Dari Sumitro, Dengan Peringatan …


Tempo 22 Januari 1972. Pangkopkamtib jenderal sumitro melarang aksi-aksi protes. kegiatan mahasiswa tak dilarang. segala bentuk kritik hendaknya disalurkan melalui jalur yang ada. SIAPA jang menggerakkan aksi-aksi pemuda-mahasiswa jang menentang projek Miniatur Indonesia? Pertanjaan ini banjak diutarakan sedjak Presiden Soeharto menjebut-njebut adanja orang “dibelakang lajar” penggerak aksi-aksi protes itu ketika meresmikan RS Pertamina jang lalu. Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mentjoba membuatnja lebih djelas ketika mendjawab pertanjaan pers berkata: “Setiap jang tahu ABC-nja politik tentu tahu siapa jang dimaksud Presiden”. Soalnja tidak semua orang tahu dengan jang disebut abc-nja politik itu, seperti djuga ternjata tidak semua orang mengerti tjara berdemokrasi. Tapi berbeda dengan Amirmachmud, Aspri Presiden Majdjen Ali Murtopo berbitjara lebih singkat namun lebih djelas “Kopkamtib jang tahu”, katanja mendjawab pertanjaan jang sama dari pers.

Dan Kopkamtib memang memperdengarkan suaranja minggu lalu. Ditengah-tengah berita tentang maksud pemerintah meningkatkan kegiatan pemungutan padjak dalam negeri, menurut RRI Wakil Panglima Kopkamtib Djendral Sumitro menegaskan bahwa Kopkamtib tidak akan membiarkan aksi-aksi “ekstra-parlementer” seperti jang dilantjarkan hari-hari belakangan ini. Menurut RRI, Sumitro jang berbitjara dihadapan pimpinan redaksi mass-media di ibukota, menjebut-njebut djuga nama-nama Arief Budiman dan H.J. Princen sebagai jang akan diambil tindakan tegas. Adakah dengan menjebut kedua nama itu Kopkamtib telah berkesimpulan bahwa keduanja itulah jang merupakan dalangdalang penggerak aksi-aksi, tidak didjelaskan dalam berita itu.

Saluran. Menurut Djendral Sumitro, Kopkamtib sebenarnja akan mengendorkan kegiatannja setelah Pemilu selesai. Tapi dengan adanja aksi-aksi ini Kopkamtib djustru akan lebih meningkatkan operasinja. Soalja, Kopkamtib tidak bisa mentolerir tindakan-tindakan jang bisa mengganggu kestabilan politik jang telah ditjiptakan dengan susah-pajah. Meskipun demikian, “kami tidak menjetop kegiatan-kegiatan para mahasiswa”, kata Sumitro lagi. “Tapi djika suatu pandangan atau kritik hendak dikemukakan, hendaklah dikemukakan melalui saluran jang ada seperti Universitas, ataupun madjalah-madjalah dan suratkabar-suratkabar”.

Sambutan terhadap pernjataan Wapangkopkamtib itu dipers, misalnja Pedoman dan Kompas, tjukup hangat. Kedua harian itu penuh harapan bahwa kritik tak akan ditindas mati di Indonesia.

Sementara itu satu hal tambah djelas: forum “parlemen djalanan” bila mau didjalankan terus, akan dihadapi dengan tindakan tegas-keras. Maka soalnja kemudian ialah bagaimana memberi keleluasaan dan kekuatan – kepada saluran-sahlran kritik jang lain, baik DPR, DPRD, Universitas dan pers. Tanpa keleluasaan dan kekuatan itu, mereka hanja akan ibarat saluran jang bumpet, jang menjebabkan arus air menjebal mentjari salurannja sendiri. Hari-hari mendatang adalah udjian: dapatkah DPR, Universitas dan pers punja lebih besar keleluasaan dan kekuatan mengritik, hingga tjukup menjalurkan ketidak-puasan atau fikiran-fikiran korektif jang dirasakan? Apakah jang akan terdjadi sesudah itu? Orang wadjib berharap: perbaikanlah jang terdjadi, bukan sebaliknja.

Tjopot. Dari ketiga forum jang disebut tadi banjak hal tergantung pada lembaga legislatif. Sampai hari-hari ini! harus diakui, tjukup besar was-was untuk bisa mengharapkan DPR atau DPRD berfungsi, seperti ditulis Kompas, “menjalurkan pendapat dan perasaan jang hidup dikalangan rakjat banjak, terutama jang menjangkut masalah-masalah tak terungkapkan jang berhubungan dengan rasa keadilan dan kebenaran. Sudah tentu tak selajaknja orang dengan serta-merta menuduh bahwa semua anggota DPR atau DPRD selalu ketakutan ditjopot bila mereka mengetjam satu atau beberapa tindakan pemerintah. Tapi DPR bagaimanapun sempurnanja, memang masih membutuhkan pendorong lain. Pers dan Universitas mungkin bisa membantu, tapi dalam keadaan sekarang nampaknja sekali lagi penguasa sendiri harus djadi pengandjur terkuat untuk kebebasan kritik tanpa ketakutan.