Bing slamet meninggal


Tempo 28 Desember 1974. SEOLAH-OLAH ia telah mempersiapkan kepergiannya. Ketika ia meninggal Selasa siang pekan lalu, sudah setengah tahun ia tak tampak di depan khalayak.
Film kwartet Jaya terpaksa tak lagi memakai namanya. Bilg Slamet Koboi Cengeng disusul oleh Ateng Minta Kawin. Untuk membantu pertunjukan wayang orang yang diselenggarakan Ny. Lies Mashuri 3 minggu yang lewat, Kwartet Jaya — memegang peran punakawan — dilengkapi dengan Kris Biantoro. Untuk film Ateng Raja Penyamun, Bing juga belum bisa beranjak. Ia hanya bisa memberi semangat dari kamar tidur. Ia mencium pipi Iskak sebelum sahabatnya ini berangkat Shooting. Matanya besar”, Iskak kemudian bercerita “dan suaranya terputus-putus”. Seakan-akan ia mempersiapkan Iskak, Ateng, Eddy Sud dan juga kita semua 20untuk hidup tanpa dia. Mulanya adalah acara bulan April itu. Pertunjukan di Tegal tersebut seharusnya tak diteruskan. Bing sakit perut. Eddy Sud, yang semula menyangka itu masuk-angin biasa, jadi cemas setelah rasa sakit itu mengganggu terus sampai legal. Ia mengusulkan supaya pertunjukan dibatalkan. Tapi Bing menolak. “Nanti penonton menyangka kita mengibuli mereka dan panitia”, katanya, kurang-lebih Maka, sementara Kwartet 20Jaya main di pentas, Bing berdiri di belakang elekton. Sekujur tubuhya telah payah. Di wajahnya sebenarnya tersirat pergulatannya melawan rasa sakit. Tapi ia ingin tetap tegak di panggung. Ia 20mencoba bertelekan pada elekton. Namun beberapa detik kemudian, ia roboh. Di antara deretan penonton terdengar ketawa — seakan-akan Bing jatuh buatkegembiraan pembeli karcis. Waktu Kwartet Jaya kemudian bergegas menutup acara, orang baru sadar bahwa situasinya memang serius. Hanya mereka 20atau siapa saja — tak tahu bahwa itulah isyarat pertama dari sang Maut. Bahwa itulah penampilan Bing Slamet yang penghabisan. Sebab, sejak itu, Bing tak kelihatan lagi. Ia dirawat di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Ulu hatinya konon membengkak, dan dalam saat krisis ia pernah tak sadarkan diri selama 5 hari. Perawatan dr Pang kemudian meredakan sakit itu. Tapi untuk istirahat total, ia harus diungsikan ke sebuah rumah di Jl. Dempo — rumah adiknya — dan dirahasiakan dari publik. Agaknya orang yang dekat dengannya waktu itu pun sudah was-was. “Saya memang telah merasa Bing akan meninggalkan kami semua dalam waktu dekat “, kemudian tutur Eddy Sud rumahnya jadi peristirahatan. Bing di hari-hari terakhir. Perasaan serupa barangkali menghinggapi banyak kenalan. Seperti meramalkan sesuatu menyedihkan pada suatu malam bulan Nopember, TVRI menyajikan acara “Lagu dan Pencipta” — dengan Bing Slamet dalam fokus. Tapi berbeda dengan kelaziman acara ini malam itu sang komponis tidak hadir di studio. Di layar hanya tampak profilnya digambal pada kanvas yang besar. Gambar itu melatarbelakangi kanvas para penyanyi yang membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dan ketika Nien Lesmana menyanyikan Hanya Semalam – ia bagaikan mengenangkan tahun yang lalu, sewaktu nyonya Jack Lesmana ini masih sering menyanyi di RRI Jakarta, bersama Ratna dan (tentu saja) Bing. Banyak penonton terkesiap: TVRI seolah-olah tengah memperingati seorang musikus almarhum. Untunglah di ujung acara diperlihatkan wawancara penyiar Anita Rahmanl dengan sang seniman. Dalam filmnya agak goyang dan kabur itu, mereka tampak duduk di sebuah rumah yang tak dikenal. Suara Bing pelan, gemetar meskipun nadanya masih utuh. Wajahnya pucat, kurus, meskipun tampak cakap dan bersih. Akan sembuhkah ia? Pekan yang lalu, jawabannya adalah tidak. Harapan bagi penderita sakit lever separah Bing memang kecil, tapi kematian itu tetap mengejutkan. Ketika sopir menyusul Eddy Sud di PFN (tempat Ateng Raja Penyamun dibuat) dan mengatakan bahwa Bing dalam keadaan gawat. Sambatnya ini langsung pulang tanpa mencopot cambang palsu dan menghapus bedak riasnya dalam Film Ateng dan Iskak menyusul. Dan di kamar depan yang memantulakan warna coklat dan kuning kesayangan Bing itu Kwartet Jaya kembali berkumpul buat terakhir kalinya. Kali ini tak untuk menbuat orang tertawa. Jl. Arimbi Jemaah dibawa ke Jl Arimbi di daerah Tanah Tinggi Senen. Di situlah rumah Bing Slamet di mana tinggal ister dan 8 anaknya. Tapi sementara sang isteri Ratna Komala Poeri, menangis dan menciumi wajah yang terbaring dalam usia 47 tahun itu, kesedihan hari itu dengan segcra jadi milik umum. Chitra Dewi menangis dalam pelukan Iskak. Vivi Sumanti kehilangan suara dan jongkok termangu di bawah poster Bing Slamet Dukun Palsu. Bekas Kapolri Hugeng menghapus airmata sambil berkata kepada sisa-sisa Kwartet “Teruskan cita-cita kakakmu” Bekas Menteri Budi Hardjo datang Wakil Gubenur Wiriadinata disambut dengan pelukan oleh Eddy Sud. Bersama tokoh PWI Pusat Rosihan Anwar. Menteri Penerangan Mashuri dan nyonya juga ikut berdesak-desakan di antara para pelawat, dan kepada yang hadir berkata ” Saya pribadi dan pemerintah merasa kehilangan seorang seniman yang serba bisa” Jam 12 malam, Rima Melati dan dan suaminya hadir dengan pakaian hitam-hitam. Bagio, Benyamin, Sofia WD, WD Mochtar, Hamid Arief, Wolly Sutinah dan hampir semua buntang layar dan panggung mengalir tak putus- putus. Kesedihan tampaknya tak bisa diringkus dengan mudah, mengenang orang yang kini terbaring beralaskan kain loreng merah-hijau-kuning itu. Begitu rupa desakan orang buat memandang wajah Bing terakhir kali, hingga pada jam 11 pagi, “ijin melihat” itu tak diberikan lagi. Jam 11.15, jenazah dibawa ke mesjid Al Ittihadjah di dekat rumah, untuk disembahyangkan. Di antara yang menyembahyangkan: Wapangab Jend. Surono, “Saya datang sebagai kawan Bing”, kata perwira tingi berpakaian seragam itu dengan singkat. Tidak semua yang hadir, yang sedih, yang ingin serta dalam penghormatan terakhir itu adalah kawan Bing. Tapi unggunan karangan bunga yang tak termuat oleh satu bis khusus itu, juga barisan pengiring jenazah sepanjang 4 Km, juga hiruk-pikuk dan ribuan manusia yang berdesakan itu, semuanya menunjukkan bahwa Bing adalah kawan mereka. Orang dari Banten yang bernama Slamet itu (kemudian ditambahi “Bing” oleh Fifi Young), ternyata begitu dekat ke diri manusia-manusia itu. Barangkali karena namanya sejak hampir seperempat abad yang lalu telah menetap di benak khalayak melalui pelabagai media massa. Ketika umurnya masih belasan, ia sudah nyanyi di radio Zaman Jepang, “Hosokyooku”. Sejak awal tahun 1950-an nama itu semakin menanjak dengan kegiatan Bing di RRI Jakarta. Tapi tangga terpenting karir Bing bukanlah ketika ia dalam umur 28 tahun memenangkan Bintang Radio jenis Hiburan (ia pernah gagal untuk jenis seriosa). Sejarah barunya bermula ketika ia bergabung dengan Cepot dan Udel dalam satu trio lawak. Los Gilos Cepot adalah Hardjodipuro — kini pensiunann Dep. Penerangan — dan Udel adlah Purnomo, sarjana Biologi yang kini hampir pensiun dari Dep. Pertanian, bintang terkenal dalam Si Mamat. Kedua orang itu sejak 1945 mengisi acara “Sepintas Lalu” — mirip gaya obrolan Mpok Ani dan Bang Madi. Di tahun 1953, duet itu bertemu dengan Bing yang baru datang dari Jawa Timur. Bing dicomot dan itu duet jadi trio “Sebab Bing suka nyanyi sambil menggerak-gerakkan alisnya secara menggelikan”, kata Purnomo. Tapi kelebihan Bing bukan cuma itu: ia bisa mengubah suaranya — konon sampai 4 macam dan ia lantip dalam perkara meniru-nirukan. Dan tentu saja faktor lain yang tak bisa ditinggalkan untuk seorang pelawak: Bing bisa akting. Di tahun 1951 ia sudah menunjukkan secara lebih jelas kemampuan ini, walaupun masih belum beres benar, ketika ia ikut film Sepanjang Malioboro di sela-sela Abdul Hadi dan Titien Sumarni. Maka tahun-tahun itu adalah tahun-tahun Trio Los Gilos, zaman tiga orang sinting-sintingan di studio V RRI Jakartal, yang jadi inti dari acara Kabaret akhir bulan yang begitu populer dari seluruh Indonesia. Bing Slamet dengan segera jadi bintang trio. Ia mungkin bukan anggota yang paling cerdas dalam memutar mesin humor di kepalanya, tapi ia yang paling banyak bisa. Ia bisa muncul sebagai perempuan atau anak kecil, ia bisa nyanyi dengan banyak logat dan lagu. Tak mengherankan, bila ia merasa disitulah dunianya. Ketika Los Gilos macet, maka Bing Slamet-lah yang jalan terus denagn aktifitas melawak — dan bukan kedua orang seniornya. Memang tak bisa lain: Hardjodipuro terikat dengan dinas sehari-hari di RRI, sedang Purnomo pegawai Departemen Pertanian. Kedua mereka melawak sebagai sambilan. Ketika kegiatan Trio Los Gilos melebar ke luar studio V, meladeni pesanan dari beberapa kota di Jawa, hal itu tentu sangat merepotkan. “saya da Cepot tak mungkin meninggalkan kantor di hari kerja”, kata Purnomo mengenang masa itu. Mereka baru bisa mengadakan pertunjukkan di luar Jakarta jika lagi cuti atau hari Minggu dengan syara di hari Senin harus balik di kantor. Betapapun, para pelawak hari Minggu itu toh bisa bersama-sama sampai 20 tahun. Di sebuah pertunjukan di Senayan, 1963, Bing dan Purnomo mengambil kesempatan di balik panggung. Mereka merayakan pertemuan 10 tahun sebelumnya, diam-diam. Masing-masing minum sebotol limun. Melawak, setidaknya waktu itu memang pekerjaan yang “sunyi”. Orang ramai cuma tahu apa yang tampak di pentas, tapi tak akan acuh untuk apa yang ada di balik itu. Dengan harapan memperbaiki hidup agaknya, sembari mencoba suatu kesempatan, Trio Los Gilos bermain untuk film Raja Karet Dari Singapura, tahun 1956. Tapi film itu tak laku. Agaknya juga tak bermutu, justru karena terlampau banyak pelawak: Kuncung, Poniman, D. Harris dan Srimulat. “Bukan Raja Karet dari Singapura”, kata Bing setelah kegagalan itu, “tapi Raja Singapura dari karet. Membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun buat Bing untuk mengubah kegagalan menjadi sukses dalam film setidaknya dari segi komersiil. Film semacam Bing Slamet Setan Jalanan diawal tahun 1970-an mengukuhkan popularitasnya, meskipun tidak mengukuhkan kapasitasnya sebagai aktor komedi yang lebih dari sekedar badut-badutan. Maka walaupun dikritik, film-film itu jadi media yang memperkuat kehadirannya dalam kesadaran sehari-hari khalayak ramai — dari anak 3 tahun 20sampai dengan bapak 70 tahun. Seperti 20halnya dalam iklan “Tiga Berlian” TV dengan Eddy Sud dan teriakan “Enaaaak”, pemunculan Bing mungkin tak terlalu meyakinkan tapi efektif. Tentu tak bisa dipastikan bahwa seandainya Bing hidup terus dan aktif terus, ia akan tetap berada di tempat teratas dalam hati penonton. Dunia show business mengandung sifat-sifat yang akan menyisihkan apa saja yang 20mulai membosankan. Bing dan Kwartet Jaya — selama ini bisa tetap menonjol, sukurlah. Tapi, salah satu sebabnya barangkali karena di Indonesia masih terlalu sedikit pelawak — khususnya yang mempergunakan bahasa nasional — dan persaingan belum gencar. Apabila suatu saat nanti tokoh-tokoh baru muncul, barangkali keadaan akan jadi lain. Kekurangan bahan lelucon yang segar pengulangan pola yang itu-itu juga, dengan cepat akan bisa mematikan seseorang atau suatu grup yang sudah puas diri. Itulah sebabnya sebelum ia meninggal, sudah mulai, banyak pengagumnya yang cemas: bagaimana mengingatkan Bing dan kawan-kawannya bahwa perbendaharaan humor mereka sudah menunjukkan tanda-tanda kering. Bukan karena Bing, Ateng dan Iskak masing-masing kurang berbakat. Tapi mereka agak terlampau sering muncul, baik karena cari uang ataupun karena sekedar menyumbang acara perhelatan seorang rekan. Sementara itu, ilham atau ide baru tak selalu lahir dengan lancar. Kwartet Jaya dan Bing Slamet bagaimana pun juga pada suatu saat akan bersua dengan hukum kebosanan dan kecapekan. Pele Mungkin itulah segi yang positif dari meninggalnya. Tuhan memanggil Bing sebelum ia turun dari pentas. Bagaikan si Raja Bola Pele, Bing “mengundurkan diri” sebelum ia dicoret dari daftar 20penonton. Kwartet Jaya sendiri sudah mulai terbiasa untuk menjadi kwartet minus satu. Trio Ateng-Iskak-Eddy Sud — yang berniat untuk tak menambah anggota — bahkan baru selang tiga hari setelah Bing meninggal sudah tampil di pentas Hotel Aryaduta, sonder wajah sedih. “Kesedihan tak boleh dibawa-bawa ke pekerjaan”, kata Ateng konon mengikuti petuah Bing, sendiri. Dan nama Bing Slamet barangkali juga tak akan lagi mereka bawa-bawa: Bing memang penting, tapi siapa tahu Ateng bisa menggantikan popularitasnya. Bahkan, menurut seorang yang cukup dekat dengan grup pelawak ini, Ateng — yang 20paling muda — paling punya potensi 20untuk ide-ide yang tidak “kuno”, sementara Iskak masih cukup punya kemampuan improvisasi. Tinggal bagaimana Eddy Sud menambah garam dengan menunjukkan dirinya — benar-benar sebagai pelawak secara lebih penuh — dan tak cuma jadi si ganteng yang sedikit meletakkan diri di atas si tampang jelek. Pendeknya, tanpa Bing pun, Kwartet itu masih punya potensi — asal selalu memperkaya diri dengan cadangan 20humor, dan bisa memanfaatkan kritik. Bing Slamet sendiri barangkali kelak tak akan dikenang sebagai pelawak. Sebab ia memang tidak cuma itu. Sebagai komponis barangkali karyanya akan lebih bisa tahan-waktu dari lelucon-leluconnya: Kwalitas komposisinya agaknya tak kalah dari ciptaan-ciptaan 20Ismail Marzaki. Lagu-lagunya seperti 20 Hanya Semalam dan Belaian Sayang — masih tetap enak didengar, apalagi bila suara Bing sendiri yang menyanyikannya: besar, penuh perasaan, jernih. Suara itu juga mungkin abadi. Namun apabila kesedihan begitu merata di kalangan 20bintang film dan penyanyi minggu yang lalu, barangkali soalnya karena yang 20 meninggal adalah seorang yang lebih dari sekedar seniman: ia adalah rekan yang selama hidupnya lebih banyak 20memberi daripada meminta. Udel bisa bercerita panjang bagaimana Bing bukanlah orang yang “profesional” 20dalam urusan uang pembayaran untuk 20 pertunjukannya. Di zaman Trio Los Gilos — yang tentu saja tanpa manager, tanpa promotor — siapa saya di antara 20mereka bertiga bisa menerima pesanan 20untuk main. “Nah, kalau sudah Bing 20yang terima, permintaan uang”, kata 20Udel mengenang rekannya yang 4 tahun lebih muda itu, “sering kami pulang dengan tangan kosong”: Soalnya, Bing tak 20pernah mau menyebut atau menyinggung perkara duit, bila panitia pengunjung menanyakannya. Paling banter dijawabnya: “Itu gampang, deh”. Sering mendapat kesempatan macam ini, diakhir pertunjukan sang panitia betul-betul menggampangkan mereka: orainnya kabur, atau muncul dengan menyodorkan wajah pilu “sorry kita-rugi” Sebagaimana yang digambarkan Udel, pada Bing terdapat pribadi yang selalu menaruh kepercayaan kepada orang lain — kadang-kadang dengan teramat mudah. Dalam diri Bing juga selalu ada kesulitan untuk menolak pemintaan orang. Pada zaman DI masih menteror Jawa Barat, Trio Los Gilos — lewat Bing — menyanggupi untuk main di 20Garut. Mereka kemalaman di jalan, dan meskipun diperingatkan petugas, dengan Fiat-kodok mereka terus saja. Untung selamat. Tanpa diantar ke penginapan, dulu, mereka langsung ke gedung pertunjukan buat 2 x main. Panitia penyelenggara yang menjanjikan honor Rp 10.000 ternyata menghilang 20begitu acara usai. Baru setelah lama 20kemudian ketemu — dan cuma memintakan bisa membayar Rp 1000. Bing memandang Udel: “Sorry, mas”. Udel mengkal juga tapi itulah Bing: “jiwa sosialnya tak ada duanya”. Bing menyelesaikan kerja dan janjinya kepada orang lain dengan baik-, Biarpun seringkali orang lain tak memenuhi 20janji yang diberikan kepadanya. Hatinya mulia. Tuntutannya kepada hidup sangat bersahaja. Banyak pertunjukan yang tiba-tiba oleh Bing jumlah pemainnya ditambah untuk memberi kesempatan artis-artis yang sedang tidak laku supaya bisa ikut. Bila perlu, untuk 20mereka, Bing tak mengambil seluruh agiannya dari honorrarium. Ia berbagi. Pernah ia berkata, kepada Ed Zulverdi: “Tiap saya menyerahkan uang pada isteri di rumah, selalu saya pesawat ini 20uang belanja, dan hati-hati sebagian bukan milik kita”. Orang masih ingat bagaimana komponis Gesang sedikit tertolong hidupnya, ketika Bing menyerahkan seluruh hasil pertunjukannya di TIM, dalam acara malam dana khusus untuk itu. Dan bagi dirinya sendiri? Dengan seorang isteri dan 8 anak yang belum mentas, Bing tetap mendiami rumah di Arimbi itu. Ukurannya tak terlalu lebih luas dari 7 x 10 meter. Listrik di rumahnya remang-remang. Gang sempit itu — yang untuk perbaikannya Bing ikut menyumbang sejumlah uang — masih sering banjir. Benyamin-S., anak didiknya yang sukses, sudah pindah dari gang becek di Haji Ung Kemayoran ke wilayah, mewah Kebayoran Baru. Tapi Bing tetap di tempatnya semula. “Rumah ini sangat saya sayangi”, katanya suatu ketika, “sebab orang sekitar kampung ini 20semua baik-baik”. Baik hati, dan bukan mentereng, agaknya itulah ukuran tertinggi dalam filsafat Wdupnya. Di situlah Bing Slamet 20jadi perkecualian yang amat berharga 20dari gaya hidup orang-orang show business di kota besar ini. Ia tak mengangkat diri ke kemewahan, yang begitu jauh dari orang-orang kampung: Ia penghibur — bukan dengan cuma melawak, tapi dengan merasa sepersaudaraan.