Menteri Leimena yang datang dari Jakarta
bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka
di utus oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian yang
ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas APRIS cepat selesai
dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara khusus harus dijaga, jangan
sampai rakyat Maluku yang sudah banyak menderita dan tidak bersalah, menjadi
korban dalam pertempuran di Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana
dan sudah terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak
RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi kocar-kacir.
Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa dan juga harta. Sebagian
besar rumah akan hancur atau terbakar. Pada
3 November di pagi hari, pasukan Kapten Poniman mendarat di kota Ambon bagian
selatan. Disini Kapten Sumitro gugur. Nasib serupa dialami Letnan Komar, yang
kena tembakan dan langsung tersungkur. Musuh waktu itu sempat maju lagi sambil
menusuk mati beberapa prajurit APRIS yang ketinggalan dan luka-luka. Rupanya
musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura tidak bernafas lagi.
Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada temannya, “Ini orang Ambon .
Beta ambil arlojinya saja.” Letnan
Komar baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil menghalau
musuh. Pasukan
Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria , di sebelah utara
pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon
3 Mei sudah menduduki sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad
Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara
itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan Detasemen
Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari Telag Kodok. Letkol
Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor Worang dan Kapten Claproth hari itu sudah
berada dekat Halong. Esok harinya, 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan
ke kota Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00. Sementara itu, di sekitar Fort
Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu, keadaan berubah. Pasukan RMS dengan
panser menyerang Fort itu hingga dekat pelabuhan. Waktu itu pasukan APRIS
terpisah di sebelah utara kota Ambon , di Batumerah. Untung tak lama kemudian
datang pasukan Slamet Rijadi dan mematahkan serangan RMS.
Slamet
Rijadi Gugur
Tiba-tiba
saja Panglima Kawilarang menerima kabar yang mengangetkan. APRIS menderita
korban yang sangat berarti, Letnan Kolonel Slamet Rijadi kena tembak. Alex
Kawilarang mengisahkan: “Saya tidak melihat sendiri bagaimana Slamet Rijadi
waktu kena tembak itu. Tetapi saya dengar, bahwa ia sempat dibawa ke kapal
(rumah sakit) ‘Waibalong’ di Tulehu. Kemudian saya mendapat keterangan, bahwa
ia belum bisa di operasi, karena masih kena shock. … Laporan kemudian
menceritakan adegan sebelumnya, yakni pada 4 November 1950 itu, Letkol Slamet
Rijadi bergerak dari Galala ke Batumerah, di tepi kota Ambon . Tindakan ini
diambil oleh Slamet Rijadi karena suasana dan keadaan dalam kota masih
menunjukkan adanya oertempuran antara pihak RMS dengan pasukan Mayor Achmad
Wiranatakoesoemah. Slamet Rijadi berhasil memasuki kota dan segera terlibat
dalam pertempuran yang sengit… Letkol Slamet Rijadi berada di depan duduk di
atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari seorang
RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal dari belt-nya (ikat
pinggang) dank arena itu jadi dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang
amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Rijadi gugur. … Dokter Abdullah, yang
turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan ini, meninggalkan sebuah laporan
berbentuk sajak mengenai gugurnya Slamet Rijadi ini: Tanggal 4 November/ Jam 21
seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan
Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda. … Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai
umat/ Yang teguh beriman/ Amin.
Jenasah
Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan Pasir Putih di Tulehi. Sepuluh
tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar
3 km sebelah timur kota Ambon
Joop
Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi membebaskan Ambon
Pada
7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi gugur, Kolonel
Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar, dan meminta supaya Letkol
Joop Warouw segera datang ke Ambon untuk mengisi posisi Slamet Rijadi sebagai
Komandan Pasukan Maluku. Pada
8 November, Kawilarang sebagai Panglima keliling kota Ambon sebelah utara dan
timur laut untuk menemui Kapten John Somba dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka
ini dari Batalyon Mayor Hein “Kimby” Worang. Kepada
mereka Kawilarang menugaskan untuk menyerang di sore hari dan mengembalikan
hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan, dan harus berhasil! Dari Kapten
Jusuf, Kawilarang mendapat keterangan mengenai ucapan Somba yang mengatakan:
“Tidak perlu panglima bicara dengan kami dan memberi semangat. Perintah saja
sudah cukup. Kami laksanakan.” Pada
hari itu juga, di sore hari, Batalyon 3 Mei yang juga di dukung Batalyon Worang
berhasil menguasai seluruh kota dan pinggirannya, sesudah kompani Kapten Somba
merebut Fort Victoria dan sambil berlarian maju terus, mengembalikan hubungan
dengan pasukan APRIS di pelabuhan. Kompani Letnan Tenges, lebih ke sebelah
timur kota , dapat berhubungan dengan pasukan 3 Mei dan dengan pasukan yang
baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan Mayor Soetarno.
Pada
9 November, Panglima Kawilarang memeriksa kota yang sebagian besar kota hancur.
Ternyata pada hari itu juga Letkol Warouw sudah berada di Ambon . Sejak itu pun
ia memegang komandan pasukan Maluku dan Mayor Herman Pieters sebagai Kepala
Staf. Warouw
datang dengan kapal terbang ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon
.Pasukan
musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan kekuatan di Seram. Pada
16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh pasukan APRIS. Musuh
kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke Seram. Pihak RMS berusaha
bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada
korban. Pada
25 November 1950, Kolonel Kawilarang tiba di Ambon setelah lebih dari dua
minggu berada di Makassar . Ketika berada di Ambon, suasana sudah lain, lebih ramai orang di jalan-jalan
dan kota sudah bersih, walau sebagian besar rumah-rumah rusak. Kawilarang
bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari Mayor Sitanala, komandan APRIS di
Bali. Kalau berbicara ia selalu berterus terang dan kepada Kawilarang ia
mengatakan: “Tahun 1942 Jepang datang di Ambon selama dua hari mengambil barang
milik rakyat. Tahun 1945 pasukan Australia datang dan selama tujuh hari
mengambil barang rakyat. Tahun 1950 TNI datanf dan setelah selama 14 hari
mengambil barang rakyat, baru ada tindakan.” Kawilarang tak dapat berkomentar
karena masih banyak advonturier dalam tubuh TNI. Mengenai para pelaku RMS,
banyak yang kocar-kacir. Beberapa menteri seperti Gasperz dan Tom
Pattiradjawane menyerahkan diri. Presiden
Manuhutu dan beberapa menteri lainnya bersama beberapa perwira APRMS lainnya
melarikan diri ke pulau Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan
perlawanan. Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa,
Henk Pieter dll. Di
Seram dibentuk pemerintah perjuangan dengan susunan: Presiden Manuhutu, PM
Wairizal merangkap Menteri Dalam Negeri, Mr. Dr. Soumokil (Menteri Luar Negeri
merangkap Menteri Kehakiman), Manusama (menteri pertahanan), Ohorella (Menteri
Sandang-pangan) , G H Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri
Pendidikan, Z Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy
(Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan pengairan).
Pucuk
pimpinan APRMS yang tersisa membentuk kekuatan organisasi militer gerilya.
Organisasi bersenjata ini di pimpin oleh Kolonel Tahapary sebagai Panglima,
Kolonel W F Sopacua sebagai Kepala Staf, sementara Kolonel Nussy dan Kolonel
Sopamena menjabat sebagai staf. Selain Staf juga mengangkat Penasehat, yakni
Letkol I J Tamaela. Tetapi
perang gerilya RMS justru menjadi kemahiran Panglima Kawilarang dan
perwira-perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatra .
Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk istirahat dan digempur
terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi korban, terutama di kalangan pasukan
dan pucuk pimpinan APRMS. Juga banyak
menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal melarikan diri ke Papua.
Kekuatan
RMS berhasil dipadamkan
Jatuhnya
Fort Victoria pada 8 November 1950 secara definitif telah menghancurkan
kelanjutan RMS. Padahal banyak di antara elit-elit politik yang membentuk
ataupun mendukung RMS tidak sadar mereka ini adalah korban verdeel-en-heerst-
politiek (politik adu domba) yang di terapkan oleh kolonial Belanda untuk
saling membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara ini. Bagi
RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat singkat, dan tanpa
melalui suatu proses yang memerlukan waktu pendalaman yang cukup lama untuk
membentuk suatu bangsa. Lagi pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen,
dan hanya menjadi korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih
kepentingannya.
Sementara
itu komandan pasukan Maluku di pertengahan 1951 dari Letkol Joop F Warouw
diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati, sementara Warouw kembali ke Manado
melanjutkan posisinya sebagai Komandan KOPASUMU. Kawilarang
memeriksa Batalyon Matalatta dan Batalyon Rivai di Seram. Ia perhatikan cara
mereka bergerak sebagai pasukan anti-gerilya. Kawilarangpun
bertanya siapa yang memberi latihan? Merekapun menjawab: “Kapten Muskita.”
Sebab, Vuursdiscipline- nya (disiplin menembak) juga hebat, Mereka terus mobil,
dan tidak memberikan kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kawilarangpun
teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, “Beter meer zweet dan bloed.”
(Lebih baik banyak keringat dari pada darah). Begitulah cara perang anti-gerilya. Yang
tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau mengambil jalan pintas,
supaya cepat. Padahal di lapangan yang terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab
itu lebih baik mengambil jalan berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang
mendadak daripada mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak
dan disergap musuh.
Pulau
Seram luas sekali dan hutannya lebat. Anti-gerilya setengah mati mencari
gerilya di sana , dan ini tentu makan waktu lama. Pada permulan November 1951
Kawilarang di pindahkan ke Jawa Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III
Siliwangi. Sebenarnya tugas belum selesai dan masih berada di Seram, dan
gemobng RMS, Mr Soumokil masih bertahan dan menyembunyikan diri dari kejaran
TNI.
Baru
pada 12 Desember 1963, Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian
tengah oleh prajurit-prajurit dari
Batalyon Endjo, Siliwangi.Riwayat
petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi penyebab pemberontakan
Andi Azis di Makassar dan pemerontakan RMS berakhir dengan di jatuhi hukuman
mati oleh Mahkmah Militer Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.
Sumber,
http://www.indonesiamedia.com