Pada
1619 kota Jayakarta direbut dan dihancurkan oleh VOC. Di atas reruntuhan kota
tersebut, Gubernur Jenderal VOC yang keempat, Jan Pieterszoon Coen, membangun
kota baru Batavia. Penduduk asli Jayakarta, yakni orang-orang Sunda dan Banten,
berpindah ke tempat lain selagi kota baru dibangun sehingga Coen menghadapi
kenyataan bahwa kota menjadi lengang. Yang tertinggal hanyalah tentara dan
pegawai VOC, budak-budak dari Asia Selatan dan sejumlah orang Cina.
Persoalannya, jika kota baru kekurangan penduduk (terutama yang cakap bekerja)
tentu akan menghambat gerak roda perekonomian. Segera Coen teringat kepada
‘sahabat’ lamanya, Souw Beng Kong (SBK), seorang pedagang besar dan berpengaruh
yang dikenalnya di Banten beberapa tahun sebelumnya. Coen membujuk SBK agar mau
pindah ke Batavia dengan iming-iming mendapat jabatan sebagai pemimpin golongan
penduduk Cina. Berbeda
dengan beberapa pejabat sebelumnya yang cenderung menekan orang Cina, Coen justru merangkul mereka sebagai sekutu dagang. Jelaslah bahwa Coen memahami benar potensi orang-orang Cina, khususnya terhadap SBK, di bidang yang satu itu.Atas bujukan Sang Gubernur Jenderal, SBK bersedia pindah ke Batavia bersama sekitar dua ratus pengikutnya. Sesuai janji, Coen mengangkat SBK—yang juga populer dipanggil Bencon menurut lidah Belanda—sebagai pemimpin golongan masyarakat Cina dengan gelar atau sebutan mula-mula Overste der Chineesen, kemudian Cappiteyn der Chineesen, dan akhirnya Cappiteyn van de Chineesen. Pengangkatan Bencon tersebut menandai terbentuknya institusi Kapiten—atau lebih tepat Kapitan (7)—Cina di Batavia yang kemudian bertahan hingga lebih dari tiga ratus tahun (1619-1942). SBK menjabat kapitan pertama dalam masa awal pertumbuhan kota Batavia selama tujuh tahun (1619-36), kemudian digantikan secara berurutan oleh Lim Lacco (1636-45), Phoa Beng Gam (1645-63), dan Can Si Kwa (1663-66). ( 8 ) Ada beberapa hal menarik yang kita temukan dari riwayat para pembesar Cina tersebut. Pertama, mereka menyandang sebutan kapitan, atau letnan untuk tingkat yang lebih rendah, dan mayor untuk yang lebih tinggi. Sebutan itu mengingatkan kita pada jenjang pangkat dalam militer. Bagi masyarakat non-Cina di Batavia pada masa itu, gelar kapiten (kapitein) memang berkaitan dengan fungsi kemiliteran. Kebanyakan penduduk pribumi di Kepulauan Nusantara yang datang pertama-tama
dengan beberapa pejabat sebelumnya yang cenderung menekan orang Cina, Coen justru merangkul mereka sebagai sekutu dagang. Jelaslah bahwa Coen memahami benar potensi orang-orang Cina, khususnya terhadap SBK, di bidang yang satu itu.Atas bujukan Sang Gubernur Jenderal, SBK bersedia pindah ke Batavia bersama sekitar dua ratus pengikutnya. Sesuai janji, Coen mengangkat SBK—yang juga populer dipanggil Bencon menurut lidah Belanda—sebagai pemimpin golongan masyarakat Cina dengan gelar atau sebutan mula-mula Overste der Chineesen, kemudian Cappiteyn der Chineesen, dan akhirnya Cappiteyn van de Chineesen. Pengangkatan Bencon tersebut menandai terbentuknya institusi Kapiten—atau lebih tepat Kapitan (7)—Cina di Batavia yang kemudian bertahan hingga lebih dari tiga ratus tahun (1619-1942). SBK menjabat kapitan pertama dalam masa awal pertumbuhan kota Batavia selama tujuh tahun (1619-36), kemudian digantikan secara berurutan oleh Lim Lacco (1636-45), Phoa Beng Gam (1645-63), dan Can Si Kwa (1663-66). ( 8 ) Ada beberapa hal menarik yang kita temukan dari riwayat para pembesar Cina tersebut. Pertama, mereka menyandang sebutan kapitan, atau letnan untuk tingkat yang lebih rendah, dan mayor untuk yang lebih tinggi. Sebutan itu mengingatkan kita pada jenjang pangkat dalam militer. Bagi masyarakat non-Cina di Batavia pada masa itu, gelar kapiten (kapitein) memang berkaitan dengan fungsi kemiliteran. Kebanyakan penduduk pribumi di Kepulauan Nusantara yang datang pertama-tama
di Batavia, sejak kota itu dalam proses
pembangunannya, adalah tentara yang tergabung dalam dinas kemiliteran VOC.
Karena itu kepada pemimpinnya diberikan gelar kapiten. Sedangkan gelar kapitan
Cina samasekali tidak berhubungan dengan pangkat militer melainkan jabatan
sipil. Tetapi seperti dalam pangkat militer, dalam sebutan jabatan pemimpin
Cina tersebut juga terkandung hierarki yang disesuaikan dengan lingkup tugas
dan tanggungjawabnya. Juga seperti dalam sistem kemiliteran pada umumnya,
seorang pemimpin (Cina) bisa memperoleh kenaikan pangkat sesuai reputasi dalam
tugasnya.
Sampai
abad ke-19 diketahui bahwa pangkat tertinggi pemimpin golongan Cina adalah
mayor tituler. Sebagai contoh adalah Tan Tjin Kie, seorang pengusaha gula
kaya-raya asal Cirebon. Tan dilahirkan pada 1853 di kota itu; pada umur 29
tahun ia diangkat sebagai Luitenant der Chineezen, kemudian menjadi kapitan
enam tahun kemudian, dan akhirnya pangkat mayor tituler diraih pada 1913 sampai
ia meninggal pada 1919 karenapenyakit jantung. (9) . Tugas pokok seorang
pemimpin Cina ialah “mendjaga prikasantausaan dalem wijk Tionghoa dan oeroes
ketjidraan-ketjidraan di antara bangsanja.” (10) Artinya, seorang kapitan
berkonsentrasi mengurus keamanan dan masalah-masalah dalam komunitasnya
sendiri. Rumusan tugas itu cukup longgar sehingga seorang kapitan juga bisa
melakukan tugas polisional, misalnya menangkap tersangka tindak kejahatan
tertentu.Meskipun
diangkat resmi oleh VOC, kapitan Cina tidak bergaji. Sebagai kompensasinya,
kapitan boleh memungut berbagai pajak, memborong proyek-proyek infrastruktur,
dan pemasukan dari usaha lain. Lagi pula, orang yang diangkat menjadi kapitan
pada dasarnya sudah memiliki kekayaan sendiri sejak awal.Untuk
memperkuat kedudukannya, kapitan Cina juga diikutsertakan dalam College van
Schepenen, semacam majelis dalam pemerintahan kota, agar ikut mewakili dan memberikan
aspirasi dari golongan masyarakatnya. Dalam praktiknya, keterwakilan itu tidak
memberikan arti penting bagi kebanyakan penduduk Cina di Batavia, sampai
akhirnya pada 1666 kedudukan kapitan Cina dalam College dihapus. Dengan
demikian, dapat juga dikatakan bahwa institusi Kapitan Cina pada dasarnya
bersifat politis. Di balik itu, terbaca pula bahwa VOC tidak ingin terlibat
langsung dalam kegiatan administrasi sehari-hari penduduk non-Eropa. Institusi
itu juga bisa dilihat sebagai bagian dari politik-ekonomi VOC, khususnya dalam
menarik tenaga kerja, menggerakkan roda perdagangan, dan memungut pajak.
Setelah pembentukan institusi Kapitan Cina, disusul hal serupa untuk golongan
masyarakat lainnya seperti Ambon, Ball, Banda, Bugis, Jawa, Makassar, Melayu,
dan lain-lain.
Seiring
dengan perkembangan kota Batavia yang semakin ramai, jumlah imigran Cina yang
datang pun semakin bertambah. Puluhan jung (perahu besar) setiap tahun berlabuh
membawa berbagai komoditas dagang dan imigran baru. Orang-orang Cina yang
kemudian menetap di Batavia itu mengisi berbagai lapangan kerja yang mendukung
kelangsungan hidup kota. Para pendatang baru itu bekerja sebagai pande besi,
tukang bangunan, tukang kayu, pedagang eceran, penyuling arak, pembuat gula,
peneroka lahan pertanian, dan sebagainya. Bertambahnya jumlah penduduk golongan
Cina dan meningkatnya peran mereka dalam kegiatan perekonomian Batavia
menyebabkan lingkup tugas kapitan Cina semakin luas. Untuk meringankan
tugas-tugasnya, pada 1678 VOC mengangkat opsir Cina baru dengan sebutan letnan
dan sersan.(11). Para
letnan dan sersan bertugas membantu kapitan dalam urusan administrasi penduduk
Cina Batavia dan pemungutan pajak kepala (hoofdgeld der Chineezen). Pajak
kepala telah diberlakukan sejak kota Batavia didirikan; besarnya 1,5
rijksdaalder untuk setiap orang.(12) Tugas pemungutan pajak ini langsung
ditangani oleh kapitan, dan hasilnya untuk membiayai berbagai pembangunan
prasarana kota. Selama tiga hari pada setiap awal bulan, kapitan mengibarkan
bendera di depan rumahnya sebagai tanda bagi warga Cina untuk segera membayar
pajak kepala. Jumlah pajak yang terkumpul sedemikian besar sehingga masyarakat
Cina tercatat membayar lima kali lebih besar daripada penduduk lainnya dalam
pembangunan tembok kota Batavia, dan tiga kali lebih besar daripada pajak
seluruh golongan masyarakat lainnya dalam pembangunan balai kota. (13) Selain
pajak kepala, penduduk Cina di Batavia dan sekitarnya juga dikenai pajak
permainan. Dari
ketiga kota di Jawa dengan jumlah penduduk Tionghoa cukup besar, Semaranglah
yang pertama kali punya mayor Cina dengan diangkatnya Tan Tiang Tjhing sebagai mayor Cina titulair (kehormatan) pada
1829, diikuti oleh Surabaya dengan diangkatnya The Goan Tjing pada 1834, baru terakhir Batavia dengan
diangkatnya Tan Eng Goan pada 1837. Seluruhnya Batavia punya lima mayor:
Tan Eng Goan (1837-1861),
Tan Tjoen Tiat (1865-1879),
Lie Tjoe Hong
(1879-1896)
Tio Tek Ho (1896-1908 )
Khouw Kim An (1910-1918, diangkat kembali
1927-1942).
Untuk
luar Jawa, kota-kota lain yang juga
pernah punya mayor Cina, baik titulair atau bukan, adalah Medan, Sumatra Utara
(Majoor Tjong A Fie 1861-1921), Mentok,
Sumatra Selatan (Majoor Zhong Yonghuang ; dan Makassar, Sulawesi Selatan(Majoor
Thung Liong Hoei , 1872-1942). Tidak jelas sejak kapan munculnya
pangkat-pangkat itu.
Keterangan
:
5 Saudagar kepala, pejabat tertinggi di
bidang perdagangan dalam sistem mono-poliVOC.
6
Dikisahkan dalam B.Hoetink, Hikajat Kapitein Souw Beng Kong ( Batavia:
Drukkerij Lie Tek Long, 1916), him. 7-8.
7. Kata Pengantar ini lebih memilih istilah
kapitan daripada kapiten karena kesesuaian makna dan fungsi jabatan itu, yakni
(1) sebutan kepala daerah (dibawah raja) di Nusa Tenggara Timur;(2) kepala
golongan penduduk Tionghoa. Bandingkan dengan kapten yang bermakna (1) nakhoda
kapal,kapten kapal;(2) pangkat dalam ketentaraan, atau pemimpin kesebelasan
sepakbola (lihat misalnya Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1976).
8. Lihat Hoetink,Hikajat Kapitein,hlm 48.
Uraian pengantar ini tentu tidak bermaksud menyebut semua nama kapitan Cina
pada masa VOC dan seterusnya yang jumlahnya sangat banyak.
9 Lihat Cheribonsche Courant, 14 Februari
1919; dimuat kembali secara lengkap dalam Tan Gin Ho, Peringetan dari Wafatnja
MajoorTan Tjin Kie (t.p., t.t.), him. 53.
10 Hoetink, Hikajat Kapitein, him. 16.
11 Lihat Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar
Mengatur Batavia (Depok: Masup Jakarta, 2007), him. 46.
12 Ibid.,hlm.41.
13 Lihat Leonard Blusse, Persekutuan Aneh:
Pemukiman Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, terj. (Jakarta:
Pustaka Azet, 1988), him. 124.
sumber
: Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10