In
Historia, Politik on July 30, 2010 at 5:55 PM
“Kalau
ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka itu tak lain adalah tiga
jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan Kemal Idris. Namun
perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan dari kekuasaan”.
SELAIN
Jenderal Soeharto, ada tiga jenderal yang tak bisa dilepaskan dari catatan
sejarah pergolakan dan perubahan Indonesia pada tiga bulan terakhir tahun
1965,hingga 1966-1967. Peran mereka mewarnai secara khas dan banyak menentukan
proses perubahan negara di masa transisi kekuasaan dari tangan Soekarno ke
tangan Soeharto. Tentu saja ada sebarisan jenderal dan perwira bersama Jenderal
Soeharto dalam membangun rezim kekuasaan baru menggantikan kekuasaan Soekarno.
Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap berpegang kepada idealisme semula yang menjadi dasar kenapa rezim yang lama di bawah Soekarno harus diganti, dan bahwa kekuasaan baru yang akan ditegakkan adalah sebuah kekuasaan demokratis sebagai koreksi terhadap rezim Nasakom Soekarno.
Namun hanya sedikit dari mereka yang tetap berpegang kepada idealisme semula yang menjadi dasar kenapa rezim yang lama di bawah Soekarno harus diganti, dan bahwa kekuasaan baru yang akan ditegakkan adalah sebuah kekuasaan demokratis sebagai koreksi terhadap rezim Nasakom Soekarno.
Paling
menonjol dari barisan perwira idealis ini adalah tiga jenderal, yakni Sarwo
Edhie Wibowo, Hartono Rekso Dharsono dan Achmad Kemal Idris, yang ketiganya di
akhir karir mereka ‘hanya’ mencapai pangkat tertinggi sebagai Letnan Jenderal.
Ketika masih berpangkat Kolonel pada 1 Oktober 1965, Sarwo Edhie adalah
bagaikan anak panah yang muncul dari dari balik tabir blessing in disguise
dalam satu momentum sejarah bagi Jenderal Soeharto. Mayor Jenderal Hartono Rekso
Dharsono, yang pada bulan Juli 1966 naik setingkat dari Kepala Staf
menggantikan Mayjen Ibrahim Adjie sebagai Panglima Siliwangi, kemudian muncul
sebagai jenderal yang menjadi ujung tombak upaya pembaharuan struktur politik
Indonesia hingga setidaknya pada tahun 1969. Salah satu gagasannya bersama
sejumlah kelompok sipil independen adalah konsep Dwi Partai. Perwira idealis
lainnya adalah Mayjen Kemal Idris yang pada tahun 1966 menjadi Kepala Staf
Kostrad dan berperan sebagai pencipta momentum dalam peristiwa ‘pasukan tak
dikenal’ yang mengepung Istana pada 11 Maret 1966. Berita kehadiran ‘pasukan
tak dikenal’ telah membuat panik Presiden Soekarno dan sejumlah menterinya dan
menjadi awal dari ‘drama’ politik lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966.Tak
ada jenderal lain yang begitu dekat dan dipercaya para mahasiswa 1966, melebihi
ketiga jenderal ini. Begitu populernya mereka, sehingga kadangkala kepopuleran
Sarwo Edhie, HR Dharsono dan Kemal Idris misalnya, melebihi popularitas
Soeharto saat itu. Apalagi ketika Soeharto kemudian terlalu berhati-hati dan
taktis menghadapi Soekarno selama 17 bulan di tahun 1965-1967, sehingga di mata
mahasiswa terkesan sangat kompromistis. Tetapi kepopuleran tiga jenderal ini di
kemudian hari juga menjadi semacam bumerang bagi karir mereka selanjutnya.
Melalui suatu proses yang berlangsung sistematis mereka disisihkan dari
posisi-posisi strategis dalam kekuasaan baru untuk akhirnya tersisih sama
sekali.
RABU
28 Juli 2010 pukul 03.30 dinihari Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris
meninggal dunia dalam usia 87 tahun karena komplikasi berbagai penyakit.
Kepergian Letnan Jenderal Kemal Idris ini menjadi kepergian terakhir yang
melengkapi kepergian tiga jenderal idealis perjuangan 1966. Ketiganya pergi
dengan kekecewaan mendalam terhadap Jenderal Soeharto. Sebelum meninggal dunia,
Letnan Jenderal HR Dharsono sempat dipenjarakan beberapa tahun oleh Soeharto
dan para jenderal generasi muda pengikutnya dengan tuduhan terlibat gerakan
subversi. Sementara Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo berkali-kali disisihkan
dari peranan-peranan dalam kekuasaan dan pemerintahan oleh Soeharto dengan
cara-cara yang tidak elegan dan mengecewakan. Tapi Sarwo Edhie Wibowo tak
pernah melontarkan kecaman terbuka kepada Soeharto, kecuali menyampaikan keluhan
bernada kecewa, kepada beberapa orang yang dianggapnya memiliki idealisme dan
keprihatinan yang sama mengenai cara Soeharto menjalankan kekuasaan. Kemal
Idris juga bersikap kritis terhadap Soeharto namun tak pernah berkonfrontasi
dengan mantan atasannya itu. Tapi tak urung, Kemal Idris pernah ikut dengan
kelompok Petisi 50 yang bersikap kritis terhadap Jenderal Soeharto.
KEMAL
IDRIS berkali-kali berada pada posisi peran dan keterlibatan dalam beberapa
peristiwa sejarah yang penting di masa-masa kritis republik ini. Dalam
Peristiwa 17 Oktober 1952, saat kelompok perwira Angkatan Darat berbeda
pendapat dan berkonfrontasi dengan Presiden Soekarno, sebagai perwira muda yang
kala itu berusia 29 tahun, Kemal Idris ada di belakang meriam yang moncongnya
dihadapkan ke istana. Empat tahun sebelumnya, Kemal Idris dengan pasukannya
dari Divisi Siliwangi ikut dalam operasi penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun
tahun 1948. Pada
tanggal 11 Maret 1966 sekali lagi Kemal Idris berada dalam pusat pusaran
sejarah. Sejak pagi hari pada tanggal itu sebenarnya Presiden Soekarno berada
dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada
Sidang Kabinet, namun Soekarno was-was mengenai faktor keamanan bila sidang itu
diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul
07.00 dari Istana Bogor, menanyakan apakah aman bila sidang itu dilakukan di
Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan menjanjikan takkan terjadi
apa-apa. Beberapa jam kemudian, ketika sidang itu akan dimulai, sekali lagi
Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban “Jamin pak, aman”. Soekarno
meminta Amirmahmud untuk tetap berada dalam ruang sidang. Namun sewaktu sidang
baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa Brigjen Saboer
terlihat berulang-ulang menyampaikan memo kepada Amirmahmud. Isinya
memberitahukan adanya pasukan yang tak jelas identitasnya berada di sekitar
istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak,
tetapi Panglima Kodam ini berulang-ulang menjawab hanya melalui gerak telapak
tangan dengan ayunan kiri-kanan seakan isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa
juga sekedar tanda bahwa ia tidak bisa dan tidak mau keluar dari ruang rapat
kabinet.. Meskipun adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari
penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya. Tak
mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya,
Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno.
Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk
dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan
kepemimpinan sidang kepada Leimena dan meninggalkan ruang sidang dengan
tergesa-gesa. Soekarno menuju sebuah helikopter yang tersedia di halaman
istana. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.
Sebenarnya, Amirmahmud sendiri –yang ingin menunjukkan kepada Soekarno bahwa ia
mampu menjamin keamanan sidang kabinet tersebut– saat itu pun tak mengetahui
mengenai kehadiran pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak
atas inisiatif Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris. Pasukan itu
diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar
istana. Seorang perwira tinggi AD mengungkapkan di kemudian hari bahwa pasukan
tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena
dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban
kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh korban jiwa di kalangan mahasiswa.
SBY dan Kemal Idris daviddareparker.photoshelter.com
Tapi
apa pun yang sebenarnya telah terjadi, kehadiran ‘pasukan tak dikenal’ yang
dikerahkan Brigjen Kemal Idris itu, telah menimbulkan kejutan terhadap Soekarno
yang pada akhirnya berbuah lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan Surat
Perintah 11 Maret di tangannya, Letnan Jenderal Soeharto langsung membubarkan
PKI dan seluruh organisasi mantelnya, keesokan harinya. Cukup menarik bahwa
Soekarno tidak secara spontan bereaksi terhadap tindakan Soeharto yang
mempergunakan Surat Perintah 11 Maret itu untuk membubarkan PKI. Nanti setelah
beberapa menteri dalam kabinetnya, terutama Soebandrio, mempersoalkannya,
barulah ia menunjukkan complain.
Digambarkan
pula adanya peranan Soebandrio untuk menimbulkan kegusaran Soekarno, dengan
menyampaikan informasi bahwa Jenderal Soeharto dan TNI-AD bermaksud akan
menyerang Istana Presiden. Menurut Sajidiman Surjohadiprojo yang pada tahun
1996 masih berpangkat kolonel, “Karena informasi itu, angkatan-angkatan lainnya
mengadakan konsinyering pasukan. Jakarta menghadapi kegawatan besar, karena
setiap saat dapat terjadi pertempuran antara TNI-AD dengan tiga angkatan
lainnya. Untunglah, kemudian Jenderal AH Nasution berhasil memanggil ketiga
panglima angkatan lainnya. Meskipun waktu itu Pak Nas tidak mempunyai legalitas
untuk melakukan hal itu, tetapi wibawanya masih cukup besar untuk membuat
ketiga panglima bersedia hadir. Juga diundang Panglima Kostrad yang diwakili
oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Dalam pertemuan itu dapat
dijernihkan bahwa samasekali tidak ada rencana TNI-AD untuk menyerang Istana
Presiden dan Pangkalan Halim. Pasukan Kostrad melakukan kesiagaan karena
melihat angkatan lain mengkonsinyir pasukannya. Setelah semua pihak menyadari
kesalahpahaman, maka kondisi kembali tenang. Semua pasukan ditarik dari posisi
yang sudah siap tempur dan Jakarta luput dari pertempuran besar”. Dalam
Sidang Umum MPRS, 20 Juni hingga 5 Juli
1966, Surat Perintah 11 Maret 1966 disahkan sebagai Tap MPRS. Selain itu
sejumlah tuntutan mahasiswa agar gelar Pemimpin Besar Revolusi dan jabatan
Presiden Seumur Hidup dicabut, terpenuhi dalam Sidang Umum ini. Jenderal AH
Nasution dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MPRS. Pertanggungjawaban
Presiden Soekarno ditolak. Kabinet dibubarkan, dan MPRS memberi ‘mandat’ kepada
pengemban Super Semar untuk membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Ampera.
Hingga sejauh yang terlihat kasat mata, semua tuntutan tampaknya telah
terpenuhi melalui SU IV MPRS. Tetapi pada sisi lain, SU MPRS ini seakan menjadi
tonggak titik balik bagi gerakan-gerakan ekstra parlementer mahasiswa yang
konfrontatif. Selama Sidang Umum, mahasiswa mematuhi anjuran untuk tidak
melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer. Tetapi Sidang Umum menganjurkan
agar gerakan ekstra parlementer tidak lagi digunakan seterusnya, karena untuk
selanjutnya jalan yang ditempuh adalah apa yang dinyatakan oleh AH Nasution
sebagai taktik konstitusional. Sebelum
Sidang Umum, gerakan ekstra parlementer, langsung atau tidak, menjadi penopang
penting bagi tentara untuk menekan Soekarno secara efektif. Tapi kini berbeda.
Secara umum memang terlihat bahwa Soeharto dan rekan-rekannya di Angkatan Darat
sudah mulai tidak membutuhkan suatu kekuatan mahasiswa yang bergerak sebagai
pressure group di jalanan dalam gerakan-gerakan ekstra konstitusional. Soeharto
untuk sementara lebih membutuhkan ‘dukungan damai’ mereka dalam forum-forum
legislatif yang tampaknya lebih mudah dikendalikan. Dengan situasi seperti ini,
apa yang disebut sebagai Partnership ABRI-Mahasiswa, memang perlu
dipertanyakan. Apakah ia sesuatu yang nyata sebagai realitas politik ataukah
hanya setengah nyata atau samasekali berada dalam dataran retorika belaka dalam
rangka permainan politik? Terlihat bahwa bagi Angkatan Darat di bawah Soeharto,
partnership itu tak lebih tak kurang adalah masalah taktis belaka, dan
mahasiswa ada dalam posisi kategori alat politik dalam rangka kekuasaan. Kalau
pun ada yang mengartikan partnership itu sebagai suatu keharusan faktual dan
strategis, tak lain hanya para jenderal yang termasuk kelompok perwira
intelektual dan idealis seperti Sarwo Edhie, HR Dharsono, Kemal Idris dan sejumlah
perwira sekeliling mereka yang secara kuantitatif ternyata minoritas di tubuh
Angkatan Darat. Partnership itu memang terasa keberadaannya dan efektifitasnya
sepanjang berada di samping para jenderal idealis itu serta pasukan-pasukan di
bawah komando mereka. Tetapi luar itu, partnership tak punya arti samasekali.
Dalam berbagai situasi yang sangat membingungkan, tatkala berada dekat kesatuan
tentara yang disangka partner, kerapkali para mahasiswa justru bagaikan berada
di samping harimau dan sewaktu-waktu menjadi korban kekerasan tentara. SEJARAH
kemudian memang memperlihatkan dengan jelas betapa ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) yang telah naik panggung sebagai pemeran utama kekuasaan
politik dan negara dengan dukungan rakyat –yang terutama sekali dukungan
mahasiswa Angkatan 1966 sebagai faktor dan fakta penting yang tidak bisa
diabaikan– secara berangsur-angsur namun pasti mulai melejit sendiri
meninggalkan sang partner. Partnership ABRI-mahasiswa hapus dari kamus politik
kekuasaan tentara. Teristimewa setelah pada tahun 1967 Jenderal Soeharto
dikukuhkan menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno. Beberapa
sumbangan pemikiran serta pandangan kritis, cenderung tak diindahkan lagi,
bahkan dalam banyak hal ditafsirkan sebagai tanda-tanda ‘perlawanan’. Beberapa
pendapat kritis yang konstruktif ditanggapi beberapa petinggi militer dalam
kekuasaan dengan cara-cara yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Peringatan-peringatan kelompok mahasiswa yang pernah digambarkan sebagai
partner, tentang gejala korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan serta tindakan-tindakan anti demokrasi yang terjadi,
misalnya, sudah mulai dituding sebagai upaya sistimatis untuk mendiskreditkan
Dwifungsi ABRI dan Orde Baru. Tak jarang dilengkapi tuduhan ditunggangi sisa-sisa
Orde Lama dan PKI. Kalau ada segelintir perwira yang tidak berubah sikap, maka
itu tak lain adalah tiga jenderal idealis Sarwo Edhie Wibowo, HR Dharsono dan
Kemal Idris. Namun perlahan tapi pasti satu persatu mereka pun disingkirkan
dari kekuasaan.